Bab 5
AKU BERMIMPI
YANG SANGAT ANEH.
Mimpiku ini
berlatar sebuah padang rumput yang luas. Aku menyusuri padang rumput tersebut
hingga aku melihat sebuah pohon besar sekali. Tergantung ayunan di salah satu
dahannya yang kokoh dan menjorok ke tebing. Di ayunan itu duduk seorang gadis
remaja berambut coklat panjang. Dia membelakangiku dan terus mendorong
ayunannya. Karena penasaran aku mendekati gadis itu. Ketika aku sudah di
dekatnya, gadis itu berhenti mengayun dan memandang ke arahku. Dia sangat
cantik dan entah kenapa perasaan hangat menyelimutiku tatkala dia tersenyum
kepadaku. Perasaan yang sama ketika nenekku juga menampilkan senyumnya.
Rasa-rasanya gadis itu adalah versi muda dari nenekku.
“Aku di sini
dan aku bukan musuhmu,” ujarnya dengan suara lembut yang menenangkan.
“Lalu apa yang
kau lakukan di sini?” tanyaku dengan kebingungan yang jelas tersirat di
wajahku.
“Untuk
menerangkan beberapa hal,” jawabnya. Dia turun dari ayunan dan memegang kedua
tanganku. “Kau akan melihatnya.”
Suara deburan
ombak yang menabrak karang membuatku nggak terlalu menangkap kalimat
terakhirnya, jadi aku memutuskan bertanya, “Apa maksudmu?”
Dia tersenyum.
“Musuhmu ada di sekitarmu dan apa yang kau cari sudah kau dapatkan. Kau hanya
harus menyadarinya.” Dia melepaskan pengangan tangannya dan berjalan menjauh
kemudian menghilang bagai hantu.
“Tunggu dulu!”
teriakku tapi sia-sia. Dia sudah menghilang.
Aku terbangun
karena mimpi itu pada jam dua dinihari. Setelah aku merasa tenang, aku mulai
memikirkan perkataan gadis itu. Dia memang benar-benar seperti versi muda nenekku.
Aku bisa merasakannya dari gaya bicara dan senyumnya yang menenangkan, persis
sama dengan almarhumah nenekku. Apa dia adalah hantu nenekku yang bereinkarnasi
menjadi gadis remaja? Kalau nggak salah Clara pernah bilang bahwa hantu tingkat
sepuluh bisa mengubah diri mereka menjadi manusia seutuhnya dan mereka pun bisa
mati tapi akan bereinkarnasi menjadi manusia lainnya. Kalau begitu, gadis
remaja itu memang benar nenekku! Dia sengaja datang ke mimpiku untuk memberi
petunjuk walau masih samar-samar.
Musuhmu ada di
sekitarmu dan apa yang kau cari sudah kau temukan. Kau hanya harus
menyadarinya.
Aku bisa
merasakan suara gadis itu bergema di seluruh ruangan kamar. Apa artinya? Kenapa
nenek nggak memberitahuku? Musuhku ada di sekitarku apa itu artinya orang-orang
yang dekat atau yang kukenal sebenarnya adalah musuhku? Dan apa yang kucari
sudah kutemukan, kau hanya harus menyadarinya. Apa itu berarti sebenarnya aku
sudah tahu siapa hantu Claudia itu namun aku nggak menyadarinya?
Aku memanggil
Clara walau aku tahu dia bakalan nggak senang karena aku memanggilnya jam
segini. Sosoknya pun muncul dihadapanku. “Nggak biasanya kau memanggilku jam
segini? Kau pikir aku jin yang bisa kau panggil sesuka hatimu?”
Perkataan
Clara nggak kuperdulikan. Aku langsung menceritakan mengenai mimpiku itu dan
meminta pendapatnya. Tanpa kusadari aku mulai merasa bergantung pada pendapat
Clara.
Dia terdiam
sebentar untuk berpikir. “Mimpi yang aneh tapi mungkin yang kau katakan itu
benar. Nenekmu ini ingin memberitahumu tapi dalam sebuah rangkaian kalimat
peribahasa namun kita memang bisa menebaknya walau masih hanya sekedar
tebakan.”
“Lalu apa
menurutmu?” tanyaku dengan semangat yang kembali muncul lagi. Kantuk pun sudah
hilang karena semangat yang sedang menyala-nyala ini.
“Kalau memang
musuhmu ada di sekitarmu maka yang kucurigai adalah Ibu Angela dan suaminya
Alfred.”
Tebakan Clara
itu cukup mengejutkanku. Aku tahu memang Clara nggak menyukai mereka, tapi
nggak ada alasan apapun bagi mereka untuk menjadi musuh. Alfred mungkin bisa dicurigai,
tapi Ibu Angela? Dia hantu yang baik dan dia sendiri menyuruhku untuk membakar
lembaran sakramen itu. Kalau dia musuh, nggak mungkin dia menyuruhku melakukan
itu. “Aku nggak berpikir bahwa mereka musuh yang kita cari,” ujarku
lamat-lamat, Clara menggerutu mendengarnya.
“Kau terlalu
percaya dengan mereka. Oke, mungkin si Angela bukan musuh itu, tapi Alfred?
Kita berdua sepakat bahwa dia itu aneh.” Clara duduk bersila di atas tempat
tidur dan berkata lagi, “Lagian apa yang kau cari sudah kau temukan, namun yang
kau cari adalah petunjuk mengenai keberadaan hantu Claudia dan sampai sejauh
ini kau nggak menemukan apa-apa.”
Aku menggaruk
pipiku yang digigit nyamuk. “Memang benar sih kalau dipikir-pikir. Semua hal
yang kita kumpulkan belum memberikan petunjuk apa pun.”
Kami terdiam
selama beberapa menit dan kantuk kembali menyerangku. Aku melihat ke arah jam
dinding dan terperangah bahwa sekarang sudah hampir jam tiga pagi. Hebat! Aku
nggak pernah terbangun sampai jam segitu. Kantuk semakin tak tertahankan dan
aku bermaksud untuk mengatakan pada Clara bahwa aku mau tidur lagi namun sebuah
suara tangisan memilukan menyentakkan kami berdua. Suara itu terdengar berkata
lirih di antara isak tangisnya. Aku nggak terlalu menangkap apa katanya namun
Clara mendengarnya dengan jelas.
“Suara itu
berbunyi, ‘Ibu, Ibu, kenapa kau melakukan ini?’. Dengarkan baik-baik, dia
memanggil-manggil lagi.” Clara dan aku terdiam sementara Clara mendengar dengan
jelas suara itu, aku harus menajamkan telingaku untuk mendengar lebih jelas
suara memilukan itu. Awalnya memang masih isak tangis yang kudengar, kemudian
aku mendengar suaranya, suara anak perempuan yang merintih dan bertanya, “Ibu,
Ibu, kenapa kau melakukan ini?”. Perkataan Clara benar.
Suara itu
kemudian berhenti. Kami menunggu selama beberapa menit untuk mendengarkan
apakah suara itu akan terulang lagi, tapi ternyata hasilnya nihil. Aku
memandang Clara, Clara memandangku. Aku bertanya padanya dan aku bisa merasakan
tenggorokanku tercekat. “Suara apa itu?”
Clara nggak
tahu harus berkata apa jadi dia hanya menjawab, “Suara gaib. Suara hantu.”
“Aku juga tahu
bahwa itu suara gaib.” Aku menelan ludah, “Masa kau nggak tahu itu suara apa?
Kau kan juga hantu.”
“Harus
kuakui,” dia menghentikan kalimatnya dan matanya yang cuma sebelah itu copot
dengan sendirinya. Namun Clara nggak berusaha untuk memperbaikinya. “Dari
suaranya saja membuat hantu tingkat tujuh sepertiku merinding.”
Aku sebenarnya
ingin menyindir Clara namun aku malah menyetujui ucapannya. Suara apa pun itu
yang jelas dia pasti suara dari sesosok hantu yang sangat kuat.
Paginya Ibuku
melihat betapa sayunya mataku seperti orang kurang tidur dan dia langsung
bertanya layaknya seorang polisi yang mengiterogasi tahanannya. “Pasti kau
semalam begadang. Untuk apa dan mengapa?”
Aku hanya
melambaikan tanganku dan menutup mulutku yang menguap. Sama sekali nggak ada
gunanya apabila aku mengutarakan alasanku begadang semalam. Setelah aku dan
Clara mendengar suara gaib itu, aku nggak bisa melanjutkan tidur lagi. Aku
takut apabila aku tidur bakalan ada sesuatu yang akan mendatangiku atau suara
gaib itu akan hadir di mimpiku. Jadi aku mengajak Clara untuk bermain monopoli.
Rasanya lucu melihat sesosok hantu seperti Clara bermain monopoli. Dia nggak
pernah main apa itu namanya monopoli dan dia terlihat bersemangat sekali
memainkannya. Kalau Ibuku melihat apa yang kulakukan tadi malam, dia pasti
pingsan melihat kartu-kartu dan uang-uang dan rumah-rumah bergerak sendiri.
“Kau belum
jawab pertanyaan Ibu,” kata Ibu yang kelihatan sekali menyembunyikan
kejengkelannya kepadaku yang nggak menjawab. “Jangan bilang kalau kau nonton
televisi di ruang tengah.”
“Nggak,”
bantahku. “Ibu pasti tahu kalau aku nonton televisi. Aku kan kalau nonton
televisi selalu dengan volume yang besar.”
Namun
jawabanku nggak begitu menyakinkannya jadi dia bertanya lagi, “Lalu apa yang
membuatmu kayak orang kurang tidur gitu?”
Aku berusaha
memikirkan alasan yang masuk akal untuk dikarang kepada Ibu. “Hm, semalam aku
bermimpi bertemu dengan nenek. Di mimpiku dia terlihat sangat muda seperti
gadis remaja. Dia mengajakku berjalan-jalan dan dia menceritakan kisah-kisahnya
yang hebat sama seperti ketika nenek masih hidup. Aku terbangun dan selalu
teringat dengan mimpi itu yang membuatku terjaga sampai pagi.” Walaupun hampir
semua yang kukatakan itu salah, namun bagian aku bertemu dengan nenek itu kan
benar.
Mendengar
penjelasanku, Ibuku nggak berkata apa-apa. Aku tahu pembicaraan tentang nenek
adalah pembicaraan yang dia hindari. Walau pun Ibuku agak marah karena ramalan
nenek itu, namun semenjak nenek meninggal, Ibuku berusaha untuk nggak
membicarakan apa pun tentang nenek lagi yang mungkin bisa membangkitkan
kenangannya akan Ibunya sendiri. Kalau aku beritahu kalau nenek adalah hantu,
apa ya reaksi Ibuku? Tertawa mungkin? Atau marah?
Ibuku
mengantarku ke sekolah. Di sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam.
Seharusnya aku memikirkan alasan yang lebih bagus lagi dan nggak
menyinggung-nyinggung soal almarhumah nenek. Untung aku nggak
menyinggung-nyinggung soal kakek. Entah bagaimana perasaan Ibuku kalau aku
membicarakan mereka. Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke kelas namun
langkahku terhenti di depan pintu karena di dekat bangkuku sudah ada Trio Truk
Gandeng. Anak-anak di kelas sudah mereka usir, jadi hanya tinggal kami berempat
yang berada di dalam.
Si Gendut No.1
memperhatikan keseluruh isi kelas dengan matanya yang besar dan akhirnya
tatapannya tertuju kepadaku. Dia langsung berkata dengan marah, “Kenapa si
Tikus Got ini masuk ke sini!?”
“Memangnya kenapa?”
tanyaku polos. “Ini kan kelasku. Seharusnya kan aku yang bertanya seperti itu.”
Aku kira Trio
Truk Gandeng akan marah mendengar perkataanku, tapi nyatanya nggak. Mereka
nggak peduli akan kehadiranku dan malah mengoceh di antara mereka sendiri. Si Gendut
No.1 berkata dengan tajam, “Aku bisa merasakannya.” Dia memandang
langit-langit, “Ada sesuatu hal gaib yang berada di kelas ini.”
Aku nggak
mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku bahkan nggak tahu bahwa Trio Truk
Gandeng punya minat dengan hal-hal supranatural. Hal yang nampaknya merupakan
pemikiran terakhir yang bisa kau pikirkan tentang mereka. Sepertinya berita
bahwa kelas kami ada penunggunya sudah tersebar ke seluruh sekolah dan Trio
Truk Gandeng termasuk anak-anak yang percaya bahwa hantu telah menjahili
anak-anak di sini. Aku melirik ke arah Clara yang seperti ingin tertawa tapi
berusaha untuk menahannya. Aku menghela napas dan bermaksud mengatakan bahwa
nggak ada hantu di sini tapi Si Gendut No.1 berbicara duluan.
“Dia di sana.”
Si Gendut No.1 menunjuk ke arah papan tulis. “Dia berdiri di depan papan tulis
dan sedang memandangi kita.” Kedua temannya melihat ke arah yang ditunjuk teman
mereka dan takjub seolah-olah mereka benar-benar melihat hantu.
Clara sama
sekali nggak bisa menahan tawanya. Dia tertawa terbahak-bahak sedangkan aku
berusaha untuk menahan tawaku. Mereka benar-benar nggak masuk akal. Sudah
jelas-jelas hantu penghuni kelas ini alias Clara berada di belakangku bukan di
depan papan tulis. Aku yakin Si Gendut No.1 hanya ingin mempertontonkan
kehebatannya di depan teman-temannya, tapi usaha itu gagal.
Tanpa sengaja
Si Gendut No.2 melihatku yang sedang berusaha menahan tawa dan dia melotot
kepadaku. “Kenapa kau tertawa Tikus Got?”
“Nggak ada
kok,” ujarku sambil mengulum bibir. “Hanya aku rasa kalian nggak masuk akal.”
Sekarang Si
Gendut No.1 melihatku sambil berkacak pinggang. “Memangnya kau tahu apa? Kau
tahu nggak sih bahwa aku ini punya seorang paman pengusir hantu?” ujarnya
dengan bangga. Padahal hal seperti itu nggak ada gunanya untuk dibanggain.
Pengusir
hantu? Jangan-jangan pamannya si Supradi itu. Aku memutuskan bertanya, “Nama
pamanmu Supradi ya?”
Si Gendut No.1
terlihat bingung. Dia memandang ke kedua temannya yang sama herannya seperti
dia. Kemudian dia kembali memandangku dengan tatapan penuh tanya. “Darimana kau
tahu nama pamanku Supradi?”
“Aku juga tahu
nama asistennya Jalil dan mereka berdua tiba-tiba nongol di depan pintu muka
rumahku beberapa hari lalu. Mereka mengatakan di rumahku ini ada penunggunya
dan seenaknya masuk ke dalam rumahku.” Aku berhenti sebentar untuk melihat
reaksi Trio Truk Gandeng. Mereka tampak penasaran sekaligus serius mendengarkan
ceritaku. “Mungkin memang ada hantu di rumahku, namun yang jelas pamanmu itu
menyampah di rumah dan Ibuku langsung marah dan mengusir mereka.” Aku
mengakhiri ceritaku dengan tatapan penuh arti. Masih jelas teringat bagaimana
marahnya Ibuku hanya karena dua pengusir hantu itu menyampah di ruang tengah.
Suara bel
membuat Trio Truk Gandeng yang terbengong segera kembali sadar. Anak-anak yang
sebenarnya sedari tadi mengintip dari jendela mulai masuk ke dalam kelas. Trio
Truk Gandeng yang masih berwajah antara nggak percaya sekaligus bingung
meninggalkan kelas kami. Aku nggak menyangka reaksi mereka bakalan begitu.
Rupanya mereka terlalu percaya dengan paman Si Gendut No.1 yang bernama Supradi
itu. Clara masih tertawa-tawa senang karena peristiwa tadi sampai-sampai dia
nggak menyadari bahwa suara tawanya dapat didengar oleh seluruh murid. Aku
langsung melotot ke arah Clara dan dia baru sadar bahwa dia nggak
menyembunyikan suara tawanya yang menyeramkan itu. Mendengar suara gaib yang
entah darimana, membuat semua murid di kelasku berlari keluar sambil berteriak,
“Suara hantu! Suara hantu!” guru yang baru masuk pun bingung melihat anak-anak
keluar kelas sambil berlari-lari.
Aku menepuk
kepalaku sendiri. Masalah ada hantu di kelas kami pasti akan bertambah besar
dan makin banyak anak-anak yang akan membicarakan masalah ini dan makin banyak
pula anak-anak yang percaya. Clara menutup mulutnya namun dia sama sekali nggak
merasa bersalah. Dia malah menyalahkan Trio Truk Gandeng yang membuat komedi
dadakan di kelas tadi. Aku hanya menghela napas jengkel.
Dan oh ya satu
lagi. Pasti akan ada lagi anak yang mengira bahwa aku berteman dengan hantu.
Soalnya hanya aku sendiri yang nggak kabur ketika mendengar suara tawa gaib
itu.
Gara-gara
murid-murid dari kelas kami nggak mau menempati kelas dan nggak ada kelas
kosong lain untuk belajar, maka murid-murid di kelas kami dipulangkan lebih
cepat. Aku meminjam HP Georgia untuk menelepon Ibu, soalnya aku nggak punya HP,
padahal anak seusiaku sudah banyak yang punya dan membawa HP ke sekolah. Bahkan
Tiara memamerkan HP mahal dan keluaran terbarunya di depan kelas beberapa hari
yang lalu. Ibuku nggak menjawab teleponku.
Setelah
beberapa kali mencoba aku baru sadar bahwa Ibuku nggak mau mengangkat nomor
yang nggak dikenalnya, jadi aku memutuskan untuk mengirimnya SMS kemudian
mengembalikan HP kepada Georgia. Aku menunggu jemputan Ibu di depan gerbang
sekolah bersama Clara. Aku tahu menunggu adalah hal yang paling membosankan
bagi Clara begitu pula denganku, begitu pula dengan semua orang, tapi Claralah
yang paling benci kalau disuruh menunggu. Untuk menghilangkan kebosanan, dia
yang untungnya hantu, berbuat jahil kepada anak perempuan di sebelahku dengan
meniup-niup tengkuknya. Anak itu kegelian sendiri dan Clara terkikik-kikik. Aku
membiarkannya saja.
Dua puluh
menit berlalu dan nampaklah mobil hitam Ibu yang berhenti di depanku. Aku masuk
ke mobil dan duduk di bangku depan sedangkan Clara menembus pintu mobil dan
duduk di belakang dan langsung selonjoran di bangku. aku menoleh ke belakang
dengan jengkel dan sialnya Ibuku memperhatikan gerak-gerikku.
“Ada siapa sih
di belakang?” tanyanya sambil mengendarai mobil. “Rasanya kau sekarang semakin
aneh. Mungkin kita bisa ke tempat praktek Dr. Gabriel lagi.”
“Nggak mau!”
tolakku cepat. Sudah bosan aku melihat Dr. Gabriel dan segala pembicaraannya
yang nggak penting. “Kan aku sudah pernah bilang kepada Ibu!”
“Masalah
tentang kau anak indigo yang tidak masuk akal itu? Ibu tidak pernah percaya
dengan hal begituan!”
“Ya, tentu
saja karena Ibu nggak pernah melihatnya sendiri!” aku cemberut sambil
menyilangkan tangan di depan dada. Clara duduk tegak dan mencondongkan tubuhnya
ke arahku sambil berbisik, “Aku bisa membuat diriku kelihatan di depan Ibumu,
kalau kau mau.”
Aku sebenarnya
juga punya pemikiran seperti itu. Kalau Clara menampakkan wujudnya, maka Ibuku
nggak bisa membantah atau berkata yang sama lagi. Tapi rasanya kurang tepat
apabila Clara menampakkan wujudnya sekarang. Mungkin nanti apabila aku berhasil
memecahkan misteri yang melingkupi rumah kami. Itu pun kalau berhasil dan
ramalan nenek tentang Ibuku meleset. Kalau aku gagal dan ramalan nenek tentang
Ibu benar…., aku merinding.
Kami akhirnya
sampai di rumah. Ibu memberikan kunci rumah kepadaku karena dia akan kembali ke
kantornya. Asyik! Aku punya banyak waktu luang di rumah sendirian. Mungkin aku
bisa berjalan keliling di sekitar sini dan menanyakan kepada tetangga-tetangga
tentang rumah kami ini. Setelah aku masuk di kamar, Clara mulai mengajakku
berbicara serius. Aku ingin tahu hal apa yang akan dia bicarakan sampai
seserius ini.
“Mengenai
suara gaib semalam…,” mulainya dengan nada misterius, “aku sudah
mendeteksinya.”
“Kapan kau
mendeteksinya?” tanyaku cepat. Perasaan dari tadi Clara mengikutiku terus, jadi
kalau dia melakukan sesuatu pasti aku tahu.
Clara
mengangkat tangannya menandakan aku untuk diam. Dia berbicara lagi, “Aku hantu
dan hantu bisa mendeteksi keberadaan hantu lain asalkan hantu itu mengirim
tanda-tanda yang jelas. Masalahnya kebanyakan hantu yang tingkatannya sudah di
atas enam, enggan menampakkan wujudnya atau bahkan memberi tanda-tanda bahwa
dia sebenarnya ada di sini atau yang lebih parahnya dia sudah lama berada di
sini, tepat di depan hidungmu namun kau nggak menyadarinya. Yah, seperti yang
pernah aku lakukan padamu.”
Memang Clara
pernah menyembunyikan dirinya dariku dengan amat baik sehingga aku nggak tahu
bahwa dia ada di sini atau mungkin di depanku saat itu. “Jadi menurutmu suara
gaib semalam berasal dari hantu yang sebenarnya sudah lama berada di sini namun
dapat menyembunyikan sosoknya bahkan hantu pun sendiri nggak bisa mendeteksinya
dengan sangat baik dan baru sekarang dia mengirim tanda berupa suara itu untuk
memberitahu bahwa dia ada di sini, di dekat kita.”
Clara
mengangguk dan terlihat senang dengan pengertianku. “Tepat sekali. Dan setelah
dia mengirimkan tanda, aku perlu beberapa jam untuk bisa mendeteksi
keberadaannya dan jawabannya kudapatkan ketika kita dalam perjalanan pulang.
Kata-kata nenekmu tepat, apa yang kau cari ada di sekitarmu dan memang dia ada
di sekitar kamar ini, lebih tepatnya…” Clara menggerakkan telunjuknya ke arah
tempat tidurku dan seketika itu juga tempat tidurku menggeser sendiri. “Dan
disitulah dia!”
Aku
melihatnya. Ada sebuah lubang di bawah tempat tidurku yang nggak pernah
kusadari sebelumnya. Aku pun teringat bahwa kamarku adalah satu-satunya kamar
yang nggak banyak mengalami perubahan ketika pendekorasian ulang dan tempat
tidurku adalah salah satu benda yang nggak diubah tempatnya sehingga nggak ada
yang tahu tentang lubang itu. Aku memandang ke arah Clara yang tersenyum lebar.
Kami berdua mendekati lubang itu dan melongok ke dalam. Ada tangga di dalamnya.
“Kayaknya ini
jalan rahasia seperti yang sering ada di film-film,” ujarku sambil terus
memandang ke dalam lubang. “Aku penasaran lubang ini menuju ke mana.”
“Kalau begitu
kenapa kau nggak masuk?” Clara bergerak menjauhi lubang. Aku bingung dengan
kelakuannya. Dia sepertinya enggan untuk masuk ke dalam lubang tersebut.
“Kau
menyuruhku untuk masuk ke dalam sana sendirian?”
Dia mengangkat
bahu dan menjauh dua langkah lagi. “Bianca, seperti yang pernah kubilang. Hantu
dengan tingkat lebih rendah nggak akan mau berhadapan dengan hantu dengan
tingkat lebih tinggi darinya. Aku bisa merasakan bahwa hantu apapun itu yang
menghuni lubang itu pasti hantu tingkat tinggi, mungkin delapan atau sembilan.
Dilihat dari cara dia yang sangat pandai menyembunyikan diri selama ini
sampai-sampai aku sendiri pun nggak tahu, itu sudah jadi bukti bahwa dia lebih
kuat dariku.”
Sebenarnya aku
ingin mengejek Clara dengan mengatakannya penakut tapi kalau memang peraturan
dalam dunia perhantuan begitu, ya aku nggak mau memaksanya. “Tapi kalau ada
apa-apa denganku di bawah sana bagaimana?”
“Ya, aku akan
berdoa dari sini,” kata Clara yang nggak membuat tenang sama sekali.
“Ya, berdoalah
semoga aku masih tetap akan hidup setelah keluar dari lubang ini.” Aku kembali
menatap lubang itu dan menelan ludah. Aku merasakan ada bola kasti yang
nyangkut di tenggorokkanku dan aku juga merasa ada sesuatu yang
memanggil-manggilku dari lubang tersebut. Aku nggak boleh takut, nggak akan
terjadi apa-apa denganku. Kalau pun terjadi sesuatu setidaknya aku sudah
berusaha jadi anak yang baik. Dengan langkah pertama yang sangat ragu aku
memasuki lubang.
Tangga menuju
ke bawah melingkar-lingkar dan semakin dalam aku masuk semakin pengap dan gelap
suasananya. Angin dingin berhembus entah darimana dan aku bisa merasakan aku
kedinginan sekaligus ketakutan. Ternyata ada sebuah ruangan di bawah tempat
tidurku, ruangan berlantai tanah dan berdinding batu. Ruangan ini cukup gelap
dan aku memicingkan mataku untuk melihat. Sepertinya aku melihat sosok
samar-samar di ujung sana, namun karena kurangnya cahaya aku nggak tahu apakah
yang kulihat itu. Aku melangkah lebih jauh dan tiba-tiba ruangan jadi terang
karena adanya api obor yang entah kenapa bisa menyala sendiri. Sekarang aku
bisa melihat dengan lebih jelas. Ruangan ini berbentuk setengah lingkaran dan
ada sebuah tempat tidur kecil di tengah-tengahnya. Tempat tidur itu seperti
tempat tidur yang biasanya dipakai di rumah sakit-rumah sakit dan diapit oleh
dua meja kecil. Aku mendekati benda-benda itu dan baru sadar bahwa seprai
tempat tidur itu bernoda darah. Dua meja yang mengapit tempat tidur itu
berisikan peralatan-peralatan seperti peralatan dokter bedah. Semuanya sudah
berkarat dan berdebu, nampaknya sudah nggak dipakai lagi selama belasan atau
puluhan tahun.
Aku tahu bahwa
tempat tidur ini pasti ada penunggunya dan hantu itu ada di sini namun nggak
mau memperlihatkan wujudnya. Jangan-jangan wujudnya lebih menyeramkan daripada
Clara? Atau hantu itu menunggu saat yang tepat untuk menyerangku secara
tiba-tiba? Aku berdiri tegak bagai patung selama sesaat dan nggak merasakan
apa-apa. tentu aku ingin cepat-cepat keluar dari sini, tapi aku harus
mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang berharga sebagai petunjuk dari semua misteri
ini. mungkin dengan berbaring di tempat tidur ini, aku bisa mendapatkan suatu
petunjuk. Siapa tahu pemilik sebelumnya dari tempat tidur ini mau memberikanku
sekilas tentang kenangannya ketika dia masih hidup.
Walau lumayan
jijik dengan noda darah yang telah mengering itu, aku tetap membaringkan diriku
di atas tempat tidur. Ukurannya pas dengan tinggi tubuhku, pasti ini tempat
tidur buat anak seusiaku atau setinggi diriku. Satu dua menit dilalui dengan
diam dan kemudian sesuatu terjadi. Perutku serasa dihantam dan otakku rasanya
mau pecah ketika sesuatu yang bertubi-tubi memasuki pikiranku. Aku pun pingsan
di atas tempat tidur itu.
Sesuatu yang
masuk itu, melesak dan memenuhi otakku. Satu-persatu kenangan seseorang
menyerbu masuk dan terangkai menjadi sebuah gambaran suatu kejadian yang jelas.
Aku berdiri di sini, di tempat yang sama namun ruangan setengah lingkaran ini
dipenuhi dengan orang-orang dengan jubah dan tudung warna hitam. Mereka semua
melihat ke arah tangga, menantikan sesuatu turun dari sana dan memang benar ada
sesuatu yang turun. Selusin orang secara teratur menuruni tangga dan orang
terakhir memegang seorang anak perempuan yang memakai topeng.
Semua orang di
sana memberikan jalan kepada selusin orang itu. Di tengah-tengah ada sebuah
tempat tidur yang sama yang diapit dua meja, cuma bedanya sekarang di
sekeliling tempat tidur itu dilukis dengan cat warna merah sebuah lingkaran
dengan tulisan yang nggak kumengerti, sepertinya tulisan kuno. Anak perempuan
itu dibaringkan di atas tempat tidur. Tangan dan kakinya diikat dengan tepi
tempat tidur. Dia yang baru sadar dari pingsannya, segera meronta-ronta namun
usahanya itu sia-sia. Seorang dari orang-orang berjubah hitam ini mendekati
anak itu dan menyuntikkan sesuatu, sepertinya itu obat penenang. Anak yang
meronta-ronta tersebut segera tenang dan sebelum kesadarannya habis, dia
berucap dengan nada memilukan, “Ibu, Ibu, kenapa kau melakukan ini?” aku
terkejut mendengarnya karena ucapannya sama dengan suara gaib yang aku dan
Clara dengar semalam.
Orang berjubah
itu mengeluarkan sebuah belati dari balik jubahnya. Belati yang gagangnya
dihiasi bulu burung gagak. Aku jadi teringat dengan belati yang kutemukan di
peti di gudang. Bentuknya persis sama dengan yang dipegang wanita itu. Kemudian
semua orang yang berada di sana memegang sebuah lembaran yang nggak asing lagi
bagiku. Lembaran sakramen itu. Seorang lagi mendekati tempat tidur dan
membacakan lembaran sakramen yang dipegangnya kuat-kuat. Dia mengucapkannya
dalam Bahasa Latin kurasa karena lembaran sakramen itu memang menggunakan dua
bahasa, Inggris dan Latin.
Semua orang di
ruangan ini kemudian membacakan lembaran mereka kuat-kuat. Aku menyaksikan
semua ini dengan keheranan dan nggak bisa berkata apa-apa. aku nggak bisa
melihat wajah mereka, karena mereka semua memakai topeng yang sama dengan yang
dipakai anak perempuan yang terbaring itu. Setelah mereka selesai membaca,
orang yang memegang belati mengangkat belatinya tinggi dan kemudian menusukkan
benda itu tepat ke jantung anak itu. Aku langsung menutup mata, tak sanggup
melihat kejadian itu.
Kemudian dia
mengambil peralatan-peralatan yang ada di meja. Dia mengambil pisau kecil dan
membelah perut anak itu lalu mengambil ginjalnya. Organ tubuh itu dia taruh di
baki. Dia melanjutkan lagi kegiatan menjijikkan dan sadisnya itu. Dia mengambil
kedua bola mata anak itu, mencukur rambutnya sampai botak dan memotong
jari-jarinya. Perbuatannya benar-benar membuatku ingin muntah.
Aku langsung
terbangun dan mendapati bahwa aku tak sadarkan diri di atas tempat tidur. Aku
berada di ruangan yang sama dengan yang ada di dalam mimpiku. Anak perempuan
yang kulihat dalam mimpi itu, apakah dia adalah korban ritual kuno? Lalu apakah
dia Claudia? Aku nggak tahu. Semua hal ini malah membuatku jadi bertambah
pusing. Aku turun dari tempat tidur dan mendengar teriakan Clara dari atas yang
menanyakan apakah aku baik-baik saja. Dengan sekali pandangan ke arah tempat
tidur rumah sakit itu, aku melangkah menaiki tangga. Cahaya obor di ruangan itu
padam seketika.
Tiba di atas,
aku langsung disambut dengan tampang Clara yang bingung dan bertanya-tanya. Dia
bersyukur bahwa aku masih hidup namun juga khawatir dengan mukaku yang terlihat
murung dan nggak bersemangat. Aku menceritakan semua yang aku dapat di bawah
tanpa diminta Clara terlebih dahulu. Dia mendengarkan dengan sangat serius
ceritaku. “Jadi begitulah,” aku mengakhiri ceritaku dengan satu tarikan napas.
Dia nggak
langsung berkomentar. Dia berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan gelisah.
“Ini bakalan gawat!” gumamnya berkali-kali. Lalu dia berhenti dan menjentikkan
jarinya. “Aku seharusnya dari dulu tahu bahwa memang ada sesuatu yang nggak
beres di rumah ini. Ritual kuno itu terbukti benar dan ruangannya berada tepat
di bawah kita selama ini. Tepat di bawah kamarku!”
“Aneh rasanya
kau bilang begitu. Bahkan ketika kau masih hidup kau pun nggak tahu?”
Clara
menggelengkan kepalanya dan kembali berjalan mondar-mandir. “Aku nggak
pernah tahu, maka daripada itulah aku
bingung. Oh ya, tadi apa kau bisa mendengar suaraku dari atas?”
“Ya, aku bisa
mendengarnya dengan jelas,” jawabku apa adanya.
“Kalau begitu
kita adakan eksperimen. Ayo kita cari sebuah penutup untuk lubang ini. Nanti
kau akan kembali masuk ke dalam sana dan berbicaralah sekeras yang kau bisa.”
Aku nggak
mengerti eksperimen apa yang dia bicarakan, tapi kami akhirnya juga mencari
penutup untuk lubang itu. Ada sebuah papan tebal berbentuk persegi di belakang
gudang dan kami membawanya ke kamarku. “Sekarang apa yang akan kita lakukan?”
aku menepuk-nepuk papan itu. “Seingatku aku nggak pernah tahu ada benda
beginian di belakang gudang.”
“Masuklah ke
dalam lubang sekali lagi, nanti aku akan menutup lubang dengan papan ini
kemudian berteriak memanggilmu dari luar. Lalu kau lakukan hal yang sama di
dalam lubang ini.” Dia setengah mendorongku ke dalam lubang, membuatku melotot
ke arahnya.
Sebenarnya aku
sangat malas untuk kembali lagi ke lubang ini. Aku berada di ruangan itu lagi,
tapi sekali ini api obor sama sekali nggak menyala kayak tadi. Tempat ini gelap
dan dingin dan aku bersumpah akan menyalahkan Clara kalau terjadi apa-apa.
“Aku akan
menutup lubangnya dan mulai berteriak,” kata Clara dari atas dan dia
memindahkan papan tebal itu tepat di tengah lubang. Suasana menjadi bertambah
gelap di dalam sini.
Nggak
terdengar apa-apa dari atas. Aku menggosok telapak tanganku lalu mendekap
tubuhku sendiri. Udara di sini semakin dingin. Rasanya seperti aku baru saja
dimasukkan ke dalam freezer. Papan yang menutupi lubang tergeser dan wajah
Clara nongol. “Apa kau mendengar suaraku tadi?”
“Aku sama
sekali nggak mendengar apa-apa,” teriakku dari bawah. “Apa eksperimen ini sudah
selesai? Aku kedinginan di bawah sini.” Sekarang aku baru tahu kenapa
orang-orang dalam mimpiku memakai jubah panjang. Mereka berlindung dibalik
jubah itu untuk mencari kehangatan dari dingin yang mengelilingi ruangan ini.
“Belum,” jawab
Clara, “aku akan menutup lubang ini lagi, dan kau sekarang yang berteriak. Apa
kau mengerti?”
“Ya, ya, ya!”
dan lubang itu kembali ditutup Clara. Aku berteriak sekuat tenaga dan nggak ada
respon apapun dari Clara. Yang bisa kudengar hanyalah suaraku yang bergema di
ruangan ini. Sesaat kemudian tutup lubang kembali digeser Clara. “Apa kau
mendengar teriakanku tadi?”
Dengan wajah
senang dia menjawab, “Nggak sama sekali. Keluarlah! Aku tahu sesuatu.”
Tapi disuruh
dua kali, aku segera keluar dari lubang es itu. Clara kembali menutup lubang
itu dengan papan. “Sekarang aku baru tahu kenapa selama masih hidup aku nggak
tahu menahu mengenai lubang ini.”
Aku duduk di
kursi meja belajarku. “Karena apa?”
“Selain karena
lubang itu berada di bawah tempat tidurku, lubang itu sudah dilapisi ubin
khusus. Ubin yang terlihat biasa saja, tapi merupakan jalan masuk ke dalam
lubang itu. Ruangan di bawah itu kedap suara, sehingga orang nggak akan
mendengar apa-apa dari bawah sana. Namun ketika ubin itu dibuka, ruangan itu
menjadi nggak kedap suara lagi. Maka daripada itulah aku mengadakan eksperimen
kecil itu dan ternyata dugaanku benar.” Dia terlihat senang dan bangga sekali
karena teorinya ternyata benar.
“Tapi ketika
kita menemukannya nggak ada sama sekali ubin atau penutup apapun. Lubang itu
dibiarkan menganga begitu saja,” kataku cepat. Rasanya aneh apabila lubang
rahasia seperti itu dibiarkan terbuka begitu saja.
“Hm, berarti
ada orang yang pernah masuk ke sana sebelum kau. Ya, mungkin pencuri itu
menyamar sebagai salah satu pekerja yang disewa untuk menata ulang rumah ini.
Dia menemukan lubang ini dan menghancurkan ubin yang menutupinya kemudian
membiarkan lubang itu terbuka.”
“Untuk apa dia
membiarkan lubang itu terbuka? Maksudku apa untungnya buat dia?”
Clara
menggeleng dan tampangnya berubah menjadi kecewa. “Sayangnya aku nggak tahu.
Aku bahkan baru menyadarinya sekarang. Ketika rumah ini ditata ulang, aku nggak
ada di sini. Aku nggak suka bila ada penataan rumah, jadi aku memutuskan untuk
keluar. Coba pada waktu itu aku berada di dalam rumah, mungkin aku bisa tahu
lebih cepat mengenai lubang ini.” Dia meninju tangannya sendiri.
Perkataan
Clara mungkin ada benarnya. Lubang itu dibiarkan terbuka supaya si pencuri
nggak perlu bersusah-susah lagi untuk masuk ke sana suatu hari nanti. Orang ini
benar-benar ingin membangkitkan kembali ritual kuno itu. Aku bergidik
membayangkan apa yang kulihat ketika aku terbaring tak sadarkan diri di bawah
sana. Ritual itu benar-benar sadis dan menjijikkan! Aku nggak akan pernah mau
menjadi korban dari ritual itu. Siapa pun orang ini, aku akan membuka kedoknya
dan mengirimnya ke penjara! Aku nggak tahu bagaimana aku akan melakukan itu,
tapi aku yakin, pasti ada jalan.
Aku mendapati
diriku berhadapan dengan Trio Truk Gandeng, eh, mereka sekarang hanya berdua,
Si Gendut No.1 nggak ada. Kami masih berada di depan gerbang sekolah dan kedua
anak besar di depanku itu bermata merah dan sembab sepertinya mereka habis
menangis. Selama semenit yang terasa sangat lama bagi kami, akhirnya aku
bertanya, “Kenapa kalian? Mana pemimpin kalian itu?” tentu saja aku bertanya
dengan nada acuh yang kubuat-buat.
Mendengar
pertanyaanku, mereka malah menangis lagi. Beberapa murid yang lewat nggak bisa
menyembunyikan keheranan mereka, namun karena hampir rata-rata murid di sekolah
ini takut dengan Trio Truk Gandeng yang pagi ini menjadi Duo, mereka hanya
memandang sebentar sebelum berjalan ke kelas masing-masing.
“Kalian kenapa
sih?” tanyaku sekali lagi. Kali ini aku merasa lumayan kasihan dengan mereka
walau dalam hati masih curiga kalau ini semacam jebakan.
Si Gendut No.3
mengambil sapu tangannya dan mengusap air mata di pipinya sebelum menjawab,
“Sekarang Melanie ada di rumah sakit. Kondisinya sangat kritis, dia koma.”
Aku
membelalakkan mataku mendengar perkataannya. Si Gendut No.1 dalam keadaan koma?
Apa yang terjadi padanya? Baru kemarin aku lihat dia berdukun-dukun ria dengan
kedua temannya di kelasku dan sekarang dia koma? “Me, memangnya apa yang
terjadi padanya?”
Pertanyaanku
nggak segera dijawab, karena dua orang itu kembali menangis lagi. Satpam
sekolah kami, Pak Soleh, hanya menatap dua anak itu tanpa berbuat apa-apa.
Akhirnya Si Gendut No.2 menjawab, “Kemarin sepulang sekolah Melanie ketabrak
sepeda.”
“Hanya
ketabrak sepeda langsung koma?” tanpa aku sadar aku berkata keras-keras membuat
beberapa anak berhenti untuk memandangku. Aku langsung tutup mulut. Sungguh
perkataan Si Gendut No.2 kedengaran nggak masuk akal. Masa Melanie bisa
langsung koma hanya karena ditabrak sepeda?
“Iya,” lanjut
Si Gendut No.3. “Namun sehabis tertabrak sepeda dia ketabrak dengan truk yang
lagi melintas.”
Sekarang baru
aku tahu kenapa dia bisa koma. Kenapa nggak bilang dari awal saja sih kalau dia
ketabrak truk? Walaupun aku nggak suka sama Si Gendut No.1 dan komplotannya,
aku turut bersedih untuk mereka. Namun mereka berdua menggeleng secara
serempak. “Kami nggak butuh rasa belas kasihanmu,” ujar Si Gendut No.2 dengan
terang-terangan.
“Nanti akan ada
sumbangan berjalan dari kelas ke kelas untuk membantu Melanie. Kami memaksamu
untuk memberikan sumbangan sebanyak yang kau punya di kantongmu, Tikus Got!” Si
Gendut No.3 membesarkan suaranya yang sudah terdengar parau.
Lihat,
perkataan mereka sungguh menjengkelkan! Setelah salah satu dari mereka sekarat,
mereka masih sempat-sempatnya untuk memerasku. Aku nggak menjawab apa-apa dan
segera berlalu dari hadapan mereka. Di sepanjang perjalanan ke kelas, Clara
nggak bisa menyembunyikan kekesalannya begitu pula aku. Clara bilang mereka
nggak bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpa teman mereka, aku pun
juga berpendapat begitu. Sesampainya di dekat kelasku, aku melihat
teman-temanku berdiri di luar kelas. Merasa heran, aku menghampiri Georgia
sementara aku merasa semua tatapan anak-anak tertuju kepadaku. Aku mengacuhkan
mereka dan bertanya kepada Georgia, “Apa yang terjadi?”
Georgia terlihat bingung sesaat sebelum menjawab,
mungkin untuk merangkai kata-kata Bahasa Indonesia yang tepat atau mungkin dia
bingung melihatku yang nggak tahu apa-apa sama sekali. “Kau nggak tahu?”
tanyanya lambat-lambat. “Kejadian kemarin itu.”
Aku teringat
dengan kejadian kemarin. Tawa Clara yang menggelegar di kelas dan didengar oleh
semua murid sehingga mereka semua ketakutan. Dan sekarang mereka benar-benar
yakin bahwa memang ada hantu di kelas. Juga tatapan teman-teman sekelasku yang
tertuju kepadaku adalah tatapan curiga karena aku satu-satunya yang nggak lari
ketakutan mendengar suara gaib itu. Sekarang mereka semua akan bertambah
keyakinannya bahwa aku berteman dengan hantu.
Tiara maju ke
depan dan menatapku dengan pandangan menyelidik yang jelas. “Biangca.” Dia
menekankan namaku yang sudah salah dia sebutkan. Kenapa dia selalu salah
menyebut namaku sih? “Rasa-rasanya cuma kau sendiri yang nggak merasa takut
dengan adanya hantu di kelas kita.”
“Memangnya
kalian benar-benar yakin ada hantu di kelas kita?” tanyaku walau itu pertanyaan
sia-sia. Semua anak sudah percaya bahwa di kelas ada hantu alias Clara.
Tiara
mengangkat alisnya dan memasang wajah serius dan bibir yang dikerucutkan. Cara
yang aneh untuk mengeskpresikan tampang serius. “Memangnya kau nggak dengar
tawa gaib yang tiba-tiba muncul di kelas kita? Dan anak-anak yang selalu merasa
dijahili dengan sesuatu yang tak tampak? Itu semua sudah jadi bukti ada hantu
di kelas.”
“Maksudku
guru-guru bilang kita terlalu berlebihan dalam berimajinasi. Itu semua pasti
karena kita kebanyakan nonton film horor,” kataku mencoba mengelak dari
tatapannya. Memang guru-guru pernah bilang begitu, tapi semakin guru nggak
mempercayai anak-anak ini, semakin mereka mempercayai bahwa kelas kami ada
hantunya.
“Itu karena
mereka nggak merasakannya sendiri. Tapi kita semua yang ada di kelas ini sudah
sepakat bahwa kelas ini ada hantunya. Kalau kau benar-benar nggak bersekongkol
dengan hantu itu, maka kau pasti sepakat juga dengan kami.”
Ketua kelas
kami, Andi, maju mendekati kami dan berdehem. “Kami sudah sepakat bahwa kami
akan menyewa jasa pengusir hantu pamannya Kak Melanie. Dan yang belum
menyepakati ide itu hanya tinggal kau seorang.”
Rasanya lucu
kalau Andi memanggil Si Gendut No.1 alias Melanie dengan panggilan ‘Kak’.
Bagaimana pun dia lebih tua dari semua murid di sekolah ini. Aku yakin dia
hanya menggunakan kata panggilan itu sebagai sikap sopan saja. Si Supradi jelas
nggak akan bisa mengusir Clara, karena dia sudah pernah mencobanya di rumahku
dan nggak berhasil. Aku melirik ke arah Clara, dia sudah nggak sanggup lagi
menahan tawanya. Aku menghela napas dan
berkata, “Baiklah aku juga sepakat.”
Andi
mengangguk dan bel tanda masuk berbunyi namun kami semua nggak ada yang
beranjak untuk masuk ke kelas. Semuanya saling pandang satu sama lain seperti
menunggu seseorang untuk mengambil langkah duluan memasuki kelas. Sebenarnya
sih aku mau saja masuk, tapi itu malah akan membuat mereka yang sudah curiga
kepadaku menjadi bertambah curiga. Wali kelas kami datang dan langsung memarahi
kami karena masih saja belum masuk ke dalam. Memang wali kelas kami adalah wali
kelas paling galak di antara wali kelas lainnya.
“Pasti kalian
masih takut dengan hantu yang kalian karang sendiri itu ya!?” bentak wali kelas
kami sambil berkacak pinggang. “Ayo semuanya masuk!” perintahnya dan tanpa
perlu disuruh dua kali kami semua masuk ke dalam kelas.
Aku memberi
isyarat kepada Clara agar diam dan nggak menjahili atau berbuat yang aneh-aneh
selama kegiatan sekolah berlangsung. Dia jelas nggak mau menuruti perkataanku
tapi dia cukup tenang dan hanya menjahili Tiara dengan terus menerus
menjatuhkan pensilnya. Raut muka Tiara benar-benar kesal melihat dari tadi
pensilnya jatuh melulu padahal dia sangat yakin sekali sudah menaruh benda itu
di dalam tasnya. Ternyata Clara memang bersikap keras kepala sama sepertiku.
Rencana kami
berdua sehabis pulang sekolah adalah menanyakan informasi mengenai rumahku. Ada
beberapa tetangga yang sudah tinggal puluhan tahun di wilayah ini dan aku sudah
mendata atau lebih tepatnya Clara yang mendata mereka semua. Rata-rata usia
mereka empat puluh tahun ke atas sekarang dan hanya tinggal berdua saja bersama
dengan suami atau istri mereka karena kebanyakan anak-anak mereka sudah menikah
dan pindah ke tempat lain. Orang pertama yang kami kunjungi adalah Pak
Abdullah, umur 56 tahun, pekerjaan pensiunan pegawai negeri. Pak Abdullah
tinggal berdua bersama istrinya, Ibu Aminah dan hidup dengan ditunjang gaji
pensiunan pegawai yang sedikit tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pertama kali
bertemu dengan pasangan suami istri ini, aku langsung mendapat kesan bahwa baik
Pak Abdullah dan istrinya ketika masih muda sama-sama merupakan idola. Walau
umur Pak Abdullah sudah 56 tahun, namun sisa-sisa ketampanannya masih tampak dari
balik wajahnya yang sudah keriput dan rambutnya sudah memutih. Demikian juga
Ibu Aminah yang berbeda usia tiga tahun dari suaminya. Dia berjilbab panjang
dan nampaknya tipikal wanita desa yang rajin dan cekatan serta sopan. Mereka
menyambut kedatangan aku dan Clara dengan senang hati. Mereka bahkan mengajakku
untuk makan siang di rumah mereka, namun aku menolaknya dengan halus.
Setelah
basa-basi mengenai kehidupan mereka, aku segera menuju ke pokok pembicaraan
mengenai masa lalu rumahku. Mereka terlihat mengingat-ngingat dulu selama
beberapa menit sampai Pak Abdullah berkata, “Ah ya, saya baru ingat. Pada tahun
1988 saya berumur 33 tahun waktu itu dan istri saya baru saja melahirkan anak
bungsu kami. Jadi aku nggak terlalu tahu mengenai kematian salah seorang
penghuni rumah itu karena saya harus menemani istri saya di rumah sakit. Namun
saya mendengar dari tetangga bahwa yang meninggal itu bernama Claudia atau
Clarissa? Saya nggak begitu ingat.”
“Claudia yang
meninggal pada waktu itu,” jelas istrinya. “Katanya dia mati mendadak di atas
tempat tidurnya.”
Aku
membenarkan perkataan Ibu Aminah dan bertanya lagi, “Lalu apa kalian kenal
Clara?”
“Clara?” Pak
Abdullah malah balik nanya, “Aku nggak tahu. Yang jelas pada waktu itu lelaki
penghuni rumah itu, siapa namanya, oh ya Alfred. Nah, si Alfred ini punya dua
istri.”
Keterangan
bahwa si Alfred punya dua istri menarik perhatianku. Aku nggak tahu bahwa
ternyata selain Ibu Angela, Alfred punya istri lain. Jadi aku menanyakan lebih
banyak tentang istri kedua Alfred ini.
Butuh waktu
yang lumayan lama bagi kedua orang tua itu untuk mengingat. “Entahlah,” kata
Pak Abdullah setelah keheningan panjang yang terasa bagaikan setahun. “Aku sama
sekali nggak ingat lagi, Nak. Kami sudah tua, ingatan kami nggak setajam dulu
lagi. Jangankan mengingat peristiwa 23 tahun silam, peristiwa yang baru terjadi
sehari yang lalu saja kami sudah lupa.” Perkataan ini diakhiri dengan tawa
riang dari Pak Abdullah.
“Tapi aku rasa
kalian nggak setua itu,” ujarku sungguh-sungguh. Aku juga punya kenalan berumur
sama seperti mereka, tapi dia masih punya ingatan yang tajam dan fisik yang
masih sehat.
“Oh, semua
orang punya kapasitas otak masing-masing, Nak,” Pak Abdullah mengeretukkan
giginya. “Aku dulu adalah pecandu alkohol dan baru berhenti sepuluh tahun yang
lalu. Saraf-saraf otakku telah banyak yang rusak karena benda terkutuk itu.
Untungnya aku nggak dibuat mati olehnya. Dan istriku ini dulunya susah tidur
jadi dia kecanduan obat penenang. Sekarang pun dia masih memakannya sekali
sekali.”
Aku mengangguk
dan merasa nggak ada lagi yang bisa dikorek dari dua orang ini. Jadi aku
memutuskan untuk pamit dan mengunjungi rumah selanjutnya. Rumah Oma Hellen. Dia
keturunan Belanda dan umurnya sudah 75 tahun. Dia tinggal sendirian bersama
dengan seorang pelayan yang masih muda bernama Debby. Walaupun sudah berusia
lanjut, dia masih sanggup untuk merawat tanaman-tanaman di pekarangan rumahnya
yang asri dan indah. Ketika aku berdiri di depan pintu pagarnya, aku bisa
melihat wanita tua itu sedang bersantai di depan beranda rumahnya sembari
menjahit sebuah sweter.
Dia
menyilahkan aku masuk dan pelayannya yang masih muda bernama Debby itu sudah
membawa dua cangkir teh ke ruang tamu. Aku kurang suka dengan teh tapi aku
berterima kasih untuk itu. Seperti yang dilakukan Clara di rumah Pak Abdullah,
dia berkeliaran di sekitar rumah dan memasuki sebuah kamar dekat tangga. Aku
memperkenalkan diriku dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku ke rumah
Oma Hellen. Dia mengangguk-ngangguk sambil tersenyum lalu meminum tehnya.
“Rumah itu,”
mulainya setelah meletakkan cangkir teh di atas meja, “memang menyimpan banyak
misteri. Alfred dan istrinya Angela merupakan pribadi yang tertutup dan mereka
jarang bergaul dengan warga sekitar sini. Mengenai Alfred punya istri lagi, aku
tidak begitu tahu karena aku pun juga jarang bergaul dengan warga sekitar sini.
Tapi memang nampaknya fakta itu benar karena aku pernah melihat si Alfred
berjalan-jalan dengan seorang wanita lain yang jelas bukan Angela.”
“Lalu apa yang
Oma tahu tentang anak mereka? Apakah istri kedua Alfred ini punya anak atau
nggak?” tanyaku dan melirik-lirik ke arah Clara yang melayang menaiki tangga.
Oma Hellen
meminum tehnya lagi dan Debby membawakan teh yang baru. “Hm, coba Oma
ingat-ingat dulu. Rasanya istri keduanya ini punya anak, anak perempuan
seumuran dengan anak Alfred dan Angela. Siapa nama anak mereka? Claudia? Atau
Clarissa?” dahi Oma Hellen semakin kelihatan berkerut.
“Claudia, nama
anak mereka Claudia,” ujarku dan menyadari bahwa aku sama sekali belum meminum
tehku. Dengan terpaksa aku minum sedikit teh yang sudah mulai dingin itu.
“Ya, ya, nama
anak mereka Claudia. Tapi aku sama sekali nggak ingat nama anak dari istri
kedua Alfred.” Oma Hellen meminum teh keduanya. “Maaf, aku tidak bisa
memberikanmu banyak informasi.”
“Nggak apa-apa
Oma Hellen.” Aku memandangi jam dinding, sudah hampir pukul tiga sore. Masih
ada satu orang lagi yang harus ditanyai dan aku harus pulang duluan sebelum
Ibu. “Kalau begitu saya permisi dulu.”
Aku dan Clara
mengunjungi orang terakhir dalam daftar kami. Rumahnya cukup jauh dari rumah
Oma Hellen membuat kakiku letih setengah mati ketika sampai di depan pagar
rumahnya. Clara sih enak, dia hantu dan hantu nggak bisa merasakan capek.
Lagian dia berjalan dengan cara melayang di udara. Seorang wanita membukakan
pintu pagar buatku. Wanita ini bermuka pucat dan kerutan di bawah matanya
terlihat cukup jelas, padahal mungkin umurnya baru awal 30-an. Aku mengatakan
padanya bahwa aku ingin menemui Kakek Dahlan Wijaya dan wanita itu langsung
mengernyit heran namun tanpa berkata apa-apa dia mempersilahkanku masuk dan menggiringku
menaiki tangga ke lantai atas.
“Kakek Dahlan
sedang sakit,” jelas wanita itu tanpa diminta. Dia membuka pintu kamar dan kami
berdua masuk ke dalam.
Kakek Dahlan
berada di atas tempat tidurnya yang besar. Dia terbatuk-batuk ketika melihat
kami datang. Dia benar-benar terlihat sangat tua padahal kata Ibuku umurnya
sekitar 60 tahun, tapi di sini dia kayak kakek-kakek umur 80 tahun. Clara pergi
ke arah kamar mandi, mungkin dia mencari hantu penghuni tempat tidur Kakek
Dahlan yang bersembunyi darinya.
“Kakek, anak
ini ingin bertemu dengan Kakek,” ujar wanita yang mengantarku tadi dengan
lembut.
Aku tersenyum
ke arah Kakek Dahlan dan dia mengernyitkan dahinya ketika melihatku. Wanita itu
nggak beranjak dari tempatnya sejak tadi dan terus memperhatikanku dengan
tatapan curiga. Aku duduk di tepi tempat tidur kakek dan secara sopan
memperkenalkan diriku. Kemudian setelah perkenalan yang nggak dibalas sepatah
katapun oleh kakek, aku akhirnya berkata, “Kedatanganku ke sini untuk
menanyakan tentang kejadian yang terjadi di rumahku, rumah dimana dulunya
ditempati oleh pasangan suami-istri Pak Alfred dan Ibu Angela.”
Sesaat kulihat
mata kakek membelalak terkejut sebelum akhirnya dia terbatuk-batuk. Wanita yang
sedari tadi diam segera beranjak ke sisi kakek dan memberinya air putih. Aku
bisa menarik kesimpulan bahwa wanita ini pelayan Kakek Dahlan atau mungkin
anaknya. Kakek itu memandangiku lagi selama beberapa detik dan dia memberi
isyarat dengan telunjuknya kepada wanita itu. Si wanita mendekat dan Kakek
Dahlan membisikkan sesuatu padanya. Aku nggak tahu apa yang membuat wanita itu
terlihat kaget dan menunjukkan raut nggak percaya di wajahnya.
Dan tanpa
berkata apa-apa, dia berdiri tegak dan mengisyaratkanku untuk mengikutinya.
Kami berdua pergi keluar kamar dan wanita yang belum kuketahui namanya itu
menutup pintu kamar dan memandangku sambil menyilangkan tangannya di depan
dada. “Aku tidak menyangka bahwa kau ke sini, seorang anak kecil mungkin baru
delapan tahun, menanyai tentang masa lalu rumah yang kau tempati itu.”
“Umurku
sepuluh tahun!” sanggahku. “Memangnya kenapa tante, tante…,” aku lupa bahwa aku
belum tahu namanya.
“Namaku Anni,”
ujarnya dingin. “Tapi kakek memberitahukanku ini, bahwa Alfred dan istrinya
Angela, punya anak kembar, kakek nggak begitu ingat nama mereka. Dan salah satu
dari anak kembar itu meninggal dan satu lagi entah berada di mana dia sekarang,
sedangkan istri kedua Alfred, dia punya anak namun anaknya sedang berada
bersama paman dan bibinya. Ya kakek cuma tahu itu saja. Dia hanya terkejut
melihat kau menanyakan hal yang sekarang sudah tidak dibicarakan lagi.”
Informasi ini
cukup berguna. “Kau bilang mereka punya anak kembar, Apa yang satunya namanya
Claudia?”
“Mungkin,” ujarnya kurang yakin. “Yang satu
lagi Clarissa barang kali. Tapi kakek benar-benar tidak ingat.”
“Maaf apabila
pertanyaan ini membuatmu jengkel, tapi tante ini siapanya Kakek Dahlan?”
“Aku anaknya
yang paling bungsu. Pada waktu salah satu kembar itu meninggal aku masih kecil.
Namun aku masih ingat dengan cukup jelas ada polisi waktu itu yang datang ke
wilayah kami yang nyaman. Ibu Angela berteriak-teriak bahwa anaknya dibunuh dan
anaknya yang satu lagi dibawa kabur. Namun semua orang mengatakan bahwa anaknya
meninggal secara damai dan mengenai anaknya yang satu lagi, memang anak itu
menghilang, tidak ada satupun yang tahu. Aku tidak tahu apa kata polisi
mengenai anak mereka yang hilang itu.” Wanita itu terlihat merenung. Namun
kemudian memasang tampang dingin lagi. “Mungkin setelah ini kau bisa pulang
sekarang. Sudah jam empat dan Ibumu pasti mencarimu.”
Walau masih
ingin menggali informasi lagi, aku membetulkan ucapannya dalam hati. Saat aku
menuruni tangga kulihat Clara berdiri di depan pintu keluar. Wajahnya terlihat
puas sekali. Aku menanyakan hal apa yang membuatnya puas di sepanjang
perjalanan pulang, tapi dia nggak mau menjawabnya dan malah mengajukan suatu
hal yang membuatku nggak terlalu senang. “Aku sudah bertemu dengan hantu-hantu
di ketiga rumah itu. Rumah Pak Abdullah, aku menjumpai tiga, di rumah Oma
Hellen aku menjumpai dua dan di rumah Kakek Dahlan aku hanya menjumpai satu
padahal kakek itu punya rumah besar dengan banyak kamar, tapi nggak ada satupun
hantu yang pernah mendapati tempat tidur di kamar-kamar itu.”
“Bagaimana
dengan tempat tidur Tante Anni?” tanyaku. Bila satu tempat tidur nggak ada sama
sekali penunggunya, maka tempat tidur itu nggak pernah ditiduri dan belum jadi
tempat baru bagi hantu yang nggak punya tempat tidur untuk dihuni. “Lalu kenapa
kau ingin mengundang mereka?”
“Dia tidur di
sofa kata hantu rumah itu. Wanita aneh.”
Sesampainya di
rumah, aku melihat Ibu yang baru turun dari mobilnya. Aku mendekatinya dan Ibu
terlihat heran mengapa aku berada di luar karena aku memang jarang terlihat
berada di luar oleh Ibu pada jam segini. Aku berbohong bahwa aku keluar karena
merasa bosan di rumah dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Ibuku nggak
menanyakan hal itu lebih lanjut. Baru saja kami masuk ke dalam rumah, telepon
berdering. Ibuku pergi untuk mengangkatnya dan aku pergi ke kamarku.
Di kamar,
Clara menjelaskan dengan lebih terperinci kenapa dia mengundang hantu-hantu
dari ketiga tempat itu. “Hantu-hantu itu telah ada ketika peristiwa itu
terjadi. Mungkin mereka mengetahui juga sesuatu tentang misteri rumah ini.”
Aku mengangguk
paham. “Benar juga. Aku nggak berpikir ke situ. Tapi apa aku harus menyediakan
makanan dan minuman untuk mereka? Menyan atau darah ayam hitam mungkin?” aku
nggak bermaksud menyindir dengan perkataan terakhir itu, tapi Clara kayaknya
merasa tersindir.
“Uh!” Clara
menggembungkan pipinya, membuat dia terlihat menggelikan. Kau pasti berpikiran
yang sama denganku kalau kau melihatnya secara langsung. Maksudku dengan mata
yang hanya sebelah, tanpa alis, muka melepuh dan bibir yang pecah-pecah.
Tiba-tiba aku teringat dengan mimpi yang kudapat di ruangan di bawah tempat
tidurku. Seorang berjubah dan bertopeng mencungkil bola mata seorang anak yang
dijadikan korban ritual. Aku benar-benar penasaran siapa anak itu, tapi aku
yakin aku akan tahu nanti. “Kami nggak makan dan minum yang begituan!” ujar
Clara. Dari suaranya dia terdengar sangat terhina sekali dengan perkataanku
tadi.
“Ya maaf deh.
Habisnya kupikir asap kemenyan yang sering dipakai dukun-dukun itu untuk kalian
para hantu,” kataku berusaha membela diri.
Clara
menggeleng cepat. “Nggak, itu salah. Kami hantu, kami nggak makan atau minum.
Kau hanya tinggal menyediakan tempat saja dan ingat pertemuan ini dimulai tepat
tengah malam. Sebenarnya aku menolak,
tapi mereka maunya jam segitu, jadi aku dengan terpaksa mengikuti kemauan
mereka.”
“Apa pertemuan
ini akan lama?”
“Nggak.
Rata-rata dari mereka masih hantu tingkat lima walau ada juga yang tingkat
enam. Mereka yang masih tingkat lima nggak bisa pergi jauh lama-lama jadi kami
sepakat bahwa pertemuan ini mungkin hanya akan memakan waktu sejam atau dua jam
saja.”
Aku mengangguk
dan teringat kalau aku belum makan dan mandi. Terdengar suara teriakan dari
Ibuku yang menanyakan apa aku sudah makan. Jadi aku turun ke bawah bersama
Clara. Walau hantu nggak makan atau minum, Clara sering menemaniku makan.
Pokoknya sekarang dia menemaniku ke mana saja kecuali ke kamar mandi.
Sepertinya kami sudah jadi teman akrab sekarang. Ya, teman akrab.
Guncangan
pelan di bahuku membuatku terbangun dari tidur. Aku membuka mataku dan melihat
senyum lebar Clara. “Sudah waktunya. Mereka sebentar lagi datang,” ujarnya.
Aku menguap
lebar dan mengucek-ngucek mata. “Oh, sudah tengah malam?”
Clara
mengangguk senang. “Oh, aku rasa mereka sudah sampai.”
Perkataan
Clara memang benar. Sesosok hantu menembus pintu kamarku diikuti dengan sosok
lainnya. Mataku nggak berkedip dan kantukku lenyap seketika tatkala aku melihat
banyak hantu disekitarku. Ada dua hantu anak-anak, tiga hantu orang dewasa, dan
satu hantu nenek-nenek. Ditambah Clara jumlah hantu di kamarku menjadi tujuh.
Belum pernah aku melihat begitu banyak hantu dalam satu ruangan seperti
sekarang. Mereka semua menatapku yang terbengong-bengong melihat kedatangan
mereka. Clara memperkenalkan satu persatu hantu-hantu tersebut. Untuk lebih
mempermudah penjelasan kalian aku membuat daftar dari hantu-hantu tersebut.
Daftar Hantu
Undangan Clara
1. Kevin. Hantu anak umur delapan tahun dan
berwajah sinis serta sombong, mengingatkanku dengan Tiara versi cowok. Cuma
bedanya Kevin punya wajah yang tampan. Sayang dia masih begitu muda untuk
meninggal. Dia berasal dari rumah Oma Hellen, mungkin saja dia cucunya Oma
Hellen. Dia meninggal pada tahun 1987, persis setahun sebelum Claudia
meninggal. Dia meninggal dengan damai di atas tempat tidurnya, makanya
penampilannya nggak menyeramkan.
2. Kemala. Hantu anak-anak yang berusia lima
tahun. Tragis, dia dibunuh dengan cara disekap dengan kain oleh Ibunya yang
ternyata sakit jiwa. Dia meninggal pada tahun 1983, lima tahun sebelum Claudia.
Dia berasal dari rumah Pak Abdullah yang baru kuketahui punya saudara gila
hingga tega membunuh anaknya sendiri.
3. Septiadi atau Septian. Hantu berumur 23
tahun. Dulunya bekerja di bagian marketing di sebuah perusahaan tapi meninggal
karena tertabrak mobil pada tahun 1986, dua tahun sebelum Claudia. Karena nggak
mau kembali ke alam baka, dia kembali ke tempat tidurnya sendiri dan dia
merupakan hantu dari rumah Oma Hellen. Septian bilang dia masih punya ikatan
saudara dengan Oma dan tinggal sebentar di rumahnya. Karena korban kecelakaan,
dia punya banyak luka dan darah kering terlihat menghiasi sebagian wajah dan
beberapa anggota tubuh lainnya.
4. Kristi Evita. Hantu perempuan berumur 27
tahun dan bekerja di bank. Meninggal pada tahun 1985 sebagai korban pembunuhan
dan juga perkosaan oleh sekelompok preman. Dia nggak punya tempat untuk dihuni
dan nggak mau kembali ke alam baka, jadi dia menunggui salah satu tempat tidur
di salah satu kamar yang nggak pernah terpakai di rumah Pak Abdullah. Masih
terlihat pisau yang menancap di dadanya dan juga goresan memanjang di tangan
dan kakinya. Dan dia juga nggak berhenti-hentinya menangis.
5. Marcus Syahwan. Hantu laki-laki
berperawakan gendut tapi sikapnya seperti seorang pejabat berumur 35 tahun. Dia
dulunya adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Dia meninggal pada tahun
1986 karena makanan yang diantar ke kamarnya ternyata telah diberi racun
mematikan. Dia terbilang baru di rumah Pak Abdullah karena di tempat tidurnya
di rumahnya sendiri telah ditempati hantu lain yang jauh lebih kuat darinya
sehingga dia terpaksa pindah dan pilihannya jatuh ke salah satu kamar tidur di
rumah Pak Abdullah yang ternyata masih memiliki tempat tidur yang nggak
berpenghuni (dari sini aku mulai berpikir berapa kamar kosong dan tempat tidur
yang nggak pernah terpakai di tempat Pak Abdullah).
6. Nenek Mira. Dia merupakan Ibu dari Kakek
Dahlan. Ibu Kakek Dahlan meninggal pada tahun 1984 di usia 68 tahun dengan
tenang di tempat tidur yang sekarang dipakai Kakek Dahlan yang sedang sakit dan
hantu Ibunya ternyata selalu menemaninya. Nenek Mira benar-benar hantu yang
baik dan sopan khas hantu nenek-nenek lainnya. Dan dari semua hantu yang
diundang Clara, cuma Nenek Mira yang aku sukai.
“Oke, semuanya
sudah berkumpul.” Clara memberi isyarat kepada kami semua untuk memulai acara.
Dia berdehem dan berkata, “Kalian semua sudah mati sebelum terjadi peristiwa di
rumah ini. Bisa kalian ceritakan apa saja yang kalian ketahui mengenai rumah
ini kepada Bianca?” Clara layaknya sudah seperti presenter di TV.
“Aku nggak
suka dia!” suara cempreng Kevin terdengar. Dia memandangku sinis dari bawah
sampai atas. “Untuk apa kita harus memberikan dia informasi?”
“Agar kita
secepatnya dapat memecahkan misteri ini Kevin,” ujar Clara dengan penekanan pada
nama Kevin. Kevin hanya menjulurkan lidahnya ke arah Clara.
“Aku
melihatnya langsung!” kali ini si kecil Kemala yang berbicara. “Aku lihat ada
polisi datang dan ada seorang anak perempuan, oh bukan dua anak perempuan!”
Jelas Kemala
masih terlalu kecil untuk ditanyai hal-hal seperti ini. Aku bingung kenapa
Clara mengundangnya ke sini, tapi aku tersenyum saja mendengar perkataannya.
Kevin pun nampaknya mengibarkan bendera perang kepadaku, jadi aku juga nggak
akan menanyainya. Aku memandang Septiadi. Hantu pemuda 23 tahun itu memandangku
dengan matanya yang sayu. Darah kering yang masih membasahi wajahnya membuatku
agak sedikit ngeri juga. “Apa yang Kak Septian ketahui tentang rumah ini?”
“Nggak
banyak,” jawabnya datar. “Aku sudah mati ketika peristiwa itu terjadi. Ibu
Angela dan suaminya Alfred memang punya anak kembar, Claudia dan yang satu
lagi….” Dia terlihat bingung untuk sesaat, “Entahlah, aku nggak tahu, Clarissa
barang kali. Dan yang meninggal itu Claudia, tapi entah kenapa aku rasa bukan
dia yang meninggal dengan tenang pada waktu itu.”
“Oh ya?” aku
mulai tertarik berbicara padanya. “Teruskan.”
“Claudia dan
kembarannya itu sangat mirip sehingga agak susah dibedakan. Tapi hanya
perasaanku saja tapi aku yakin bahwa yang meninggal itu bukan Claudia dan yang
hilang itu bukan kembarannya. Bisa jadi yang meninggal itu kembarannya Claudia
sedangkan yang hilang itu Claudia.”
“Aku sudah
bertemu dengan hantu Ibu Angela dan dia sangat yakin bahwa yang meninggal itu
Claudia bukan kembarannya,” kataku dan Kak Septiadi langsung bingung.
“Mungkin,”
sela Marcus, “Ibu Angela dipaksa untuk mengakui bahwa yang meninggal itu adalah
Claudia.”
Aku menoleh ke
arah Marcus. “Siapa yang memaksanya? Dan untuk apa?”
“Ini hanya
pendapatku saja tapi Ibu Angela takut pada suaminya, Alfred. Buktinya dia tidak
marah sama sekali ketika Alfred beristri lagi. Sejak dulu ada rumor bahwa
Alfred nggak menyukai anaknya Claudia, karena anak itu kerjanya cuma bisa bikin
onar dan malu keluarga.”
“Itu tidak
mungkin,” sergahku. “Kata pembantu rumah yang dulunya bekerja kepada mereka,
Claudia adalah anak yang pintar melukis dan sering dapat juara melukis. Nggak
mungkin si Alfred ini nggak menyukainya!” tentu saja semua orang tua ingin
anaknya berprestasi dan apabila memang si Alfred nggak suka pada anak yang
berprestasi, pastilah dia sudah kurang waras.
“Tapi
seingatku yang pintar melukis itu kembarannya. Aku lupa namanya, seingatku dia
memang jarang keluar dan bergaul dengan penduduk sekitar.” Septiadi, Kristi dan
Nenek Mira mengangguk membenarkan.
Aku menanyai
mereka yang lainnya lagi, tapi tetap saja nggak terlalu banyak membantu.
Setelah hampir dua jam mereka di sini, mereka pun pamit pulang. Sebenarnya aku
ingin menanyai mereka tentang ritual yang dilakukan oleh seseorang di rumah
ini, tapi sepertinya aku tetap harus menyembunyikan hal itu dulu sampai
semuanya menjadi lebih jelas. Aku kembali beranjak untuk tidur pada jam dua
lewat lima belas ketika sebuah suara isakan memilukan dan kata-kata ‘Ibu, Ibu
kenapa kau melakukan ini?’ kembali terdengar untuk kedua kalinya dari ruang
bawah di kamarku. Clara pergi mengantar tamu-tamunya ke tempat mereka
masing-masing dan aku sendirian di kamar ini bersama suara dari hantu korban
ritual. Aku menyembunyikan diriku di dalam selimut dan merasakan seluruh tubuhku
bergetar karena ketakutan. Suara itu kemudian lama-lama semakin pelan dan
kemudian lenyap, sama seperti yang pernah terjadi.
Suasana kamar
kembali menjadi senyap.
Pagi harinya
aku merasakan bahuku kembali diguncang-guncang. Ketika aku membuka mata dengan
susah payah, aku melihat Ibu yang tengah berkacak pinggang menjulang di
hadapanku. “Bangun, Bianca!” ujarnya sambil menarik selimutku. “Ini sudah jam
setengah tujuh lho, entar terlambat ke sekolah lagi!”
Mendengar kata
jam setengah tujuh, mataku langsung melek. “Wah, aku terlambat!” pekikku dan
segera berlari ke arah kamar mandi. Sial! Kalau aku nggak tiba di sekolah
setengah jam lagi, maka aku nggak akan diperbolehkan masuk. Padahal hari ini
ada ulangan!
Aku
menyelesaikan mandi, berganti pakaian,dan sarapan dalam waktu dua belas menit.
Rekor baruku sudah tercipta. Aku menyuruh Ibu untuk lebih cepat karena lima
menit lagi pagar sekolah akan ditutup. Ibuku memarahiku di sepanjang perjalanan
ke sekolah yang untungnya nggak memakan banyak waktu. Dia menyalahkanku atas
hal ini karena aku yang terlambat bangun dan mengira bahwa aku mungkin punya
penyakit sulit tidur atau insomnia yang langsung aku sanggah. Sampai kapanpun
aku nggak akan pernah mau punya penyakit kayak gitu. Aku sampai di sekolah
tepat pada saat satpam kami hendak menutup pagar. Aku langsung menyelinap masuk
dan berlari ke kelas.
Hal itu
terjadi beberapa jam yang lalu dan sekarang aku sedang berada di taman sekolah
dekat dengan lapangan olahraga. Aku sedang berusaha menyusun kesimpulan dari
semua informasi yang kudapat baik dari manusia maupun dari hantu. Kupandangi
lagi buku catatanku dan meneliti setiap cerita dari mereka semua. Rata-rata
mereka semua memberikan informasi yang sama seperti bahwa Alfred dan Ibu Angela
punya anak kembar dan Alfred menikah lagi. Tidak ada yang menyebut-nyebut
tentang ritual. Pasti ritual itu benar-benar disembunyikan dengan sangat baik
dari perhatian orang-orang. Namun setelah lebih kuteliti lagi aku menemukan
sebuah fakta yang menarik.
Dari semua
orang dan hantu yang kutanyai. Mereka menyebut nama Clarissa di samping nama
Claudia. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa saudara kembar Claudia bernama
Clarissa tapi dengan nada yang nggak yakin. Aku jadi bingung beberapa saat
sampai keterangan dari Pak Marcus menarik minatku. Dia bilang bahwa kembaran
Claudia itu orangnya sangat tertutup dan jarang bergaul dengan warga. Mungkin
itulah penyebab kenapa Clarissa dilupakan orang. Kau tentu melupakan sesuatu
yang nggak terlalu kau kenal dalam hidupmu kan? Maka dari situ kutarik
kesimpulan bahwa saudara kembar Claudia itu bernama Clarissa.
Mungkin Paman
Bibir Tebal tahu mengenai ini. Dia kan sudah berada di rumah itu selama enam
bulan sebelum kematian Claudia terjadi. Dia pasti menyembunyikan sesuatu dan
aku akan memaksanya untuk ngomong yang sejujurnya.
Sehabis jam
pelajaran terakhir dan guru kami sudah keluar kelas, Andi maju ke depan dan
mulai berdehem, tanda dia akan ngomong panjang dan serius. “Sesuai dengan
rencana kita. Kita akan mendatangkan pengusir hantu untuk mengusir hantu jail
yang menganggu kita. Sekarang, sudah waktu pulang sekolah. Pengusir hantu itu
akan datang sebentar lagi.”
Aku lupa
dengan rencana kelas kami untuk mengusir Clara dari sini. Namun yang mereka datangkan
adalah seorang pengusir hantu yang sama sekali nggak bermutu. Clara yang sedari
tadi di sampingku, hanya bisa tertawa terkikik-kikik melihat anak-anak begitu
bersemangat untuk mengusirnya dengan menggunakan jasa pengusir hantu lemah yang
konyol. Suara ribut-ribut anak-anak segera hilang ketika dua orang yang sudah
kukenal memasuki ruangan kelas bagai selebriti memasuki red carpet. Si Supradi
dan asistennya Jalil.
“Saya bisa
merasakan,” kata si Supradi tanpa basa-basi dan matanya jelalatan melihat sekeliling
ruangan kelas. “Anak-anak lebih baik kalian keluar. Hantu yang menghantui kelas
ini sangat kuat.”
Teman-temanku
nggak perlu disuruh dua kali untuk keluar dan pintu kelas langsung ditutup dengan Jalil .
Semuanya keluar, kecuali aku yang masih terpaku di tempat dudukku dengan senyum
kecil yang menghiasi wajahku. Si Supradi langsung melotot begitu melihatku ada
di sini dan entah kenapa dia marah. “Anak kecil yang sama lagi!” dia berkacak
pinggang, “Ibumu benar-benar tidak waras! Dia marah hanya karena kami menyampah
di dalam rumah.”
“Ibuku nggak
gila!” aku berdiri dan ikut-ikutan berkacak pinggang. “Justru kalian yang gila!
Siapa pun pasti akan marah kalau melihat ada orang asing yang menyampah di
rumah mereka!”
Perkataanku
malah membuat si Supradi bertambah marah. Dia menggeram dan mukanya menunjukkan
ekspresi kalau dia mau menerkamku. “Dasar anak kurang ajar! Kau tahu kalau
bukan kami yang menyampah! Hantu di rumahmu itu yang melakukannya dan aku
berjanji kalau dia ada di sini maka aku akan mengirimnya ke alam baka!”
“Ah, nggak
mungkin bisa!” aku tertawa kecil, merasa bahwa anak-anak yang berkumpul di luar
pada melihat kami dari jendela dengan tampang bingung campur takut. Bingung
dengan aku yang berani menantang pengusir hantu tersebut dan takut dengan
kemarahan si pengusir hantu yang mukanya udah memerah seperti setan.
Clara
menampakkan dirinya dengan cara merangkak di langit-langit. Darah yang keluar
dari luka akibat tusukan dua pisau itu menetes satu demi satu di depan wajah si
Supradi, membuat dia menoleh ke atas. Matanya serasa akan keluar dari rongganya
ketika melihat Clara menempel di langit-langit. Clara menyeringai menampakkan
gigi-gigi taringnya yang berwarna hitam kemudian dia meludah di kepala Supradi.
Ludah Tiara
menjadi api kecil yang membakar sebagian rambut Supradi dan dia langsung panik
setengah mati. Jalil segera membantunya dengan menyiram sebotol air mineral ke
kepalanya. Clara dan aku sama-sama tertawa puas, benar-benar asyik mengerjai
pengusir hantu ini. Clara melempar bola mata kanannya dengan keras dan berhasil
menimpuk kening si Jalil. Jalil yang pendiam, mengambil benda yang menimpuknya
dan langsung terkejut karena benda itu adalah bola mata. Si Supradi yang sudah
basah, segera duduk bersila dan mulutnya komat-kamit membaca mantra. Tangannya
dia satukan di depan dada. Clara nggak membiarkan meditasi si Supradi berjalan
dengan tenang. Dia segera melompat dan megeluarkan taringnya yang panjang kemudian mencakar
badan Supradi. Kontan Supradi kaget dan dia berjalan mundur bersama Jalil ke
arah pintu. Anak-anak yang sedari tadi mengintip dari jendela, terkejut melihat
dua pengusir hantu yang nampaknya ketakutan.
Clara
menyerang lagi. Kali ini dia melompat dengan cepat dari satu sudut kelas ke
sudut yang lain. Itu semua dilakukan dengan sangat cepat, membuat dua pengusir
hantu itu bingung dan pusing. Aku mulai tegang. Apa yang akan dilakukan Clara?
Clara berhenti tepat di depan mereka dan menyemburkan cairan berwarna kuning
pucat ke arah dua orang itu. Aku tahu cairan itu. Itu cairan yang bisa membuat
kulit manusia melepuh. Bersyukurlah karena dua pengusir hantu itu memakai baju
panjang, tapi tetap saja membuat mereka berteriak kepanasan. Namun itu semua
juga belum cukup buat Clara. Dia mencakar kedua orang itu dengan ganas. Baju mereka
koyak-koyak, darah mereka mulai keluar dari badan dan juga muka mereka.
Anak-anak yang
melihat dari luar berteriak ketakutan dan beberapa anak perempuan menutup mata
nggak sanggup melihat adegan pencakaran gaib di depan mata mereka sendiri.
Jujur, aku juga takut. Clara benar-benar jahat dan sadis! Seharusnya dia nggak
melakukan sampai sejauh itu, itu sudah keterlaluan! Aku ingin menghentikannya,
tapi, aku menggigit bibir. Aku nggak bisa menghentikan Clara! Clara nggak mau
disuruh berhenti apabila dia sedang melakukan hal yang dia sukai.
Si Supradi dan
asistennya segera berlari keluar kelas dengan banyak cakaran di tubuh mereka.
Mereka benar-benar nggak berdaya dan beberapa anak yang berusaha mengejar
mereka langsung terpekik kaget ketika melihat mereka jatuh dari tangga. Andi,
yang juga ikut mengejar mereka langsung turun dari tangga dan menghampiri kedua
orang itu. Ternyata dua pengusir hantu itu telah meninggal. Tubuh Supradi
menimpa tubuh asistennya, Jalil. Mereka pasti saking tergesanya nggak menyadari
bahwa kelas kami berada di lantai dua dan mereka nggak melihat adanya tangga
dan akhirnya jatuh.
Aku mendengar
tentang meninggalnya dua orang itu dan aku langsung melotot ke arah Clara yang
hanya menutup mulutnya. “Lihat akibat perbuatanmu!” Aku benar-benar marah
kepadanya dan juga kepada diriku sendiri karena nggak berani menghentikan
perbuatannya tadi. “Sekarang mereka berdua meninggal!”
“Tapi bukan
aku yang mendorong mereka dari tangga!” bela Clara. “Mereka jatuh sendiri!”
“Ya, tapi kau
kan yang mencakar mereka. Mereka sebenarnya sudah sekarat dan tanpa sadar
mereka jatuh dari tangga!” aku menunjuk-nunjuk Clara dengan marah. Untung saja
semua anak sedang tersedot ke arah tangga tepatnya ke arah dua pengusir hantu
yang meninggal itu. Aku masih dapat mendengar suara orang-orang yang panik dan
ribut di luar sana.
Clara hanya
diam saja tapi kembali bersuara dengan keras sekali sampai menggetarkan seisi
kelas, “Aku benci mereka! Mereka sangat sok sekali seakan-akan mereka pengusir
hantu yang paling hebat, tapi ternyata mereka nggak bisa apa-apa! Menyebalkan
sekali orang seperti itu!”
Aku diam saja
mendengar pernyataan Clara. Bukan nggak bisa membantah perkataannya, hanya
takut akan kemungkinan bahwa dia juga nggak akan segan-segan menyakitiku. Aku
masih teringat dengan perkataan Ibu Angela mengenai Clara. Itu membuatku
bergidik.
Clara membuang
muka dari hadapanku dan akhirnya menghilang meninggalkanku yang masih terpaku
di tempat.
Rasanya sudah
lama sekali aku nggak bertemu dengan Ibu Angela. Mungkin benar kata Clara kalau
dia dan suaminya adalah hantu nomaden, suka berpindah-pindah tempat. Clara
nggak ada di sampingku, aku bahkan nggak bisa merasakan hawa kehadirannya yang
biasanya bisa kurasakan dengan mudah. Sepertinya dia nggak ada di rumah ini, mungkin
dia pergi ke suatu tempat. Dia masih marah kepadaku dan aku nggak yakin berapa
lama dia seperti itu. Aku merasa jadi kesepian karena biasanya pada jam segini
aku berbincang-bincang dengan Clara mengenai masalah hantu dan rencana kami.
Aku nggak tahu
apa yang akan terjadi di sekolah besok. Yang jelas berita kematian dua pengusir
hantu itu akan jadi bahan pembicaraan semua warga sekolah dan masuk ke surat
kabar. Karena bosan, aku membuka laci-laci meja belajarku dan menemukan sesuatu
yang sempat kulupakan. Sebuah artikel koran bertanggal 29 September 1988
tentang seorang istri yang menderita penyakit kejiwaan membunuh suaminya
sendiri. Tahunnya sama dengan kematian Claudia, tapi sampai sekarang aku belum
tahu bulan dan tanggal tepatnya Claudia meninggal. Mungkin Paman Bibir Tebal
tahu. Aku akan menanyakannya pada saat acara minum teh sore. Ibu pasti
bertanya-tanya kenapa aku ikut minum teh bersama karena biasanya aku selalu
menolak kalau diajak untuk minum teh sore. Aku nggak terlalu suka teh, tapi
kalau acara itu diganti jadi acara minum milkshake sore, mungkin aku akan
dengan senang hati mengikutinya.
Sayangnya
acara minum teh itu sudah ada sejak nenekku masih kecil dan aku kurang yakin
apa sudah ada milkshake pada jaman dia masih kecil.
Paman Bibir
Tebal selalu datang untuk minum teh sore bersama Ibu walau sore itu hujan
lumayan lebat. Dia datang bersama anak bungsunya, Adi, atau harus kupanggil Kak
Adi untuk menjaga kesopanan. Aku berkata kepada Ibu bahwa aku juga akan ikut
acara minum teh dan Ibuku seperti terkena serangan jantung mendengarnya. Ya
ampun, Ibuku itu memang terlalu berlebihan. “Aku hanya menyiapkan tiga teh dan
karena kau mau ikut, aku harus menyiapkannya juga untukmu. Seharusnya kau
bilang lebih awal, Bianca.” Ibuku mengambil gelas lain dari dalam lemari dapur.
“Panas atau dingin?”
“Biasanya
kalian minum teh panas atau dingin?”
“Kami yang
sudah tua ini lebih suka teh panas, apalagi di waktu hujan lebat ini.” Aneh
rasanya Ibuku mengakui kalau dia sudah tua dan perkataannya yang pertama tadi
benar-benar nggak penting untuk dibicarakan. Kalau seandainya aku membatalkan
niatku untuk minum teh bareng, apa Ibu akan kesal karena tehku sudah terlanjur
dibuat?
“Baiklah kalau
begitu aku minta teh panas,” kataku dan berjalan menuju ruang tamu. Sudah ada
Paman Bibir Tebal dan Kak Adi. Ini untuk kedua kalinya aku bertemu Kak Adi dan
wajahnya tetap datar dan menyebalkan. Paman Bibir Tebal tersenyum kepadaku.
“Nggak biasanya aku melihatmu sore-sore begini.”
Aku mengambil
posisi duduk di kursi di sebelah Kak Adi. “Ya, aku akan ikut acara minum teh
sore.”
“Tumben
sekali.” Paman Bibir Tebal memandangku heran. “Kata Ibumu kau nggak suka dengan
tradisi ini.”
“Seingatku Kak
Adi juga baru pertama ini ikut acara minum teh sore,” cibirku. Kak Adi hanya
diam saja. Tampangnya yang sok nggak berdosa itu benar-benar nggak enak untuk
dipandang. “Lagian apa paman nggak punya kerjaan sehingga tiap hari harus ikut
tradisi turun temurun keluarga Ibuku ini? Mana istri paman? Kenapa dia nggak
marah paman pergi ke sini untuk minum teh dengan Ibu dan dia nggak paman ajak?”
aku menanyainya dengan sindiran yang sangat jelas.
Muka Paman
Bibir Tebal memerah karena malu. Ibu datang membawa nampan berisi empat cangkir
teh dan mengedarkannya ke kami. Dia sendiri duduk menghadap Paman Bibir Tebal
dan Kak Adi. Aku ingin tahu apa yang dibicarakan Ibu dengan Paman Bibir Tebal
kalau sedang minum teh sore.
“Hari ini
hujan cukup lebat dan Anda masih bisa datang. Saya sangat menghargainya,” kata
Ibuku memulai pembicaraan. Dia tersenyum manis sekali.
Muka Paman
Bibir Tebal memerah dan aku tahu dia terpesona dengan senyum Ibuku. “Nggak
apa-apa Bu. Ini sudah jadi semacam
tradisi yang entah kenapa saya menyukai tradisi ini.” Paman Bibir Tebal juga
tersenyum pahit sekali.
Apa-apaan ini?
Nggak mungkin kan Paman Bibir Tebal menyukai Ibuku? Jarak umur mereka bagiku
terlalu jauh! Ibuku berumur 33 tahun, sedangkan Paman Bibir Tebal 49 tahun!
Jelas aku nggak akan sudi dia menjadi ayah tiriku! Selain itu mukanya nggak
bisa disejajarkan dengan aktor-aktor semacam Leonardo di Caprio ataupun Orlando
Bloom atau Christian Sugiono. Bahkan disejajarkan dengan Sule pun, dia sama
sekali nggak pantas. Belum lagi pertimbangan bahwa Adi akan menjadi kakak
tiriku. Bayangkan pemuda dingin dan cuek itu? Aku sama sekali nggak mau! Dan
aku juga yakin Ibuku nggak akan mau disukai olehnya. Ha! Cinta Paman Bibir
Tebal bertepuk sebelah tangan!
“Tadi ada dua
orang yang meninggal di sekolah Bianca.” Ibuku memulai ceritanya. Aku memang
menceritakan hal itu kepadanya. “Mereka adalah pengusir hantu dan berniat untuk
mengusir hantu di kelas Bianca. Namun mereka keluar dari kelas dengan muka dan
tubuh penuh cakaran dan akhirnya jatuh dari tangga.”
Paman Bibir
Tebal menunjukkan muka prihatin, sementara Kak Adi masih tetap nggak
berekspresi. “Kasihan sekali. Memangnya benar ada hantu di kelasmu Bianca?” dia
sekarang menoleh ke arahku.
Aku mengangkat
bahu dan menjawab sekenanya, “Kata teman-temanku ada hantu. Tapi aku nggak
pernah dijahili oleh hantu.”
“Saya tidak
percaya dengan hantu, Pak Kasim. Bagaimana dengan Anda?” Ibuku mengipasi tehnya
yang masih panas. Aku pun baru teringat bahwa nama Paman Bibir Tebal adalah
Kasim. Baiklah, aku akan mengingat nama itu.
“Dibilang
percaya mungkin juga, tapi selama saya hidup saya nggak pernah melihat hantu
secara langsung.” Paman Bibir Tebal atau Pak Kasim berhenti untuk meminum
tehnya. Kemudian dia melanjutkan, “Namun saya yakin mereka berada di antara
kita.”
Ibuku mengangguk
dan berpaling ke arahku. “Kenapa kau nggak minum tehmu?”
“Tehnya masih
panas,” jawabku santai. Memang benar kok tehnya masih panas.
“Bianca, teh
itu tidak akan terasa enak lagi kalau sudah dingin,” Ibuku mengingatkan.
“Tapi tehnya
masih panas, Bu. Aku nggak mau mengorbankan lidahku.” Aku menjulurkan lidah ke
arah Ibu dan Ibu langsung melotot.
“Hah, Bianca
anak yang lucu ya?” Paman Bibir Tebal tertawa kecil. Aku berpaling kepadanya
dan ingin memprotes apa yang dikatakannya, tetapi Ibuku keburu memotong.
“Dia bukannya
lucu, dia anak yang nggak sopan dan sedikit kurang ajar juga keras kepala. Saya
rasa itu pasti keturunan ayahnya.” Ibuku sendiri juga keras kepala, tapi dia
nggak mau mengakuinya.
Percakapan ini
berlanjut dengan pembicaraan tentang politik. Aku nggak tahu Paman Bibir Tebal
tahu banyak tentang politik karena wajahnya sama sekali nggak menunjukkan
apapun tentang itu. Aku malah berpikir bahwa Paman Bibir Tebal hanya lulusan
SMP makanya dia bekerja sebagai pelayan dan sekarang penjaga rumah ini. Kak Adi
nggak berbicara dari tadi dan hanya memandangi Ibu dan Paman Bibir Tebal
mengobrol.
Ada jeda
sesaat ketika Ibu dan Paman Bibir Tebal minum teh mereka yang ketiga sore itu.
Jeda ini adalah kesempatanku untuk menanyai kapan persisnya Claudia meninggal.
“Paman Kasim,” mulaiku yang akhirnya dapat juga memakai namanya dalam
percakapan, “Begini, aku ingin tahu lebih banyak tentang kematian Claudia.
Kapan tepatnya dia meninggal?”
“Bianca!” seru
Ibuku. “Kenapa kau menanyakan itu?”
Wajah Paman
Bibir Tebal terlihat kaget mendengar pertanyaanku, tapi dengan tenang dia
menjawab, “Kalau kau benar ingin tahu. Nona Claudia meninggal tanggal 25
September 1988. Memangnya kenapa?”
“Nggak ada
apa-apa,” kataku berbohong. Aku meminum tehku yang memang sudah dingin dan
memikirkan perkataan Paman Bibir Tebal. Tanggal di koran adalah 29 September
1988 sedangkan Claudia meninggal tanggal 25 September 1988. Kira-kira apa
hubungan dari kedua hal ini? Aku mencoba menghubungkannya tapi rasanya nggak
ada hubungannya sama sekali. Mungkin memang nggak ada hubungannya, tapi kenapa
artikel koran itu disimpan di kardus barang bukti?
Semua ini jadi
semakin sulit.
Malam harinya
aku duduk-duduk di teras di belakang rumah yang terdapat sebuah pohon besar
yang sangat familiar bagiku karena aku melihatnya setiap hari dari jendela di
dekat tempat tidurku dan setiap bangun aku melongok dari jendela untuk melihat
adakah tanda-tanda Ibu Angela akan datang.
Clara
nampaknya masih ngambek jadi dia nggak ada di sampingku, membuatku bertambah bosan.
Nggak ada sama sekali yang bisa kuajak ngobrol di sini. Ibu selalu menyuruhku
untuk bergaul dengan anak-anak di wilayah ini namun aku sama sekali nggak
tertarik. Sepertinya aku lebih baik bersosialisasi dengan hantu daripada dengan
manusia nyata. Entah berapa lama aku terdiam ketika sesosok hantu muncul di
depanku. Aku hampir terjungkang kebelakang melihat hantu itu yang tiba-tiba
muncul dan rasanya samar-samar aku kenal wajahnya walau sebagian wajah itu
telah rusak dan berdarah-darah.
“Akhirnya aku
bisa juga menemuimu,” ujar hantu wanita tersebut. “Hantu yang selalu
mendampingimu itu sedang tidak ada jadi aku bebas untuk bicara denganmu.”
“Siapa ya?”
aku menunjuk sambil mengangkat sebelah alisku dan dia terlihat sangat kesal
dengan kelakuanku.
“Masa kau
tidak kenal? Aku Ibu Rahayu yang mati karena kecelakaan,” jawabnya sambil
menggeram.
Sekarang baru
aku ingat siapa dia. Ibu Rahayu, si gelandangan dan orang gila yang suka
berkeliaran di wilayah ini ketika masih hidup. “Ibu kan yang berteriak-teriak
di depan rumahku? Apa yang Ibu maksud dengan kutukan pada waktu itu?”
“Rumahmu ini
mengandung kutukan. Istri kedua Alfred, pemilik terdahulu dari rumah ini adalah
tukang sihir! Dia sangat jahat dan sampai sekarang dia masih hidup dan polisi
tidak tahu dia berada di mana.” Ibu Rahayu mendengus dan berbicara lagi,
“Selain itu dia juga gila. Dia tega membunuh Alfred, suaminya sendiri.”
Aku terbelalak
saking terkejutnya mendengar informasi yang sangat baru dari Ibu Rahayu.
Ternyata dia tahu lebih banyak mengenai pemilik terdahulu rumah ini. “Darimana
Ibu tahu mengenai hal itu?”
Dia sekarang
menampakkan wajah puas karena akhirnya aku sudi untuk mendengarkannya. “Tentu
saja aku tahu. Istri kedua Alfred, Marsita, adalah saudaraku. Bisa dibilang dia
adalah kakak tertuaku. Kakakku menikah muda dengan suaminya yang terdahulu
yaitu pada usia 18 tahun dan pernikahan itu dirahasiakan dari keluarga karena
kakakku hamil di luar nikah. Jadi kakakku menyusun rencana bahwa dia akan
menikah di Singapura tanpa sepengetahuan ayah dan ibu dan hanya aku saja yang
tahu rencana itu. Ayah dan ibuku hanya tahu bahwa kakakku melanjutkan kuliah di
Singapura. Dua tahun kemudian, kakakku kembali ke Indonesia dan memberitahuku
bahwa dia dan suaminya sudah bercerai dan dia juga sudah punya anak perempuan
yang sekarang dirawat oleh paman dan bibi di sana. Dia tidak mungkin membawa
anaknya ke Indonesia karena orang tua kami pasti akan tahu. Dia juga sudah
menyuruh paman dan bibi untuk tidak memberitahukan perihal anaknya kepada siapa
pun. Setelah dia berada di Indonesia selama seminggu, dia kembali pulang ke
Singapura.” Hantu Ibu Rahayu menghentikan ceritanya, dia mengeluarkan suara
tangisan yang aneh dan kemudian kembali melanjutkan ceritanya, “Aku nggak
bertemu lagi dengan kakakku selama sepuluh tahun setelah itu, namun pada
akhirnya dia pulang bertepatan dengan tahun baru. Namun dia jadi aneh. Dia
mulai berbicara mengenai ritual kuno dan lembaran sakramen yang kami semua
tidak mengerti. Terkadang dia mengurung diri di kamar sambil membaca sesuatu
dalam bahasa asing, Inggris dan Latin menurutku, dan matanya selalu kosong. Aku
tidak tahu bagaimana caranya dia bisa bertemu Alfred, yang jelas Alfred
menyukainya dan mengajaknya menikah. Waktu itu usia kakakku sudah mencapai 30
tahun sedangkan Alfred 39 tahun. Pada waktu itu Juni tahun 1987, mereka
menikah. Ternyata aku baru tahu bahwa Alfred sudah punya istri namanya Angela
dan mereka pun sudah dikaruniai anak kembar, Claudia dan Clarisa. Tapi si
Angela ini kayaknya pasrah saja melihat suaminya menikah lagi begitu pula
anak-anaknya walau aku merasa ada kebencian tersendiri di mata Claudia. Dan
akhirnya Alfred mengajak kakakku tinggal bersama dia dan istri pertamanya serta
anak-anaknya dalam satu rumah.”
Cerita ini
sangat menarik. Aku rasa ini sangat membantu dalam menghadapi teka-teki misteri
rumah ini. Jadi sejauh ini kakak Ibu Rahayu, Marsita jadi aneh setelah sepuluh
tahun nggak pulang ke Indonesia. Mungkin dia adalah dalang dari adanya
pelaksanaan ritual kuno di rumahku. Pasti lembaran sakramen yang dicuri orang
itu merupakan miliknya. “Terus apa yang terjadi?” tanyaku nggak sabar mendengar
kisah berikutnya.
Ibu Rahayu
duduk di sebelahku dan mulai bercerita lagi, “Kakakku menceritakan kepada
Alfred bahwa dia sudah pernah menikah dan punya anak perempuan berumur 12 tahun
yang tinggal di Singapura. Seperti yang dia lakukan padaku, dia tidak mau
memberitahukan nama anaknya, entah kenapa. Kehidupan mereka sangat baik pada
awalnya. Kakakku dan Angela bisa berhubungan dengan baik begitu pula dengan Clarissa,
tetapi Claudia tetap nggak menyukai kakakku. Walau semenjak menikah dengan
Alfred, kakakku jauh dariku, dia masih sempat untuk menelponku atau mengirim
surat, namun awal tahun 1988, aku kehilangan kontak dengannya. Aku pernah
menulis surat kepadanya bahwa ayah dan ibu meninggal karena kecelakaan kereta
api ketika hendak berangkat ke Madiun, namun surat itu nggak pernah dibalas
sedangkan kakakku tidak mengirimkan alamat rumah barunya kepadaku. Aku menikah
dengan mantan suamiku bulan September dan ketika aku membaca surat kabar
langganan mantan suamiku, aku melihat di salah satu artikel mengenai seorang
istri yang membunuh suaminya dan di situ terpampang nama dan foto kakakku.
Menurut koran itu kakakku masih dalam pengejaran polisi dan sampai sekarang belum
ditemukan keberadaannya. Aku sama sekali nggak tahu harus mencari dimana
kakakku itu, entah dia masih hidup atau sudah mati.” Dia mengakhiri kisahnya
dengan tangisan keras yang memekakkan gendang telingaku.
“Jadi,
bagaimana dengan anaknya yang berada di Singapura? Apa sekarang dia masih
berada di sana?”
Dia berusaha
untuk menahan tangisnya sebelum menjawab, “Aku pernah menghubungi paman dan
bibiku di Singapura dan mereka mengatakan bahwa kakakku sudah membawanya ke
Indonesia awal September 1988. Ketika aku menanyai siapa nama anaknya, mereka
nggak mau menyebutkannya karena mereka dipaksa kakakku untuk nggak
memberitahukan identitas anaknya kepada siapapun.” Setelah mengatakan itu dia
menangis keras-keras lagi.
Aku diam
sambil memandangi hantu Ibu Rahayu. Wanita yang malang, aku jadi merasa sangat
jahat karena mengejeknya gila dan nggak punya otak serta pscyho. Dia datang ke
sini dan memberikan aku informasi berharga ini. Sekarang misteri ini semakin
jelas. Memang benar bahwa Clarissa adalah kembaran Claudia dan istri kedua
Alfred punya anak perempuan berumur 12 tahun, walau belum diketahui namanya.
Dan juga ritual kuno itu dilakukan oleh kakak Ibu Rahayu. Pasti wanita itu juga
yang membuat ruang rahasia di bawah kamarku. Mungkin dia melakukan ritual itu bersama
anggota sekte lainnya pada saat semua orang di rumah lagi pergi, atau mungkin
dia punya jalan lain ke ruangan itu?
Tiba-tiba aku
teringat dengan mimpi yang kudapat di ruang bawah tanah itu. Sekumpulan orang
memakai jubah hitam dan topeng. Kemudian seorang anak perempuan yang juga
dipasangi topeng bersama dengan selusin orang berjubah hitam dan bertopeng
datang. Anak itu dibaringkan di tempat tidur di ruangan itu dan seorang dari
selusin orang itu maju dan menusuk anak itu. Mengambil mata dan organ tubuh
lainnya dari anak itu. Pada waktu itu aku melihat semuanya itu dari jarak jauh
dan anak itu dikerubungi oleh orang-orang sehingga aku nggak berhasil melihat
wajah anak itu ketika topengnya dilepas.
Kalau aku
berbaring di tempat tidur di ruang bawah tanah itu lagi, akankah aku mendapat
mimpi yang sama yang mungkin bisa memperjelas semuanya. Apakah orang berjubah
dan bertopeng yang menusuk anak itu adalah kakak Ibu Rahayu? Dan apakah anak
yang dijadikan tumbal itu adalah Claudia, Clarissa, atau malah mungkin anaknya
sendiri?
Satu lagi
teka-teki yang harus dipecahkan.
TBC...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar