tag:blogger.com,1999:blog-6987079822663813402024-02-08T04:53:41.535-08:00Cerpen dan CerbungIni adalah blog berisi cerita-cerita yang kubuat sendiri. Semoga dapat berguna dan menghibur pembaca sekalian.
Terima kasih.Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-65169291542833087772016-04-29T08:56:00.001-07:002016-04-29T08:56:27.964-07:00Don't Bury Me In My Own Grave Bab 6<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <span lang="IN">Lily sudah pulang pada hari
Senin pagi. Dia mengatakan akan mengunjungiku lagi apabila dia bisa merayu bos
kami untuk kesekian kalinya agar mendapat cuti, dan ini sudah ketiga kalinya
dia mengambil cuti selama enam bulan ini yang membuatnya tidak yakin bahwa
Graham tersayang akan memberinya kesempatan untuk cuti lagi. Setelah Lily
pulang, aku bergegas untuk memulai kerja pertamaku di kantor Tuan Smith. Aku
rasa aku akan terlambat di hari kerja pertamaku. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tuan
Smith sudah menunggu sambil membaca koran dan minum segelas kopi. Belum ada
klien yang datang pada jam sembilan lewat lima belas menit pagi ini. Aku
menyapa Tuan Smith yang bermuka masam. “Apa kabar pagi ini, Tuan Smith?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kau
terlambat,” ujarnya singkat sebelum kembali menekuni koran lokal Langley Green.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
menggumamkan kata maaf dan keluar dari kantornya untuk menuju mejaku. Tidak ada
yang bisa dikerjakan pagi ini selain mengurusi dokumen-dokumen dan beberapa
surat yang masuk. Aku mengecek jadwal untuk Tuan Smith hari ini dan menyadari
sama sekali tidak ada jadwal acara untuknya. Hal ini membuatku menghela napas.
Pekerjaan seperti ini pasti akan sangat menyenangkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
jam setengah satu, Tuan Smith mengajakku untuk makan siang di luar. Ada sebuah
cafe kecil tidak jauh dari kantor pengacaranya dan dia kenal dengan yang punya
cafe. Kami mendapatkan meja yang cukup strategis, letaknya bersebelahan dengan
kaca jendela besar yang memungkinkan kami menatap pemandangan di luar. Dengan
bantuan Tuan Brawley, teman sekaligus pemilik cafe kecil yang bernama D’
Amaranthos. Amaranthos? Amaranth? Menarik sekali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ini
adalah sekretarisku yang baru, Charlotte Harriot. Dia juga baru pindah ke kota
ini,” Tuan Smith memperkenalkanku kepada Tuan Brawley yang langsung menyalamiku
dengan ramah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Apa
kabar, apa kabar, Charlotte! Senang rasanya mempunyai satu lagi pelanggan
baru!” ujarnya ceria sembari masih memegang erat tanganku. Itu membuatku agak
sedikit meringis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Terima
kasih Tuan Brawley. Senang juga berkenalan dengan Anda,” balasku dengan
mengernyit. Tuan Brawley bertangan lebar dan besar, tentu saja genggamannya
akan membuat bekas merah pada tanganku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akhirnya
pria itu melepaskan genggaman tangannya dan menepuk bahuku lembut, tetapi cukup
membuatku hampir terdorong jatuh dari kursi. “Bagaimana rasanya steak di sini, <i>Dear</i> Charlotte?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Enak
sekali Tuan Brawley. Mungkin saya akan sering-sering datang ke sini.” Aku
mengiris steak sapi dengan pisau dan memakannya. Harus kuakui bahwa steak
sapinya memang benar-benar enak. Tidak salah kenapa Tuan Smith membawaku ke
sini dan kenapa di sini begitu ramai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tuan
Brawley tertawa mendengarnya. “Aku suka dengan sekretarismu yang baru ini,
Smith. Kenapa tidak dari dulu-dulu saja dia menggantikan Jen yang malang?” Emma
Jennington adalah sekretaris lama Tuan Smith dan dia dipanggil Jen disekitar
sini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jen
bekerja bagus.” Ketika Tuan Smith mengatakan ini, dia melirik ke arahku seakan-akan
menandakan bahwa aku harus bisa sebagus Jen. “Dia sangat cekatan, memang dia
sedikit cerewet dan ngomong terlalu apa adanya, sampai-sampai tidak sadar bahwa
perkataannya menyakiti perasaan orang lain.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya,
dan dia bilang steakku seperti daging sapi busuk di depan mukaku sendiri! Aku
tahu dia mengucapkan tanpa ada maksud apa-apa, tetapi tetap saja, sialan sekali
wanita itu!” umpat Tuan Brawley yang mencengkram lap tangannya kuat-kuat. Aku
bahkan bisa melihat buku-buku jarinya yang memutih.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak
usah mengumpat seperti itu. Lagipula Jen sudah tidak ada. Dia pindah ke kampung
halamannya. Dan kuharap Charlotte dapat bekerja lebih rajin dari Jen.” Tuan
Smith kembali melirikku sebelum menatap daging steak dihadapannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Dan
aku yakin dia tidaklah bermulut lebar seperti Jen. Dia tidak akan terlalu
blak-blakkan tentang segala sesuatu,” tambah Tuan Brawley yang memberikan
senyum kebapakkan kepadaku. “Hei, Smith, mungkin kalau kan punya anak, dia
pasti sudah sebesar Charlotte.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hentikan
segala omong kosong ini Brawley. Kau bisa kembali ke dapurmu sekarang.” Aku
baru tahu apapun yang menyangkut tentang memiliki anak selalu menjadi topik
yang dihindari oleh lelaki tua dihadapanku ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah
Tuan Brawley pergi, meja kami diliputi dengan keheningan. Orang-orang disekitar
masih sibuk terus mengoceh dan mengoceh, orang-orang datang dan pergi,
sementara rasanya waktu berhenti di antara aku dan Tuan Smith. Aku mengiris
steakku dengan kikuk, tidak tahu bagaimana caranya untuk memecah keheningan
yang menjadi dinding diantara kami berdua. Tuan Smith bukanlah orang yang
banyak bicara, dia adalah seorang yang sangat pembosan. Dia juga bukan tipe
orang yang nyaman untuk diajak bicara dalam banyak hal, aku tidak akan pernah
tahu apa yang dipikirkannya. Bagaimana bisa aku menjadi sekretaris orang
seperti ini?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kau
sama sekali tidak punya jadwal acara untuk hari ini,” mulaiku dengan perasaan
gugup luar biasa dan merasa perkataanku sama sekali tidak sopan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Lucu,
kupikir kau akan memanggilku <i>Sir,</i>
atau apa.” Dia tersenyum sedikit ke arahku. “Aku juga tidak begitu suka
dipanggil <i>Sir</i>. Jen memanggilku
seperti itu, padahal aku sudah sering memperingatkannya untuk tidak memanggilku
dengan panggilan <i>Sir.</i>”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
tidak tahu kenapa sekarang dia suka menghubung-hubungkanku dengan Jen. Tetapi
aku sekarang adalah sekretarisnya, dan siapapun dulu yang pernah jadi
sekretarisnya adalah sebuah kenangan. Jujur, aku tidak suka
dibanding-bandingkan dengan orang lain. “Jam berapa biasanya klien Anda
datang?” aku berusaha untuk mempersopan kalimatku, dan kurasa itu cukup
berhasil. Hei, dia setidaknya 30 tahun di atasku!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tuan
Smith mengerutkan kening tidak suka dengan pertanyaan itu. “Entahlah,” jawabnya
singkat. Dia kembali memakan steaknya, namun dia menambahkan, “Sekitar jam
sepuluh mungkin. Tergantung, dan biasanya persoalan tentang perceraian. Aku
sudah bosan menangani kasus-kasus seperti itu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Karena
tidak tahu harus memberi tanggapan apa, aku hanya mengangguk. Keheningan
kembali menghampiri kami berdua.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
malam harinya setelah aku pulang bekerja, Holly datang dengan seorang pria yang
tak kukenal. Ternyata dia adalah tetangga baru yang diceritakan Holly beberapa
waktu lalu. Deskripsi Holly tentangnya tidaklah terlalu berlebihan, dia memang
tampan, jangkung dan seorang dokter hewan. Pekerjaannya tidak begitu menarik
untuk kota seperti Langley Green. Tidak ada yang terlalu peduli dengan
kesehatan hewan-hewan peliharaan mereka di sini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kami
bertiga duduk di ruang tamu dan Holly membuka pembicaraan, “Nah, ini adalah
Charlotte yang baru pindah dari London, sama sepertimu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Steve,
nama pria itu, atau lebih tepatnya, Steve Johnson Marshall, tersenyum ke arahku
dan berkata, “Holly selalu bercerita tentangmu selama beberapa hari ini. Aku
tidak tahu kenapa dia melakukannya. Tapi senang berkenalan denganmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
rasa dia sudah terlalu banyak bercerita tentangku,” aku melirik Holly sebelum
melanjutkan, “senang juga berkenalan denganmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jadi,
kau bekerja untuk Tuan Smith?” tanya Steve yang duduk di sebelah Holly. “Aku
pernah bertemu sekali dengannya ketika berada di apotik, dan kupikir orangnya
sama sekali tidak ramah.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Memang
begitu,” aku membenarkan, “Namun tidaklah terlalu buruk. Dia hanya pembosan.
Seorang pengacara tua dengan istrinya yang invalid tanpa anak pula, membuatnya
menjadi orang yang pemarah dan tidak terlalu menyukai pergaulan sosial.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
tidak pernah menyukai Tuan Smith.” Holly menyilangkan kedua tangannya di depan
dada. “Dia pernah menabrakku di jalan ketika aku sedang membawa banyak barang
belanjaan. Semua barang belanjaanku berjatuhan kemana-mana dan dia mengatakan
kepadaku bahwa aku harus lebih berhati-hati lagi, kemudian dia melenggang pergi
tanpa minta maaf, padahal dia yang salah! Dia yang menabrakku!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kurasa
tidak ada orang yang menyukai Tuan Smith di kota ini,” ucapku merasa kasihan
juga dengan lelaki tua itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak
ada, bahkan temannya pemilik cafe yang keturunan orang Kanada itu juga tidak
terlalu menyukainya,” tambah Holly dan dia terlihat menggumamkan sesuatu yang
tidak jelas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Sejauh
ini aku menyukai Langley Green,” Steve mengalihkan topik pembicaraan. “Hidup
saling bertetangga itu menyenangkan, dan aku mendapatkan tetangga-tetangga yang
baik. Seumur hidup aku tinggal di apartemen di London.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kenapa
kau memilih untuk pindah ke sini, Steve?” tanyaku yang benar-benar penasaran.
Tidak ada orang yang benar-benar mau tinggal di kota kecil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dia
mengangkat bahu dan menjawab, “Aku merasa mendapat panggilan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Alasan
yang lucu sekali,” sindir Holly. “Apakah kau juga sudah mulai bosan dengan
kehidupan kota London?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kira-kira
begitulah.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Entah
kenapa alasanmu sama dengan Charlotte. Apakah kota London benar-benar
membosankan?” Holly menatap kami berdua secara bergantian. Di matanya terpancar
rasa keingintahuan yang besar. Oh <i>well,</i>
aku lupa bahwa Holly selalu bermimpi untuk bisa mengunjungi London.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
berpikir sebentar sebelum menjawab, tetapi Steve sudah keburu memotong, “Tidak
juga, hanya saja kehidupan kota besar itu selalu dimulai dengan rutinitas yang
sama. Selain itu udaranya sudah terlalu menyesakkan, begitu pula dengan
orang-orangnya yang individual. Kau akan merasakannya apabila kau sudah tinggal
di sana seumur hidupmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Holly
menelengkan kepalanya dan tersenyum. “Aku rasa aku bisa berbangga diri menjadi
gadis pedesaan.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kami
tertawa mendengar pernyataannya itu. Sejam berikutnya kami habiskan
berbincang-bincang tentang segala hal. Harus kuakui bahwa Steve memang menarik,
dia mampu membawa diri dan pengetahuannya luas. Entah kenapa aku merasa senang
mengobrol lama-lama dengannya seakan-akan aku sudah mengenalnya jauh sebelum
ini. Kami bahkan mengucapkan beberapa kata yang sama dalam waktu yang bersamaan
seperti sepasang anak kembar. Itu menurutku cukup aneh karena kami baru saja
bertemu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah
Holly dan Steve pamit pulang, aku segera merebahkan diri di ranjangku.
Pikiran-pikiran aneh mulai timbul di kepalaku. Memang ada yang aneh, aku sama
sekali tidak lagi bermimpi tentang Erick atau tentang kenangan masa kecilku
padahal aku sangat membutuhkannya. Aku benar-benar merasa yakin bahwa apabila
aku pindah ke Langley Green dan membeli rumah masa kecilku, aku akan semakin
dekat dengan petunjuk untuk mengetahui keberadaan saudara kembarku, tapi
sekarang, aku malah merasa terjebak di sini. Tidak ada sama sekali petunjuk
berarti, malah sekarang aku tidaklah lagi bermimpi. Ini semua membuatku semakin
jauh dari kebenaran. Apa artinya aku pindah ke sini? Sendirian, menjadi
sekretaris pengacara tua yang pembosan, dan terkukung dengan kebosanan kota kecil.
Aku meninggalkan teman-teman dan pekerjaanku yang berharga. Aku bahkan tidak
sempat untuk pamit kepada Almarhumah Ibuku. Sekarang yang ada hanya terus
berharap dan menunggu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebuah
pemikiran lain yang juga aneh tiba-tiba muncul. Aku mulai memikirkan tentang
wanita misterius yang sudah tiga kali ini menampakkan dirinya kepadaku. Aku
sama sekali tidak mengenalnya, dari caranya berpakaian yang seakan-akan tiap
harinya adalah Halloween, juga perkataannya yang aneh dan misterius. Siapa sih
sebenarnya dia itu?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lalu
pesan dari Nenek Loretta yang menyuruhku untuk pergi dari Langley Green. Apa
yang membuatnya begitu takut dan mengusirku seenaknya? Apakah ada hubungannya
dengan wanita berjubah hitam misterius itu? Waktu kuceritakan tentang wanita
tersebut, memang wajah Nenek Loretta langsung berubah. Dia terlihat terkejut
dan takut dalam waktu bersamaan. Apa dia mengetahui sesuatu tentang si wanita
misterius?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Semua
hal yang terjadi hanya menambah beban di kepalaku. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Rutinitas
di kantor Smith & Bailey masih tetap tidak ada perubahan. Pagi itu ada
sepasang suami istri yang akan melakukan perceraian, kasus ini sudah terlalu
sering ditangani oleh Tuan Smith. Semua klien yang datang ke sini tidaklah
berduit banyak yang malah tambah membuat Tuan Smith uring-uringan. Yang kutahu
dia mengusir pasangan suami istri itu karena mereka berdua malah sibuk adu
mulut di dalam kantornya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kami
makan siang di cafe yang sama. Mungkin ini akan menjadi rutinitasku selama
bekerja dengan Tuan Smith. Apakah Jen juga melakukan ini hampir setiap harinya?
Menemani Tuan Smith makan siang, adalah mendengarkan percakapan bisu di antara
kami berdua. Lelaki itu tidak banyak bicara dan aku tidak tahu harus
membicarakan apa. Apakah Jen juga melakukan ini hampir setiap harinya? Tunggu,
kenapa aku sendiri yang malah membanding-bandingkan diriku dengan Jen?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tuan
Brawley menemani kami lagi kali ini. Dia lebih banyak berbicara denganku
daripada dengan temannya sendiri. Sepertinya kata Holly benar, tidak ada yang
terlalu menyukai Tuan Smith di kota ini. “Nah, aku akan buka cabang juga di
London suatu hari nanti,” kata Tuan Brawley ceria dan nampaknya terlalu
berharap.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Yang
benar saja.” Tuan Smith mendengus meremehkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya,
aku akan buka cabang di sana suatu hari nanti,” ujar Tuan Brawley keras kepala.
“Aku punya ambisi kuat dan tekad untuk mengwujudkannya. Aku punya keturunan,
Smithee.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Sekarang
kau ingin menghinaku karena aku tidak punya keturunan? Oh, ayolah, sampai
berapa tahun lagi kita harus membicarakan ini? Anakmu tidak bisa diharapkan.
Dia mungkin akan jadi bujangan selamanya.” Tuan Smith tersenyum, sebuah senyum
yang sama sekali tidak manis. Sekarang giliran Tuan Brawley yang mendengus.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
sama sekali tidak ingin terlibat dengan percakapan mereka yang saling menyindir
satu sama lain. Bagiku mereka sama sekali bukan teman. Tuan Brawley mengalihkan
perhatian kepadaku lagi dan kembali menceritakan tentang bagaimana bentuk
kafenya nanti apabila dia sudah buka cabang di London. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Keluar
dari kafe, Tuan Smith langsung mengomel kepadaku, “Lain kali kau jangan terlalu
meladeni semua omong kosongnya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Bagiku
itu bukan sebuah omong kosong, tetapi hanya sebuah pembicaraan tentang mimpi
yang sepertinya tidak akan pernah terwujud.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tuan
Smith menjentikkan jarinya. “Itulah maksudku. Dia pikir bisnisnya akan berjalan
lancar? Dia sudah tua, sama sepertiku. Anaknya George, pemuda berandalan. Sudah
pernah melakukan tindakan kriminal, dan sekarang sedang menjalani perawatan di
panti rehabilitasi. Menurutnya dia akan pulang tiga atau empat bulan lagi, tapi
aku tidak yakin anak itu dapat mengambil alih bisnis ayahnya.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
lumayan terkejut juga mendengar cerita Tuan Smith tentang keluarga Tuan
Brawley. Kupikir dia adalah seorang pria tanpa beban dengan keluarga sederhana.
Yah, sebagian orang bisa dengan mudah menutup-nutupi segala macam permasalahan
yang mereka hadapi dan tetap tegar dalam menjalani hidup seolah-olah tidak ada
sama sekali beban yang menghinggapi pundaknya, namun di sisi lain ada
orang-orang yang tidak bisa dan menunjukkan muka murung setiap saat seolah-olah
mereka memikul beban sebesar dunia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
akan berada di kantorku seharian ini.” Perkataan Tuan Smith membuyarkan
lamunanku. “Bisa kau telepon kembali pasangan yang tadi pagi kutendang keluar
dari kantor? Walau aku tidak suka mereka, mereka sejauh ini mampu membayar
dengan harga yang lebih tinggi.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
mengangguk dan mengerjakan apa yang harus kukerjakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
malam harinya, aku menelepon Lily. Kami berbincang-bincang sebentar dan seperti
yang Lily sudah ramalkan, bos tidak memberikannya izin cuti lagi. Aku tertawa
mendengar keluhan Lily dan mengatakan bahwa dia tidaklah perlu mengunjungiku
setiap akhir pekan. Lily menanyakan juga tentang Holly dan Nenek Loretta walau
dengan nada kesal. Aku tidak mengerti kenapa dia benar-benar merasa marah hanya
karena pesan Nenek Loretta yang menyuruhku pindah dari Langley Green. Itu
bukanlah sama sekali urusannya, bukan? Padahal ketika aku menyatakan niatku
untuk pindah ke kota ini, dia malah tidak mau aku pergi. Sekarang, kenapa
berubah? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pertanyaan
itu kusampaikan pada Lily, tetapi ternyata dia sudah menutup teleponnya.
Kuletakkan gagang telepon sambil menghela napas, terlalu lelah untuk berpikir
bahwa aku mulai merasakan keanehan di sini. Aku mulai merasa tidak aman tinggal
di Langley Green. Bukan karena di sini aku tinggal sendirian atau mendapat
pekerjaan dengan gaji rendah, tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang
berbahaya akan segera datang. Kenapa tiba-tiba aku mendapat firasat seperti
ini? Apakah ini suatu pertanda?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akhirnya,
datang juga akhir pekan. Hari Sabtu pagi itu kuhabiskan hanya untuk duduk-duduk
di beranda belakang rumah seperti yang sering kulakukan bersama saudara
kembarku belasan tahun lalu. Tapi sayangnya walaupun pohon maple itu masih ada,
aku belum merasakan betul-betul suasana seperti yang sering digambarkan di
mimpi-mimpiku. Sekarang adalah musim panas dan aku sudah tidak sabar untuk
hidup di musim gugur. Menurutku itu aneh karena kebanyakan orang suka dengan
musim panas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tepat
pada setengah sembilan pagi, Holly datang ke rumahku dan membuatku tersadar
bahwa aku ada janji dengannya untuk menemaninya jalan-jalan bersama anak-anak
Wargrave. Sebenarnya hari ini aku sedang tidak ingin tetapi karena aku sudah
janji, aku sama sekali tidak bisa menolak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Anak-anak
Wargrave, Billy dan Jhonny, adalah saudara kembar yang berusia tujuh tahun.
Mereka adalah anak-anak yang tidak mau diam dan terlalu energik sehingga aku
terheran-heran bagaimana bisa Holly tetap sabar menghadapi mereka tanpa harus
dipukul terlebih dahulu. Selain itu mereka juga banyak sekali bertanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jadi
bagaimana rasanya tinggal di Langley Green?” Jhonny bertanya ketika kami berada
dalam bus untuk menuju Crawley.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hm,
disini cukup menyenangkan,” jawabku tidak terlalu antusias. Sebelum aku
melanjutkan, Billy sudah keburu memotong.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Apakah
London adalah kota yang besar?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kenapa
kau pindah ke sini?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kau
lebih suka tinggal di London atau di sini?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak bisa kujawab karena mereka selalu
memotong perkataanku. Aku yakin, perjalanan ini pasti tidak akan berakhir
menyenangkan, setidaknya di pihakku. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tidak
banyak yang kami lakukan selain pergi ke sebuah taman bermain di Crawley. Holly
bilang dia dimarahi oleh Tuan Wargrave minggu lalu karena membawa anak-anaknya
bermain terlalu jauh, makanya hari ini dia hanya membawa mereka ke taman
bermain ini. Aku bertanya apakah dia senang mengasuh mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Mau
bagaimana lagi, Charlotte? Kuakui anak-anak ini menyebalkan dan mereka susah
diatur. Mereka tidak pernah mendengar perkataanku untuk tidak berbicara dengan
orang asing, maka daripada itu aku harus selalu pasang mata sebaik-baiknya
terhadap mereka. Tuan Wargrave mengatakan bahwa anak-anak suka padaku walau aku
tidak merasakan itu dari mereka, tetapi apa saja akan kulakukan untuk mendapat
uang bagi hidupku dan juga Nenek Lorretta.” Dia menghela napas panjang sambil
memperhatikan Billy dan Jhonny sibuk berkejaran ke sana kemari.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kudengar
kau tidak meneruskan kuliahmu lagi?” tanyaku berusaha untuk tidak menyinggung
perasaannya. Yang menceritakan itu adalah Tuan Brawley ketika sesi acara makan
siangku bersama Tuan Smith.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Holly
memangdangku dengan tatapan bingung sebentar sebelum menjawab, “Nenek Loretta
memintaku untuk berhenti.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kenapa
dia memintamu seperti itu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Dia
tidak mau ditinggal jauh olehku. Dia merasa kesepian, dan bla bla bla, omong
kosong semacam itu. Nenek Loretta selalu mengatakannya lagi dan lagi. Aku benci
untuk berhenti kuliah, tetapi orang tuaku juga menyetujuinya dan menyuruhku
untuk mengurus nenek saja. Heran kan, kenapa ada orang tua seperti mereka? Biar
kukatakan sekarang, tidak ada yang peduli padaku. Sama seperti Nenek Loretta
yang juga tidak dipedulikan. Seharusnya dia dimasukkan ke panti jompo, tetapi
aku melarangnya. Kami punya banyak kesamaan, sama-sama tidak diperdulikan.”
Mata Holly menerawang jauh ke langit, sebelum mengalihkan lagi perhatiannya
kepada anak-anak Wargrave.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
terdiam tidak tahu harus berbicara apa. Ingin rasanya juga bercerita tentang
keluarga, tentang masa kecilku, serpihan-serpihan kenangan yang masih melekat
di otakku. Ada waktu-waktu tertentu aku mengingat mereka, tetapi semuanya
tentang memori masa kecil, aku sama sekali tidak ingat apa pun tentang
masa-masa yang lainnya. Aku juga ingin berbicara tentang saudara kembarku, Erick,
yang terpisah dariku belasan tahun lalu dan sampai sekarang aku belum tahu
dimana dia berada. Holly mungkin orang yang tepat untukku membeberkan semua
cerita yang selama ini masih kutahan untuk diriku sendiri. Tidak banyak yang
tahu, bahkan Lily, tidak tahu semua ceritaku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jam
tiga sore kami sudah kembali ke Langley Green. Setelah mengantar anak-anak
Wargrave pulang, aku dan Holly kembali ke rumah masing-masing. Sesampainya di
depan pintu, aku menyadari bahwa pintuku tidak terkunci! Sial! Aku sangat yakin
aku sudah menguncinya tadi! Dengan perasaan panik aku segera masuk rumah,
takut-takut kalau benda-benda berharga dalam rumahku dicuri. Di ruang tengah
baru aku sadari, tidak ada barang-barang berharga di rumahku. Hampir semuanya
adalah barang bekas yang masih layak pakai. Dan kusadari juga bahwa memang
tidak ada yang hilang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah
benar-benar memastikan tidak ada yang hilang dan semua benda berada di tepatnya
yang tepat, aku duduk di sofa ruang tengah sambil berpikir. Mungkin aku sendiri
yang lupa mengunci pintunya, atau memang tadi ada yang masuk ke dalam, tetapi
karena tidak ada barang berharga yang dapat diambil, si pencuri ini pergi
begitu saja. Tetapi semuanya berada di tempatnya yang tepat. Kalau seandainya
ada pencuri yang masuk ke sini, pasti dia menggeledah semua ruangan untuk
mencari benda berharga dan yang kutemukan di sini adalah, tidak ada yang tidak
berada di tempatnya. Semuanya rapi sama seperti terakhir kali kutinggalkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di
tengah kebingungan itulah, aku melihat sebuah buku bersampul coklat usang yang
agak tebal tergeletak di meja kecil di sebelah sofa yang kududuki. Dengan rasa
penasaran, kuambil buku tersebut dan memperhatikan sampulnya yang usang.
Sepertinya buku ini sudah berumur ratusan tahun. Ketika kubuka, sebuah kertas
yang terselip jatuh di pangkuanku. Ada yang tertulis di situ:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dear Charlotte,<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kami harap kau
menyukai pemberian kami. Persiapkan dirimu! Perburuan ini akan segera dimulai.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hanya
itu yang tertulis yang tentu saja membuatku tambah bingung. </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Orang gila macam apa ini yang menulis beginian? Dan
pertanyaan yang paling penting, kenapa ada orang yang mengirim ini kepadaku?
Apakah ada seseorang yang ingin mengancamku? Cara seperti ini memang
benar-benar payah dan memalukan! Kuremas-remas kertas tersebut dan membuangnya
di tong sampah dapur.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> Awalnya aku
ingin tidak memperdulikan buku bersampul coklat usang yang diberikan oleh orang
aneh yang juga menulis surat aneh itu. Namun rasa penasaranku mengalahkan rasa
ketidakpedulianku dan akhirnya kulihat juga isi buku itu. Halaman depannya
kosong, begitu juga halaman-halaman seterusnya. Oke, ini benar-benar membuatku
kesal. Tapi tunggu! Di halaman paling terakhir, terdapat tulisan, sebuah
artikel mengenai sesuatu yang akhir-akhir ini banyak kudengar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Amaranth,
<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Sejarah
dan Cerita Rakyat<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Amaranth
berasal dari kata Amaranthos, yang berarti ‘unwithering’ karena bunga ini
mempertahankan bentuk dan warnanya saat dikeringkan.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Amaranth
merupakan sumber pokok untuk diet bagi bangsa pra-Columbus Aztek, yang percaya
bahwa Amaranth memiliki kekuatan gaib dan dimasukkan dalam upacara keagamaan
mereka. Sebelum penaklukan Spanyol tahun 1519, Amaranth dikaitkan dengan pengorbanan manusia dan
perempuan-perempuan Aztek membuat sebuah campuran dari biji Amaranth, madu atau
darah manusia yang akan dimakan pada saat upacara penyembahan berhala. <o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Atribut
Sihir<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Salah satunya
adalah bahwa Amaranth dihubung-hubungkan dengan keabadian, dan digunakan
sebagai hiasan dewa dan dewi sama halnya juga terdapat dalam upacara pemakaman
kaum Pagan.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Keabadian? Well,
you know it. So you BETTER WATCH IT!<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Untuk
sesaat aku tertegun sebelum akhirnya aku merobek artikel yang ditulis tangan
itu dan merobeknya lagi menjadi beberapa bagian dan membuangnya ke tong sampah
dapur. Aku benci apabila ada orang yang mengancam dengan cara aneh seperti ini.
Apa sebaiknya aku lapor polisi? Tidak, polisi tidak akan memperdulikannya dan
menganggap itu hanya kerjaan orang iseng. Aku duduk lagi di sofa yang sama dan
mencoba menenangkan diriku. Andai saja aku tahu siapa yang mengirimnya, sudah
kujejalkan sobekan-sobekan kertas itu ke dalam mulutnya! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tapi
ketika aku mulai merasa tenang, aku pun mulai untuk berpikir. Nenek Loretta
mengatakan (atau menuliskan) bahwa bau seorang perawan seperti bunga Amaranth,
dan dia menyuruhku pergi dari Langley Green. Sekarang sebuah artikel tidak
jelas memberitahuku Amaranth dihubungkan dengan keabadian. Jadi, apa maksudnya
semua ini? Si penulis misterius ini menyuruhku untuk berhati-hati. Mungkinkah
ada seseorang yang menggunakan darah perawan sebagai syarat agar hidup abadi?
Pikiran itu begitu fantastis sehingga sulit untuk mempercayainya. Aku bahkan
merasa pikiran itu konyol dan sejenak membuatku tersenyum kepada udara kosong.
Semua ini sulit dipercaya, benar-benar sulit bagiku untuk terus melanjutkan
pencarianku mengenai saudara kembarku di kota kelahiran kami ini. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
memikirkan keputusanku untuk mengikuti saran Nenek Loretta, untuk segera pergi
dari kota ini. Mungkin ke Cardiff atau kembali ke London. Tetapi aku belum mau
meninggalkan Langley Green. Aku merasa pada akhirnya aku akan menemukan apa
yang kucari selama ini di kota ini. Dan aku yakin dengan firasatku itu.<o:p></o:p></span></div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-41653541015847128082016-04-29T08:55:00.000-07:002016-04-29T08:55:18.628-07:00Don't Bury Me In My Own Grave Bab 5<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada
pagi hari Sabtu itu, aku sibuk di dapur dengan beberapa bahan untuk membuat
English Muffin. Buku resep masakan lama yang kutemukan terpampang dihadapanku.
Aku tidak tahu apakah aku akan mampu membuat English Muffin yang enak, tapi
tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru daripada setiap pagi harus makan
sereal dan sandwich. Bahan-bahannya sudah tersedia di atas meja dapurku yang
terdiri dari susu, ragi kering, gula pasir, garam, dan lemak babi. Cara
membuatnya adalah dengan menuang 225 mil susu dan 55 mil air ke dalam panci dan
panaskan perlahan. Setelah panas, tuang ke dalam sebuah baskom kecil dan
masukkan gula serta ragi. Aduk dan tinggalkan di tempat yang hangat selama 15
menit. Setelah itu...,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pintu
depanku diketuk seseorang. Terpaksa aku menghentikan pekerjaan memasakku,
membuka celemek, dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Ternyata Holly
yang mengetuk tadi. Dia menggunakan sweter merah jambu dan celana jins biasa
serta sebuah sepatu sneaker usang. Hm..., mungkin dia baru akan berangkat untuk
menjaga anak-anak keluarga Wargrave. “Hallo,” sapanya ceria, “Hari ini aku akan
mengantar anak-anak Wargrave jalan-jalan naik kereta api. Kami akan naik bus ke
Crawley dan menaiki kereta api ke kota terdekat. Mungkin akan menyenangkan bagi
anak-anak itu apabila kami pergi ke suatu tempat yang baru. Apakah kau mau
ikut?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebenarnya
aku ingin sekali menerima tawaran Holly, namun Lily akan datang sebentar lagi
ke sini. “Maaf,” ujarku berusaha untuk terdengar benar-benar menyesal, “Tapi
aku sudah ada janji dengan temanku dan dia akan datang ke sini sebentar lagi.
Aku benar-benar tidak bisa ikut denganmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Oh,”
Holly kelihatan betul-betul kecewa, “Tidak apa-apa. Bagaimana kalau minggu
depan?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
memikirkan tawaran itu untuk sesaat. “Baiklah. Mungkin aku bisa kalau minggu
depan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Senyum
terukir lagi di wajahnya. “Oke, lebih baik aku pergi sekarang. Namun sebelum aku
pergi, aku ada satu berita untukmu. Kita punya tetangga baru lagi. Dia tinggal
dua rumah dari rumahku. Namanya Steve, dan kukira dia seumuran denganmu. Selain
itu dia lumayan ganteng.” Holly mengedipkan sebelah matanya kearahku. Entah
untuk apa dia melakukan hal itu. Setelah mendeskripsikan lagi beberapa ciri
fisik dari si tetangga baru, Holly pun pergi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
menghela napas dan merasa geli sendiri karena merasa bahwa Holly ingin
menjodohkanku dengan tetangga baru yang bernama Steve itu. Kulangkahkan lagi kakiku
ke arah dapur dan memulai untuk memulai membuat English Muffin lagi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
datang tepat seperti yang dikatakannya di telepon. Kami berpelukan dan aku
merasa sudah lama sekali aku meninggalkan Lily di London, padahal aku baru saja
berada di Langley Green selama delapan hari. Kami duduk-duduk di ruang tamu dan
menceritakan kisah masing-masing. Lily menanyakan bagaimanakah rasanya tinggal
di kota seperti Langley Green dan apakah aku sudah mendapatkan pekerjaan. Dia
terlihat terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku menjadi seorang sekretaris di
sebuah biro hukum kecil dengan seorang pengacara tua. Tetapi dia sama sekali
tidak terkejut ketika kusebutkan berapa gaji yang kudapat dari pekerjaan itu,
seakan-akan dia sudah bisa menebak sebelumnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Nah,
sekarang ceritakanlah apa yang sebenarnya kau cari di kota ini, Charlotte?”
tanya Lily pada akhirnya. Aku tahu pertanyaan ini bakalan keluar juga dari
mulutnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">English
Muffin yang terletak di tengah meja sama sekali tidak kami makan. Aku sudah
dapat menebak bahwa rasanya mengerikan, karena <i>well,</i> English Muffinku mutung. Sudah kuduga bahwa aku memang tidak
berbakat dalam memasak. Kurasakan bahwa Lily mengetuk-ngetukkan jari
telunjuknya ke permukaan meja, tidak sabar menunggu jawaban. Dengan satu
tarikan napas aku menjawab, “Sebenarnya aku sedang menggali masa laluku di
sini.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
mengangkat sebelah alisnya tanda tidak mengerti. “Apa maksudmu dengan menggali
masa lalu? Tunggu! Apa jangan-jangan kau teringat sesuatu yang penting?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
mengangguk dan berkata,”Aku mendapatkan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat aneh
menurutku. Di dalam mimpi itu, aku selalu terbayang-bayang dengan kehidupanku
ketika aku masih kecil dan tentang saudara kembarku, Erick. Yang jelas, mimpi
itu seperti memperingatkanku kembali untuk mencari Erick dan buku harian masa
kecilku yang kutemukan tambah memperjelas semuanya. Dari buku itu aku
mendapatkan alamat rumahku yang dulu, yaitu di sini, di Langley Green. Dan
disini jugalah aku mendapatkan cukup informasi mengenai keluargaku. Tetapi
walau merasa sudah mendapat informasi, aku masih seperti mencari di dalam
gelap, belum tahu apa sebenarnya yang kucari. Aku masih belum dapat menemui
saudara kembarku.” Kupandangi wajah Lily yang merupakan campuran antara
terkejut dan penasaran.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Keheningan
merasuki percakapan kami. Tangan Lily bergerak untuk mengambil cangkir kopinya
dan meminum cairan kental itu seteguk. “Aku tidak tahu harus bicara apa,”
ujarnya pada akhirnya, “Apa saja yang telah kau kumpulkan mengenai saudara
kembarmu itu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
membutuhkan waktu beberapa detik untuk menjawab, “Tidak banyak. Dia pindah ke
Cardiff bersama ayah dan kakak perempuanku. Tetapi kemungkinan dia masih ada di
sana sangatlah kecil.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Memangnya
kau bisa mengenali saudara kembarmu lagi setelah belasan tahun tidak bertemu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Entahlah,
di dalam mimpiku aku sama sekali tidak melihat adanya kemiripan di antara kami,
ya memang kami berbeda jenis kelamin, namun, <i>damn!</i> Ya, aku bakalan tidak akan mengenalinya lagi.” Itu memang
benar. Tidak semua kembar harus memiliki wajah yang sama atau penampilan yang
sama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
mengangguk paham. Kemudian dia mengalihkan topik tentang sesuatu yang menurutku
cukup aneh untuk didiskusikan. “Kau tahu tidak, bahwa ada suatu mitos yang
mengatakan bahwa seorang perawan berbau seperti mawar?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Topik
ini benar-benar membuat dahiku berkerut tidak mengerti. “Kenapa kau bertanya
seperti itu? Kedengarannya aneh sekali. Lagian kenapa sih orang-orang suka
sekali dengan mitos tidak jelas begitu? Memangnya siapa yang bilang bahwa
perawan berbau seperti mawar?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kau
kan seorang perawan, Charlotte,” sindir Lily dengan kedipan mata jahil. Aku
tidak ingat bagaimana kehidupan percintaanku sebelumnya, tetapi Lily bilang aku
tidak pernah sampai ke tahap serius dan dengan blak-blakkan dia mengatakan
bahwa aku masih perawan. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan hal ini,
karena bagiku sekarang aku sedang berada dalam tahap pencarian yang lebih
penting. Aku harus kembali mengetahui apa saja yang terjadi di masa laluku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jadi
kenapa?” aku berpura-pura kesal kepadanya, “Menjadi perawan bukanlah suatu
dosa. Bukankah lebih bagus apabila kau benar-benar perawan sampai kau menikah?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya,
ya, terserahlah,” Lily terkikik-kikik. “Maksudku, hati-hati saja. Ada sebuah
cerita terkenal di Langley Green tentang seorang wanita yang dibakar hidup-hidup
oleh suaminya sendiri karena ternyata dia adalah seorang tukang sihir. Kau
tahu, dia banyak menculik gadis-gadis perawan untuk diambil darahnya supaya dia
selalu tampak awet muda dan hidup lebih lama. Wanita tukang sihir dapat
mengetahui seorang gadis itu masih perawan atau bukan melalui baunya. Seperti
yang kukatakan tadi, para perawan berbau seperti mawar dan bau yang paling kuat
adalah ketika seorang perawan sudah menginjak usia antara 25 sampai 30, darah
para perawan berumur diantara itu adalah yang terbaik.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
terbengong selama beberapa saat, berusaha mencerna semua perkataan Lily. Sampai
akhirnya kesadaran menghantamku, “Itukan hanya mitos,” kataku percaya diri
sekali. “Rasanya kisah itu juga pernah diceritakan oleh tetanggaku. Tapi dia
tidak pernah menceritakan kisah mengenai mengambil darah gadis-gadis perawan
itu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
hanya mengangkat bahu. “Ya sudah, aku tidak memaksamu untuk percaya. Sedikit
cerita horor di hari yang sudah mulai siang ini. Ngomong-ngomong, kue muffinmu
sama sekali tidak enak!” ejeknya sembari menunjuk kue muffin yang masih tidak
tersentuh.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hei,
aku membuatnya dengan susah payah tahu!” teriakku ke arah Lily yang berjalan ke
arah dapur, lalu mengikutinya ke dapur juga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hari
Minggu itu kuhabiskan dengan Lily dan kami menonton film dari pagi sampai sore
disertai dengan bermangkuk-mangkuk es krim. Memang bukanlah suatu hal yang
produktif, tetapi ini adalah hari malas dan kami bebas untuk mengekspresikan
rasa malas kami. Lily telah melihat buku harian masa kecilku, merasa terharu
dengan catatan-catatan masa laluku yang memang menyedihkan. Ketika dia menutup
buku itu dia mengatakan, “Sebisa mungkin aku juga akan membantumu mencari
Erick.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
tersenyum kepadanya dan merasa amat sangat beruntung mempunyai seorang sahabat
seperti Lily.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Barulah
pada malam harinya aku memperkenalkan Lily kepada Holly dan Nenek Loretta. Tak
lupa buket bunga daisy yang telah kubeli baru kutujukan kepada Nenek Loretta.
Holly mengundang kami berdua makan malam di rumahnya, tentu saja kami tidak
bisa menolak ajakan itu. Aku berbisik kepada Lily bahwa Nenek Loretta itu bisu
serta tidak bisa berbahasa isyarat. Kukatakan itu kepadanya hanya seperti
merupakan suatu keharusan. Aku tidak mau dia menyinggung-nyinggung kenapa Nenek
Loretta tidak berbicara sedari tadi di depan Holly. Gadis muda itu bisa sakit
hati nanti, walau dia tidaklah memperlihatkannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di
meja makan, kami mulai untuk membangun percakapan. Awalnya terasa agak kikuk,
karena Nenek Loretta terus saja memandangi aku dan Lily. Holly menanyakan
kepada Lily bagaimana rasanya tinggal di London seumur hidupnya, dan Lily
dengan senang hati menjawab pertanyaannya bahwa dia betah tinggal di ibukota
kerajaan Inggris ini. Bahkan dia meminta Holly untuk ikut bersamanya
melihat-lihat kota London. Holly dengan senang hati menerima tawaran itu dan
mereka menetapkan kapan mereka bisa melaksanakan tur wisata mereka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kalian
berdua adalah gadis kota besar. Kalian berdua seumur hidup tinggal di London!”
ketika Holly mengatakan ini, Lily memandang ke arahku, merasa kebingungan. Aku
hanya mengangkat bahu dan menanyai Holly tentang mitos yang diceritakan oleh
Lily tadi pagi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Benarkah
wanita tukang sihir itu menculik para perawan untuk diambil darahnya sebagai
obat awet muda dan umur panjang?” tanyaku kepada Holly yang membuat gadis itu
mengerutkan kening.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
tidak pernah diceritakan tentang bagian itu. Lily, darimana kau tahu cerita
itu?” tanyanya balik ke arah Lily.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
tersenyum sekilas dan menampakkan sikap seorang guru yang sedang menjelaskan
suatu pelajaran kepada muridnya. “Begini, saudari Holly. Dari buku kita bisa mendapat
informasi yang berguna walau hanya sekedar mitos kota kecil. Namun, mempelajari
mitos juga tidaklah salah. Mengenai bagian itu, memang tertulis di buku dan aku
sudah membacanya, saudari Holly. Tukang sihir itu membedakan gadis perawan dan
yang sudah atau tidak perawan lagi berdasarkan baunya. Para perawan berbau
seperti mawar.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ketika
Lily mengatakan kalimat terakhir, kulihat perubahan ekspresi di wajah Nenek
Loretta. Senyumnya hilang sementara dahinya semakin berkerut. Dia mengambil
secarik kertas dan pena dari saku, lalu mulai menulis sesuatu. Kami bertiga
memperhatikan apa yang ditulis oleh Nenek Loretta. Setelah selesai, wanita tua
itu memberikannya kepada Holly yang sekarang juga mengerutkan dahi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ada
apa Holly?” tanyaku, merasa tidak enak karena perubahan suasana yang terjadi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak,
hanya saja Lily salah menyebutkan sesuatu.” Holly mengalihkan pandangannya
kepada Lily, “Para perawan tidak berbau seperti mawar, tetapi mereka berbau
seperti bunga amaranth.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jenis
bunga apa itu?” tanyaku dan Lily dalam waktu yang bersamaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
tidak begitu tahu,” jawab Holly sambil melirik Nenek Loretta. “Tetapi bagi para
penyihir, bunga amaranth dianggap sebagai bunga keabadian. Mereka mengambil
darah perawan-perawan untuk keabadian.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Di
buku yang kubaca tertulis bunga mawar!” bantah Lily namun kemudian dia terlihat
berpikir. “Mungkin kau ada benarnya. Sepertinya aku saja yang salah membaca.”
Dia tersenyum kaku dan memandang ke arahku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
tidak tahu apa maksud Lily, tapi pembicaraan ini sama sekali tidak penting.
Maksudnya, untuk apa membicarakan apakah perawan berbau mawar atau amaranth?
Itu semua hanya mitos, mitos yang masih berkembang di masyarakat. Aku berusaha
untuk mengalihkan topik, “Bagaimana dengan tetangga barumu itu Holly?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ditanya
begitu, muka Lily berubah lebih ceria. “Heh, kupikir kau sudah lupa dengan hal
itu. Habisnya ketika aku menceritakannya tadi pagi kau kelihatan tidak begitu
antusias. Kau masih ingat namanya?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sesungguhnya
aku sama sekali tidak ingat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Namanya
Steve, Steve Peddleton. Pindahan dari Essex. Aku rasa dia seorang dokter hewan,
entahlah, aku belum berkenalan dengannya,” jawab Holly yang sepertinya bisa
tahu bahwa aku sama sekali tidak ingat apa-apa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Seperti
apa orangnya?” Lily ikut nimbrung, “Aku suka seorang dokter. Bagaimana kalau
kita mengunjunginya besok Charlotte?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
pikir kau akan pulang ke London,” ujarku mengingatkan. Lily sendiri yang
mengatakan bahwa dia akan pulang pagi-pagi sekali ke London. Pekerjaannya
menumpuk di kantor dan semenjak aku berhenti, bos kami tidak berhenti
marah-marah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Sebentar
saja. Kau berkata begitu seperti kau ingin mengusirku saja!” sindir Lily dan
kembali berbincang-bincang dengan Holly mengenai lelaki bernama Steve itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
menghela napas dan melirik ke arah Nenek Loretta yang tersenyum kepadaku.
Senyuman Nenek Loretta bukanlah senyum yang manis, karena kulitnya yang sudah
kendur itu membuatku serasa ingin menariknya. Kubalas senyum Nenek Loretta dan
kembali mengalihkan perhatian kepada percakapan Holly dan Lily. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kau
tahu, sudah berapa lama aku tidak melihat lelaki seganteng itu di sini? Di
Langley Green semuanya dipenuhi dengan orang tua dan anak-anak bandel!” Holly
terkikik-kikik bersama Lily. “Dan juga perempuannya? Aku pikir tidak ada yang
menarik! Semuanya tidak menarik!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perempuan?
Aku jadi teringat sesuatu. Aku menginterupsi pembicaraan mereka. “Heh, aku
ingin menanyakan sesuatu,” mulaiku, “Ini tentang seorang perempuan. Seorang
perempuan misterius yang memakai jubah hitam. Sepertinya baru awal tiga puluhan
dan dia sangat cantik. Aku sudah dua kali didatangi olehnya, pertama ketika aku
pulang dari rumahmu, Holly, dan yang kedua dia secara tiba-tiba muncul di
tengah jalan. Aku hampir saja menabraknnya!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Holly
dan Lily terbengong mendengar perkataanku. Sementara itu Nenek Loretta nampak terkejut.
Dia kembali menulis di atas kertas. Setelah selesai, dia memberikannya kepada
Holly. Gadis itu mengambilnya dan mengangkat alis kepada neneknya seakan tidak
mengerti apa yang ingin disampaikan Nenek Loretta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Apa
yang nenekmu tulis, Holly?” tanyaku tidak sabar. Apakah Nenek Loretta
mengetahui sesuatu? Kalau tidak, pastilah ekspresinya tidak akan terlihat
terkejut seperti itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Holly
menatapku sebentar sebelum membaca apa yang ditulis neneknya. “<i>Well,</i> Nenek Loretta bilang bahwa kau
harus menjauhi perempuan itu. Kau harus segera pergi dari Langley Green.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kau
bercanda!” yang mengucapkan ini dan membuat kami semua terkejut adalah Lily.
“Kenapa tiba-tiba mengusir seperti ini!?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kami
tidak bermaksud mengusir!” ujar Holly yang merasa agak tersinggung. “Dengarkan
dulu sampai aku selesai berbicara!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
kembali tenang tapi wajahnya menunjukkan sikap permusuhan kepada Holly. Aku
tidak tahu dengan perubahan suasana secepat ini karena rasanya baru beberapa
menit lalu mereka berdua terlihat akrab. Sekarang aku merasa bahwa keakraban
sebelumnya itu tidak pernah terjadi. “Oke, aku akan mendengarkan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Holly
terlihat menggumamkan sesuatu sebentar sebelum memulai berkata lagi, “Nenekku
tidak bermaksud mengusirmu, dia hanya memberikan nasihat. Akan ada sesuatu yang
terjadi, sesuatu yang sangat buruk akan terjadi padamu Charlotte. Ada baiknya
kau pergi dari sini, sebelum sesuatu yang buruk itu menimpamu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Omong
kosong,” gumam Lily, tapi masih cukup keras untuk didengar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ini
bukan omonganku, tetapi omongan Nenek Loretta.” Holly kembali menyantap
makanannya. Dia memotong-motong daging untuk neneknya tersayang yang nampaknya
masih memasang wajah aneh ke arahku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
mencondongkan tubuhnya kepadaku dan berbisik, “Lebih baik kau tidak terlalu
dekat dengan tetanggamu ini.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kenapa
kau berpikir begitu?”<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dia
mengangkat bahu dan kembali melanjutkan makan.<o:p></o:p></span></div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-23472461906890217192016-02-24T07:13:00.001-08:002016-02-24T07:13:51.697-08:00Don't Bury Me In My Own Grave Bab 4<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Terdengar bunyi ketukan
pintu di luar. Kuletakkan cangkir kopiku di meja dan setengah berlari dari
dapur ke depan untuk membukakan pintu. Tampak Tuan Kensington berdiri di depan
rumah. Aku menyilakan pria setengah baya itu masuk dan dia langsung duduk di sofa
ruang tamu. “Anda membuat semua hal yang ada di rumah ini jadi berbeda,”
ujarnya sembari melihat sekeliling ruang tamu. “Perabotan-perabotan ini
terlihat bekas, Anda mengambilnya kembali dari dalam gudang?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya, begitulah.” Aku
duduk di depannya, “Selama masih bisa dipakai, kenapa tidak?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tuan Kensington
mengangguk-ngangguk dan memberitahukan maksud kedatangannya ke sini. “Saya
sudah berbicara dengan Tuan Worthtington. Dia mengatakan bahwa nama keluargamu
terdengar tidak asing baginya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tentu saja, banyak
orang yang mempunyai nama belakang Harriot,” jawabku mencoba terdengar biasa
saja. Aku tidak tahu apakah Tuan Worthtington akhirnya menyadari bahwa aku
dulunya pemilik rumah ini yang asli.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pria di depanku
tersenyum kecil mendengarnya. “Maksud saya pemilik rumah sebelum dia juga
mempunyai nama keluarga Harriot. Tuan Jonathan Harriot. Dia beserta keluarganya
pindah ke Cardiff empat belas tahun lalu, tetapi istrinya lebih memilih untuk
pindah ke London. Sepengetahuan Tuan Worthtington, keluarga itu memang tidak
pernah akur. Tuan dan Nyonya Harriot berperilaku tidak seperti sepasang suami
istri. Seharusnya mereka bercerai saja sedari dulu, tetapi mereka masih
memikirkan tentang kepentingan anak-anak. Tuan Worhtington juga mendengar bahwa
pasangan itu mempunyai tiga anak, dan dia mendengar lagi bahwa salah satu dari
anak mereka ikut Nyonya Harriot ke London. Sayangnya wanita itu meninggal enam
tahun yang lalu, dan tidak ada sama sekali informasi mengenai anak yang
dibawanya ke London itu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Semua yang diceritakan
oleh Tuan Kensington membuatku terdiam. Bisa kurasakan jantungku berdetak dua
kali lebih cepat dan otakku bisa meledak kapan saja. Informasi ini terlalu
banyak. Jadi begitukah yang terjadi? Benarkah bahwa aku terpisah dari Erick,
saudara kembarku? Sekarang dia berada di Cardiff, tetapi apakah dia juga ingat
kepadaku? Cuma ingatan tentang Erick dan rumah masa laluku yang benar-benar
masih melekat kuat dalam ingatanku. Lily tidak pernah mengatakan bahwa ibuku
sudah meninggal. kalau dia mengatakan lebih awal, mungkin aku bisa mengucapkan
sepatah dua kata pada kuburannya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Nona Charlotte, apakah
Anda baik-baik saja?” suara khawatir Tuan Kensington menyadarkanku bahwa sedari
tadi aku hanya diam sambil menunduk dalam-dalam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku mengangguk dan
merasakan air mataku akan jatuh. Hei, kenapa aku menangis? Apa yang harus
kutangiskan? Dengan susah payah kutahan air mataku supaya Tuan Kensington tidak
melihatnya. “A, aku baik-baik saja Tuan Kensington. Apakah Anda tahu nama
anak-anak mereka?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dia menggeleng. “Sayangnya
tidak. Mr. Worthtington juga tidak tahu. Kenapa kau ingin tahu tentang mereka?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ah, tidak. Hanya ingin
tahu saja,” jawabku berbohong. Kupaksakan senyum dihadapan Tuan Kensington dan
dia membalas senyumku walau di matanya masih tampak keheranan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kami berbincang-bincang
untuk setengah jam ke depan tentang Langley Green. Aku bermaksud untuk melamar
pekerjaan sebagai sekretaris di kantor pengacara setempat, Smith & Bailey,
dan Tuan Bailey telah menjadwalkan <i>interview</i>
besok pagi pukul sembilan di kantornya. Akhirnya Tuan Kensington pamit pulang
dan mengatakan semoga berhasil untuk <i>interview</i>ku
besok. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Suara bunyi telepon
menganggu sarapanku. Aku berdecak kesal karena acara makan pagiku sudah dua
kali terganggu, tetapi aku beranjak juga ke ruang tengah untuk mengangkat
telepon. “Halo,” sapaku, berusaha terdengar kesal kepada siapa pun yang
menelepon.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Halo Charlotte!” suara
ceria Lily menggema di kupingku, “Suaramu tidak biasa pagi ini. Oh, apakah aku
terlalu pagi untuk menelepon?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku tertawa mendengar
suara khawatir Lily yang dibuat-buat. Sejujurnya jam sembilan pagi sudah cukup
siang bagiku. “Maafkan aku Lily. Ya, kau terlalu pagi. Buat orang sepertimu jam
sembilan memang terlalu pagi.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jadi kau berpikir
bahwa aku adalah tipe orang yang menghabiskan waktu untuk tidur sampai siang?”
dia bertanya dengan nada marah yang tidak serius. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Suara marah palsu Lily
membuatku tertawa lagi. “Oke, oke, aku hanya bercanda. Tetapi sekarang serius,
kenapa kau meneleponku sepagi ini?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Masa kau lupa? Aku
mengirim pesan kepadamu kemarin malam. Akhir pekan ini aku akan datang ke
Langley Green. Aku sudah dapat cuti dari atasanku dan aku akan berada di sana
Sabtu pagi, mungkin sekitar jam sembilan atau sepuluh. Akan kulihat bagaimana
kehidupanmu di sana dan apa yang membuatmu benar-benar ngotot untuk pindah ke
sana.” Lily menaikkan suaranya pada kalimat terakhir, dan entah kenapa aku
merasa dia memelototkan matanya ketika mengucapkan kalimat terakhir itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Oh, baiklah Lily.
Sampai ketemu Sabtu nanti!” kataku dan menutup telepon. Aku kembali lagi ke
meja sarapan dan berharap tidak ada yang menganggu lagi makan pagiku kali ini.
Sambil memakan serealku, aku memikirkan tentang membuat sesuatu yang agak
berbeda ketika Lily datang nanti. Biasanya aku sarapan dengan roti bagel atau
sereal dan sandwich. Mungkin aku bisa membuat English Muffin untuk Sabtu nanti.
Kalau tidak salah aku menemukan resep itu kemarin ketika membereskan lemari
dapur bekas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tuan Bailey bisa
dibilang sebagai orang yang paling bosan tinggal di Langley Green. Dia sudah
menghabiskan 26 tahun hidupnya dengan membuka praktek pengacara di sini,
meneruskan pekerjaan ayahnya, Smith yang meninggal karena kanker otak. Tidak
banyak yang bisa dilakukan di sini selain mengurusi perceraian, pembagian harta
warisan yang tidak seberapa dan tetek bengek kecil lainnya. Sekretaris lamanya,
Nona Emma, pulang ke kampung halamannya beberapa hari lalu, jadi terpaksalah
Tuan Bailey membuka lowongan untuk mencari sekretaris baru.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dari pertama melihatku,
bisa kusimpulkan bahwa dia tidak terlalu suka padaku. Tetapi kelihatannya Tuan
Bailey memang tidak suka dengan semua
orang. Dia terperangkap di sini, tinggal berdua saja bersama istrinya yang
invalid, menghabiskan waktu di kantor kecil dan mengurusi hal yang menurutnya
melecehkan gelar hukumnya. Sudah jelaslah bahwa dia berangan-angan untuk pindah
dari sini, ke kota besar, dia bisa mulai di Crawley atau kota lainnya. Membuka
praktek pengacara di sana, berusaha sedikit demi sedikit untuk mendapat dana
yang cukup untuk menyewa gedung yang lebih besar di kota yang lebih besar juga,
London mungkin? Yang jelas, kenyataan membawanya masih tetap berada di Langley
Green.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kata Pak Tua itu, aku
sudah bisa bekerja mulai Senin depan. Pekerjaannya juga tidak terlalu repot,
hanya mengetik surat-surat dan dokumen-dokumen, menyusun jadwal pertemuan,
mengangkat telepon, serta melayani para tamu yang datang ke sini dengan ramah.
Tuan Bailey tidak bisa memberi gaji tinggi, mengingat ini hanyalah sebuah biro
hukum kecil. Namun uang tidak sepenuhnya menjadi masalah buatku. Aku datang ke
Langley Green untuk mengorek informasi mengenai masa laluku dan juga saudara
kembarku. Setelah aku memikirkan hal itu dengan lebih mendalam, aku baru sadar
aku belum melakukan apa-apa untuk semua itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Mimpi-mimpi aneh yang
kudapatkan, sekarang sudah tidak pernah kudapatkan lagi semenjak aku
menginjakkan kaki di Langley Green. Kuhempaskan badanku ke sofa butut di ruang
tengah, dan segera menyadari bahwa aku bisa saja merusak sofa ini kalau aku
melakukan hal itu lebih dari sekali. Kembali aku memikirkan tentang
mimpi-mimpiku dan juga saudara kembarku, Erick. Barulah aku teringat dengan
perkataan Tuan Kensington, bahwa pemilik rumah sebelum Tuan Worthington alias
ayahku, memboyong seorang anak lelaki ke Cardiff. Bisa saja itu Erick! Ayah membawa
Erick dan kakak perempuanku ke kota pelabuhan itu, sedangkan aku harus
menjalani hidup yang tidak menyenangkan di London bersama ibu. Itu kendengaran
sangat tidak adil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Apakah aku harus pergi
ke Cardiff untuk mencari Erick? Tapi Cardiff kota besar dan jaraknya jauh dari
Langley Green. Aku tidak mungkin akan langsung menemukan Erick di sana, selain
itu aku sama sekali tidak tahu bagaimana tampang Erick sekarang. Selama ini
yang kulihat di mimpiku adalah tampang Erick ketika dia masih kecil. Dan kemungkinan
lain yang tambah menyurutkan keinginanku untuk pergi ke Cardiff adalah mungkin
saja Erick telah pindah dari sana. Siapa tahu saja ada sesuatu yang membuatnya
pindah dan aku tidak tahu kemana. Aku benar-benar tidak punya sedikit pun
petunjuk untuk mencari keberadaan saudara kembarku itu, satu-satunya keluargaku
yang masih kuingat sampai sekarang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jumat pagi itu
kuputuskan untuk berbelanja ke pasar terdekat. Setelah mendapatkan semua yang
kubutuhkan, aku memutuskan mampir ke toko bunga untuk membeli bunga yang akan
kuberikan pada Nenek Loretta sebagai ucapan terima kasih karena telah
mengundangku makan malam dua hari lalu. Aku dengar dari Holly bahwa Nenek Loretta
sangat menyukai bunga Daisy, bunga yang melambangkan bulan kelahirannya, April.
Kubawa semua belanjaanku dan kumasukkan ke bagasi mobil. Buket bunga daisy itu
kutaruh di bangku penumpang dan akan segera kuberikan kepada Nenek Loretta.
Perjalanan dari rumah ke pasar sebenarnya bisa ditempuh dengan 20 menit jalan
kaki, namun aku sedang tidak niat untuk berjalan-jalan sendiri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Mobilku kujalankan
dengan santai menyusuri jalan utama Langley Green. Sesuatu berkelebat dengan
cepat, dan itu membuatku terpaksa mengerem mendadak, membuat buket bunga
daisyku jatuh dan kepalaku hampir menabrak setir seandainya aku tidak pakai
sabuk pengaman. Kulihat dari kaca mobil, wanita berjubah hitam yang sama
seperti yang kulihat dua malam lalu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">”<i>Shit!</i>” umpatku keras-keras, merasa benar-benar jengkel dengan
wanita sok misterius dan aneh yang berdiri dengan enteng di depan mobilku.
Dengan cepat aku keluar dari mobil dan menghampiri wanita itu. Anehnya, dia
tersenyum kepadaku, bukan senyum yang ramah, tetapi lebih mirip sebuah seringaian
licik. “Kau,” aku menunjuk ke arahnya dengan geram, “Kau hampir saja tertabrak
tahu! Apa yang kau lakukan tiba-tiba datang menghalangi jalan!?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dia tersenyum licik
lagi sebelum menjawab, “Aku datang karena aku ingin melihatmu. Kau yang akan
jadi berikutnya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku mengernyitkan
keningku merasa sangat aneh dengan perkataannya. Mungkinkah wanita ini gila?
Atau dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur? Dari tampangnya dia memang
terlihat sangat cantik, wanita tercantik yang pernah kulihat. Dia bisa jadi
model atau bintang film atau apa saja, tetapi aku merasakan bahwa ada aura
jahat yang mengelilingi wanita di depanku ini, dan aku tidak suka itu. “Aku
tidak mau ambil pusing dengan perkataanmu. Tolong segera menyingkir dari tengah
jalan supaya aku dapat mengendarai mobil dengan tenang!” perintahku kepadanya
dengan kasar. Sudah kubilang kan aku tidak suka wanita ini.<o:p></o:p></span></div>
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Kau akan menyesal berkata begitu!” ujarnya dan
dia berjalan ke pinggir. Wanita itu masih menatap ke arahku walau aku sudah
berada di dalam mobil. Kujalankan mobilku dengan pelan dan aku sempat melirik
sebentar wanita itu dari kaca penumpang. Benar-benar wanita yang aneh!</span>Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-17860775869164778902016-02-24T07:11:00.001-08:002016-02-24T07:11:49.525-08:00Don't Bury Me In My Own Grave Bab 3<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pagi
telah menjelang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
tahu bahwa aku hampir-hampir tidak tidur semalamam. Aku berhenti sekali-sekali
untuk istirahat sebentar di dalam mobil. Namun tidak sampai setengah jam, aku
terbangun lagi. Sekitar jam tiga pagi, aku menemukan sebuah bar 24 jam dan
memutuskan untuk masuk ke dalam sana. Bar itu tampak sepi, tidak ada seorang
pun kecuali si penjaga counter yang merupakan seorang lelaki jangkung yang
tertidur pulas. Keadaan bar itu tidaklah
terlalu buruk bagiku, tetapi aku merasa sedikit ragu untuk membangunkan lelaki
jangkung itu. Aku mengambil tempat duduk di depan sang penjaga counter dan
tanpa disangka-sangka lelaki itu terbangun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Oh,
ya ampun, maaf. Aku tidak bermaksud menganggu tidurmu,” ujarku sopan kepada
lelaki jangkung yang sedang mengucek-ngucek matanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Eh,
tidak apa-apa Nona.” Dari suaranya terdengar sekali bahwa dia masih sangat
mengantuk. “Pelanggan terakhirku baru saja pergi 15 menit yang lalu dan dia
sepenuhnya mabuk. Aku tidak yakin dia bakalan bisa mengemudi mobil truknya itu
dengan selamat. Apa yang bisa kubuatkan untukmu Nona?” si lelaki jangkung
tersenyum ramah. Sepertinya dia tidaklah seburuk penampilannya terkesan seperti
gelandangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sudah
jam tiga pagi dan aku tidak mau untuk meminum minuman beralkohol saat ini.
Sejujurnya aku sendiri pun bingung kenapa aku
masuk ke dalam bar ini. Aku seharusnya berada di dalam mobil sekarang,
mengemudi secepatnya untuk sampai ke Langley Green. Dan aku sudah menghabiskan
enam botol air putih dan tiga kaleng soda di sepanjang perjalanan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Mungkin
kau bisa istirahat sebentar di sini, sampai pagi menjelang.” Si lelaki jangkung
berkata tiba-tiba. “Kau membangunkanku ketika aku baru saja akan tertidur pulas
dan aku benar-benar masih sangat mengantuk Nona. Pekerjaan 24 jam itu
menyebalkan, tapi tidak ada yang lain yang bisa kulakukan. Bar ini sebenarnya
tidak buka selama 24 jam, ketika kurasakan bahwa tidak akan ada lagi pelanggan
yang datang, aku akan menutupnya. Aku biasa menutupnya sekitar pukul setengah
empat pagi, tapi Nona aku sama sekali tidak keberatan apabila kau mau
menghabiskan waktumu sampai pagi di sini. Bangunkan saja aku kalau kau perlu
apa-apa.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa dia boleh tidur kembali. Kuputuskan
untuk berpindah tempat ke salah satu meja dan mengeluarkan buku harian masa
kecilku. Entah kenapa aku merasa sangat tertarik dengan semua kejadian yang
telah terjadi di waktuku kecil. Ini seperti kembali mengeluarkan memori yang
sudah tersimpan lama, dan kudapati bahwa tidak ada buruknya juga aku menguatkan
niatku untuk kembali ke Langley Green. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Paginya,
sekitar pukul tujuh, aku berpamitan kepada Mark, si lelaki jangkung penjaga
counter itu, dan memberinya tip karena sudah memperbolehkan aku menghabiskan
waktu sampai pagi di barnya. Awalnya dia menolak karena aku sama sekali tidak
memesan apa-apa, tetapi aku memaksanya untuk mau menerima tip yang kuberikan
sebagai ucapan terima kasih. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Langley
Green sudah hampir dekat. Aku bisa merasakannya dan mulai mengenali setiap inci
jalan yang kulalui. Tidak salah lagi, aku kenal dengan lingkungan ini. Ini
lingkungan rumahku. Aku mungkin amnesia, tetapi kenangan akan rumah masa
kecilku masih sesegar seperti aku baru saja meninggalkannya beberapa jam yang
lalu. Tidak ada yang berbeda kecuali papan yang bertuliskan ‘dijual’ tertancap
di halaman depan. Ada seorang pria setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di
sebelah papan itu sedang memperhatikan keseluruhan bentuk depan rumah. Segera
ku keluar dari mobil dan menghampirinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Maaf,”
sapaku kepada lelaki bertubuh gemuk tersebut. Dia membalikkan badannya dengan
cepat dan memandangku heran.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya?”
katanya, “Ada perlu apa Anda ke sini?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Betulkah
rumah ini dijual?” aku menunjuk ke papan di sebelahnya. “Kenapa rumah ini dijual?
Siapa pemiliknya terdahulu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Benar
sekali Nona, rumah ini akan dijual oleh pemiliknya. Pemilik terdahulunya adalah
Mr. Worthtington. Dia baru saja pindah tadi pagi beserta keluarganya ke Brighton
dan aku ditugaskan untuk menjual rumah ini. Bagaimanakah Nona? Apa Anda
tertarik untuk membelinya? Sesungguhnya saya akan mendapat untung lebih apabila
saya dapat menjualnya secepat mungkin.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
melihat ke arah lelaki paruh baya itu sebentar sebelum perhatianku kembali
tertuju kepada rumah masa kecilku. Aku akan menemukan sesuatu di sini, aku
yakin. “Ya, aku berminat membelinya. Aku bahkan sudah berniat untuk pindah
sekarang ke sini. Berapa harga yang kau tawarkan?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pria
itu tampak terkejut dengan perkataanku yang tidak terduga ini. “Tetapi apa Anda
yakin? Maksud saya Anda bisa melihat dulu isi dalam rumah. Anda tidak mau
membeli rumah hanya dari bentuk luarnya saja kan? Apalagi Anda memutuskan untuk
segera pindah ke sini. Bagaimana bisa? Memang masih ada beberapa perabotan lama
yang tertinggal di rumah ini. Selebihnya Andalah yang harus mengisinya Nona!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Bicara
apa kau ini? Cepat sebutkan saja berapa harganya!” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah
menyelesaikan urusan pembelian rumah, aku akhirnya ditetapkan sebagai pemilik
rumah ini yang baru. Kuletakkan tas-tas dan koper berisi segala perlengkapanku
ke dalam rumah dan merasakan hembusan kuat memori lama yang tiba-tiba menerpa
otakku. Aku senang dengan sensasi ini, kuteliti semua sudut rumah, merasakan
betul bagaimana letak semua benda-benda di dalam rumah ini ketika aku masih
kecil. Memang rumah ini terlihat lenggang dan lebih luas karena minimnya
perabot, tapi itu bisa dipikirkan nanti. Aku segera naik ke lantai atas, tempat
dimana kamarku berada. Kubuka pintu dan sensasi memori lama itu benar-benar
mengetarkanku. Aku terdiam sebentar dan akhirnya memperlihatkan senyum lebarku.
Dalam ingatanku, aku bisa membayangkan beginilah kamarku ketika aku masih kecil
dulu. Ada papan pengingat tergantung di dinding, karakter-karakter kartun
Disney yang juga meramaikan dinding kamarku. Serta gambar-gambar yang kubuat
sendiri ditempel di berbagai perabotan seperti lemari dan meja belajar. Tapi
itu semua hanyalah dalam khayalanku saja. Kamar ini hanyalah sebuah kamar
kosong dengan sebuah tempat tidur dan cermin berbentuk oval tergantung di salah
satu dinding. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
kembali memeriksa kamar-kamar yang lain. Kamar di sebelahku, entah darimana aku
tahu, tapi firasatku mengatakan bahwa ini dulunya adalah kamar Erick. Memang
tidak ada satu benda pun yang dapat menggambarkan bahwa ini kamar Erick, tapi
aku tahu bahwa ini pernah menjadi kamarnya. Kutinggalkan kamar Erick dan aku
kembali ke ruang depan di mana tas-tas dan koperku kuletakkan. Tidak ada
furniture di ruangan ini, jadi aku memutuskan untuk memeriksa ke belakang
rumah. Aku masih ingat betul dengan beranda yang kerap kali menemani mimpiku
ketika aku berada di rumah sakit. Dan sekarang di sinilah aku berada, terima
kasih sekali kepada Mr. Worthtington dan keluarganya yang sama sekali tidak
merusak pemandangan belakang rumahku. Yap, pohon-pohon maple itu masih ada di
sana.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sayang
sekali sekarang bukanlah musim gugur. Aku ingin melihat pohon-pohon maple
mengugurkan daunnya. Kuingat sekali lagi bagaimana mimpi-mimpiku itu. Dua orang
anak, berdiri di beranda rumah, seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Aku benar-benar yakin bahwa dua anak itu adalah aku dan Erick. Tidak
salah lagi, ini adalah rumah kami dan yang perlu kutahu sekarang, apa yang
sampai menyebabkan Erick pergi meninggalkanku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seperti
yang sering sekali dibilang oleh orang-orang, waktu cepat berlalu. Apalagi
kalau kau sedang melakukan atau sedang berada di suatu tempat yang menurutmu
sangat menyenangkan. Dan begitulah keadaanku sekarang. Aku benar-benar senang
bisa kembali lagi ke rumah yang penuh dengan kenangan ini. Kemarin aku sudah
berhasil mengangkut beberapa perabotan lama dari gudang. Aku merasa nyaman
dengan semua perabotan usang ini. Ada beberapa remaja yang sedang menikmati
liburan musim panas mereka, jadi aku membayar mereka untuk membantuku membawa
semua perabotan dari gudang, membersihkannya, dan menatanya ulang kembali. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seharian
kami mengerjakan pekerjaan yang melelahkan itu, dan aku sangat menyukai
anak-anak yang membantuku karena mereka tidak banyak mengeluh. Sekarang aku
berada di ruang tengah sembari membaca koran lokal. Sofa yang kududuki terasa
keras dan aku yakin aku tidak mau duduk terlalu lama di atasnya. Mungkin aku
perlu membeli televisi, atau mengambil televisiku di rumahku yang lama. Setelah
tidak menemukan berita menarik di koran, aku mengambil telepon selularku dan
menelepon Lily.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Coba
tebak,” kataku ceria ketika dia mengangkat telepon.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
sama sekali tidak punya ide,” jawabnya cepat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Cepat
sekali kau menyerah,” ejekku sembari menjulurkan lidah walau kutahu Lily tidak
akan mungkin bisa melihatnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hmmm...,”
Lily terdengar sedang berpikir sebelum akhirnya menghela napas menyerah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Begini,”
aku menahan napas dan menghitung sampai tiga, “aku sudah pindah ke rumah masa
kecilku.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Awalnya
Lily tidak merespon, tapi kemudian terdengar suara teriakan, “Jadi kau
benar-benar pindah ke sana!?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Nada
tinggi antara marah dan terkejut yang keluar dari mulut Lily membuatku tertawa
geli. “Berhentilah berteriak begitu. Aku tidak meninggalkan Inggris raya yang
tercinta ini. Aku hanya pindah ke kota yang agak jauh dari London.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tapi
tetap saja kau pergi meninggalkan semua teman dan pekerjaanmu di sini.” Suara
Lily mulai tenang kembali. “Bagaimana bisa kau melakukan semua ini? Kau baru
saja keluar dari rumah sakit dan kau berhenti bekerja. Bagaimana kau bisa
bertahan hidup di kota kecil seperti Langley Green?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku
kan bisa mencari pekerjaan. Jadi kasir misalnya? Atau mungkin pelayan kafe?”
jawabku walau dalam hati aku tidak begitu yakin gaji yang akan kuterima bakalan
sebesar gajiku dulu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hening
sebentar sebelum Lily mulai berteriak lagi, “Hah!? Kau bercanda ya!? Kau
meninggalkan pekerjaanmu sebagai kepala editor majalah dan menggantikannya
sebagai kasir? Yang benar saja!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Eh,
ya, yang benar saja!” aku mengikuti nada suaranya. “Memang gajiku tidak akan
sebesar dulu, tetapi hei! Ini kota kecil! Apa yang kau harapkan?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lily
hanya terdiam saja dan akhirnya menutup telepon secara sepihak. Aku tidak tahu
kenapa dia melakukannya, mungkin hanya karena kesal kepadaku. Kuletakkan
kembali gagang telepon dan berjalan ke dapur untuk sarapan. Baru saja aku
mengoleskan selai ke atas rotiku, terdengar bunyi pintu diketok oleh seseorang.
Kuletakkan dulu rotiku dan bergegas ke depan untuk menyambut tamu pertamaku di
kota ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hallo,”
sapa seorang wanita muda bertubuh kerdil dengan ramahnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Well,
hallo,” sapaku balik dan mengerutkan kening, “Aku rasa aku sama sekali tidak
mengenali Anda. Siapa Anda?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya
ampun, maaf!” wanita muda itu membungkukkan badan sedikit. “Namaku Holly. Aku
tinggal di sebelah rumahmu. Kudengar dari Tuan Kensington bahwa Andalah pemilik
baru dari rumah ini.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kensington
adalah lelaki paruh baya yang menjual rumah ini kepadaku. “Betul sekali, Nona
Holly. Nama saya Charlotte.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dia
tersenyum kembali dengan ramahnya. “Aku tahu siapa namamu. Tuan Kensington
memberitahuku kemarin. Dan aku beserta nenekku sangat senang dengan adanya
tetangga baru. Maka daripada itu nenekku meminta kesediaan Anda agar dapat
makan malam bersama kami di rumah kami malam ini.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan menampilkan senyum ramah juga.
“Tentu saja. Aku akan sangat senang sekali.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Terima
kasih.” Holly membungkukkan badannya lagi dan berjalan pergi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah
kututup pintu, aku kembali ke dapur untuk menikmati sarapan rotiku. Aku merasa
cukup senang karena mendapat tetangga yang baik dan bahkan mereka mengundangku
makan malam. Sepertinya wanita bernama Holly itu umurnya tidak terlalu jauh
dariku, mungkin saja kami bisa jadi teman akrab. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Malam
harinya, aku memenuhi janjiku untuk pergi ke rumah tetanggaku. Sesampainya di
sana, aku disambut oleh Holly sendiri dan dia mempersilahkanku masuk. Dia
kemudian menggiringku langsung ke ruang makan yang mana telah menunggu neneknya
Holly. Wanita tua itu sedang duduk di kursi rodanya, memandangku sambil
tersenyum. Kulit wajahnya telah mengendur dan terdapat bercak-bercak
kecoklatan. Kuperkirakan umurnya sudah mendekati </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">80</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> tahunan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ini
nenekku. Namanya Loretta,” ujar Holly sambil mengelus pundak neneknya pelan.
“Nek, ini adalah tetangga baru kita, namanya Charlotte.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Nenek
Loretta hanya tersenyum saja, membuatku agak sedikit bingung. Holly nampaknya
menyadari itu dan dia menggiringku ke ruang tengah. “Ada apa?” tanyaku yang
merasa heran dengan sikapnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Maafkan
aku karena tidak memberitahukan hal ini terlebih dahulu.” Dari air mukanya dia
terlihat benar-benar menyesal. “Nenekku itu..., dia bisu, sejak lahir. Dan dia
sama sekali tidak bisa berbahasa isyarat. Semua keinginannya selalu dia tulis
di kertas.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Oh...,”
aku tidak tahu harus berkata apa. “Ya, aneh juga kenapa dia tidak berbicara
sedari tadi.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya
begitulah.” Holly menggiringku lagi ke ruang makan. Dan kami pun mulai makan
malam bersama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Nenek
Loretta sepanjang makan malam menatapku terus sambil tersenyum. Aku merasa
sangat tidak nyaman dengan hal itu. Bukan berarti aku tidak menyukai wanita tua
malang tersebut, tetapi melihat dia tersenyum terus kepadaku hampir tiap menit,
membuatku merasa sedikit ngeri juga. Melihat situasi makan malam yang kurang
nyaman ini, Holly mencoba membuka pembicaraan denganku. “Jadi, kau pindah dari
London?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
mengangguk dan dalam hati bersyukur juga dengan dimulainya pembicaraan ini.
“Ya, begitulah,” jawabku pendek.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kenapa
kau pindah ke sini? Ini kota kecil, tidak banyak yang bisa dilakukan,” kata
Holly yang sepertinya penasaran sekali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
terdiam sejenak sembari meletakkan sendok dan garpu di piring. Haruskah
kukatakan bahwa aku ke sini karena ingin sekali mengetahui tentang apa saja
yang terjadi ketika ku masih kecil? Aku bahkan tidak yakin bahwa Holly tahu
bahwa sebelum Mr. Worthtington keluargakulah yang menempati rumah itu. Setelah
sadar bahwa aku terlalu lama berpikir, akhirnya aku menjawab, “Tidak ada yang
khusus sebenarnya. Aku sudah mulai bosan dengan suasana London dan berpikir
mungkin tinggal di kota kecil seperti Langley Green akan menyenangkan. Aku
tinggal di London seumur hidupku.” Oke, itu semua adalah satu kebohongan besar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Holly
kelihatan lebih tertarik lagi ketika aku mengatakan tentang London. “Benarkah?
Dari dulu aku ingin sekali bisa mengunjungi London. Dulu aku tinggal di
Portsmouth, tetapi aku lahir di sini, di Langley Green. Aku merasa nyaman di
sini, jadi ketika aku lulus SMA, aku memutuskan untuk pindah ke sini bersama
Nenek Loretta. Kasihan nenek, tidak ada yang mengurusnya di sini.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Wow,
kau gadis yang sangat baik hati. Apakah orang tuamu masih tinggal di
Portsmouth?” sekarang giliranku yang bertanya kepadanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Yap,
mereka punya pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan di sana. Tapi mereka
akan berkunjung ke sini tiap Natal.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kemudian
keheningan mulai menyergap lagi. Baik aku, Holly dan Nenek Loretta telah
selesai makan malam. Holly mengatakan bahwa dia akan mengantar neneknya dulu ke
atas sebelum membereskan meja makan. Sementara aku masih terduduk di kursiku
sambil mengambil telepon genggam dari saku dan mendapati pesan singkat dari
Lily. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hei, mungkin
akhir pekan ini aku bisa menemuimu di Langley Green.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
mengerutkan kening. Heh, Lily akan mengunjungiku di Langley Green? Kupikir dia
marah kepadaku karena aku memutuskan untuk pindah ke sini. Aku membalas pesan
Lily dan melihat Holly menuruni tangga lalu mulai membereskan piring-piring dan
gelas makan malam kami. Merasa ikut bertanggung jawab, aku pun membantunya
mengangkut peralatan makan kotor itu ke bak cucian. Setelah selesai membereskan
meja, Holly mengajakku ke ruang tengah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hei,
berapa umurmu? Rasanya kita tidak terlalu jauh berbeda ya?” mulainya ketika
kami sudah duduk di ruang tengah dengan TV yang menyala.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tiga
bulan lagi aku akan berumur 26 tahun,” jawabku dan melemparkan pertanyaan yang
sama kepadanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Bulan
lalu aku baru masuk 21 tahun,” jawabnya ceria. “Mungkin kita bisa jadi teman.
Tidak banyak yang bisa dijadikan teman di sini. Terkadang hidup di sini bisa
sangat membosankan. Tapi aku akan terus bertahan untuk nenek.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
memandangnya lekat-lekat. Merasa sangat tertarik dengan Holly. Dia sangat baik
dan sopan. Jarang sekali ada gadis muda seperti dia di jaman sekarang ini. “Kau
benar-benar sayang dengan nenekmu ya? Apakah itu semua karena dia, bisu dan
lumpuh?” aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan cukup pelan dan bernada
simpati.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Wajah
Holly seketika berubah suram. Hal itu membuatku jadi merasa bersalah karena
berkata yang tidak-tidak tentangnya. “Mungkin sebagian,” ujar Holly yang
membuatku menaikkan sebelah alis mataku. “Mungkin sebagian dariku memang merasa
kasihan. Selama tiga tahun di sini, nenek hampir tidak bisa apa-apa. Wanita
yang dulu bekerja untuk merawat nenek sangat tidak telaten dan dia meninggalkan
nenek begitu saja. Maka daripada itulah aku yang merawat nenek karena aku tahu
tidak akan ada yang mau bersusah-susah untuk merawat orang tua. Kau tinggal
memasukkannya ke panti jompo dan akan mengambilnya kembali ketika dia sudah
meninggal. <i>Hell yeah, </i>terdengar kejam
bukan? Aku menyanyangi nenek karena ku masih ingat sewaktu ku kecil, neneklah
yang benar-benar memperhatikanku. Sekarang, giliranku yang memperhatikannya.
Bisa dibilang ini hubungan timbal balik, tetapi kami saling menyanyangi, dan
itu sudah cukup untuk terus membuatku bertahan di sini. Kau tahu tidak? Aku
hampir-hampir tidak punya waktu istirahat. Aku bekerja sebagai pengurus
anak-anak keluarga Wargrave untuk biaya hidup kami sehari-hari dan di rumah aku
harus mengurus nenek lagi. Benar-benar melelahkan sekali.” Wajah Holly terlihat
berseri-seri sekali karena pada akhirnya ada juga yang mau mendengarkan
ceritanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Apa
kau...,” aku berhenti sejenak, untuk mencari kata-kata yang cocok. “Pernah
menginginkan nenekmu kembali kepada Sang Pencipta?” sudah benarkah perkataanku?
Rasanya segalanya serba salah apabila aku ingin mengomentari suatu hal yang
pribadi pada diri seseorang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Wajah
berseri-seri Holly langsung hilang bagai disapu angin. Dia tertunduk namun
cepat-cepat mengangkat mukanya lagi. “Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin kau ada
benarnya. Mengurus seseorang yang cacat memang tidak mudah. Umur nenekku
sebentar lagi </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">80</span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">
tahun, dan terkadang jauh di lubuk hatiku aku berharap kepada Tuhan, kenapa Kau
belum memanggilnya? Tapi aku selalu cepat-cepat menepis semua itu. Tuhan
memberinya umur panjang, dan itu bagus kan?” dia terlihat tidak yakin dengan
perkataannya yang terakhir.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tetapi
hidup lama hanya untuk menyusahkan orang?” aku langsung menutup mulutku dengan
tangan ketika menyadari betapa kurang ajarnya aku mengatakan itu. “Maksudku,
aku, aku tidak bermaksud...,”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Sudahlah,
aku mengerti. Memang kesabaran orang ada batasnya, dan seperti yang kukatakan
tadi, aku terkadang berharap dia segera dipanggil oleh Tuhan, jadi aku bisa
bebas dan pergi dari Langley Green. Dia bisa dikuburkan dengan layak di kota
kelahirannya ini, tetapi setiap kupikirkan ulang, itu kedengaran jahat sekali!
Mendoakan nenekmu sendiri untuk mati, itu sungguh tidak berprikemanusiaan! Maka
daripada itu aku terus bersabar dalam merawat nenek.” Jawabannya terdengar
mantap sekali, membuatku terkagum-kagum dalam hati.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Merasa
bahwa membicarakan tentang Nenek Loretta terus tidak akan berjalan baik, maka
aku mengganti topik. “Adakah mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Langley Green?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Holly
terlihat bingung sesaat tapi dia
menjawab juga, “Setiap kota punya mitos sendiri-sendiri. Kenapa kau ingin
tahu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak
ada. Rasanya senang saja bisa mengetahui bahwa semodern apapun suatu kota atau negara,
yang namanya mitos tidak akan pernah hilang dari kebudayaan masyarakatnya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya,
kau benar. Ada satu, dan ini kudengar dari Mr. Wargrave ketika aku baru pertama
kali bekerja di rumahnya. Dia menceritakan sebuah kisah tentang seorang
bangsawan bernama Duke Mayhem yang mempunyai seorang istri bernama Camille.
Jarak umur mereka terpaut hampir 25 tahun, tetapi rumah tangga mereka berjalan
harmonis karena Duke Mayhem sangat menyanyangi istrinya. Dia sama sekali tidak
tahu bahwa istrinya adalah seorang penyihir yang jahat yang memanfaatkan
kekuasaan suaminya untuk mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan korban supaya
dia bisa berumur panjang dan tidak bertambah tua. Namun, pada suatu hari di bulan
Oktober, semua rahasia Camille terungkap oleh Duke Mayhem sendiri dan akhirnya
Camille dibakar hidup-hidup oleh para warga. Konon sebelum dia dibakar
hidup-hidup, dia sempat berkata bahwa dia akan menuntut balas dan akan terus
menghantui kota dan para warganya.” Holly menghela napas sebelum melanjutkan
kembali, “Begitulah ceritanya. Masih ada orang yang percaya dengan cerita ini
sampai sekarang, namun sebagian besar orang hanya menganggapnya mitos belaka.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hmmm,”
gumamku tidak jelas sambil mengangguk-ngangguk mendengar cerita Holly. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Oh
iya Charlotte,” sahut Holly tiba-tiba, “Kau orang Perancis ya? Namamu
kedengaran seperti orang Perancis.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak
juga.” Aku bingung harus menjawab apa. Tidak ada satupun tentang keluargaku
yang kuingat mempunyai darah Perancis. Akhirnya aku mengarang cerita saja
kepada Holly bahwa nenekku masih keturunan Perancis dan melihat jam dinding
yang sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Aku pamit pulang kepada
Holly dan gadis itu mengantarku sampai di beranda depan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di
depan rumah, aku melihat seseorang berdiri membelakangiku. Dia memakai jubah
hitam panjang, dan ketika aku menghampirinya, dengan cepat dia berbalik. sosok
berjubah ini adalah seorang wanita cantik berumur awal tiga puluhan. Dia
tersenyum sekilas kepadaku sebelum
wajahnya berubah dingin. “Ini rumahmu?” tanyanya dengan suara yang sama
dinginnya dengan wajahnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
mengerutkan kening dan mengangguk. Perasaan tidak suka terhadap wanita ini
mulai menjalariku. Untuk apa coba dia datang malam-malam begini dengan jubah
hitam bagaikan seorang nenek sihir?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jadi
kau adalah pemilik baru rumah ini.” Dia berhenti dan memandangku dari atas
sampai bawah dan tersenyum sekilas lagi. Perbuatannya itu benar-benar tambah
membuatku jengkel. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, wanita misterius
tersebut langsung pergi. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kutatap
punggungnya yang semakin menjauh sampai dia hilang ditelan kegelapan malam.
Apa-apaan dia? Datang ke sini hanya untuk menanyakan itu? Dan caranya
memandangku dari atas ke bawah itu, sepertinya dia mempunyai maksud tertentu
melihatku. Siapa si wanita aneh itu? Hm, mungkin besok kutanyakan saja pada
Holly. Dengan perasaan masih kesal, aku masuk ke dalam rumah dan mengunci
pintu.<o:p></o:p></span></div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-2356071592786074922016-02-24T07:09:00.003-08:002016-02-24T07:09:42.472-08:00Don't Bury Me In My Own Grave Bab 2<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Fourteen
Years Later...<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Kecelakaan itu
membuatku amnesia. Aku tidak ingat satu pun, aku lupa namaku, aku lupa dengan
nama teman-temanku, aku benar-benar merasa kosong. Setelah hampir sebulan
menginap di rumah sakit, aku akhirnya dapat pulang ke rumah. Hanya saja
sekarang banyak yang berbeda. Lily, yang mengaku sebagai teman akrabku di
kantor, bilang bahwa rumah sederhana berperabotan banyak ini adalah rumahku.
Tetapi entah kenapa yang ada di dalam ingatanku adalah sebuah rumah besar di
sebuah komplek perumahan yang jauh dari keramaian kota, bukan di sebuah
apartemen sempit seperti ini. Kujelaskan pada Lily bahwa dia telah salah
mengantarku pulang, tapi dia hanya tersenyum tipis dan menepuk bahuku pelan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">“Kau baru pulang dari
rumah sakit sayangku. Otakmu masih kacau. Nah, sekarang istirahatlah di
kamarmu.” Lily menuntunku menuju kamarku yang kecil. Tidak ada yang berarti di
situ, semuanya terlihat sangat membosankan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">“Aku rasa dulu aku
punya semacam papan pengingat di kamar ini. Aku akan mencatat segala kegiatanku
dengan spidol warna-warni dan menempelnya di papan itu. Aku juga merias
lemariku dengan potongan-potongan gambar yang kubuat sendiri. Dan seingatku ada
gambar-gambar karakter Disney yang menghiasi dinding kamarku. Kenapa sekarang
begitu berbeda?” tanyaku kepada Lily yang mengerutkan kening disebelahku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Dia pasti berpikir
bahwa aku bicara melantur, bisa dilihat dari ekspresi mukanya yang memandangku
aneh. Namun dia berusaha menutupinya dengan senyuman. “<i>Well,</i> Charlotte, ini adalah kamarmu yang sekarang. Mungkin kau
membicarakan kamarmu ketika kau masih kecil. Nah, sekarang istirahatlah. Sudah
kubilang otakmu masih kacau.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Aku memandangi lagi
setiap jengkal kamarku sebelum mengangguk kepada Lily. “Mungkin kau benar.
Entah kenapa semenjak keluar dari rumah sakit aku terus-menerus mendapat
bayang-bayang masa kecil berkelebat di otakku. Ini aneh sekali.” Aku
membaringkan diriku dan menarik selimut, lalu tersenyum pada Lily. “Kau baik
sekali. Menyesal bahwa aku sama sekali
tidak ingat apa-apa.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">“Tidak apa-apa
Charlotte. Nanti kau juga akan ingat, istirahatlah. “Lily memperingatkan untuk
ketiga kalinya. Dengan satu anggukan kepala, aku mencoba tidur dan terbawa
hanyut ke alam mimpi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Malam harinya, aku
mendapati sebuah buku cukup tebal setelah mengobrak-abrik lemari. Entah kenapa
buku yang bersampul warna-warni ini begitu familiar di ingatanku. Aku pernah
merasa memiliki buku ini entah pada waktu yang mana. Yang jelas, aku tidak
begitu ingat. Apa ini buku harianku? Karena penasaran kubuka satu persatu
halaman dari buku tersebut. Di halaman pertama kudapatkan :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">16
Oktober 1994<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Erick
menyuruhku untuk mencatat apa saja yang kujalani setiap harinya dalam sebuah
buku. Menurutnya kebiasaan menulis apa saja yang kita jalani itu adalah sebuah
hal yang bagus, selain itu bisa dijadikan sebuah dokumentasi untuk anak dan
cucu kita nanti. Saudaraku itu memang selalu berpikiran jauh ke depan!<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Tapi
menurutku, aku tidak bisa melihat apa bagusnya menulis di buku harian. Hidupku
membosankan, hanya Ericklah yang bisa membuatnya lebih berwarna. Aku benci anggota
keluargaku yang lain, mereka tidak pernah memperhatikanku dan Erick.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Kuharap
Erick benar. Dengan mencatat semua kegiatan dalam sebuah buku bisa membuatku
tidak lagi mengeluh dan melihat hidup ini dengan banyak sisi positifnya.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Aku mengedipkan mataku
beberapa kali, tidak menyangka dengan apa yang tertulis di sini. Ini
benar-benar buku harianku. Buku harian masa kecilku. Erick, rasanya aku memang
mengenal nama itu. Walau pun aku menderita lupa ingatan karena kecelakaan itu,
tetapi aku ingat ada satu nama yang terus terngiang-ngiang di mana pun aku
berada, bahkan ketika berada di rumah sakit dalam keadaan tidak sadar. Dan nama
itu tidak salah lagi, nama itu Erick. Erick! Aku ingat sekarang! Dia saudara
kembarku!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Kubalik buku itu dan
kubaca halaman terakhir. Tertera di sana tanggal 21 November 1995. Tanggal ini,
aku mulai ingat. Sekelebat bayangan melintas di benakku. Waktu itu, begitu
menyedihkan. Bayangan pohon maple di belakang rumahku dulu masih tidak jelas,
kabur dan bergoyang-goyang. Ada dua orang anak berdiri di beranda, muka mereka
berdua sama tidak jelasnya dengan keadaan sekitar situ. Aku sama sekali tidak
dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Bayangan dua orang anak itu mengabur
dan bisa kudengar bunyi tinggi yang memekakkan telinga, dan kemudian semuanya
benar-benar hilang. Hal terakhir yang kulihat sebelum semuanya hilang, adalah
salah satu dari anak tersebut pergi meninggalkan anak yang satu lagi.
Sendirian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Bunyi bedebum benda
jatuh menyadarkanku. Kepalaku langsung sakit entah karena apa. Kupungut buku
harianku yang terjatuh dan sambil memengangi kepalaku, kupaksakan diri untuk
berjalan menuju kamar. Mataku berkunang-kunang karena sakit kepala yang
tiba-tiba ini. Namun ketika aku membaringkan diri ke tempat tidur, rasa sakit
kepala yang menghantam langsung hilang dengan tiba-tiba juga. Aku langsung
terduduk di tepi tempat tidur, merasa aneh dengan semua hal yang terjadi hari
ini. Kuambil lagi buku harian masa kecilku dan kubolak-balik terus
halaman-halamannya sampai suatu kertas terlipat terjatuh di pangkuanku. Kuambil
kertas itu dan dengan penasaran kubuka lipatannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 72.0pt;">Isi yang tertulis di
sana awalnya membuatku bingung. Kubaca lagi dengan seksama tulisan tersebut,
dan sebuah ketidakmengertian masih menghantam pikiranku. Ini adalah sebuah karangan
yang aneh sekali. Tetapi aku merasa sangat familiar. Aku merasa sangat familiar
dengan semua yang sudah terjadi hari ini. Aku harus mencari tahu apa yang
terjadi dengan Erick. Aku akan berusaha mencari tahu di mana keberadaan Erick
lagi. Dan aku memang harus kembali ke awal ini semua bermula.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Pagi itu Lily
meneleponku ketika aku sedang membaca buku harian masa kecilku. Kuangkat gagang
telepon dan telingaku langsung disambut oleh sapaan Lily yang lembut dan ceria.
“Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah otakmu sudah tidak kacau lagi setelah
istirahat yang cukup?” tanyanya langsung masih dengan suara lembutnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Ya, kupikir aku merasa
lebih segar pagi ini,” jawabku agak sedikit berbohong. Aku tidak tidur
semalaman. Aku sudah membuat keputusan dan aku akan melakukannya. “Kebetulan
sekali kau menelepon,” aku memotong sebelum Lily sempat berkata apa-apa lagi,
“aku akan meninggalkan London hari ini.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Kudengar pekik tertahan
dari Lily. Dia pasti terkejut sekali. “Kau hanya bercanda kan? Maksudku,
ayolah, Mr. Regan menanyaimu terus kapan kau bisa kembali bekerja di kantor.
Dan sekarang kau mengatakan padaku kau akan meninggalkan London. Itu berarti
kau juga akan meninggalkan pekerjaanmu di sini! Apa yang akan kukatakan kepada
Mr. Regan?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Bilang saja kepadanya,
aku berhenti.” Kututup sambungan telepon sebelum mendengar apa jawaban Lily.
Keputusanku sudah bulat, tidak ada yang bisa mencegahku. Aku merasa London
bukanlah tempat yang tepat sebagai awal permulaan mencari Erick. Aku akan pergi
ke sebuah desa kecil di sebelah barat Sussex, tempat dimana seharusnya aku bisa
menemukan petunjuk. Tempat dimana aku akan mengumpulkan kembali
ingatan-ingatanku yang hilang dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Semua barang yang
kubutuhkan telah kumasukkan ke dalam bagasi mobil. Aku akan pergi jauh dari
London menuju Sussex hanya dengan mengandalkan mobil BMW tua tahun 80-an ini.
Aku tidak tahu bagaimana aku akan mencapai desa masa kecilku, tetapi aku yakin
angin akan memanduku menuju ke sana. Ke sana, ke Langley Green.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Langley Green berada
dalam lingkungan kota Crawley, di sebelah barat Sussex. Cukup jauh juga untuk
mencapai ke sana, tapi seperti kataku aku tidak peduli. Kuperhatikan sekali
lagi peta menuju Langley Green dan bisa kurasakan bahwa aku tidak akan tersesat.
Di sepanjang perjalanan, aku benar-benar merasakannya. Setiap embusan angin
yang menerpa, suara gemerisik pepohonan, bahkan bunyi mesin mobil pun menjadi
sebuah pertanda bagiku. Seakan-akan semuanya sudah jelas terpampang di depan
mataku. Yang sekarang benar-benar kubutuhkan adalah sebuah tekad. Sebuah tekad
bahwa aku memang akan mencapai rumah masa kecilku yang sekarang samar-samar
kembali terekam di otakku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Kuputuskan untuk
berhenti dulu di gas station untuk mengisi bahan bakar mobil. Aku sebenarnya tidak
mau membuang waktu untuk menghabiskan malam di sebuah penginapan kecil di
sebelah gas station, tetapi hari memang sudah sangat larut dan aku juga butuh
istirahat karena mengemudi dari sejak pagi. Ketika kutanyakan apakah masih ada
kamar yang kosong, si wanita penjaga counter menggeleng ringan dan mengatakan
bahwa semua kamar telah penuh. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Banyak sekali
orang-orang yang menginap untuk semalam di sini,” ujarnya dengan nada
bersimpati. “Aku rasa karena sebentar lagi mendekati liburan musim panas, jadi
banyak orang-orang yang berpergian jauh ke luar kota.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Aku rasa juga begitu,”
kataku membenarkan sambil mengangkat bahu. Kuletakkan beberapa uang untuk
membayar bensin dan beberapa cemilan yang kubeli.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Kalau tidak salah
masih ada satu penginapan lagi 500 meter dari sini,” si wanita penjaga counter
berkata lagi. “Tapi, ah, mereka memberikan pelayanan buruk! Kamarnya sempit dan
berantakan serta bau pesing! Itu bukanlah sebuah penginapan yang bagus!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Kenapa kau berkata
seperti itu?” tanyaku sekedar ingin tahu. Wanita itu mengerutkan dahinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Salah satu saudaraku
pernah menginap di sana dalam perjalanan pulang dari Sussex, dan mobilnya
mogok. Dia tidak menemukan satupun bengkel dan akhirnya dia berjalan menuju ke
penginapan itu untuk meminjam telepon karena telepon selularnya mati sekalian
untuk menginap semalam. Harga satu kamarnya memang sangat murah, tetapi harga
murah itu memang sebanding dengan kamarnya yang sangat brengsek! Saudaraku
bahkan hampir tidak bisa tidur karena suara tikus yang mendecit-decit sepanjang
waktu. Aku heran kenapa penginapan itu masih berdiri sampai sekarang. Aku
rasa....” wanita itu berhenti tiba-tiba dan merasa bahwa dia berbicara terlalu
banyak. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Sebaiknya aku pergi,”
kataku dan mengucapkan terima kasih kepada wanita itu. Kuhela napas panjang dan
lelah sebelum mengendarai mobilku lagi.<o:p></o:p></span></div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-63267838429744995132016-02-24T07:07:00.002-08:002016-02-24T07:07:27.287-08:00Don’t Bury Me In My Own Grave Bab I<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Kami terkadang menghabiskan
waktu dengan melihat pohon maple mengugurkan daunnya. Kami juga terkadang
menghabiskan waktu dengan melihat ayah bekerja siang malam di ruang kerjanya
atau melihat ibu yang terus menerus mempercantik dirinya di depan cermin. Kami
juga melihat Linda, kakak perempuan kami, pergi pagi dan pulang malam. Dia
sering bertengkar dengan ayah, dan kami juga berada di sana, menjadi penonton
yang setia. Satu pertanyaan yang mengganjal, kapan mereka semua yang melihat
kami? Kami lahir dan tumbuh besar, selalu menjadi mata ketiga, mata yang selalu
melihat keadaan dan orang-orang di sekitarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Aku suka berdua dengan
saudara kembarku. Dia adalah penyemangat utamaku, mendorong diriku untuk terus
bertahan di tengah-tengah samudra ketidakpedulian keluarga kami. Saudara
kembarku sangat menyukai musik dan aku membulatkan tekad juga harus menyukai
musik. Saudara kembarku pandai menyanyi dan mengarang lagu, dan aku setengah
mati menyakinkan diriku bahwa aku juga harus bisa seperti itu. Saudaraku
mengajariku bermain gitar dan kami sering bernyanyi bersama di beranda belakang
rumah setelah bosan melihat daun-daun maple berjatuhan pada musim gugur. Kami
juga bernyanyi setelah melihat ayah di ruang kerjanya, Ibu dengan muka penuh
kosmetik di depan cermin dan Linda yang pulang pergi sesuka hati. Saudara
kembarku mengarang lagu untuk mereka semua dan kami akan menyanyikannya
bersama-sama. Itu adalah saat-saat paling menyenangkan dalam hidupku ketika aku
tidak memikirkan nasib kami yang tidak diperhatikan oleh keluarga kami sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Pada suatu hari yang
berangin di musim gugur tahun 1995, ketika kami berumur dua belas tahun,
saudara kembarku mengarang sebuah lagu yang sangat aneh. Lagu itu sangat
pendek, hanya beberapa bait seperti lagu anak-anak yang pernah diajari guru
kami sewaktu kami masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dengan gitar
pemberian paman untuk ulang tahun kami yang kedelapan, saudaraku menjadi sangat
giat belajar untuk menguasai instrumen musik itu, sementara aku hanya
mempelajarinya dengan setengah hati, itu pun hanya karena ingin bisa seperti
dirinya. Dia mulai memetik senarnya dan suaranya mengalun indah membuatku
merasa seakan berada di surga bersama seorang malaikat. Aku heran, darimana dia
dapat bernyanyi seindah ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“One
thing, I want one thing<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">One
thing, I want something<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Just
one thing, I want ask no more<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">I
have one thing, just one thing<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">I
want you to bury me, in someone else’s grave...”<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Setelah selesai, dia
menoleh kepadaku dan tersenyum, “Charlotte, bagaimana pendapatmu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Aku membalas senyumnya
sebelum berkata, “<i>Well,</i> Erick, apa
maksudnya itu? Kenapa kau ingin dikuburkan di kuburan orang lain?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Erick, saudara
kembarku, meletakkan gitar di sampingnya dan memberikanku senyuman yang sama.
“Lagu itu kupersembahkan padamu. Bukan aku yang meminta dikuburkan di kuburan
orang lain, tetapi kau yang akan memintanya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Perkataan Erick
membuatku terdiam. Aku berusaha mencerna kata-katanya tapi bagaimana bisa hal
seperti itu terjadi? Semua itu hanyalah lirik dalam sebuah lagu kan? Tidak akan
mungkin terjadi di alam nyata. “Kenapa kau berpikir seperti itu Erick? Kenapa
aku yang meminta dikuburkan di kuburan orang lain?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Pertanyaanku
menggantung di udara untuk beberapa saat. Erick memejamkan matanya, merasakan
embusan angin menerpa wajahnya. Aku bisa mendengarkan suara daun-daun maple
berjatuhan yang bergesek dengan permukaan aspal di depanku. Aku juga bisa
mendengar suara mesin mobil tua tetangga kami yang meraung-raung di pagi hari
mendung. Aku juga tahu Erick mendengar semua itu, dan dia pun membuka matanya,
memandangku sekilas sebelum dia kembali mengambil gitar dan memainkannya. Satu
lagu pendek lagi yang tidak pernah kuketahui dan tak kumengerti mengalun dari
mulutnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“When
someday, when we realize<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">We
can’t remember those faces<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Forget
about the dim light<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Forget
about someone who shared the same womb<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Forget
about someone that we used to know...”<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Erick kembali
memandangku dan dia berkata. Perkataannya bagiku terasa sangat menyedihkan.
“Suatu hari kau akan melupakanku, dan aku juga akan melupakanmu. Dan pada saat itulah
kau akan meminta dikuburkan di kuburan orang lain.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Tapi...,” aku merasa
tenggorokanku tercekat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Dengar Charlotte,”
kali ini Erick berubah serius. “Aku mendapatkan sebuah penglihatan aneh. Dan
oh, aku tidak mau membicarakannya denganmu. Tapi suatu saat kita akan terpisah,
kita tidak akan pernah bertemu. Kau ada dalam bahaya, aku tidak berada di sana
karena aku sudah mati. Kau harus mencari jalanmu sendiri, Charlotte.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">“Bagaimana bisa kau
mengatakan hal seperti itu Erick?” aku merasa air mataku meleleh, tidak pernah
ada yang membuatku menangis seperti ini kecuali perkataan Erick barusan. “Itu
adalah hal yang paling kejam yang pernah kau katakan padaku. Bukankah kita akan
selalu bersama?” tidak adakah yang bisa menghapus air mata ini? Aku benci sekali
menangis! Aku harus bisa sekuat dan setegar Erick!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Saudara kembarku
menggeleng sedih. Dia tidak berusaha menghapus air mataku yang telah jatuh, dia
lebih memilih untuk memeluk gitarnya. Semua hal ini hanya membuatku sakit.
Langit mendung dan angin yang menerpa kuat pun hanya menambah buruk suasana.
“Kau harus mengerti!” Erick memeluk gitarnya semakin erat. “Kita tidak bisa
terus bersama. Dari lahir takdir telah menentukan nasib kita. Kita selama ini
mengikuti perjalanan yang lurus dan terjal bersama-sama. Namun di tengah
perjalanan itu, persimpangan telah menunggu untuk memisahkan jalan lurus yang
telah kita lewati. Kedua jalan itu sama-sama terjalnya. Tidak ada gunanya untuk
memilih bersama dalam satu jalan. Saatnya menjadi pribadi yang mandiri dan
mengambil jalan sesuai dengan keinginan masing-masing. Karena pada akhirnya
jalan itu membawa kita pada satu tujuan, yaitu kematian.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Tidak ada yang bisa
kukatakan. Otak dua belas tahunku tidak dapat mencerna semua ini dengan cepat.
Aku ingin memutar waktu, memperbaiki semua kesalahan, tidak terus-menerus
menjadi mata ketiga, keempat, atau berapa pun. Aku dan Erick akan menjadi yang
diperhatikan, bukan lagi yang harus memperhatikan. Namun, itu semua hanya
khayalan kosong yang membuang waktu. Apakah Erick tidak ingin terus bersamaku?
Bukankah kami saudara kembar?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Forget
about someone who shared the same womb<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Forget
about someone that we used to know<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Erick, apakah kita akan
benar-benar berpisah? Apa yang bisa memisahkan kita? Hidup di luar begitu sulit
dan aku merasa tidak akan sanggup menjalaninya tanpamu, Erick. Aku selalu
berusaha untuk jadi seperti kau, tapi kau tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa
jadi sepertimu. Aku adalah yang lemah! Seorang saudara yang hanya bisa
menggantungkan hidupnya di pundak saudaranya yang lain. Aku yakin sekali
jikalau tidak ada kau di sini mungkin aku sudah memutuskan untuk bunuh diri.
Karena hanya engkaulah Erick, saudara kembarku, orang satu-satunya di keluarga
ini yang selalu ada untukku. Selalu mau menjadi penonton bersamaku, terdiam
membisu menyaksikan apapun kejadian di sekitar kita. Ingin sekali kuteriakkan
semua kalimat itu kepada Erick, namun sampai saat ini semuanya masih kusimpan
di dalam hati saja, walau ku harap Erick mengerti. Dia pasti tahu apa yang
kurasakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Mata saudara kembarku
menatap jauh ke depan. Tidak, dia tidak memandang ke arah pohon maple,
pandangannya lebih jauh dari itu seakan-akan dia melihat masa depan kami
terbentang dihadapannya. Suatu hal, apa pun itu mengagetkannya, bisa kulihat
dia agak sedikit tersentak dan menggelengkan kepalanya karena tidak percaya.
“Charlotte, dengarlah suara angin, dengarlah burung-burung bernyanyi di pagi
hari musim semi, dengarlah rintik hujan yang jatuh membasahi bumi, dengarlah
apa yang disampaikan alam kepadamu. Aku menitipkan pesan-pesanku dan kau akan
mendengarnya melalui desau angin, air beriak, dan dentingan hujan, karena kita
tidak akan bersama lagi. Waktu kita semakin sempit.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Aku tahu ini tidak
masuk akal! Ini hanya sebuah ilusi jahat yang diciptakan oleh pikiranku! Erick
tidak mungkin berkata seperti itu. Ini bukan Erick yang kukenal, dia sudah
menjadi orang lain yang berbeda sama sekali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">I
want you to bury me, in someone else’s grave<o:p></o:p></span></i></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 48.0pt;">Jadi begitukah? Apakah
pada akhirnya saudaraku sendiri akan menjadi orang lain? Tahun-tahun berikutnya
akankah aku tidak mengingatnya lagi? Aku menatap Erick, dia pun melakukan hal
yang sama. Mulut kami terkatup rapat, kami tahu pikiran kami masing-masing. Dan
walau aku tidak percaya, sesungguhnya aku takut. Takut kalau apa yang dikatakan
Erick benar-benar terjadi. Dengan satu helaan napas, Erick meninggalkanku
sendirian. Sendirian. Betapa menyakitkan sekali kata itu kedengarannya.<o:p></o:p></span></div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-3202899561529611072012-09-24T05:18:00.000-07:002012-09-24T05:18:09.455-07:00Rights For Vina<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 20.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Rights
for Vina<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pada waktu itu hujan
turun dengan derasnya mengguyur komplek perumahanku. Semua warga mendekam di
rumah mereka masing-masing bagaikan tikus-tikus yang bersembunyi di lubang
mereka. Dan aku hanya duduk terdiam saja di dekat jendela memperhatikan
jarum-jarum air dengan dahsyatnya jatuh dari langit, membuat suara berdengung
aneh di telingaku. Kututup mata, lalu pikiranku melayang kepada kejadian yang
sudah hampir sepuluh tahun yang lalu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ketukan di pintu
menghancurkan lamunanku, memaksaku menoleh kepada siapa pun yang sekarang masuk
ke kamarku. Tiba-tiba dadaku merasa sesak, tenggorokanku tercekat, dan mataku
rasanya bisa keluar dari rongganya. Ini tidak mungkin, tetapi semuanya terasa
begitu nyata! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Kau terkejut bukan,
Leira? Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa berada di sini? Aku masih punya
tuntutan yang masih harus kutuntut darimu,” ujar orang yang berdiri di depanku.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Aku tidak tahu harus
berbicara apa. Semua halusinasi ini benar-benar menyiksa! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Kau pikir kau sedang
berhalusinasi, Leira? Memangnya kau tidak lihat betapa nyatanya aku!” orang itu
melotot marah sebelum menyeringai licik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Tapi kupikir...!” aku
menelan ludah, merasa susah untuk mengatakan hal selanjutnya, “Kupikir kau
sudah mati, Vira!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Namun aku hidup lagi
untuk menuntut apa yang jadi hakku, Leira,” jawab Vina atau arwah Vina atau
siapa pun dia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kebingungan akhirnya
menggantikan rasa ketakutanku. Hak apa yang akan dituntut oleh Vina dariku? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Sepertinya kau
bingung, Leira. Marilah sekarang kita berjalan mundur ke sepuluh tahun yang
lalu. Di saat semua ini terjadi, dan ingatanmu akan segar kembali sehingga kau
bisa mengingat dengan jelas apa yang seharusnya menjadi hakku.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Aku tidak tahu apa yang
terjadi, tetapi yang kulihat sekarang adalah kami berdua, aku dan Vina, sepuluh
tahun yang lalu, ketika kami masih kelas satu SMA dan baru saja selesai
mengikuti MOS. Aku mengenal Vina karena kami satu grup ketika masa orientasi
dan juga pernah dihukum oleh panitia MOS karena lupa membawa barang yang
diminta untuk MOS hari pertama. Mulai dari sejak itulah kami berteman.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kami sekelas dan kami
pun duduk satu bangku. Kemana-mana kami selalu bersama. Aku menyukai Vina
karena dia anaknya memang ramah dan pandai bergaul. Dia juga baik hati dan mau
menolong siapapun. Tapi yang paling kusukai adalah dia itu tidak sombong,
padahal dia adalah anak dari salah satu penyumbang terbesar untuk sekolah ini.
Ayahnya memang seorang pengusaha yang sukses dan sekolah ini pun memang
ditujukan kepada anak-anak kalangan atas. Aku memang tidak sekaya anak-anak
yang lainnya, jadi aku sangat beruntung bisa menjadi teman baik Vina, karena
aku sama sekali tidak menyukai sebagian besar anak lain yang selalu
menyombong-nyombongkan kekayaan mereka seakan-akan itu benar-benar milik
mereka! Padahal mereka semua masih minta kepada kedua orang tua mereka, yang
menunjukkan bahwa kekayaan yang mereka sombongkan itu sepenuhnya masih milik
orang tua mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ketika itu adalah hari
Senin, 11 November 2002, waktu itu aku dan Vina berjalan bersama di sepanjang
trotoar menuju rumahku. Rumahku memang lumayan dekat, sehingga aku hanya
memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di sekolah. Biasanya Vina yang
mengajakku untuk ke rumahnya yang luar biasa besar, tetapi entah kenapa Senin
ini sepulang sekolah, dia ingin sekali berkunjung ke rumahku. Memang selama
kami berteman, dia hanya satu kali mengunjungi rumahku, di awal-awal kami
berteman untuk mengerjakan PR Matematika, karena aku lumayan cemerlang di
bidang itu. Namun setelah itu, baru kali inilah dia meminta untuk datang ke
rumahku. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Rasanya sudah
bertahun-tahun aku tidak ke sana,” ujarnya sambil tersenyum, “Sepertinya kau
tidak suka kalau aku datang ke rumahmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Bukan begitu,” kataku.
“Hanya saja banyak masalah di rumah.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Senyuman hilang dari
wajah Vina digantikan dengan wajah yang menunjukkan rasa simpati. “Aku bukan
mau ikut campur, tetapi kenapa kau tak pernah menceritakannya?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Itu bukan urusanmu,”
jawabku, dan segera merasa menyesal mengatakan hal itu. “Maksudku, semua orang
punya urusan pribadi masing-masing dan tidak enak rasanya menceritakan hal-hal
pribadi tersebut.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Vina mengangguk.
Wajahnya tampak kecewa dan ia berusaha untuk menutupinya sebaik mungkin dengan
senyumannya yang manis. “Baiklah, aku tidak akan bertanya-tanya lagi. Namun
kalau kau merasa ingin menceritakan masalahmu, aku akan dengan sabar
mendengarkannya kok.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Aku ikut tersenyum dan
berterima kasih padanya. Tentu saja aku tidak akan pernah punya keberanian
untuk menceritakan masalah berat yang sedang menimpa keluargaku pada beberapa
bulan ini. Ayah dan Ibuku akan bercerai, sementara kakakku masuk panti
rehabilitasi karena narkoba. Itu terlalu memalukan untuk diceritakan, dan
rahasia semacam itu harus kusimpan baik-baik untuk diriku sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tidak terasa bahwa kami
sekarang sudah tamat SMA. Tiga tahun yang telah kami jalani bersama rasanya
baru seperti tiga hari. Roda waktu terus berputar cepat, tidak peduli apakah
manusia suka atau tidak, karena kita semua harus terus berjalan menyongsong
masa depan dengan jalan kita masing-masing. Tapi aku dan Vina terus bertekad bahwa
kami akan selalu menjadi sahabat. Jadi kami mendaftar di universitas yang sama
tapi dengan pilihan jurusan sesuai selera kami masing-masing. Aku mengambil
fakultas hukum, karena aku bercita-cita jadi pengacara kondang, walau
sepertinya itu agak mustahil. Aku memang orang yang selalu pesimis duluan
tentang segala hal. Sementara itu Vina mengambil jurusan sastra Bahasa Inggris,
yang membuatku menggeleng-geleng heran karena memang bahasa Inggrisku memang
sangat pas-pasan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kami masih sama seperti
dulu, walau sekarang beda fakultas. Aku punya teman-teman dari fakultasku
sendiri, dan Vina pun juga begitu. Tapi hubungan kami masih sekuat saat kami
SMA dulu. Sampai sekarang aku masih belum menceritakan kepada Vina bahwa orang
tuaku sudah bercerai, dan aku yang lebih memilih untuk tinggal di rumah Paman,
daripada harus memilih harus tinggal bersama ayah atau ibuku karena mereka
berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Dan syukurlah Vina tidak
terlalu banyak menanyakan tentang keluargaku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pada suatu hari, musibah
itu datang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ketika itu aku dan Vina
sedang berjalan-jalan di trotoar sembari bersendau gurau tentang segala hal.
Pada waktu itu hari memang telah malam dan jalanan menuju rumah Vina memang
cukup sepi. Hal ini menyebabkan kami lebih leluasa untuk tertawa lepas tanpa
harus mendapat tatapan aneh dari orang yang berlalu lalang. Namun ada yang aneh
pada malam itu. Vina seperti memikirkan sesuatu. Aku bisa menangkap itu dari
sorot matanya yang memancarkan kecemasan. Hal itu membuatku gelisah, sendau
gurau kami seketika berhenti digantikan dengan kebisuan yang sangat tidak
nyaman.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Leir,” panggilnya
dengan suara yang lain daripada biasa, “Aku tahu ini aneh. Tapi aku punya hak
untuk tahu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Tahu tentang apa?”
tanyaku penasaran. Sejak kapan Vina suka beraneh-aneh begini?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dia terdiam sebentar
sebelum melanjutkan, “Kita sudah bersahabat sejak lama. Sebelum aku bertemu
denganmu, aku tidak pernah punya sahabat. Mungkin aku punya beberapa teman,
tetapi mereka tidak pernah ada yang sampai ke tahap sebagai sahabat yang
sesungguhnya. Mereka berteman denganku hanya karena aku kaya jadi mereka bisa
memanfaatkanku. Namun kau berbeda. Kau memang bukan orang kaya, tetapi kau
tidak pernah memanfaatkanku. Coba pikir, kapan kau pernah pinjam uang atau
minta dibelikan sesuatu olehku? Rasanya tidak pernah kan? Selain itu kau
pengertian walau agak misterius karena nampaknya kau menutup-nutupi sesuatu
tentang keluargamu. Aku tidak akan menanyakan hal itu karena kau tidak pernah
nyaman membicarakan tentang keluargamu. Tetapi aku ingin mengatakan sesuatu
kepadamu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Vina memandangku
sebentar dan mengalihkan pandangannya ke depan, “Ini tentang diriku dan
keluargaku. Aku ini sebenarnya bukanlah anak kandung orang tuaku. Aku ini anak
yatim piatu yang mereka ambil dari panti asuhan saat umurku tujuh tahun dan
menganggapku sebagai anak mereka. Mereka memang sayang kepadaku, tetapi entah
kenapa dalam hatiku ada sesuatu yang mengatakan bahwa ini salah. Aku bukan anak
kandung mereka, tetapi aku menikmati apa saja yang diberikan mereka. Itu bukan
berarti aku tidak berterima kasih kepada mereka. Percayalah aku sangat
menghargai dan menyanyangi mereka, tetapi aku kesepian. Mereka itu adalah
keluarga tertutup dan mau tidak mau aku harus mengikuti gaya hidup mereka. Dan
harus kuakui, itu sangat menjengkelkan! Aku dulu tinggal di panti asuhan, aku
suka bergaul dengan anak-anak yang lain, dan aku tidak suka berdiam diri di
rumah seharian. Ayah dan Ibu tiriku melarangku mempunyai banyak teman, jadi aku
merasa sangat bosan sekali. Kau tahu tidak, bahwa baru kau yang kuajak ke
rumahku, itupun kulakukan secara diam-diam. Mungkin kau tidak sadar, tetapi kau
pasti berpikir juga kenapa setiap ke rumahku kita harus lewat pintu belakang.
Karena orang tua tiriku berada di ruang depan, dan mereka mungkin tidak akan
membiarkanku untuk membawa teman ke rumah. Dengan sedikit bantuan dari para
pelayan, dan <i>voila!</i> Ayah dan Ibuku
tidak akan tahu bahwa kau datang.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dia berhenti lagi,
untuk mengatur napasnya. Memang selama dia menceritakan kisahnya, dia terlihat
begitu emosional dan menggebu-ngebu. Kemudian dia melanjutkan lagi, “Aku tidak
pernah tahu apa alasan mereka untuk mengurungku dari dunia luar, dan nampaknya
aku tidak akan pernah tahu. Kemudian aku mulai berpikir, mungkinkah hidupku
akan sesepi ini terus? Apa mungkin nanti ketika aku mati, tidak ada satupun
orang yang benar-benar peduli padaku menangisi kematianku? Kita semua punya hak
untuk memilih teman, sahabat, pacar, suami, atau apa saja, tapi kemanakah
hakku? Kau tahu Leira, hidupku bagaikan dikurung. Di luar mungkin kau melihat
bahwa aku baik-baik saja, tapi ternyata tidak begitu. Aku kehilangan hakku. Aku
kehilangan hakku untuk memilih sahabat ataupun pacar, bahkan jodohkupun sudah
ditentukan oleh orang tuaku! Padahal setahuku jodoh itu ada di tangan Tuhan,
namun coba kau bayangkan Leira, aku akan menikah, sehabis wisuda nanti, padahal
aku masih punya mimpi-mimpi yang mau kuwujudkan. Dan calon suami yang
dipilihkan oleh kedua orang tuaku, malah sama sifatnya dengan orang tuaku. Dia
juga pasti akan mengurungku, menjadikanku tawanannya. Aku tidak akan boleh
keluar rumah, tidak boleh berhubungan dengan orang lain lagi, benar-benar calon
suami yang kejam ya?” dia tertawa lirih. Tawa yang hampa, hanya sekedar ekspresi
dari hatinya yang telah disakiti. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk
menghentikan tawanya yang sudah seperti orang gila itu, jadi aku
mengelus-ngelus pundaknya dengan lembut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dia berhenti tertawa,
dan air mata mulai membasahi pipinya, tetapi dia kembali melanjutkan, “Hanya
kau yang peduli dengan hidupku. Kau mungkin satu-satunya orang yang tepat yang
bakal menangisiku ketika aku mati, karena air matamu murni. Bukan seperti air
mata palsu keluargaku yang picik dan egois itu. Bolehkah aku menuntut sesuatu
padamu Leira? Sesuatu hak, untukku. Hak bagiku, untuk yang terakhir.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Perkataannya membuatku
terkejut. Pembicaraan macam apa ini? Kataku dalam hati. Ini seperti semua pesan
kematian darinya, tidak mungkin kan kalau dia...<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bayangan masa lalu
tiba-tiba memudar dari hadapanku. Aku dikembalikan lagi ke dunia sekarang, di
mana arwah Vina berdiri di depanku. Sekarang baru kuingat, aku telah berjanji
untuk memberikan Vina hak terakhirnya. Dan janji itu sudah kulanggar. Kejadian
itu sudah lama, Vina meninggal, dia bunuh diri dengan menggantung diri di
kamarnya. Dia tidak tahan lagi dengan segala peraturan ketat yang mengekang
dirinya. Dia tidak mau dijodohkan dengan lelaki yang malah hanya menambah jerat
disekelilingnya sehingga bahkan untuk melangkah pun rasanya susah sekali. Dia
sudah mengatakan bahwa hanya akulah yang benar-benar ditunggunya untuk datang
pada acara pemakamannya, namun aku malah tidak datang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Itu sebenarnya bukan
sepenuhnya salahku. Aku baru saja mendapatkan berita kematiannya sehari setelah
acara pemakamannya, karena pada waktu itu aku punya praktek dokter di daerah
pedalaman dan komunikasi di sana sangatlah terbatas. Setelah menerima berita
itu, aku langsung meninggalkan pekerjaanku dan berangkah menuju tempat di mana
Vina dimakamkan. Aku tahu aku tidak bisa memenuhi haknya, aku tidak hadir di
acara pemakamannya dan menangis untuknya di sana. Tetapi ketika aku melihat
kuburannya, aku tahu bahwa aku benar-benar menangis. Aku menangis untukmu Vina.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Tapi itu belum cukup,”
ujar arwah Vina. “Kau tidak datang. Selama pemakaman berlangsung aku sendirian,
walaupun aku sudah jadi mayat, tapi aku melihat dari atas sana, bahwa aku hanya
dikelilingi oleh keluarga-keluarga yang bukan merupakan keluargaku yang
sebenarnya, bahwa kau tidak ada di sana.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Kalau begitu,
bagaimana bisa aku memperbaikinya?” tanyaku lirih dan kurasakan bahwa badanku
gemetaran.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dia tersenyum, senyum
yang menakutkan. “Oh, kau bisa memperbaikinya, namun tidak sekarang. Bukan
waktumu untuk memperbaikinya sekarang Leira. Jalanilah hidupmu, aku hanya
datang sekedar untuk mengingatkanmu bahwa aku selalu akan menagih janji.
Teruslah hidup dan ketika ajalmu mendekat, aku yang akan berperan sebagai
malaikat kematianmu, dan dari situlah kau bisa memperbaiki semuanya.” Setelah
mengucapkan kalimat itu, dia menghilang bagai disapu angin.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Apa ini hanya mimpi?
Tidak, terlalu nyata untuk jadi mimpi. Aku terdiam dengan tubuh yang masih
gemetaran sambil berpikir apa maksud dari perkataan arwah Vina barusan.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">End...<o:p></o:p></span></div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-2784995111574838752012-09-10T06:00:00.007-07:002012-09-10T06:00:53.493-07:00Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 7+Epilog<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bab 7</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
AKU MENUNGGU SAMPAI MALAM TIBA.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Semua sudah
semakin jelas dan nggak ada lagi yang perlu disembunyikan. Aku mengkhawatirkan
nasib Ibu, apa dia akan baik-baik saja? Kenapa aku punya semacam firasat bahwa
ada sesuatu hal buruk yang akan menimpanya? Kenapa aku merasa bahwa ramalan
nenek untuk Ibu akan segera terjadi? </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sendirian
di kamar ini. Tak ada siapapun bahkan tak ada hantu yang berkeliaran di sini.
Ternyata selama ini aku berada di jalan yang salah. Aku terlalu mempercayai
hantu-hantu yang selama ini kuanggap baik padaku. Ternyata hantu itu juga bisa
berbohong, benar apa kata Claudia. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan
lebih sedikit ketika aku mendengar ada yang membuka pintu dengan suara keras.
Aku harap itu Ibu, jadi aku berdiri dari kursiku dan hendak pergi keluar, namun
sebuah suara yang sudah sangat kukenal menahanku, “Tunggu dulu Bianca! Kau mau
kemana?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dengan gerakan
lambat aku berbalik dan tersenyum manis ke arah Clara. Hantu itu agak heran
melihatku namun dia ikut tersenyum. “Halo Clara. Bagaimana dengan pengintaianmu
terhadap lelaki misterius itu?” tanyaku dengan nada biasa supaya nggak
menimbulkan curiga.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Oh ya!” dia
menepuk keningnya sendiri. “Mereka akan datang ke sini Bianca, gawat sekali!
Bisa saja besok atau mungkin lusa! Mereka sepertinya benar-benar berkeinginan
untuk segera membangkitkan kembali ritual kuno itu. Kau harus berhati-hati dan
mana Ibumu? Mungkin sudah saatnya kau memberitahukan ini kepadanya.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku membuat
ekspresi terkejut yang dramatis. “Ya ampun! Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
aku rasa aku nggak berbakat akting.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
mengelus-ngelus dagunya sebelum berkata. Suaranya kali ini terdengar dalam dan
mengandung arti lain di baliknya. “Aku mungkin bisa menahan mereka, lagian
mereka kan manusia. Tapi aku nggak tahu dengan hantu mereka. Mereka pasti punya
hantu yang memudahkan mereka untuk mengambil lembaran sakramen itu.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi kau kan
pernah bilang bahwa hantu yang mau menuruti permintaan manusia adalah hantu
yang lemah?” sindirku teringat dengan perkataan Clara beberapa minggu lalu. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Muka Clara
nggak berubah sama sekali seakan dia nggak menangkap sindiran dari perkataanku
tadi. Terdengar suara kaki yang menaiki tangga. Aku menatap sebentar ke pintu
dan berbalik lagi ke arah Clara. “Sepertinya mereka sekarang sudah di sini. Apa
yang harus kita lakukan Clara, atau mesti kupanggil anaknya Ibu Marsita, istri
kedua Alfred?” aku tersenyum penuh arti kepadanya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Mata kanan
Clara terbelalak dan akhirnya keluar dari rongganya lalu jatuh terhempas di
lantai. Clara nampaknya nggak berniat sedikitpun untuk mengambilnya. Dia
berkata dengan suara agak gemetar, suara yang tak pernah dia keluarkan
sebelumnya, “Bagaimana kau tahu akan hal itu?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jadi kau
mengakuinya kan?” aku tersenyum makin lebar. “Aku sudah tahu semuanya. Ternyata
bukan hanya manusia yang bisa berbohong tapi hantu pun bisa berbohong.” Aku
berjalan mendekati Clara sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
Entah darimana aku mendapatkan keberanian ini. Setelah aku benar-benar berada
di depannya, aku memandang langsung matanya yang hanya berupa lubang kosong
sekarang. “Kau membohongiku selama ini. Kau berpura-pura menjadi temanku dan
menolongku memecahkan misteri ini padahal kau sudah tahu semuanya. Kau
berpura-pura tentang semuanya dari awal. Claudialah yang seharusnya jadi
penunggu tempat tidur ini tetapi entah darimana caranya, kau berhasil
mengusirnya dan menempatkannya di ruang bawah tanah yang seharusnya menjadi
tempatmu. Suara yang kita dengar itu sebenarnya adalah suaramu sendiri, kau
berusaha menakut-nakutiku dengan menciptakan suara seakan-akan itu berasal dari
sesuatu yang tak tampak. Dan aku juga baru ingat kalau kau bisa berbicara tanpa
menggerakkan bibirmu. Kau pada waktu itu bersikeras menolak turun ke bawah
karena takut kalau hantu Claudia akan mendatangimu dan mengacaukan semua
rencanamu. Kaulah yang menciptakan mimpi untukku ketika aku terbaring di atas
tempat tidur di ruangan itu, karena sebenarnya tempat tidur itulah yang
merupakan kepunyaanmu. Apa aku benar?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menyeringai menampakkan gigi-gigi taringnya. Dengan cepat tanpa kusadari
tangannya melayang dan mengenaiku sehingga aku menabrak dinding dengan sangat
keras. Aku bisa merasakan sakit di hampir seluruh tubuhku. Pintu kamarku
terbuka dan masuklah dua orang berjubah hitam, orang-orang yang mencuri
lembaran sakramen itu. “Bagus Clara, anakku,” kata seorang dari mereka yang
memakai topeng. Dia membuka topengnya dan nampaklah wajah wanita setengah baya
berumur pertengahan limapuluhan. Walau dia sudah tua sekarang, tapi garis-garis
kecantikan yang dulu pernah dimilikinya masih ada. Perempuan ini adalah
Marsita, Ibunya Clara. “Aku pasti akan menepati janjiku padamu.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku merasa
pusing yang amat sangat namun aku masih sadar. Aku masih bisa mengungkap
kebenaran dari misteri ini. Aku memandangi Marsita tajam dan berseru memanggilnya.
“Hei kau! Dasar nenek jahat!”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Marsita
menoleh dengan marah ke arahku. “Apa yang kau katakan tadi anak kurang ajar!?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku bilang
kau nenek jahat! Kau membunuh suamimu sendiri, kau menjadikan anakmu sebagai
tumbal sebuah ritual kuno menjijikkan, kau menghancurkan keluarga ini dan kau
adalah buronan polisi! Sekarang kau kembali ke sini 23 tahun setelah kejadian
ini hanya untuk membangkitkan sekte konyolmu itu! Benar-benar tidak
berperikemanusiaan!” aku meludah ke arahnya. Mungkin ini nggak patut dicontoh,
tapi wanita ini pantas mendapatkannya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Marsita hanya
tersenyum sinis saja mendengar ocehanku. “Kau katakan hal itu sekali lagi
bocah, maka kau akan melihat ini.” Dia memberi isyarat kepada lelaki di
sampingnya dan lelaki itu pergi keluar kemudian masuk lagi dengan menyeret
seonggok mayat dari seseorang yang sangat kukenal. “Kau tahu siapa dia?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Mataku
terbelalak demi melihat siapa mayat di depanku ini. Mayat itu benar-benar dalam
keadaan mengerikan. Kelopak matanya telah dipotong, alisnya telah dicukur
habis, mulutnya menganga menampakkan lidahnya yang telah hilang, kepalanya
berdarah-darah seperti dipukul dengan benda keras, di tubuhnya terdapat tiga
luka tusuk, satu di perut, dua di bagian dada. Darah segar mengucur dari luka
itu, darah Ibuku. “Apa yang kau lakukan!? Dasar kau wanita brengsek!” aku nggak
tahu apa yang sebenarnya yang kulakukan, aku berdiri tegak dan menyerang wanita
itu, tapi lelaki itu dengan sigap menghalangiku, menarik kedua tanganku ke
belakang dan memukul kepalaku keras-keras. Aku menjerit kesakitan sebelum
akhirnya jatuh pingsan. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Awalnya aku
sama sekali nggak tahu apa yang terjadi denganku ketika aku membuka mata
setelah pingsan dari pemukulan itu. Pertama yang aku lihat dengan penglihatan
kabur adalah seseorang di depanku yang memakai jubah hitam. Kemudian aku
mendengar suara perempuan, tapi aku sama sekali nggak ngerti dia ngomong apa.
Setelah akhirnya benar-benar merasa baikan, aku dapat melihat dengan lebih
jelas di mana aku berada. Aku berada di ruang bawah tanah, aku terbaring di
tempat tidur dengan kedua tangan dan kaki terikat di setiap ujung tempat tidur.
Aku menoleh ke arah kiriku dan melihat wanita yang kukenal. Dia sedang membaca
lembaran sakramen dalam dua bahasa itu. Mungkin dia sedang membaca bagian yang
berbahasa <span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Latin makanya aku
sama sekali nggak mengerti satu kata pun yang diucapkannya. Wanita itu berhenti
membaca dan memandang ke arahku dengan senyuman licik terukir di bibirnya.
“Ternyata kau sudah bangun?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku benci
kau, wanita brengsek!” umpatku dengan suara lemah. Entah kenapa aku merasa sama
sekali nggak punya tenaga bahkan untuk berbicara. Ritual ini pasti punya
sesuatu yang membuat siapa pun yang menjadi tumbalnya akan kehabisan tenaga dan
tak bisa melawan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia hanya
tersenyum saja mendengar umpatanku dan meneruskan kembali membaca lembaran
sakramen di tangannya. Berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk membaca
lembaran sial itu? Apa dia harus membaca semuanya?</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau membunuh
Ibuku, aku nggak akan memaafkanmu,” aku mulai berbicara lagi, tapi wanita itu
terus membaca seolah-olah dia tuli. “Awalnya kau ingin menumbalkan Claudia
namun sebuah surat peringatan dari sektemu memberitahumu bahwa ada perubahan
rencana dan kau harus mengorbankan anak kandungmu sendiri. Maka daripada itu
kau membawa anakmu pulang ke Indonesia. Artikel di koran itu, tentang istri
membunuh suaminya adalah tentang kau. Aku nggak tahu kenapa polisi sampai tak
bisa menangkapmu, jelas kau adalah buronan polisi tingkat tinggi.” Wanita itu
sama sekali nggak peduli atau mengatakan apa pun. Aku ragu kalau dia
mendengarkanku. “Setelah 23 tahun kau bersembunyi dari kejaran polisi, kau
berusaha untuk membangkitkan ritual kuno ini lagi. Kau tahu bahwa hantu Clara
akan mendatangimu untuk menuntut balas, namun entah apa yang kau janjikan
padanya sehingga dia malah berbalik untuk menjadi sekutumu. Apakah karena dia
begitu sayang dengan Ibunya atau ada sesuatu selain dari itu?” aku menatap
Clara yang berdiri agak jauh di sebelah kiriku, dia pun menatapku tapi dia
sudah berubah. Dia bukan lagi Clara yang kukenal yang selalu di sampingku. Kami
bukan teman akrab lagi sekarang.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku minta
maaf Bianca,” akhirnya Clara berkata dengan nada penuh penyesalan. “Selama ini
aku sengaja mendekatimu dan berpura-pura menjadi sahabatmu hanya sekedar
jebakan. Ini semua adalah perintah Ibuku, dan aku nggak kuasa menolaknya. Pak
Kasim atau Paman Bibir Tebal mendapat perintah dari Ibuku untuk menjual rumah
ini setelah 23 tahun dibiarkan kosong. Dia sengaja menjual dengan harga murah
dan Ibumu membelinya. Maka daripada itu aku datang kepadamu dan semenjak aku
datang hantu Ibu Angela dan Alfred hilang begitu saja. Aku yang membuat mereka
begitu, kau tahu kan maksudku? Aku takut kalau-kalau mereka menceritakan
sesuatu kepadamu tentangku, jadi aku terpaksa berbuat begitu.” Dia membuang
mukanya ke arah lain.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jadi kau
menyingkirkan hantu Ibu Angela dan Alfred? Pantas sebulan lebih ini aku nggak
melihat mereka lagi. Dan Paman Bibir Tebal ternyata punya andil dalam rencana
kalian. Aku sudah tahu bahwa semua yang selama ini baik kepadaku ternyata hanya
berbohong saja. Hantu-hantu yang pernah kau undang itu juga nggak mengatakan
kebenaran, kau telah mengancam mereka karena mereka punya tingkatan lebih
rendah darimu. Kenapa semua orang harus berbohong? Kenapa kalian yang mati pun
harus berbohong?” aku nggak sadar tiba-tiba saja aku menitikkan air mata.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Wanita itu
telah selesai membaca dan memandangku dengan tatapan tajam. “Berhenti menangis.
Air matamu tidak ada artinya lagi, sekarang tidak akan ada yang bisa
menyelamatkanmu. Ritualnya akan kita mulai.” Marsita memanggil lelaki yang
sedari tadi diam itu. Lelaki tersebut mendorong sebuah meja dan
memberhentikannya di samping Marsita. Wanita tua itu mengambil belati berhias
bulu gagak yang sudah sangat kukenal. “Aku tidak punya anak yang lain, tapi aku
rasa untuk ritual ini ada pengecualian.” Dia melambai-lambaikan pisau itu di
depanku, “dan memang korban yang tepat itu selalu anak-anak.” </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Marsita
memegang gagang pisau itu dengan kedua tangannya dan bersiap hendak menusukku.
Aku memejamkan mata, merasa sangat nggak bertenaga dan pasrah menerima apa yang
akan terjadi. Aku nggak percaya kalau aku bakalan mati dengan cara seperti ini.
Aku akan jadi hantu berupa jelek, seperti Clara si Pengkhianat. Aku bisa
merasakan ajal yang semakin dekat, kemudian terdengar suara seseorang, suara
yang kukenal.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku membuka
mata dan melihat di depanku berdiri Paman Bibir Tebal dengan mulut terbuka
lebar. Marsita terbelalak melihat kedatangan Paman Bibir Tebal yang tiba-tiba
ini. “Kenapa kau bisa ada di sini Kasim!?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Paman Bibir
Tebal masih belum paham dengan apa yang terjadi di depannya. Dia memandang
heran sesaat ke arah Marsita dan bertanya dengan suara gemetar, “Aku, aku tidak
mengerti ini Nyonya, apa yang kau lakukan kepada Bianca?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau lebih
baik diam saja Kasim! Aldi!” Marsita memanggil lelaki yang menjadi kaki
tangannya tersebut dan dengan tangannya yang kekar dan lincah, Aldi segera
meringkus Paman Bibir Tebal dan memukul perutnya kuat-kuat sehingga Paman Bibir
Tebal jatuh pingsan. Aku memekik tertahan. Sekarang nggak ada lagi harapan
bagiku. “Bawa lelaki itu keluar dari ruangan ini!” perintah Marsita lagi kepada
kaki tangannya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku melirik ke
arah Clara yang nampak nggak tenang. Wajahnya menunjukkan ekspresi antara takut
dan bingung, entahlah yang mana. Nampaknya Marsita alias ibu kandungnya
memperhatikan gerak-gerik hantu anaknya itu dan tersenyum licik yang memuakkan.
“Clara sayang, kau tidak perlu mencemaskan keadaan temanmu ini. Dia bukan
temanmu dan setelah ritual ini selesai kau akan jadi manusia seutuhnya lagi dan
mempunyai banyak teman. Bukankah kau sudah menyetujui perjanjiannya?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Jadi manusia
seutuhnya? Sekarang aku mengerti kenapa Clara menjadi budak Ibunya. Dengan
dibangkitkannya kembali ritual ini Ibunya membujuk Clara dan menjanjikan dia
bahwa dia akan menjadi hantu tingkat sepuluh dan kemudian berubah menjadi
manusia seutuhnya. Dengan begitu dia bisa berkumpul bersama-sama lagi dengan
Ibunya seperti manusia normal. Aku sama sekali nggak menyangka.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Marsita
tersenyum licik lagi sebelum kembali terfokus padaku. Dia kembali memegang
belati dengan erat dan sekali lagi mengarahkan benda itu tepat dimana jantungku
berada. Nenek, dimana kau sekarang? Aku tahu bahwa mimpiku itu benar, bahwa
nenek menyampaikan pesannya kepadaku kalau dia akan membantuku dan sekarang aku
butuh bantuannya. Nenek, tolong aku.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak tahu
apa yang terjadi kemudian, namun ketika aku membuka mata, mataku langsung silau
ketika melihat cahaya putih terang di atasku. Ada cahaya putih terang
menyilaukan di atas kami semua seakan-akan itu cahaya dari surga. Marsita
menjatuhkan belatinya dan Clara dengan mulut menganga menatap langsung ke
cahaya itu. Cahaya apa itu sebenarnya? Apa itu adalah bantuan nenek untukku? </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tubuh Clara
yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tertimpa oleh cahaya itu
perlahan-lahan mulai berubah menjadi abu. Satu-persatu dari setiap anggota
tubuhnya berubah jadi abu seperti terbakar oleh cahaya putih itu. Dia berteriak
frustasi melihat tubuhnya sendiri dan pada akhirnya dia sepenuhnya menjadi abu.
Dia sudah mati lagi, menjadi hantu yang tak akan pernah kembali ke alam baka
dan hanya akan menjadi abu yang nggak berguna. Tali yang mengikatku terlepas
sendiri dan aku bisa berdiri tegak kembali. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Clara!” pekik
Marsita dan dia segera mendekati abu anaknya. Dia mengenggam abu itu dengan
isak tangis yang tak tertahankan. Aku mengambil belati yang tadi dijatuhkan
olehnya dan mendekati perempuan itu yang masih meratapi kematian anaknya yang
menjadi abu. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau sudah
membunuh Ibuku,” aku bergumam pelan dibelakangnya, “Dan kau juga harus mati.”
Aku mengarahkan belati itu ke arahnya namun dia dengan cepat menghindar.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau tidak
bisa membunuhku secepat itu, bocah!” serunya tapi aku nggak mau tahu. Aku
melayangkan belati itu ke arahnya lagi dan dia menangkap pergelangan tanganku
lalu merebut belati yang kupegang. Kemudian dia memelintir tanganku kebelakang
sampai aku menjerit kesakitan. “Diam atau kubunuh kau!” ancamnya sembari
mendekatkan belati yang dipegangnya ke leherku. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Cahaya putih
terang yang tadi menyinari kami menjadi menyempit sehingga hanya sebatas cahaya
yang mirip dengan cahaya lampu yang biasa dipakai di panggung-panggung. Cahaya
itu membentuk sosok samar, seorang gadis remaja yang aku lihat di mimpiku yang
merupakan reinkarnasi dari nenekku kini berdiri di depanku. Aku dan Marsita
sama-sama takjub melihat sosok itu di depan kami. “Si, siapa kau?” tanya
Marsita dengan nada gemetar. “Ke, kenapa kau bisa ada di sini?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sosok gadis
remaja itu nggak menjawab. Dia mengulurkan tangannya dan belati yang menempel
di leherku sekarang berpindah ke tangannya. Belati itu kemudian berubah menjadi
abu. Marsita langsung terkejut melihat kejadian itu. Dia mundur kebelakang
sambil masih menyanderaku namun akhirnya dia terpojok menabrak dinding batu di
belakangnya. “Aldi!” panggilnya kepada kaki tangannya. namun setelah dipanggil
beberapa kali, lelaki itu sama sekali nggak datang.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Percuma
saja,” akhirnya sosok gadis remaja itu berbicara, “aku sudah menutup lubang itu
dan sekarang ruangan ini menjadi kedap suara. Dia tidak akan mendengar apapun
dari atas sana.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Brengsek!”
desis Marsita marah. “Kau tidak bisa membunuhku. Aku akan membangkitkan ritual
ini kembali dan anak ini akan menjadi tumbalnya!” dia mencekik leherku dan
tertawa setan, “Anak ini akan mati!”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sosok di depan
kami mengulurkan tangannya lagi dan Marsita menjerit keras. Dia melepaskanku
dan memegang dadanya. Dari mulutnya keluar darah segar dan dia jatuh ke tanah
sambil masih memegangi dadanya atau lebih tepatnya jantungnya. Nampaknya sosok
gadis remaja itu meremas jantungnya dari dalam dan akhirnya Marsita mati dengan
mata membelalak. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku tertegun
diam melihat semua ini. Sesaat aku nggak bisa mengatakan apa-apa dan menoleh ke
arah sosok gadis remaja tersebut. Dia tersenyum kepadaku dan perlahan-lahan
tubuhnya kembali menjadi cahaya putih yang menyilaukan sebelum akhirnya
benar-benar menghilang dari hadapanku. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku
berusaha bangkit dan keluar dari ruang bawah tanah ini. Sesampainya di atas,
aku sama sekali nggak melihat tanda-tanda kaki tangan Marsita, si Aldi itu jadi
aku terus melangkah secara pelan-pelan keluar dari kamar. Aku berusaha untuk
nggak melihat mayat Ibu yang masih teronggok di depan pintu kamar walau rasanya
sangat sulit untuk melakukannya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ketika hendak
menuruni tangga, aku melihat sosok Aldi dan Paman Bibir Tebal di ruang tengah.
Paman Bibir Tebal sedang pingsan dan terikat di kursi sedangkan Aldi duduk
berjongkok di sebelahnya, sepertinya dia ketiduran. Aku bingung apa yang harus
aku lakukan. Aku nggak mau mengambil resiko untuk turun secara diam-diam dan
membebaskan Paman Bibir Tebal, tapi kalau dipikir-pikir kenapa aku mau
membebaskannya? Dia kan masih punya andil dalam rencana kejam Marsita ini. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tapi aku harus
mengambil resiko itu. Jadi aku melangkah diam-diam menuruni tangga. Sesampainya
di bawah aku melirik takut-takut ke arah Aldi yang memang sedang tidur dan
melepaskan ikatan Paman Bibir Tebal.Aldi nampaknya orang yang ceroboh, dia sama
sekali nggak mengikat Paman Bibir Tebal dengan kuat sehingga aku cukup mudah
untuk membuka ikatannya. Paman Bibir Tebal masih belum sadar dan aku mulai
bingung bagaimana cara membawanya. Namun kemudian aku punya ide. Aku pergi ke
ruang tamu dan membuka pintu depan secara perlahan-lahan dan berlari keluar.
Kalian tentu tahu apa yang akan kulakukan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Di wilayah ini
ada jadwal ronda dan itu dilaksanakan setiap malam. Pos rondanya sama sekali
nggak jauh dari rumahku, jadi aku berlari ke arah pos ronda itu dan menemukan
dua orang yang nampaknya baru saja menjalankan tugas mereka. Memang ronda ini
dimulai dari jam sepuluh malam sampai jam empat pagi. “Tolong, tolong!” seruku
kepada dua orang itu. “Ada pembunuh di rumahku dan kalian harus segera ke
sana!”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Apa? Ada
apa?” seorang bapak berkepala plontos menanyaiku dengan raut keheranan. Ya
tentu semua orang akan heran melihat seorang anak kecil datang lalu meminta
tolong seperti aku ini.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tolong pak!”
aku berusaha mengatur napasku yang sesak sehabis berlari. “Di rumah saya ada
pembunuh dan dia sudah membunuh Ibu saya. Saya<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>berhasil lolos dari pembunuh itu namun saya yakin bahwa dia akan
membunuh saya juga. Sekarang dia masih di rumah saya dan dia menyekap pelayan
saya.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau serius,
Nak?” bapak yang satu lagi bertanya. Dia membetulkan pecinya yang agak miring.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengangguk
yakin. “Cepatlah Pak! Ayo ikut saya!” </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Wah,
sepertinya anak ini bersungguh-sungguh,” kata si kepala botak. “Darmin kamu
beritahu yang lain sementara saya mengikuti anak ini. Kalau memang ada pembunuh
di rumahnya, kita perlu bala bantuan. Ayo Nak kita ke rumahmu.” Aku dan si
kepala botak berlari menuju rumahku sedangkan si Darmin pergi untuk memberitahu
warga yang lain.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesampainya di
rumah, aku segera menarik bapak itu ke ruang tengah. Paman Bibir Tebal masih
ada di sana dan masih pingsan, tapi si Aldi sudah nggak ada. “Pembunuh itu
sudah nggak ada!” seruku kepada bapak kepala botak. “Tadi saya lihat dia berada
di ruangan ini dan dia…” aku melihat bayangan seseorang bergerak cepat di
lantai atas. “Itu dia!” aku menunjuk ke atas dan berlari menaiki tangga. Bapak
kepala botak mengikutiku dari belakang.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku melihat
Aldi masuk ke dalam kamarku dan aku pun mengikutinya. Namun ketika aku masuk,
tangan kuat Aldi meringkusku dan dia menekankan moncong pistol ke pelipisku.
Aku menjadi sandera lagi. “Berhenti!” perintahnya kepada bapak berkepala botak.
“Diam di sana atau anak ini mati!” bapak berkepala botak itu mengangkat
tangannya ke udara. “Sekarang kau minggir biar aku bisa membawa anak ini
keluar.” Perintah Aldi kembali dituruti oleh bapak berkepala botak.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dengan langkah
perlahan sambil terus menekankan pistol ke pelipisku, Aldi pergi membawaku
keluar dari kamar. Aku nggak mau menjadi sandera dua orang dalam satu hari,
jadi ketika kami akan menuruni tangga aku melakukan suatu hal yang nekat. Aku
mengigit dengan kuat tangan lelaki itu sampai dia menjerit kesakitan dan
melepaskan dekapannya. Aku langsung berlari meninggalkannya. Aldi nggak begitu
saja membiarkanku lolos, dia berlari mengejarku juga sambil terus memegang
pistolnya. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku bisa
mendengar suara orang-orang di luar, jadi aku mempercepat langkahku. Aldi masih
mengejarku dari belakang, tapi aku nggak akan menyerah. Di luar, sudah banyak
orang yang berkumpul. Aldi tak akan bisa lagi mencari gara-gara dengan orang
sebanyak ini. Akhirnya aku selamat.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku selamat
dan aku gagal menyelamatkan Ibuku. Ternyata memang bukan Ibu yang aku
selamatkan sama seperti perkataan Clara dulu. Lalu siapa yang aku selamatkan? </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dua hari
setelah kejadian itu membawa dampak psikologis yang cukup hebat bagiku. Untuk
sementara waktu ini aku menginap di rumah Oma Hellen sampai bibi dan pamanku
menjemputku. Aku sudah nggak punya Ibu lagi. Entah apa yang nanti akan terjadi
kepadaku, apa bisa aku menjalani hidup ini tanpa sosok seorang Ibu? Apa sehabis
ini aku akan tinggal di rumah paman dan bibi di Yogyakarta dan pindah sekolah
lagi?</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aldi telah
ditangkap. Polisi datang malam itu juga ke rumahku. Mereka menyisiri lokasi dan
membawa jenazah Ibu berserta Marsita. Paman Bibir Tebal akhirnya tersadar dari
pingsannya dan sekarang dia sudah nampak seperti biasanya lagi. Aku tahu bahwa
Paman Bibir Tebal nggak salah apa-apa. Dia hanya menjalankan tugas dari Marsita
untuk menjual rumah ini tanpa tahu sama sekali maksud dan tujuan sebenarnya
dari wanita iblis itu. Aku benar-benar beruntung bisa selamat dari kejadian itu
dan itupun berkat bantuan nenek. Ketika aku menceritakan semuanya tanpa ada
satupun yang kututup-tutupi termasuk tentang ritual kuno, hantu Clara, dan
cahaya putih menyilaukan serta sosok gadis remaja yang tiba-tiba muncul kepada
polisi. Mereka terlihat bingung dengan penjelasanku dan akhirnya berkata,
“Apa?” kata yang pernah kuduga sebelumnya bakalan diucapkan oleh mereka.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Acara pemakaman
Ibu dilakukan sehari setelah kejadian tersebut. Sanak saudara kami nggak ada
yang hadir satupun di pemakaman Ibu karena mereka semua tinggal sangat jauh
dari sini dan berita ini baru saja sampai ke telinga mereka, jadi mereka nggak
bisa datang ke acara pemakaman. Aku berusaha tegar ketika melihat mayat Ibu
dimasukkan ke liang kubur dan para penggali mulai menguburnya. Rekan-rekan
sejawat Ibu dan tetangga-tetangga kami berusaha menghiburku dan menguatkanku.
Namun tetap saja terasa sakit bagiku untuk kehilangan Ibu di usia sepuluh
tahun. Aku kehilangan Ayah di usia tiga tahun dan sekarang Ibu.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku merasa
bahwa teka-teki dari misteri rumah itu masih belum sepenuhnya terjawab. Masih
ada satu potong puzzle lagi yang perlu diletakkan dengan benar supaya semuanya
menjadi jelas. Ibu Angela menyembunyikan Clarissa di suatu tempat dan tak ada
satupun yang tahu dimana. Tak ada yang tahu juga apakah si Clarissa ini sudah
meninggal ataukah masih hidup. Mengenai Clara, aku sudah memaafkannya. Dia
sebenarnya hantu yang baik walau dia memang bisa jadi jahat dan ganas. Aku
benar-benar nggak percaya bahwa dia memanfaatkanku selama ini hanya untuk
supaya dia bisa mencapai tingkat sepuluh dan menjadi manusia seutuhnya. Sampai
sekarangpun ketika aku memikirkan lagi kemungkinan itu, aku masih nggak
percaya. Ternyata Claralah yang mencuri lembaran sakramen itu dari laci kamarku
karena memang hanya dia yang tahu dimana aku menyimpannya. Dialah yang membuat
suara gaib yang pernah kami dengar dan berpura-pura nggak tahu tentang lubang
rahasia di bawah tempat tidurku. Benar kata hantu Claudia, bahwa bukan hanya
manusia saja yang bisa berbohong. Jadi apakah selama ini hantu-hantu yang
kutemui membeberkan kisah mereka dengan benar? Entahlah aku nggak tahu.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hari ini aku
nggak masuk sekola lagi karena masih dalam tahap penyembuhan dari trauma karena
kejadian mengerikan itu. Aku sedang menyusun buku-buku pelajaranku ketika aku
melihat buku catatan Claudia yang aslinya merupakan kepunyaan Marsita terbawa
bersama buku-bukuku yang lain. Aku membawa buku itu dan duduk di sofa ruang
tengah dimana di sana sudah ada Oma Hellen yang sedang merajut. Aku membuka
buku itu dan isinya masih tetap sama. Aku membuka halaman terakhir dari buku
itu dan baru menyadari ada sebuah alamat tertulis di sampul belakangnya. Alamat
ini adalah alamat sebuah penginapan. Penginapan yang sudah kukenal baik karena
aku pernah menginap di sana.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekarang aku
tahu dimana Ibu Angela menyembunyikan Clarissa. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Siang itu juga
dengan bantuan dari pelayan Oma Hellen, aku pergi ke penginapan di mana aku dan
Ibuku pernah tinggal selama sepuluh hari sampai rumah kami selesai untuk
dibenahi. Rumah dimana teman hantuku yang nggak pernah mau menyebutkan namanya
tinggal. Aku masuk ke dalam dan harus berurusan dulu dengan bapak penjaga meja
depan. Uh, andai aku punya kekuatan hantu yang bisa pergi kemanapun kita mau
seperti menggunakan pintu ajaib Doraemon. Tapi untunglah bapak itu
mengizinkanku untuk masuk ke kamar tempat aku dan Ibuku tinggal dulu. Selain
itu kamar itu belum ditinggali oleh siapa-siapa. Setengah berlari aku menuju ke
kamarku, merasa sudah nggak sabar lagi untuk melihat hantu temanku tersebut
yang sudah kuketahui identitasnya sekarang.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menemukan
dia duduk di tempat tidurnya sambil bersenandung lembut. Dia langsung tersenyum
melihatku. “Hei Bianca. Kau ke sini lagi? Dengan siapa kau ke sini? Rasanya kau
sekarang nggak bersama hantu.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Memang
nggak,” kataku lalu duduk di tepi ranjang. “Ada yang mau kukatakan padamu, ini
menyangkut namamu yang nggak pernah kau sebut-sebut.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia langsung
terdiam mendengar perkataanku. “Mengenai itu…,” ujarnya malu-malu. “Aku…,”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak usah
disebut aku juga sudah tahu kok,” ujarku dengan senyum lebar. “Apa kabar
Clarissa, saudara kembar Claudia.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
dia sedikit
tersentak ketika aku menyebutkan namanya. Namun kemudian dia tertunduk dan
mukanya berubah menjadi sedih. “Maaf aku nggak menyebutkan namaku terlebih
dahulu. Masalahnya kenapa aku nggak menyebutkan namaku karena kau akan pindah
ke rumahku yang lama dan aku nggak kepingin kau tahu tentang masa laluku.”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi sekarang
aku sudah tahu semua kok. Kau adalah anak yang pendiam dan jarang bergaul,
sementara Claudia dia adalah anak periang dan dia pintar sekali melukis. Kau
nggak menyukai saudaramu begitu pula ibu tirimu. Jadi ibu tirimu mempengaruhimu
untuk memfitnah Claudia. Ibu tirimu meletakkan semua benda-benda ritualnya di
laci meja belajar Claudia dan kau berpura-pura menemukannya dan mengadukannya
kepada ayahmu. Ayahmu marah kepada Claudia dan saudaramu itu berubah dari anak
yang membuat bangga keluarga menjadi anak yang membuat malu keluarga sehingga
ayahmu mengurung Claudia di rumah. Dia nggak diijinkan keluar, mungkin dia
frustasi, tapi yang jelas pagi itu dia meninggal secara mendadak sama seperti
yang dikatakan pelayan rumah kalian itu. Lalu ibumu menuduh bahwa ibu tirimu
yang membunuh Claudia padahal nggak. Yang jelas ibumu terlanjur paranoid dengan
istri kedua suaminya dan kemudian membawamu kabur dari rumah. Namun kau
memberikan alamat penginapan ini kepada ibu tirimu karena kau merasa suka
kepadanya.” Aku menghentikan ceritaku untuk melihat ekspresi Clarissa. Dia
hanya diam saja dan mendengarkanku dengan penuh perhatian. “Kau berbohong
kepadaku bahwa kau meninggal di sini pada tahun 2002, padahal kau meninggal
diracun oleh Ibu tirimu pada tahun 1988 tepat sebelum ibu tirimu melaksanakan
ritualnya. Dia melakukan itu karena dia sama sekali nggak mau ada yang tahu apa
yang dia lakukan dan kau menurutnya suda tahu terlalu banyak sehingga dia nggak
mau mengambil resiko dengan membiarkanmu tetap hidup walau dia menganggapmu
sebagai anaknya sendiri. Maka daripada itulah Ibu Angela pulang ke rumah malam
itu untuk menuntut balas dan menyaksikan suaminya dibunuh oleh ibu tirimu.
Bukankah begitu?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clarissa
mengangguk lemah. “Ya, kau benar. Begitulah ceritanya. Maaf aku berbohong
kepadamu, tapi memangnya hanya manusia saja yang bisa berbohong?” seulas senyum
kini nampak di bibirnya yang pucat.</div>
<span style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">“Ya, aku tahu itu. Aku sangat tahu.” Aku pun
ikut tersenyum.</span><br />
<br />
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: 18pt; line-height: 115%;">Epilog</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
SEBULAN SETELAH KEJADIAN ITU…</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sekarang
sudah pindah sekolah lagi. Paman dan Bibiku lah yang merawatku dan aku tinggal
di Yogya bersama mereka. Aku sudah berusaha melupakan kejadian itu, namun tetap
saja kematian Ibu membawa dampak yang menyakitkan buatku. Di rumah paman dan
bibi aku nggak bisa lagi berbuat sesukaku seperti aku tinggal bersama Ibuku
dulu. Walau mereka masih saudaraku juga, mereka punya dua anak lain yang juga
masih bersekolah dan aku hanya numpang saja dengan mereka sampai aku
benar-benar dewasa dan sudah mandiri. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hesti dan Raka
adalah anak paman dan bibiku. Hesti berumur 14 tahun dan Raka sudah 16 tahun.
Mereka sudah remaja dan punya kegiatan mereka masing-masing. Sementara aku
seorang anak kecil berumur sepuluh tahun yang nggak mereka pedulikan. Paman dan
bibi sudah menasehati mereka agar mengajakku untuk melakukan aktivitas bersama
walau hanya sekedar bercakap-cakap atau nonton televisi bersama. Namun Hesti
dan Raka punya TV sendiri di kamar mereka dan mereka sangat jarang berbicara
denganku. Mereka hanya menyapaku sambil lalu, ngomong denganku seperti, “Hari
ini panas” atau “Pinjam guntingnya dong”. Yah, hanya sebatas itu saja sih.
Mereka masih menganggapku orang asing di rumah mereka.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
mendapatkan kamarku sendiri. Nggak sebesar kamarku dulu dan letaknya berdekatan
dengan kamar pembantu di belakang. Atau mungkin ini dulu memang kamar pembantu?
Yang jelas pertama kali aku menginjakkan kaki di kamar itu, kamar itu kosong.
Belum ada sama sekali perabotan di dalamnya. Paman kemudian mengisinya dengan
perabotan-perabotan seperti lemari, meja belajar dan tempat tidur. Aku nggak
punya kamar mandi sendiri seperti yang aku dapat di rumahku yang dulu.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ngomong-ngomong
soal tempat tidur baruku ini. Tempat tidur ini benar-benar baru dan sepertinya
nggak ada hantu yang menempatinya. Sama seperti yang Clara bilang, kalau
hantu-hantu yang menunggu tempat-tempat tidur di toko adalah hantu tingkat
rendah yang pergi karena nggak mau satu tempat dengan hantu yang lebih tinggi
tingkatannya darinya atau hantu-hantu yang meninggal bukan di tempat tidur,
seperti hantu yang dulunya meninggal karena kecelakaan mobil. Mereka bisa
memilih mau kembali ke alam baka atau mencari tempat tidur kosong yang belum
dihuni. Dan tempat tidurku yang sangat sempit dan kecil (aku yakin pamanku
nggak mau membuang-buang uang untuk membeli perabotan mahal untukku) sama
sekali nggak ada yang menghuninya. Dengan begitu aku sama sekali nggak mempunyai
teman baik dari manusia ataupun dari hantu.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Penghuni
tempat tidur Raka dan Hesti adalah remaja laki-laki. Yang satu berumur 17 tahun
dan yang satu lagi 19 tahun. Mereka berdua sangat sombong dan tentu saja nggak
akan mau bergaul dengan anak kecil sepertiku. Aku sudah bertemu dengan mereka
dan coba mengorek informasi kenapa mereka bisa meninggal, namun hasilnya nol
besar. Aku jadi benar-benar benci untuk tinggal di sini, lalu kalau aku nggak
tinggal di sini, aku mau dimana lagi?</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kebanyakan
saudara Ibuku tinggal di luar pulau Jawa dan aku nggak bakalan yakin mereka mau
menampungku. Paman adalah adik yang paling dekat dengan Ibu, jadi aku mau
diasuh olehnya. Namun aku benci dengan anak-anaknya, mereka memperlakukanku
kayak aku ini nggak ada. Tapi aku masih bersyukur aku masih dapat hidup
sekarang dan kebutuhanku tercukupi oleh pamanku. Ya dia sudah sangat baik.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekolahku
bukan sekolah untuk anak-anak kaya yang dulu. Anak-anak di sini memang
baik-baik dan mereka mau berteman sama siapa saja, jadi aku cukup nyaman di
sekolahku yang baru ini. Sekolahnya memang nggak besar dan fasilitasnya pun
masih belum terlalu lengkap, namun aku nggak mempermasalahkan hal itu.
Ngomong-ngomong soal sekolah yang lama, aku nggak bisa melihat acara ulang
tahun sekolahku yang sempat diundur dan baru saja dirayakan minggu lalu. Aku
jadi teringat dengan Clara, betapa dia sangat senang bernyanyi dalam kelompok
menyanyi kami dalam drama Putri Salju dan Tujuh Kurcaci itu. Aku nggak sempat
melihat bagaimana Georgia dengan bahasa Indonesia kacaunya bermain sebagai
Putri Salju di atas panggung dan betapa cocoknya Tiara menjadi Ibu tiri yang
jahat.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ya, semuanya
selesai sudah. Aku sudah memecahkan misteri yang melingkupi rumahku yang dulu
itu walau dengan bantuan para hantu. Misteri yang hampir membawaku ke lembah
kematian andai saja aku tak diselamatkan oleh nenek. Nenek sekarang sudah
bereinkarnasi menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan aku berharap aku
bertemu dengannya di alam nyata.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pagi hari
minggu ini merupakan hari yang sangat membosankan di rumah paman dan bibi.
Mereka semua bangun pada jam sembilan pagi sedangkan pembantu rumah ini sudah
bangun dari jam lima tadi dan mulai memberes-bereskan rumah. Dia agak sedikit
santai dalam menyiapkan sarapan pagi nggak seperti hari-hari biasanya. Tentu
saja karena penghuni rumah ini bangun lebih siang pada hari Minggu, jadi dia
menyiapkan sarapan juga agak siangan. Ketika itu jam masih menunjukkan pukul
setengah delapan lebih lima belas menit dan aku sedang menonton TV di ruang
keluarga ketika aku mendengar ketukan pintu dari luar. Aku berlari ke arah
pintu depan dan membukanya. Yang aku lihat membuatku kaget karena wajah orang
itu sepertinya kukenal.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Di depanku
berdiri seorang gadis remaja, mungkin berumur 17 tahun dan dia sangat mirip dengan
reinkarnasi nenekku. Dia punya senyuman yang menenangkan sama seperti nenek.
Dia benar-benar sama seperti gadis yang kulihat di mimpiku dan juga sosok yang
membantuku di ruang bawah tanah itu. Dan sekarang dia berdiri di depanku sambil
membawa sebuah kotak cukup besar.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hello, saya
baru pindah ke sebelah rumah ini dan Ibu saya memberikan kue ini kepada
tetangga kami yang baru. Mohon kalian menerimanya,” katanya dengan suara yang
persis sama dengan gadis reinkarnasi nenek. Dia menyerahkan kotak kue itu
kepadaku. Dengan gugup aku mengucapkan terima kasih.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ketika gadis
remaja itu pergi, aku masih berdiri di ambang pintu sambil berpikir-pikir bahwa
sebenarnya nenek nggak akan pernah meninggalkanku seperti apa bentuknya
sekarang. Namun yang sampai sekarang masih mengganjal di pikiranku adalah
mengenai ramalan nenek kepadaku mengenai seseorang yang akan aku selamatkan,
tapi sejauh ini aku belum merasa menyelamatkan seseorang. Aku hanya mengangkat
bahu dan akhirnya menutup pintu depan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 14.2pt;">
Tamat! </div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-68236603867282706532012-09-10T05:55:00.004-07:002012-09-10T05:55:51.356-07:00Cerbung : The Library Bab 2<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:OfficeDocumentSettings>
<o:RelyOnVML/>
<o:AllowPNG/>
</o:OfficeDocumentSettings>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:TrackMoves/>
<w:TrackFormatting/>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:DoNotPromoteQF/>
<w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther>
<w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian>
<w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
<w:SplitPgBreakAndParaMark/>
<w:EnableOpenTypeKerning/>
<w:DontFlipMirrorIndents/>
<w:OverrideTableStyleHps/>
</w:Compatibility>
<m:mathPr>
<m:mathFont m:val="Cambria Math"/>
<m:brkBin m:val="before"/>
<m:brkBinSub m:val="--"/>
<m:smallFrac m:val="off"/>
<m:dispDef/>
<m:lMargin m:val="0"/>
<m:rMargin m:val="0"/>
<m:defJc m:val="centerGroup"/>
<m:wrapIndent m:val="1440"/>
<m:intLim m:val="subSup"/>
<m:naryLim m:val="undOvr"/>
</m:mathPr></w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Bab 2</span></b></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">May 21, 2005</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Pagi harinya, Sir Law
membangunkan Matthew yang terlambat bangun. Seharusnya jam segini mereka sudah
bersiap-siap untuk pergi ke pasar membeli baju obralan, tetapi karena Matthew
bangun jam sembilan kurang sepuluh menit, mereka terpaksa membatalkan acara mereka.
Sir Law mengatakan bahwa dia akan membeli baju di pasar yang agak jauh dari
rumah mereka dan dia juga mengatakan bahwa Matthew yang akan menjaga rumah
selama dia pergi. Tentu saja Matthew dengan senang hati menerima tugas itu.
Inilah saatnya dia bisa menjelajah rumah kuno ini! Mungkin ada baiknya dia
memanggil Lucas.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Setelah selesai sarapan dengan
roti lapis selai kacang, dia memanggil Lucas di sepanjang lorong lantai dua.
Lucas datang secara tiba-tiba dan menjengkal kaki Matthew, sehingga anak itu terjatuh.
Lucas tertawa sedangkan Matthew mendengus kesal. “Lain kali buatlah dirimu
lebih berguna daripada sekedar menjahili anak lain!” ujar Matthew kesal. Ingin
rasanya meninju muka Lucas, jikalau seandainya dia dapat terlihat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Maafkan aku Matthew. Kau tahu
sendiri sudah berapa aku tidak punya teman sebaya di rumah tua ini!” ujar Lucas
mencoba membela diri. Matthew mendengus mendengarnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Setidaknya kau bisa sedikit
bersikap baik pada teman barumu ini!” seru Matthew dan dia dapat merasakan
bahwa Lucas sedang berusaha menahan tawa. “Apanya yang lucu?” katanya asal
saja.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Memangnya siapa yang ketawa?”
tanya Lucas dengan nada bingung yang dibuat-buat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Matthew mendengus untuk
kesakian kalinya. Mungkin seterusnya dengan Lucas dia akan banyak mendengus.
“Nah, mari kita periksa kamar-kamar rahasia itu!” ujarnya semangat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Kau yakin? Kenapa sih kau
begitu penasaran?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Karena aku memang penasaran,
itu saja,” jawab Matthew yang kemudian berjalan menyusuri lantai dua. Lucas
mengikutinya dari belakang dan mereka berjalan dalam diam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Setiap ada ruangan, Matthew
selalu memeriksanya dengan teliti seakan-akan dia adalah seorang detektif yang
sedang memeriksa tempat kejadian perkara. Lucas tidak banyak bicara walau
Matthew sudah mengajaknya bicara. Dan menurut Matthew ini aneh, karena Lucas
banyak bicara sebelumnya. Sejauh ini Matthew menyimpulkan bahwa ada kira-kira
sepuluh ruangan di lantai dua. Lima ruangan tidur, dua kamar mandi, satu
ruangan bermain, satu ruangan kerja, dan satu perpustakaan. Matthew memang
bukan tipe anak yang suka membaca, tetapi perpustakaan itu benar-benar
menggelitik rasa ingin tahunya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Terkunci. Matthew mengeluh
kecewa. Dimana kunci pintu perpustakaan ini? Ada baiknya menanyakan hal itu
kepada Lucas. Tapi Lucas tampak aneh karena dia tidak bersuara sedari tadi.
Jangan-jangan dia sudah pergi. Matthew memanggil-manggil Lucas dan berharap
anak tidak kelihatan itu menjawab, tetapi yang bisa dia dengar hanya suaranya
sendiri. “Nampaknya, dia memang sudah pergi, atau dia sengaja mengabaikanku,”
keluh Matthew kepada dirinya sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari
kunci perpustakaan itu sendiri saja.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Ada banyak lemari yang
memajang barang-barang antik di sepanjang koridor lantai dua. Setidaknya ada
lima lemari lengkap dengan barang-barang peninggalan jaman dulu, yang Matthew
tidak bisa memastikan umur dari barang-barang tersebut. Dengan seksama dia
memeriksa semua lemari dan guci-guci antik sembari berharap dia menemukan kunci
perpustakaan. Matthew bahkan sampai mencari ke lantai satu, dapur, dan ke taman
belakang. Semuanya nihil, kunci itu tidak ada di mana-mana.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Sambil menggerutu jengkel,
Matthew kembali ke atas, ke arah perpustakaan yang tadi ditinggalkannya. Dan
betapa terkejutnya Matthew melihat pintu perpustakaan yang telah terbuka dengan
sendirinya! Siapa yang membukanya? Ini akan terus jadi pertanyaan di benak anak
itu sampai dia menemukan jawabannya nanti. “Mungkin Lucas,” gumamnya dan
setengah berlari memasuki perpustakaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Setiap perpustakaan pasti
menyimpan buku-buku di rak-rak yang berdebu dan kotor. Setidaknya itulah
pendapat Matthew ketika melihat isi perpustakaan ini untuk pertama kali. Dan
buku-buku itu seakan-akan dibuat ratusan tahun yang lalu! Ruangan ini pengap,
tidak berjendela serta tidak ada pendingin ruangan. Matthew jadi menyesal masuk
ke sini, tetapi sebuah suara mengejutkannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Hei, ngapain kau disini!?”
bentak seorang anak sebayanya yang berambut pirang. Dia memakai kaus lengan
panjang berwarna biru pudar dan celana jins yang berwarna sama. Anak pirang itu
menatap Matthew dengan wajah garang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Matthew tidak tahu harus
berkata apa. Kenapa anak ini ada di sini? Apa ini juga salah satu anak asuhan
Sir Law? Tapi kenapa dia tidak pernah menceritakannya kepada Matthew? Dan
pertanyaan paling mendasar, siapa sih dia? “Aku...,” Matthew menelan ludah
ketika dilihatnya anak-anak lain yang juga sebaya dengannya tiba-tiba muncul
dari rak-rak buku yang menjulang tinggi di hadapannya. Mereka semua menatap
Matthew dengan tatapan penasaran.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Siapa namamu!?” anak berambut
pirang membentak lagi. Masih memasang wajah garang yang sama.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Aku Matthew,” jawab Matthew
merasa shock dengan apa yang dilihatnya. Apa yang mereka semua lakukan di dalam
perpustakaan?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Oh, Matthew anak baru yang
dibawa lelaki tua itu ya?” si anak pirang mengangkat sebelah alisnya. Wajah
garangnya sudah tidak ada lagi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Matthew mengangguk. “Darimana
kau tahu akan hal itu?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Dia menyeringai jahil. “Kau
juga teman si Lucas si anak tidak kelihatan itu ya?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Sekali lagi Matthew
mengangguk. “Kau kenal Lucas?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Siapa yang tidak kenal dia di
sini? Dia satu-satunya anak yang berani keluar dari perpustakaan!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Apa maksudnya itu?” tanya
Matthew yang semakin penasaran. Dalam hatinya dia mulai tertarik dengan
segerombolan anak yang tinggal di perpustakaan ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Dia bergabung dengan kami
tahun 1920. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Well, </i>memang dia adalah
anggota kami yang paling senior, tetapi dia melanggar peraturan perpustakaan.
Dia sudah bosan membaca, dan dia merasa cukup berani dan melanggar peraturan
paling dasar itu. Sekarang dia sudah terima hukumannya!” anak pirang dan yang
lainnya tertawa mengejek yang tentu saja mereka tujukan kepada Lucas, walau
yang bersangkutan entah dimana sekarang. Entah kenapa hal ini membuat Matthew
tersinggung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Lalu, sebagai hukumannya dia
akan menjadi anak yang tidak kelihatan selamanya?” tanya Matthew sambil melipat
kedua tangannya di depan dada.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Tentu, asalkan dia membawa
satu anak ke sini sebagai gantinya. Dan itu berarti dia mengorbankan kau!” si
anak pirang menunjuk Matthew dengan senyuman lebar. “Sekarang kau adalah bagian
dari kami!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">Pintu perpustakaan tertutup
dan Matthew bisa mendengar suara kunci yang diputar. Dia terjebak di sini! Matthew
tidak tahu apakah ini hanya mimpi atau kenyataan, tapi yang jelas sekarang,
bagaimana caranya dia bisa keluar dari sini. Dia tidak mungkin tinggal di sini
selamanya bersama anak-anak aneh ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">“Kau tidak akan bi</span>sa keluar
dari sini, anak bodoh!” seru si pirang sembari menunjuk Matthew. “Kau sudah
menjadi salah satu dari kami, dan kau pergi Dia akan membiarkanmu kabur begitu
saja!?”</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Memangnya siapa yang mau tinggal bersama kalian?” Matthew berkata dengan
suara parau. Dia tidak akan menangis di sini, tidak di depan anak-anak aneh
ini. “Sir Law pasti akan segera datang dan dia pasti menyadari aku menghilang
dan akan mencariku!”</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si anak pirang tersenyum sinis. “Itu tidak mungkin. Malah sangat tidak
mungkin. Kau pikir kami semua di sini adalah anak-anak terlantar yang tidak
punya siapa-siapa? Kami juga bernasib sama sepertimu. Orang tuamu, saudaramu,
atau siapapun yang kenal denganmu, memang akan menyadari kau menghilang, tetapi
mereka tidak akan pernah menemukanmu, walau mereka sudah mencari ke segala
penjuru rumah, termasuk perpustakaan ini, karena mereka tidak bisa melihat kita.
Kita sekarang berada di dunia yang berbeda dari mereka. Kau akan dinyatakan
hilang secara misterius untuk selama-lamanya. Sama seperti kami semua di sini.”</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hal ini menghantam Matthew dengan begitu telaknya dan dia merasa akan
pingsan saat itu juga. Dan ternyata dia memang benar-benar pingsan. </div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
TBC... </div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-72516254419659950292012-09-08T06:17:00.000-07:002012-09-08T06:17:07.505-07:00Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 6<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bab 6<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
AKHIRNYA KETIKA AKU BERSIAP HENDAK TIDUR, CLARA MENJUMPAIKU.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia terlihat
masih marah namun nggak semarah tadi siang. Kami diam-diaman selama beberapa
menit dan akhirnya karena merasa jengah dengan keheningan ini akhirnya aku
bertanya, “Darimana saja Clara?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menelengkan kepalanya, lalu berkata dengan suara yang masih mengandung nada
kemarahan, “Aku melakukan sesuatu yang bagus untukmu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menatapnya
terheran-heran. “Memangnya apa yang kau lakukan untukku?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekarang
wajahnya menjadi cerah dan tampak puas. Hal yang biasa terjadi kalau dia
mendapatkan sesuatu yang berguna. Dia duduk di tepi tempat tidur dan aku duduk
bersila di karpet di depannya. Clara mulai bercerita, “Ketika pulang, aku
memperhatikan seorang lelaki berjaket hitam memperhatikanmu ketika kau keluar
dari gerbang sekolah. Awalnya aku nggak curiga dengannya tapi aku mencium bau
bangkai dari mobilnya. Karena penasaran aku melihat isi mobilnya dan kaget
melihat banyak sekali bangkai buruk gagak di dalam sebuah kotak kardus di
bangku belakangnya. Selain itu masih ada beberapa gagak hidup namun sudah
diberi suntikan obat tidur. Karena semakin penasaran, aku mengikuti lelaki itu
pergi dengan mobilnya. Kami tiba di sebuah gudang tua, aku nggak tahu dimana,
yang jelas daerah itu kumuh. Dia membawa semua burung gagak itu ke dalam
gudang. Di sana sudah ada seseorang yang memakai jubah hitam dan dia bertopeng.
Dia seorang wanita yang nampaknya berumur pertengahan limapuluhan karena hampir
semua rambutnya sudah putih. Dia menyuruh lelaki itu menaruh semua gagak itu ke
ruangan penyimpanan dan kemudian mereka mulai membicarakan tentang ritual kuno
yang akan mereka bangkitkan lagi dan kau tahu apa? Ternyata lelaki inilah yang
mencuri lembaran sakramen itu karena aku melihat benda itu dipegang oleh
mereka. Mereka mengatakan akan segera menjalankan rencana mereka.” Clara
berhenti untuk menarik napas. Matanya yang cuma sebelah itu tampak
berbinar-binar senang. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
mendengarkan dengan perhatian penuh setiap omongan Clara. Ceritanya membuka
satu lagi keping misteri dari rumah ini. Puzzle ini mulai tersusun dengan
sempurna. “Terus apa lagi?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
mengangkat bahu. “Entahlah, nampaknya si wanita bertopeng itu bisa merasakan
kehadiranku, jadi aku cepat-cepat pergi dari gudang tua itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
mengangguk, merasa cukup puas dengan informasi ini. Aku pun menceritakan cerita
hantu Ibu Rahayu tadi dan setelah selesai bercerita aku meminta pendapat Clara
seperti biasanya. “Misteri ini mulai jelas kelihatannya,” gumamnya terlihat
senang akan perkembangan ini. “Kita tahu pasti bahwa ritual itu dilakukan oleh
istri kedua Alfred. Bisa saja dia mengorbankan salah satu dari anak kembar itu
atau mungkin anaknya sendiri. Dia membunuh Alfred karena menurut pendapatku
Alfred tahu tentang ritual itu. Sedangkan si Angela nampaknya bunuh diri bukan
karena frustasi anaknya Claudia meninggal, namun dia merasa selalu ditekan oleh
Marsita sehingga dia mengambil jalan singkat tapi mungkin bisa juga Marsita
yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Sekarang, ada komplotan orang yang ingin
membangkitkan ritual itu lagi, bisa saja orang-orang ini masih ada sangkut
pautnya dengan Marsita, atau malahan…” Clara terdiam sebentar tapi kemudian
sebuah senyum mengembang di bibirnya yang pecah-pecah. “Bisa saja Marsita masih
hidup dan dia sekarang ingin kembali membangkitkan ritual kuno itu. Kau bilang
sendiri kan sampai sekarang polisi nggak bisa melacak jejaknya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
membetulkan ucapan Clara. Sejauh ini kami punya pikiran dan pendapat yang sama.
“Sekarang yang harus kita cari adalah informasi siapa yang menjadi tumbal
ritual itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Mungkin kita
bisa tahu dari tempat tidur di ruangan bawah tanah itu,” usul Clara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku bergidik.
“Aku nggak mau ke sana lagi! Di bawah situ sangat dingin seperti berada di
kutub utara. Kenapa nggak kau saja ke sana?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku nggak
bisa ke sana Bianca. Ada sesuatu yang lebih kuat dariku di sana dan aku nggak
berani melawannya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, kau
pernah bilang seperti itu padaku. Tapi yang jelas, memang ada semacam hawa aneh
di sana dan suara yang sudah dua kali terdengar di kamarku…,”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dua kali?”
Clara mengangkat bagian atas matanya yang seharusnya tempat alis berada. Tapi
dia kan sudah nggak punya alis.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, ketika
kau mengantar tamu-tamu hantumu pulang,
suara itu terdengar lagi,” jawabku. Aku membaringkan tubuhku di atas karpet dan
baru menyadari betapa tipisnya karpet ini karena aku masih bisa merasakan sakit
pada punggungku sama seperti ketika aku membaringkan diriku di lantai keramik.
Aku menguap. “Aku ngantuk dan besok, mungkin akan ada pengumuman ulang tahun
sekolah dibatalkan gara-gara kejadian meninggalnya dua pengusir hantu di
sekolah.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara diam
saja ketika aku menyinggung soal itu. “Tidurlah di atas tempat tidur,” ujarnya
seperti seorang ibu. Aku menurut dan langsung pindah ke atas tempat tidur.
Clara memperhatikanku sampai akhirnya aku tertidur lelap. Samar-samar aku
melihat kalau dia tersenyum atau mungkin menyeringai? Entahlah, karena apapun
itu aku sangat ngantuk.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Keesokan
harinya aku datang ke sekolah dengan perasaan campur aduk antara penasaran
dengan apa yang akan terjadi setelah kematian dua pengusir hantu itu dan takut
jikalau seandainya aku lebih dicurigai lagi karena berteman dengan hantu, atau
yang lebih parahnya lagi, aku yang menyuruh hantu temanku alias Clara untuk
mencakar dan mendorong dua orang tersebut. Sial! Apa yang harus kukatakan untuk
pembelaan nantinya?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Baru saja aku
melangkah masuk gerbang, anak-anak sudah ribut membicarakan kejadian kemarin.
Bukan hanya anak-anak, tetapi juga guru-guru, satpam sekolah bahkan penjaga
kantin dan masyarakat sekitar sekolah sudah ribut membicarakannya. Memang tadi
pagi ada berita mengenai kematian si Supradi dan Jalil. Yang mengherankan
polisi adalah adanya luka cakaran yang sangat parah di tubuh mereka seperti
layaknya dicakar binatang buas. Apa benar bahwa mereka dicakar oleh hantu
penunggu kelas kami, para polisi belum memberikan informasi tentang hal itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hei lihat,
itu kan Bianca? Bukankah dia berada di kelas kemarin bersama dengan pengusir
hantu itu padahal semua anak lain berada di luar.” Seorang anak perempuan
sengaja bersuara keras-keras kepada teman-temannya ketika aku lewat. Terang
sekali kalau dia bermaksud menyindirku, tapi aku pura-pura nggak mendengarnya
dan terus berjalan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menjumpai
Georgia yang berdiri di dekat kelas satu. Segera saja aku menyapanya. Dia
terlihat tegang ketika aku mendekatinya, tapi dia langsung menguasai dirinya
lagi dan balas menyapaku, “Hi Bianca.” Dia menunjuk-nunjuk ke atas dan ngomong,
“We can’t go to the upstairs.” Dia membuat tanda silang dengan tangannya.
“Dilarang.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ya aku
mengerti maksudnya. Polisi masih menutup jalan ke lantai atas, jadi kami yang
punya kelas di lantai atas yaitu kelas empat, lima, dan enam nggak bisa pergi
ke kelas kami. Aku menghela napas, nggak tahu apa reaksi Trio Truk Gandeng yang
sementara waktu ini menjadi Duo Truk Gandeng karena Si Gendut No.1 masih
dirawat di rumah sakit. Apa mereka akan marah padaku? Tapi inikan bukan
sepenuhnya salahku!<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tiara will be
very angry with you,” Georgia berkata lagi. Dia memandang sekeliling seperti
mencari sesuatu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak
mungkin!” kataku tapi sambil mengigit bibir. “Memangnya dia punya hak untuk
memarahiku?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“She is headmaster’s
daughter,” Georgia menekankan setiap kalimatnya walau yang aku tahu artinya
cuma kata ‘headmaster’ yaitu kepala sekolah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menghela
napas lagi. Aku lupa kalau Tiara mungkin anak pengadu dan dia akan mengadu ke
ayahnya kalau aku berteman dengan hantu walau aku nggak yakin ayahnya akan
percaya. Namun entahlah aku nggak peduli apa pun yang akan terjadi. Kalau
memang harus pindah sekolah lagi, maka aku akan pindah. Bel berbunyi dan
terdengar suara dari pengeras suara yang memerintahkan kami untuk berkumpul di
lapangan. Uh, pasti untuk membicarakan tentang masalah kemarin. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Semua anak
tersedot ke lapangan yang biasa kami pakai untuk upacara bendera tiap hari
Senin. Aku berbaris di barisan kelasku dan mendapat tatapan beracun dari semua
teman-temanku, jadi aku memilih barisan paling belakang. Setelah membutuhkan
waktu beberapa menit untuk mengatur barisan, kepala sekolah kami naik ke atas
podium. Dia mirip Tiara dalam hampir segala segi, mulai dari badannya yang
ceking, kulitnya yang coklat mutung, sorot mata sinis sampai lidah
nasionalisnya. Setiap dia menjadi pemimpin upacara, dia selalu salah mengutip
suatu kata mutiara berbahasa Inggris karena dia membaca kalimat berbahasa
Inggris layaknya membaca kalimat berbahasa Indonesia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pak kepala
sekolah, Pak Surya berdehem sebelum memulai, “Selamat pagi, anak-anak!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kami menjawab
dengan sangat nggak bersemangat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Saya tahu
bahwa kemarin telah terjadi peristiwa tidak terduga di sekolah kita. Dua orang
lelaki jatuh dari tangga dan akhirnya meninggal. Di tubuh mereka terdapat
banyak luka cakaran yang parah. Dua orang laki-laki ini adalah pengusir hantu
dan mereka bermaksud datang ke salah satu kelas di sekolah ini untuk mengusir
hantu yang katanya menjahili murid-murid di kelas tersebut.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menatap
Clara yang berdiri di sebelahku sementara Pak Surya terus berbicara. Clara
hanya nyengir sambil membuat tanda ‘peace’ dan menunjukkan ekspresi ‘aku baru
tahu ada kejadian seperti itu’ di wajahnya yang melepuh. Setelah acara ini
selesai (yang memakan waktu hampir sejam), kelas empat, lima, dan enam akan
dipindahkan ke gedung B, gedung yang baru saja diresmikan beberapa bulan lalu.
Di dalam kelas baru sementara kami, aku memilih untuk duduk sendirian di
belakang. Sudah cukup mereka semua mengacuhkan aku dan memandangku dengan
tatapan nggak menyenangkan itu. Georgia nggak bisa berbuat apa-apa dan lebih
memilih mengikuti arus. Tiara tampaknya menunjukkan wajah puas, tapi aku nggak
peduli apa yang sedang dipikirkannya sekarang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Waktu di
sekolah terasa berjalan dengan sangat lambat. Bau ruangan kelas kami ini masih
terasa seperti bau cat basah walau aku akui kelas sementara kami di gedung B
ini lebih bagus daripada kelas kami dulu. Wali kelas kami masuk ke dalam kelas
dan memberitahukan bahwa perayaan hari ulang tahun sekolah nggak akan
dibatalkan namun akan diundurkan hingga bulan depan sampai semuanya jadi lebih
baik. Semua anak mengeluh atas berita ini, terutama Clara yang benar-benar
merasa kecewa dengan pengunduran jadwal perayaan tersebut. Padahal dia sudah
bersemangat sekali untuk tampil di acara itu walau nggak akan ada satupun orang
kecuali aku yang bakal melihatnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah bel
pulang sekolah berbunyi, aku segera berlari menuju gerbang dan menyadari
seseorang sedang memperhatikanku ketika aku menunggu mobil jemputan Ibuku. Aku
melirik ke arah kananku dan di sana ada seorang laki-laki berjaket hitam dan
wajahnya agak tersembunyi di balik topi bisbol yang dia kenakan. Lelaki itu
bersender di badan mobilnya. Apa ini laki-laki misterius yang dibuntuti Clara
kemarin?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dia datang
lagi,” ujar Clara mengagetkanku. “Aku yakin dia berniat nggak baik.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku rasa juga
begitu,” aku menyetujui ucapan Clara. “Dia terlihat sangat mencurigakan. Apa
dia lelaki yang kau buntuti kemarin?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tidak salah
lagi.” Clara terus memandangi lelaki itu dengan mata kanannya. “Mungkin ada
baiknya aku buntuti dia lagi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ide Clara
terdengar bagus di telingaku. Mungkin dia bisa mendapatkan informasi lagi
mengenai pencurian sakramen itu. Aku mengangguk ke arahnya dan melihat mobil
Ibu datang. Masih sempat-sempatnya aku melihat lelaki itu masuk ke dalam mobil
dan mengendarai mobilnya ke arah lain, padahal kupikir dia akan membuntuti
mobil Ibu. Tapi setelah kupikir-pikir lagi apa gunanya dia membuntuti mobil Ibu
padahal dia sudah tahu dimana rumah kami berada. Clara pun sudah menghilang
untuk mengikuti lelaki misterius itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesampainya di
rumah, Ibuku mengatakan kalau dia mungkin akan pulang malam. Kalau misalnya
Paman Bibir Tebal datang ke rumah untuk acara minum teh sore, maka aku harus
menyampaikan pesannya bahwa Ibuku nggak berada di rumah. Aku mengangguk dan
masuk ke rumah tanpa lupa mengunci pintu. Aku benar-benar sendirian sekarang di
rumah besar ini dan aku harap Ibu Angela datang dan aku bisa meminta penjelasan
lebih, juga hantu Alfred. Aku benar-benar berharap mereka datang menemuiku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sedang
mengerjakan PRku di meja belajar, ketika sesuatu yang aneh terjadi. Tempat
tidurku mulai bergeser dengan sendirinya! Awalnya benda itu hanya berpindah
sedikit sekali, jadi aku mengabaikannya. Namun lama-kelamaan tempat tidurku
semakin bergeser dan bergeser dan akhirnya menampakkan lubang rahasia yang
sudah ditutupi papan oleh Clara. Aku memperhatikan dengan mulut menganga ketika
papan itu bergeser dan sebuah tangan pucat menyembul keluar dari lubang. Aku
berpengangan kuat dengan gagang kursiku dan berdoa dalam hati, semoga yang
keluar bukan hantu yang lebih menyeramkan dari Clara. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sosok hantu
penunggu tempat tidur di ruangan ritual itu akhirnya mulai menampakkan
wujudnya. Dan anehnya, wajahnya tertutup dengan topeng, topeng yang sama yang
aku lihat dalam mimpiku di ruangan bawah tanah itu. Dia berjalan dengan sedikit
membungkuk pada awalnya, tetapi dia menegakkan kembali badannya dan sekarang
dia mulai berjalan normal. Dia berjalan ke arahku dan aku langsung menutup mataku
rapat-rapat, takut kalau-kalau dia membuka topengnya dan kemudian menunjukkan
wajah yang menyeramkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tetapi
ternyata nggak. Setelah aku menutup mataku untuk beberapa saat dan nggak
terjadi apa-apa, hanya hembusan angin dingin, angin yang sama yang membuatku
kedinginan ketika berada di ruang bawah tanah beberapa hari lalu, yang sedari
tadi terus menerpa wajahku. Sedikit demi sedikit aku membuka mataku dan melihat
bahwa hantu itu sama sekali nggak melepas topengnya. Dia hanya tegak di depanku
tanpa berkata apa-apa. Aku bingung dan akhirnya memutuskan untuk bertanya,
namun dua jempol hantu itu menekan dengan keras kedua mataku dan bisa kurasakan
rasa perih yang menyakitkan di kedua mataku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kemudian
sesuatu terjadi. Rasanya aku seperti menekan tombol previous di remote DVD, dan
gambar-gambar mulai berjalan mundur di dalam otakku. Gambar-gambar itu mulai
terangkai satu demi satu membentuk suatu kejadian, kejadian yang merupakan
titik awal misteri di rumah ini. Maka di sanalah aku melihat semuanya. Aku
melihat istri kedua Alfred, Marsita, untuk pertama kalinya. Di usianya yang
ke-30, dia masih nampak cantik. Dia menikah dengan Alfred, pindah ke rumahnya
dan berkenalan dengan Ibu Angela dan anak kembar mereka Claudia dan Clarissa.
Entah kenapa rupa anak kembar itu mengingatkanku akan wajah seseorang, lebih
tepatnya sesosok hantu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Gambar beralih
lagi, kali ini sikap nggak sukanya Claudia kepada Marsita terlihat sangat
jelas. Ibu Angela nggak terlalu banyak berkomentar atas istri kedua suaminya,
namun Clarissa nampaknya bisa menerima Marsita dengan baik. “Mereka sulit untuk
dibedakan,” kata Marsita kepada Alfred. “Ya, aku dan istriku pun terkadang
tidak bisa membedakan mereka.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Claudia tetap
nggak menyukai Marsita dan pada suatu hari dia tanpa sengaja melihat Marsita
membaca lembaran sakramen itu dan dia langsung melaporkannya pada Alfred.
Terjadi sedikit pertengkaran pada waktu itu dan Marsita pergi ke kamarnya dan
di sana dia bertemu dengan Clarissa. “Kau tidak seperti saudara kembarmu.”
Marsita tersenyum ke arahnya dan Clarissa membalas. “Aku tidak menyukai saudara
kembarku. Dia lebih dikenal orang daripada aku,” adu Clarissa waktu itu. “Kalau
begitu mari kita buat jebakan untuknya,” usul Marsita.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Rencana itu
sebenarnya sederhana. Buku catatan Marsita yang juga merupakan buku yang sama
yang kutemukan di kardus, dia menyuruh Clarissa menulis nama Claudia berikut
tanggal kelahirannya di buku tersebut. Clarissa punya gaya tulisan yang hampir
sama seperti saudara kembarnya sehingga sulit dibedakan. Clarissa menulis apa
saja yang diperintahkan Marsita ke dalam buku itu, menggambar apa yang mesti
dia gambar (gambar burung gagak yang tergantung, orang yang diletakkan di atas
pentagram dan lain-lain). Kemudian Marsita menaruh lembaran sakramennya di laci
meja belajar Claudia beserta buku catatan dan belati dengan hiasan bulu burung
gagak itu. Malam itu Marsita mengadu kepada Alfred bahwa lembaran sakramen yang
dia baca beberapa hari lalu adalah punya Claudia dan anak itu berusaha untuk
memfitnahnya. Dia juga mengatakan bahwa Clarissa menemukan benda-benda aneh di
laci Claudia dan meminta Alfred memeriksanya. Alangkah terkejut Alfred melihat
benda-benda aneh itu dan menyangka yang bukan-bukan bahwa otak anaknya sudah
dipengaruhi, padahal semua benda itu adalah kepunyaan Marsita. Ibu Angela yang
tahu betul sifat anaknya berteriak marah dan malah menuduh Marsita berbohong.
Tapi Alfred terlanjur marah dan menghukum Claudia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Rencana
Marsita bukan hanya sampai di situ. Untuk menjadi pengikut ritual kuno yang
selama ini dijalaninya, dia harus mempersembahkan korban. Dan dia sudah tahu
siapa yang akan dijadikannya korban, Claudia. Dari awal dia memang sudah
membenci anak itu dan menjadikannya korban ritual sepertinya menyenangkan.
Namun sebuah surat dari pemimpin kelompok itu mengagetkannya. Surat lusuh yang
aku temukan juga di dalam kardus itu berisi suatu hal tentang perubahan
rencana. Namun naasnya, Claudia meninggal sebelum ritual itu dilaksanakan. Pagi
itu dia meninggal dengan tenang sama seperti yang diceritakan oleh Paman Bibir
Tebal. Tapi karena Ibu Angela yang terlanjur menaruh curiga kepada Marsita
memfitnahnya bahwa anaknya telah diracun oleh perempuan itu, namun hasil dari
pemeriksaan tak ditemukan adanya fakta bahwa Claudia diracun. Dia meninggal
karena memang sudah waktunya dia meninggal. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Marsita
akhirnya memboyong anak kandungnya yang selama ini tinggal di Singapura ke
rumahnya. Dan Ibu Angela yang masih menaruh curiga dan membenci Marsita,
membawa kabur anak kembarnya yang satu lagi, Clarissa, setelah tahu bahwa
selama ini Marsita telah terlalu banyak mempengaruhi pikiran anaknya itu dan
Ibu Angela tak suka dengan kedekatan yang terjadi di antara Marsita dan
Clarissa. Hal itu sama sekali tak diketahui Alfred yang pada waktu itu sedang
berada di luar kota. Kesempatan yang sangat baik ini dimanfaatkan oleh Marsita
untuk memulai ritual di ruang bawah tanah yang sebenarnya dulu merupakan gudang
juga, namun disulap Marsita menjadi ruang ritual. Jalan menuju ke ruangan bawah
tanah itu ada dua, yang satu melalui gudang tua di belakang rumah yang mana di
salah satu lantainya sudah terdapat sebuah panel pintu yang dapat menghubungkan
jalan menuju ke ruang ritual, dan yang satu lagi adalah lewat jalan di bawah
tempat tidur Claudia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ritual yang
kulihat sekarang agak berbeda dengan ritual yang pernah kulihat dari mimpi yang
kudapat di ruang bawah tanah itu. Marsita yang waktu itu memakai jubah dan
topeng datang mendekat ke arah anaknya yang berkata memohon, “Ibu, Ibu, kenapa
kau melakukan ini?” Marsita sebenarnya nggak tega anaknya dijadikan korban
ritual, tetapi dia tak punya pilihan lain. Aku melihatnya sekarang, dengan
sangat jelas proses ritual itu. Belati dengan hiasan bulu gagak itu ditusukkan
ke dada anak itu, namun yang berbeda sekarang adalah ada dua belati yang
ditancapkan ke dada anak itu, bukan hanya satu seperti yang kulihat di mimpiku.
Setelah itu Marsita membuka topeng anaknya dan mencungkil bola mata kirinya,
mencukur habis alisnya dan membuat luka di sepanjang tubuh anak itu. Darah yang
keluar ditampung dalam sebuah wadah dan satu orang lagi yang berada di dekat
Marsita, menciduk darah yang berada di wadah dengan gelas layaknya itu air
biasa dan memberikannya kepada Marsita. Wanita itu tampak mengernyit
menerimanya tapi diminumnya juga dalam sekali teguk.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Orang yang
tadi memberi gelas kepada Marsita mengambil sebuah gelas yang lain, kali ini
terbuat dari plastik dan aku bisa melihat asap mengepul dari gelas itu, dan
orang itu menyiramkan air di dalam gelas ke muka si anak yang sudah tak
ditutupi topeng lagi. Air itu air mendidih. “Nah, selesailah sudah ritual kita
untuk kali ini,” si orang yang menyiram muka anak itu berkata dengan nada puas.
“Memang harus ada yang dikorbankan demi kedamaian dunia.” Semua orang yang
berada di situ bersorak girang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Marsita keluar
dari ruang ritual itu dan melihat mobil Alfred parkir di halaman. Dia langsung
membuka jubah dan topengnya lalu menenteng jubahnya yang dia gunakan untuk
menyembunyikan belati dan pergi menghampiri Alfred di luar. Alfred menanyakan
tentang Ibu Angela namun Marsita hanya tersenyum saja dan mengatakan bahwa
istri pertamanya belum pulang. Alfred terlihat sedih dan kemudian dia berbalik
menuju ke arah tangga. Di saat itulah Marsita menusuknya dari belakang. Alfred
langsung roboh ke lantai, namun dia masih sempat menengok ke arah Marsita yang
tampak begitu dingin di matanya. Alfred bertanya dan memohon kepada istri
keduanya untuk tidak membunuhnya, namun Marsita tak mendengarnya dan menusuk
Alfred berkali-kali hingga lelaki itu menemui ajalnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sialnya, Ibu
Angela ternyata sudah pulang ke rumah dan dia melihat Marsita membunuh
suaminya. Ibu Angela marah dan menyerang Marsita, tetapi Marsita lebih kuat.
Dia mendorong dengan keras Ibu Angela hingga kepalanya membentur dinding dan
dia pun langsung roboh ke lantai dengan darah bercucuran dari kepalanya. Tidak
sampai di situ Marsita segera memukul kepala Ibu Angela dengan guci keramik dan
kabur dari rumah setelah membunuh suami istri itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Gambar-gambar
di dalam kepalaku itu kembali berhamburan menjadi keping-kepingan puzzle yang
tersusun pada tempatnya, namun ada satu keping puzzle yang hilang. Dimanakah
Ibu Angela membawa kabur Clarissa? Setelah itu aku kembali dibawa ke dunia
nyata. Di sana masih berdiri hantu bertopeng itu. Aku memandanginya dan menelan
ludah sebelum bertanya, “Clau, Claudia?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu itu
terlihat mengangguk dan membuka topengnya. Nampaklah wajah yang benar-benar
sangat familiar bagiku. “Apakah hanya manusia saja yang bisa berbohong Bianca?
Apa kau pikir semua hantu yang kau temui berkata jujur?” setelah dia menanyai
dua hal itu dia berbalik pergi dan kembali berjalan membungkuk ke arah lubang
menuju ruang bawah tanah tersebut. Papan pun kembali menutup dan tempat tidur
pun kembali ke tempatnya. Keadaan sama seperti semula namun ini merupakan
langkah awal dari teka-teki ini. Misteri ini sudah mencapai titik terang dan
sekarang aku tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan nenek di mimpiku itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
TBC...</div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-25698309796774824652012-09-08T06:11:00.003-07:002012-09-08T06:11:11.685-07:00Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 5<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 14.2pt;">
<span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bab 5<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<o:p><br /></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
AKU BERMIMPI
YANG SANGAT ANEH.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Mimpiku ini
berlatar sebuah padang rumput yang luas. Aku menyusuri padang rumput tersebut
hingga aku melihat sebuah pohon besar sekali. Tergantung ayunan di salah satu
dahannya yang kokoh dan menjorok ke tebing. Di ayunan itu duduk seorang gadis
remaja berambut coklat panjang. Dia membelakangiku dan terus mendorong
ayunannya. Karena penasaran aku mendekati gadis itu. Ketika aku sudah di
dekatnya, gadis itu berhenti mengayun dan memandang ke arahku. Dia sangat
cantik dan entah kenapa perasaan hangat menyelimutiku tatkala dia tersenyum
kepadaku. Perasaan yang sama ketika nenekku juga menampilkan senyumnya.
Rasa-rasanya gadis itu adalah versi muda dari nenekku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku di sini
dan aku bukan musuhmu,” ujarnya dengan suara lembut yang menenangkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Lalu apa yang
kau lakukan di sini?” tanyaku dengan kebingungan yang jelas tersirat di
wajahku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Untuk
menerangkan beberapa hal,” jawabnya. Dia turun dari ayunan dan memegang kedua
tanganku. “Kau akan melihatnya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Suara deburan
ombak yang menabrak karang membuatku nggak terlalu menangkap kalimat
terakhirnya, jadi aku memutuskan bertanya, “Apa maksudmu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia tersenyum.
“Musuhmu ada di sekitarmu dan apa yang kau cari sudah kau dapatkan. Kau hanya
harus menyadarinya.” Dia melepaskan pengangan tangannya dan berjalan menjauh
kemudian menghilang bagai hantu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tunggu dulu!”
teriakku tapi sia-sia. Dia sudah menghilang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku terbangun
karena mimpi itu pada jam dua dinihari. Setelah aku merasa tenang, aku mulai
memikirkan perkataan gadis itu. Dia memang benar-benar seperti versi muda nenekku.
Aku bisa merasakannya dari gaya bicara dan senyumnya yang menenangkan, persis
sama dengan almarhumah nenekku. Apa dia adalah hantu nenekku yang bereinkarnasi
menjadi gadis remaja? Kalau nggak salah Clara pernah bilang bahwa hantu tingkat
sepuluh bisa mengubah diri mereka menjadi manusia seutuhnya dan mereka pun bisa
mati tapi akan bereinkarnasi menjadi manusia lainnya. Kalau begitu, gadis
remaja itu memang benar nenekku! Dia sengaja datang ke mimpiku untuk memberi
petunjuk walau masih samar-samar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Musuhmu ada di
sekitarmu dan apa yang kau cari sudah kau temukan. Kau hanya harus
menyadarinya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku bisa
merasakan suara gadis itu bergema di seluruh ruangan kamar. Apa artinya? Kenapa
nenek nggak memberitahuku? Musuhku ada di sekitarku apa itu artinya orang-orang
yang dekat atau yang kukenal sebenarnya adalah musuhku? Dan apa yang kucari
sudah kutemukan, kau hanya harus menyadarinya. Apa itu berarti sebenarnya aku
sudah tahu siapa hantu Claudia itu namun aku nggak menyadarinya?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku memanggil
Clara walau aku tahu dia bakalan nggak senang karena aku memanggilnya jam
segini. Sosoknya pun muncul dihadapanku. “Nggak biasanya kau memanggilku jam
segini? Kau pikir aku jin yang bisa kau panggil sesuka hatimu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Perkataan
Clara nggak kuperdulikan. Aku langsung menceritakan mengenai mimpiku itu dan
meminta pendapatnya. Tanpa kusadari aku mulai merasa bergantung pada pendapat
Clara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia terdiam
sebentar untuk berpikir. “Mimpi yang aneh tapi mungkin yang kau katakan itu
benar. Nenekmu ini ingin memberitahumu tapi dalam sebuah rangkaian kalimat
peribahasa namun kita memang bisa menebaknya walau masih hanya sekedar
tebakan.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Lalu apa
menurutmu?” tanyaku dengan semangat yang kembali muncul lagi. Kantuk pun sudah
hilang karena semangat yang sedang menyala-nyala ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalau memang
musuhmu ada di sekitarmu maka yang kucurigai adalah Ibu Angela dan suaminya
Alfred.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tebakan Clara
itu cukup mengejutkanku. Aku tahu memang Clara nggak menyukai mereka, tapi
nggak ada alasan apapun bagi mereka untuk menjadi musuh. Alfred mungkin bisa dicurigai,
tapi Ibu Angela? Dia hantu yang baik dan dia sendiri menyuruhku untuk membakar
lembaran sakramen itu. Kalau dia musuh, nggak mungkin dia menyuruhku melakukan
itu. “Aku nggak berpikir bahwa mereka musuh yang kita cari,” ujarku
lamat-lamat, Clara menggerutu mendengarnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau terlalu
percaya dengan mereka. Oke, mungkin si Angela bukan musuh itu, tapi Alfred?
Kita berdua sepakat bahwa dia itu aneh.” Clara duduk bersila di atas tempat
tidur dan berkata lagi, “Lagian apa yang kau cari sudah kau temukan, namun yang
kau cari adalah petunjuk mengenai keberadaan hantu Claudia dan sampai sejauh
ini kau nggak menemukan apa-apa.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menggaruk
pipiku yang digigit nyamuk. “Memang benar sih kalau dipikir-pikir. Semua hal
yang kita kumpulkan belum memberikan petunjuk apa pun.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kami terdiam
selama beberapa menit dan kantuk kembali menyerangku. Aku melihat ke arah jam
dinding dan terperangah bahwa sekarang sudah hampir jam tiga pagi. Hebat! Aku
nggak pernah terbangun sampai jam segitu. Kantuk semakin tak tertahankan dan
aku bermaksud untuk mengatakan pada Clara bahwa aku mau tidur lagi namun sebuah
suara tangisan memilukan menyentakkan kami berdua. Suara itu terdengar berkata
lirih di antara isak tangisnya. Aku nggak terlalu menangkap apa katanya namun
Clara mendengarnya dengan jelas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Suara itu
berbunyi, ‘Ibu, Ibu, kenapa kau melakukan ini?’. Dengarkan baik-baik, dia
memanggil-manggil lagi.” Clara dan aku terdiam sementara Clara mendengar dengan
jelas suara itu, aku harus menajamkan telingaku untuk mendengar lebih jelas
suara memilukan itu. Awalnya memang masih isak tangis yang kudengar, kemudian
aku mendengar suaranya, suara anak perempuan yang merintih dan bertanya, “Ibu,
Ibu, kenapa kau melakukan ini?”. Perkataan Clara benar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Suara itu
kemudian berhenti. Kami menunggu selama beberapa menit untuk mendengarkan
apakah suara itu akan terulang lagi, tapi ternyata hasilnya nihil. Aku
memandang Clara, Clara memandangku. Aku bertanya padanya dan aku bisa merasakan
tenggorokanku tercekat. “Suara apa itu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara nggak
tahu harus berkata apa jadi dia hanya menjawab, “Suara gaib. Suara hantu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku juga tahu
bahwa itu suara gaib.” Aku menelan ludah, “Masa kau nggak tahu itu suara apa?
Kau kan juga hantu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Harus
kuakui,” dia menghentikan kalimatnya dan matanya yang cuma sebelah itu copot
dengan sendirinya. Namun Clara nggak berusaha untuk memperbaikinya. “Dari
suaranya saja membuat hantu tingkat tujuh sepertiku merinding.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sebenarnya
ingin menyindir Clara namun aku malah menyetujui ucapannya. Suara apa pun itu
yang jelas dia pasti suara dari sesosok hantu yang sangat kuat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Paginya Ibuku
melihat betapa sayunya mataku seperti orang kurang tidur dan dia langsung
bertanya layaknya seorang polisi yang mengiterogasi tahanannya. “Pasti kau
semalam begadang. Untuk apa dan mengapa?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku hanya
melambaikan tanganku dan menutup mulutku yang menguap. Sama sekali nggak ada
gunanya apabila aku mengutarakan alasanku begadang semalam. Setelah aku dan
Clara mendengar suara gaib itu, aku nggak bisa melanjutkan tidur lagi. Aku
takut apabila aku tidur bakalan ada sesuatu yang akan mendatangiku atau suara
gaib itu akan hadir di mimpiku. Jadi aku mengajak Clara untuk bermain monopoli.
Rasanya lucu melihat sesosok hantu seperti Clara bermain monopoli. Dia nggak
pernah main apa itu namanya monopoli dan dia terlihat bersemangat sekali
memainkannya. Kalau Ibuku melihat apa yang kulakukan tadi malam, dia pasti
pingsan melihat kartu-kartu dan uang-uang dan rumah-rumah bergerak sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau belum
jawab pertanyaan Ibu,” kata Ibu yang kelihatan sekali menyembunyikan
kejengkelannya kepadaku yang nggak menjawab. “Jangan bilang kalau kau nonton
televisi di ruang tengah.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak,”
bantahku. “Ibu pasti tahu kalau aku nonton televisi. Aku kan kalau nonton
televisi selalu dengan volume yang besar.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Namun
jawabanku nggak begitu menyakinkannya jadi dia bertanya lagi, “Lalu apa yang
membuatmu kayak orang kurang tidur gitu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku berusaha
memikirkan alasan yang masuk akal untuk dikarang kepada Ibu. “Hm, semalam aku
bermimpi bertemu dengan nenek. Di mimpiku dia terlihat sangat muda seperti
gadis remaja. Dia mengajakku berjalan-jalan dan dia menceritakan kisah-kisahnya
yang hebat sama seperti ketika nenek masih hidup. Aku terbangun dan selalu
teringat dengan mimpi itu yang membuatku terjaga sampai pagi.” Walaupun hampir
semua yang kukatakan itu salah, namun bagian aku bertemu dengan nenek itu kan
benar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Mendengar
penjelasanku, Ibuku nggak berkata apa-apa. Aku tahu pembicaraan tentang nenek
adalah pembicaraan yang dia hindari. Walau pun Ibuku agak marah karena ramalan
nenek itu, namun semenjak nenek meninggal, Ibuku berusaha untuk nggak
membicarakan apa pun tentang nenek lagi yang mungkin bisa membangkitkan
kenangannya akan Ibunya sendiri. Kalau aku beritahu kalau nenek adalah hantu,
apa ya reaksi Ibuku? Tertawa mungkin? Atau marah?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku
mengantarku ke sekolah. Di sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam.
Seharusnya aku memikirkan alasan yang lebih bagus lagi dan nggak
menyinggung-nyinggung soal almarhumah nenek. Untung aku nggak
menyinggung-nyinggung soal kakek. Entah bagaimana perasaan Ibuku kalau aku
membicarakan mereka. Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke kelas namun
langkahku terhenti di depan pintu karena di dekat bangkuku sudah ada Trio Truk
Gandeng. Anak-anak di kelas sudah mereka usir, jadi hanya tinggal kami berempat
yang berada di dalam. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si Gendut No.1
memperhatikan keseluruh isi kelas dengan matanya yang besar dan akhirnya
tatapannya tertuju kepadaku. Dia langsung berkata dengan marah, “Kenapa si
Tikus Got ini masuk ke sini!?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Memangnya kenapa?”
tanyaku polos. “Ini kan kelasku. Seharusnya kan aku yang bertanya seperti itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku kira Trio
Truk Gandeng akan marah mendengar perkataanku, tapi nyatanya nggak. Mereka
nggak peduli akan kehadiranku dan malah mengoceh di antara mereka sendiri. Si Gendut
No.1 berkata dengan tajam, “Aku bisa merasakannya.” Dia memandang
langit-langit, “Ada sesuatu hal gaib yang berada di kelas ini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak
mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku bahkan nggak tahu bahwa Trio Truk
Gandeng punya minat dengan hal-hal supranatural. Hal yang nampaknya merupakan
pemikiran terakhir yang bisa kau pikirkan tentang mereka. Sepertinya berita
bahwa kelas kami ada penunggunya sudah tersebar ke seluruh sekolah dan Trio
Truk Gandeng termasuk anak-anak yang percaya bahwa hantu telah menjahili
anak-anak di sini. Aku melirik ke arah Clara yang seperti ingin tertawa tapi
berusaha untuk menahannya. Aku menghela napas dan bermaksud mengatakan bahwa
nggak ada hantu di sini tapi Si Gendut No.1 berbicara duluan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dia di sana.”
Si Gendut No.1 menunjuk ke arah papan tulis. “Dia berdiri di depan papan tulis
dan sedang memandangi kita.” Kedua temannya melihat ke arah yang ditunjuk teman
mereka dan takjub seolah-olah mereka benar-benar melihat hantu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara sama
sekali nggak bisa menahan tawanya. Dia tertawa terbahak-bahak sedangkan aku
berusaha untuk menahan tawaku. Mereka benar-benar nggak masuk akal. Sudah
jelas-jelas hantu penghuni kelas ini alias Clara berada di belakangku bukan di
depan papan tulis. Aku yakin Si Gendut No.1 hanya ingin mempertontonkan
kehebatannya di depan teman-temannya, tapi usaha itu gagal. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tanpa sengaja
Si Gendut No.2 melihatku yang sedang berusaha menahan tawa dan dia melotot
kepadaku. “Kenapa kau tertawa Tikus Got?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak ada
kok,” ujarku sambil mengulum bibir. “Hanya aku rasa kalian nggak masuk akal.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekarang Si
Gendut No.1 melihatku sambil berkacak pinggang. “Memangnya kau tahu apa? Kau
tahu nggak sih bahwa aku ini punya seorang paman pengusir hantu?” ujarnya
dengan bangga. Padahal hal seperti itu nggak ada gunanya untuk dibanggain.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pengusir
hantu? Jangan-jangan pamannya si Supradi itu. Aku memutuskan bertanya, “Nama
pamanmu Supradi ya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si Gendut No.1
terlihat bingung. Dia memandang ke kedua temannya yang sama herannya seperti
dia. Kemudian dia kembali memandangku dengan tatapan penuh tanya. “Darimana kau
tahu nama pamanku Supradi?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku juga tahu
nama asistennya Jalil dan mereka berdua tiba-tiba nongol di depan pintu muka
rumahku beberapa hari lalu. Mereka mengatakan di rumahku ini ada penunggunya
dan seenaknya masuk ke dalam rumahku.” Aku berhenti sebentar untuk melihat
reaksi Trio Truk Gandeng. Mereka tampak penasaran sekaligus serius mendengarkan
ceritaku. “Mungkin memang ada hantu di rumahku, namun yang jelas pamanmu itu
menyampah di rumah dan Ibuku langsung marah dan mengusir mereka.” Aku
mengakhiri ceritaku dengan tatapan penuh arti. Masih jelas teringat bagaimana
marahnya Ibuku hanya karena dua pengusir hantu itu menyampah di ruang tengah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Suara bel
membuat Trio Truk Gandeng yang terbengong segera kembali sadar. Anak-anak yang
sebenarnya sedari tadi mengintip dari jendela mulai masuk ke dalam kelas. Trio
Truk Gandeng yang masih berwajah antara nggak percaya sekaligus bingung
meninggalkan kelas kami. Aku nggak menyangka reaksi mereka bakalan begitu.
Rupanya mereka terlalu percaya dengan paman Si Gendut No.1 yang bernama Supradi
itu. Clara masih tertawa-tawa senang karena peristiwa tadi sampai-sampai dia
nggak menyadari bahwa suara tawanya dapat didengar oleh seluruh murid. Aku
langsung melotot ke arah Clara dan dia baru sadar bahwa dia nggak
menyembunyikan suara tawanya yang menyeramkan itu. Mendengar suara gaib yang
entah darimana, membuat semua murid di kelasku berlari keluar sambil berteriak,
“Suara hantu! Suara hantu!” guru yang baru masuk pun bingung melihat anak-anak
keluar kelas sambil berlari-lari.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menepuk
kepalaku sendiri. Masalah ada hantu di kelas kami pasti akan bertambah besar
dan makin banyak anak-anak yang akan membicarakan masalah ini dan makin banyak
pula anak-anak yang percaya. Clara menutup mulutnya namun dia sama sekali nggak
merasa bersalah. Dia malah menyalahkan Trio Truk Gandeng yang membuat komedi
dadakan di kelas tadi. Aku hanya menghela napas jengkel.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dan oh ya satu
lagi. Pasti akan ada lagi anak yang mengira bahwa aku berteman dengan hantu.
Soalnya hanya aku sendiri yang nggak kabur ketika mendengar suara tawa gaib
itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Gara-gara
murid-murid dari kelas kami nggak mau menempati kelas dan nggak ada kelas
kosong lain untuk belajar, maka murid-murid di kelas kami dipulangkan lebih
cepat. Aku meminjam HP Georgia untuk menelepon Ibu, soalnya aku nggak punya HP,
padahal anak seusiaku sudah banyak yang punya dan membawa HP ke sekolah. Bahkan
Tiara memamerkan HP mahal dan keluaran terbarunya di depan kelas beberapa hari
yang lalu. Ibuku nggak menjawab teleponku. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah
beberapa kali mencoba aku baru sadar bahwa Ibuku nggak mau mengangkat nomor
yang nggak dikenalnya, jadi aku memutuskan untuk mengirimnya SMS kemudian
mengembalikan HP kepada Georgia. Aku menunggu jemputan Ibu di depan gerbang
sekolah bersama Clara. Aku tahu menunggu adalah hal yang paling membosankan
bagi Clara begitu pula denganku, begitu pula dengan semua orang, tapi Claralah
yang paling benci kalau disuruh menunggu. Untuk menghilangkan kebosanan, dia
yang untungnya hantu, berbuat jahil kepada anak perempuan di sebelahku dengan
meniup-niup tengkuknya. Anak itu kegelian sendiri dan Clara terkikik-kikik. Aku
membiarkannya saja.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dua puluh
menit berlalu dan nampaklah mobil hitam Ibu yang berhenti di depanku. Aku masuk
ke mobil dan duduk di bangku depan sedangkan Clara menembus pintu mobil dan
duduk di belakang dan langsung selonjoran di bangku. aku menoleh ke belakang
dengan jengkel dan sialnya Ibuku memperhatikan gerak-gerikku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ada siapa sih
di belakang?” tanyanya sambil mengendarai mobil. “Rasanya kau sekarang semakin
aneh. Mungkin kita bisa ke tempat praktek Dr. Gabriel lagi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak mau!”
tolakku cepat. Sudah bosan aku melihat Dr. Gabriel dan segala pembicaraannya
yang nggak penting. “Kan aku sudah pernah bilang kepada Ibu!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Masalah
tentang kau anak indigo yang tidak masuk akal itu? Ibu tidak pernah percaya
dengan hal begituan!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, tentu
saja karena Ibu nggak pernah melihatnya sendiri!” aku cemberut sambil
menyilangkan tangan di depan dada. Clara duduk tegak dan mencondongkan tubuhnya
ke arahku sambil berbisik, “Aku bisa membuat diriku kelihatan di depan Ibumu,
kalau kau mau.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sebenarnya
juga punya pemikiran seperti itu. Kalau Clara menampakkan wujudnya, maka Ibuku
nggak bisa membantah atau berkata yang sama lagi. Tapi rasanya kurang tepat
apabila Clara menampakkan wujudnya sekarang. Mungkin nanti apabila aku berhasil
memecahkan misteri yang melingkupi rumah kami. Itu pun kalau berhasil dan
ramalan nenek tentang Ibuku meleset. Kalau aku gagal dan ramalan nenek tentang
Ibu benar…., aku merinding.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kami akhirnya
sampai di rumah. Ibu memberikan kunci rumah kepadaku karena dia akan kembali ke
kantornya. Asyik! Aku punya banyak waktu luang di rumah sendirian. Mungkin aku
bisa berjalan keliling di sekitar sini dan menanyakan kepada tetangga-tetangga
tentang rumah kami ini. Setelah aku masuk di kamar, Clara mulai mengajakku
berbicara serius. Aku ingin tahu hal apa yang akan dia bicarakan sampai
seserius ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Mengenai
suara gaib semalam…,” mulainya dengan nada misterius, “aku sudah
mendeteksinya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kapan kau
mendeteksinya?” tanyaku cepat. Perasaan dari tadi Clara mengikutiku terus, jadi
kalau dia melakukan sesuatu pasti aku tahu. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
mengangkat tangannya menandakan aku untuk diam. Dia berbicara lagi, “Aku hantu
dan hantu bisa mendeteksi keberadaan hantu lain asalkan hantu itu mengirim
tanda-tanda yang jelas. Masalahnya kebanyakan hantu yang tingkatannya sudah di
atas enam, enggan menampakkan wujudnya atau bahkan memberi tanda-tanda bahwa
dia sebenarnya ada di sini atau yang lebih parahnya dia sudah lama berada di
sini, tepat di depan hidungmu namun kau nggak menyadarinya. Yah, seperti yang
pernah aku lakukan padamu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Memang Clara
pernah menyembunyikan dirinya dariku dengan amat baik sehingga aku nggak tahu
bahwa dia ada di sini atau mungkin di depanku saat itu. “Jadi menurutmu suara
gaib semalam berasal dari hantu yang sebenarnya sudah lama berada di sini namun
dapat menyembunyikan sosoknya bahkan hantu pun sendiri nggak bisa mendeteksinya
dengan sangat baik dan baru sekarang dia mengirim tanda berupa suara itu untuk
memberitahu bahwa dia ada di sini, di dekat kita.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
mengangguk dan terlihat senang dengan pengertianku. “Tepat sekali. Dan setelah
dia mengirimkan tanda, aku perlu beberapa jam untuk bisa mendeteksi
keberadaannya dan jawabannya kudapatkan ketika kita dalam perjalanan pulang.
Kata-kata nenekmu tepat, apa yang kau cari ada di sekitarmu dan memang dia ada
di sekitar kamar ini, lebih tepatnya…” Clara menggerakkan telunjuknya ke arah
tempat tidurku dan seketika itu juga tempat tidurku menggeser sendiri. “Dan
disitulah dia!” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
melihatnya. Ada sebuah lubang di bawah tempat tidurku yang nggak pernah
kusadari sebelumnya. Aku pun teringat bahwa kamarku adalah satu-satunya kamar
yang nggak banyak mengalami perubahan ketika pendekorasian ulang dan tempat
tidurku adalah salah satu benda yang nggak diubah tempatnya sehingga nggak ada
yang tahu tentang lubang itu. Aku memandang ke arah Clara yang tersenyum lebar.
Kami berdua mendekati lubang itu dan melongok ke dalam. Ada tangga di dalamnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kayaknya ini
jalan rahasia seperti yang sering ada di film-film,” ujarku sambil terus
memandang ke dalam lubang. “Aku penasaran lubang ini menuju ke mana.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalau begitu
kenapa kau nggak masuk?” Clara bergerak menjauhi lubang. Aku bingung dengan
kelakuannya. Dia sepertinya enggan untuk masuk ke dalam lubang tersebut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau
menyuruhku untuk masuk ke dalam sana sendirian?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia mengangkat
bahu dan menjauh dua langkah lagi. “Bianca, seperti yang pernah kubilang. Hantu
dengan tingkat lebih rendah nggak akan mau berhadapan dengan hantu dengan
tingkat lebih tinggi darinya. Aku bisa merasakan bahwa hantu apapun itu yang
menghuni lubang itu pasti hantu tingkat tinggi, mungkin delapan atau sembilan.
Dilihat dari cara dia yang sangat pandai menyembunyikan diri selama ini
sampai-sampai aku sendiri pun nggak tahu, itu sudah jadi bukti bahwa dia lebih
kuat dariku.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sebenarnya aku
ingin mengejek Clara dengan mengatakannya penakut tapi kalau memang peraturan
dalam dunia perhantuan begitu, ya aku nggak mau memaksanya. “Tapi kalau ada
apa-apa denganku di bawah sana bagaimana?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, aku akan
berdoa dari sini,” kata Clara yang nggak membuat tenang sama sekali.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, berdoalah
semoga aku masih tetap akan hidup setelah keluar dari lubang ini.” Aku kembali
menatap lubang itu dan menelan ludah. Aku merasakan ada bola kasti yang
nyangkut di tenggorokkanku dan aku juga merasa ada sesuatu yang
memanggil-manggilku dari lubang tersebut. Aku nggak boleh takut, nggak akan
terjadi apa-apa denganku. Kalau pun terjadi sesuatu setidaknya aku sudah
berusaha jadi anak yang baik. Dengan langkah pertama yang sangat ragu aku
memasuki lubang. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tangga menuju
ke bawah melingkar-lingkar dan semakin dalam aku masuk semakin pengap dan gelap
suasananya. Angin dingin berhembus entah darimana dan aku bisa merasakan aku
kedinginan sekaligus ketakutan. Ternyata ada sebuah ruangan di bawah tempat
tidurku, ruangan berlantai tanah dan berdinding batu. Ruangan ini cukup gelap
dan aku memicingkan mataku untuk melihat. Sepertinya aku melihat sosok
samar-samar di ujung sana, namun karena kurangnya cahaya aku nggak tahu apakah
yang kulihat itu. Aku melangkah lebih jauh dan tiba-tiba ruangan jadi terang
karena adanya api obor yang entah kenapa bisa menyala sendiri. Sekarang aku
bisa melihat dengan lebih jelas. Ruangan ini berbentuk setengah lingkaran dan
ada sebuah tempat tidur kecil di tengah-tengahnya. Tempat tidur itu seperti
tempat tidur yang biasanya dipakai di rumah sakit-rumah sakit dan diapit oleh
dua meja kecil. Aku mendekati benda-benda itu dan baru sadar bahwa seprai
tempat tidur itu bernoda darah. Dua meja yang mengapit tempat tidur itu
berisikan peralatan-peralatan seperti peralatan dokter bedah. Semuanya sudah
berkarat dan berdebu, nampaknya sudah nggak dipakai lagi selama belasan atau
puluhan tahun.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku tahu bahwa
tempat tidur ini pasti ada penunggunya dan hantu itu ada di sini namun nggak
mau memperlihatkan wujudnya. Jangan-jangan wujudnya lebih menyeramkan daripada
Clara? Atau hantu itu menunggu saat yang tepat untuk menyerangku secara
tiba-tiba? Aku berdiri tegak bagai patung selama sesaat dan nggak merasakan
apa-apa. tentu aku ingin cepat-cepat keluar dari sini, tapi aku harus
mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang berharga sebagai petunjuk dari semua misteri
ini. mungkin dengan berbaring di tempat tidur ini, aku bisa mendapatkan suatu
petunjuk. Siapa tahu pemilik sebelumnya dari tempat tidur ini mau memberikanku
sekilas tentang kenangannya ketika dia masih hidup.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Walau lumayan
jijik dengan noda darah yang telah mengering itu, aku tetap membaringkan diriku
di atas tempat tidur. Ukurannya pas dengan tinggi tubuhku, pasti ini tempat
tidur buat anak seusiaku atau setinggi diriku. Satu dua menit dilalui dengan
diam dan kemudian sesuatu terjadi. Perutku serasa dihantam dan otakku rasanya
mau pecah ketika sesuatu yang bertubi-tubi memasuki pikiranku. Aku pun pingsan
di atas tempat tidur itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesuatu yang
masuk itu, melesak dan memenuhi otakku. Satu-persatu kenangan seseorang
menyerbu masuk dan terangkai menjadi sebuah gambaran suatu kejadian yang jelas.
Aku berdiri di sini, di tempat yang sama namun ruangan setengah lingkaran ini
dipenuhi dengan orang-orang dengan jubah dan tudung warna hitam. Mereka semua
melihat ke arah tangga, menantikan sesuatu turun dari sana dan memang benar ada
sesuatu yang turun. Selusin orang secara teratur menuruni tangga dan orang
terakhir memegang seorang anak perempuan yang memakai topeng.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Semua orang di
sana memberikan jalan kepada selusin orang itu. Di tengah-tengah ada sebuah
tempat tidur yang sama yang diapit dua meja, cuma bedanya sekarang di
sekeliling tempat tidur itu dilukis dengan cat warna merah sebuah lingkaran
dengan tulisan yang nggak kumengerti, sepertinya tulisan kuno. Anak perempuan
itu dibaringkan di atas tempat tidur. Tangan dan kakinya diikat dengan tepi
tempat tidur. Dia yang baru sadar dari pingsannya, segera meronta-ronta namun
usahanya itu sia-sia. Seorang dari orang-orang berjubah hitam ini mendekati
anak itu dan menyuntikkan sesuatu, sepertinya itu obat penenang. Anak yang
meronta-ronta tersebut segera tenang dan sebelum kesadarannya habis, dia
berucap dengan nada memilukan, “Ibu, Ibu, kenapa kau melakukan ini?” aku
terkejut mendengarnya karena ucapannya sama dengan suara gaib yang aku dan
Clara dengar semalam.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Orang berjubah
itu mengeluarkan sebuah belati dari balik jubahnya. Belati yang gagangnya
dihiasi bulu burung gagak. Aku jadi teringat dengan belati yang kutemukan di
peti di gudang. Bentuknya persis sama dengan yang dipegang wanita itu. Kemudian
semua orang yang berada di sana memegang sebuah lembaran yang nggak asing lagi
bagiku. Lembaran sakramen itu. Seorang lagi mendekati tempat tidur dan
membacakan lembaran sakramen yang dipegangnya kuat-kuat. Dia mengucapkannya
dalam Bahasa Latin kurasa karena lembaran sakramen itu memang menggunakan dua
bahasa, Inggris dan Latin. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Semua orang di
ruangan ini kemudian membacakan lembaran mereka kuat-kuat. Aku menyaksikan
semua ini dengan keheranan dan nggak bisa berkata apa-apa. aku nggak bisa
melihat wajah mereka, karena mereka semua memakai topeng yang sama dengan yang
dipakai anak perempuan yang terbaring itu. Setelah mereka selesai membaca,
orang yang memegang belati mengangkat belatinya tinggi dan kemudian menusukkan
benda itu tepat ke jantung anak itu. Aku langsung menutup mata, tak sanggup
melihat kejadian itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kemudian dia
mengambil peralatan-peralatan yang ada di meja. Dia mengambil pisau kecil dan
membelah perut anak itu lalu mengambil ginjalnya. Organ tubuh itu dia taruh di
baki. Dia melanjutkan lagi kegiatan menjijikkan dan sadisnya itu. Dia mengambil
kedua bola mata anak itu, mencukur rambutnya sampai botak dan memotong
jari-jarinya. Perbuatannya benar-benar membuatku ingin muntah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku langsung
terbangun dan mendapati bahwa aku tak sadarkan diri di atas tempat tidur. Aku
berada di ruangan yang sama dengan yang ada di dalam mimpiku. Anak perempuan
yang kulihat dalam mimpi itu, apakah dia adalah korban ritual kuno? Lalu apakah
dia Claudia? Aku nggak tahu. Semua hal ini malah membuatku jadi bertambah
pusing. Aku turun dari tempat tidur dan mendengar teriakan Clara dari atas yang
menanyakan apakah aku baik-baik saja. Dengan sekali pandangan ke arah tempat
tidur rumah sakit itu, aku melangkah menaiki tangga. Cahaya obor di ruangan itu
padam seketika.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tiba di atas,
aku langsung disambut dengan tampang Clara yang bingung dan bertanya-tanya. Dia
bersyukur bahwa aku masih hidup namun juga khawatir dengan mukaku yang terlihat
murung dan nggak bersemangat. Aku menceritakan semua yang aku dapat di bawah
tanpa diminta Clara terlebih dahulu. Dia mendengarkan dengan sangat serius
ceritaku. “Jadi begitulah,” aku mengakhiri ceritaku dengan satu tarikan napas. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia nggak
langsung berkomentar. Dia berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan gelisah.
“Ini bakalan gawat!” gumamnya berkali-kali. Lalu dia berhenti dan menjentikkan
jarinya. “Aku seharusnya dari dulu tahu bahwa memang ada sesuatu yang nggak
beres di rumah ini. Ritual kuno itu terbukti benar dan ruangannya berada tepat
di bawah kita selama ini. Tepat di bawah kamarku!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aneh rasanya
kau bilang begitu. Bahkan ketika kau masih hidup kau pun nggak tahu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menggelengkan kepalanya dan kembali berjalan mondar-mandir. “Aku nggak
pernah tahu, maka daripada itulah aku
bingung. Oh ya, tadi apa kau bisa mendengar suaraku dari atas?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, aku bisa
mendengarnya dengan jelas,” jawabku apa adanya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalau begitu
kita adakan eksperimen. Ayo kita cari sebuah penutup untuk lubang ini. Nanti
kau akan kembali masuk ke dalam sana dan berbicaralah sekeras yang kau bisa.” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak
mengerti eksperimen apa yang dia bicarakan, tapi kami akhirnya juga mencari
penutup untuk lubang itu. Ada sebuah papan tebal berbentuk persegi di belakang
gudang dan kami membawanya ke kamarku. “Sekarang apa yang akan kita lakukan?”
aku menepuk-nepuk papan itu. “Seingatku aku nggak pernah tahu ada benda
beginian di belakang gudang.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Masuklah ke
dalam lubang sekali lagi, nanti aku akan menutup lubang dengan papan ini
kemudian berteriak memanggilmu dari luar. Lalu kau lakukan hal yang sama di
dalam lubang ini.” Dia setengah mendorongku ke dalam lubang, membuatku melotot
ke arahnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sebenarnya aku
sangat malas untuk kembali lagi ke lubang ini. Aku berada di ruangan itu lagi,
tapi sekali ini api obor sama sekali nggak menyala kayak tadi. Tempat ini gelap
dan dingin dan aku bersumpah akan menyalahkan Clara kalau terjadi apa-apa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku akan
menutup lubangnya dan mulai berteriak,” kata Clara dari atas dan dia
memindahkan papan tebal itu tepat di tengah lubang. Suasana menjadi bertambah
gelap di dalam sini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Nggak
terdengar apa-apa dari atas. Aku menggosok telapak tanganku lalu mendekap
tubuhku sendiri. Udara di sini semakin dingin. Rasanya seperti aku baru saja
dimasukkan ke dalam freezer. Papan yang menutupi lubang tergeser dan wajah
Clara nongol. “Apa kau mendengar suaraku tadi?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku sama
sekali nggak mendengar apa-apa,” teriakku dari bawah. “Apa eksperimen ini sudah
selesai? Aku kedinginan di bawah sini.” Sekarang aku baru tahu kenapa
orang-orang dalam mimpiku memakai jubah panjang. Mereka berlindung dibalik
jubah itu untuk mencari kehangatan dari dingin yang mengelilingi ruangan ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Belum,” jawab
Clara, “aku akan menutup lubang ini lagi, dan kau sekarang yang berteriak. Apa
kau mengerti?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, ya, ya!”
dan lubang itu kembali ditutup Clara. Aku berteriak sekuat tenaga dan nggak ada
respon apapun dari Clara. Yang bisa kudengar hanyalah suaraku yang bergema di
ruangan ini. Sesaat kemudian tutup lubang kembali digeser Clara. “Apa kau
mendengar teriakanku tadi?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dengan wajah
senang dia menjawab, “Nggak sama sekali. Keluarlah! Aku tahu sesuatu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tapi disuruh
dua kali, aku segera keluar dari lubang es itu. Clara kembali menutup lubang
itu dengan papan. “Sekarang aku baru tahu kenapa selama masih hidup aku nggak
tahu menahu mengenai lubang ini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku duduk di
kursi meja belajarku. “Karena apa?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Selain karena
lubang itu berada di bawah tempat tidurku, lubang itu sudah dilapisi ubin
khusus. Ubin yang terlihat biasa saja, tapi merupakan jalan masuk ke dalam
lubang itu. Ruangan di bawah itu kedap suara, sehingga orang nggak akan
mendengar apa-apa dari bawah sana. Namun ketika ubin itu dibuka, ruangan itu
menjadi nggak kedap suara lagi. Maka daripada itulah aku mengadakan eksperimen
kecil itu dan ternyata dugaanku benar.” Dia terlihat senang dan bangga sekali
karena teorinya ternyata benar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi ketika
kita menemukannya nggak ada sama sekali ubin atau penutup apapun. Lubang itu
dibiarkan menganga begitu saja,” kataku cepat. Rasanya aneh apabila lubang
rahasia seperti itu dibiarkan terbuka begitu saja.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hm, berarti
ada orang yang pernah masuk ke sana sebelum kau. Ya, mungkin pencuri itu
menyamar sebagai salah satu pekerja yang disewa untuk menata ulang rumah ini.
Dia menemukan lubang ini dan menghancurkan ubin yang menutupinya kemudian
membiarkan lubang itu terbuka.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Untuk apa dia
membiarkan lubang itu terbuka? Maksudku apa untungnya buat dia?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menggeleng dan tampangnya berubah menjadi kecewa. “Sayangnya aku nggak tahu.
Aku bahkan baru menyadarinya sekarang. Ketika rumah ini ditata ulang, aku nggak
ada di sini. Aku nggak suka bila ada penataan rumah, jadi aku memutuskan untuk
keluar. Coba pada waktu itu aku berada di dalam rumah, mungkin aku bisa tahu
lebih cepat mengenai lubang ini.” Dia meninju tangannya sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Perkataan
Clara mungkin ada benarnya. Lubang itu dibiarkan terbuka supaya si pencuri
nggak perlu bersusah-susah lagi untuk masuk ke sana suatu hari nanti. Orang ini
benar-benar ingin membangkitkan kembali ritual kuno itu. Aku bergidik
membayangkan apa yang kulihat ketika aku terbaring tak sadarkan diri di bawah
sana. Ritual itu benar-benar sadis dan menjijikkan! Aku nggak akan pernah mau
menjadi korban dari ritual itu. Siapa pun orang ini, aku akan membuka kedoknya
dan mengirimnya ke penjara! Aku nggak tahu bagaimana aku akan melakukan itu,
tapi aku yakin, pasti ada jalan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mendapati
diriku berhadapan dengan Trio Truk Gandeng, eh, mereka sekarang hanya berdua,
Si Gendut No.1 nggak ada. Kami masih berada di depan gerbang sekolah dan kedua
anak besar di depanku itu bermata merah dan sembab sepertinya mereka habis
menangis. Selama semenit yang terasa sangat lama bagi kami, akhirnya aku
bertanya, “Kenapa kalian? Mana pemimpin kalian itu?” tentu saja aku bertanya
dengan nada acuh yang kubuat-buat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Mendengar
pertanyaanku, mereka malah menangis lagi. Beberapa murid yang lewat nggak bisa
menyembunyikan keheranan mereka, namun karena hampir rata-rata murid di sekolah
ini takut dengan Trio Truk Gandeng yang pagi ini menjadi Duo, mereka hanya
memandang sebentar sebelum berjalan ke kelas masing-masing.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalian kenapa
sih?” tanyaku sekali lagi. Kali ini aku merasa lumayan kasihan dengan mereka
walau dalam hati masih curiga kalau ini semacam jebakan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si Gendut No.3
mengambil sapu tangannya dan mengusap air mata di pipinya sebelum menjawab,
“Sekarang Melanie ada di rumah sakit. Kondisinya sangat kritis, dia koma.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
membelalakkan mataku mendengar perkataannya. Si Gendut No.1 dalam keadaan koma?
Apa yang terjadi padanya? Baru kemarin aku lihat dia berdukun-dukun ria dengan
kedua temannya di kelasku dan sekarang dia koma? “Me, memangnya apa yang
terjadi padanya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pertanyaanku
nggak segera dijawab, karena dua orang itu kembali menangis lagi. Satpam
sekolah kami, Pak Soleh, hanya menatap dua anak itu tanpa berbuat apa-apa.
Akhirnya Si Gendut No.2 menjawab, “Kemarin sepulang sekolah Melanie ketabrak
sepeda.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hanya
ketabrak sepeda langsung koma?” tanpa aku sadar aku berkata keras-keras membuat
beberapa anak berhenti untuk memandangku. Aku langsung tutup mulut. Sungguh
perkataan Si Gendut No.2 kedengaran nggak masuk akal. Masa Melanie bisa
langsung koma hanya karena ditabrak sepeda?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Iya,” lanjut
Si Gendut No.3. “Namun sehabis tertabrak sepeda dia ketabrak dengan truk yang
lagi melintas.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekarang baru
aku tahu kenapa dia bisa koma. Kenapa nggak bilang dari awal saja sih kalau dia
ketabrak truk? Walaupun aku nggak suka sama Si Gendut No.1 dan komplotannya,
aku turut bersedih untuk mereka. Namun mereka berdua menggeleng secara
serempak. “Kami nggak butuh rasa belas kasihanmu,” ujar Si Gendut No.2 dengan
terang-terangan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nanti akan ada
sumbangan berjalan dari kelas ke kelas untuk membantu Melanie. Kami memaksamu
untuk memberikan sumbangan sebanyak yang kau punya di kantongmu, Tikus Got!” Si
Gendut No.3 membesarkan suaranya yang sudah terdengar parau.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Lihat,
perkataan mereka sungguh menjengkelkan! Setelah salah satu dari mereka sekarat,
mereka masih sempat-sempatnya untuk memerasku. Aku nggak menjawab apa-apa dan
segera berlalu dari hadapan mereka. Di sepanjang perjalanan ke kelas, Clara
nggak bisa menyembunyikan kekesalannya begitu pula aku. Clara bilang mereka
nggak bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpa teman mereka, aku pun
juga berpendapat begitu. Sesampainya di dekat kelasku, aku melihat
teman-temanku berdiri di luar kelas. Merasa heran, aku menghampiri Georgia
sementara aku merasa semua tatapan anak-anak tertuju kepadaku. Aku mengacuhkan
mereka dan bertanya kepada Georgia, “Apa yang terjadi?” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Georgia terlihat bingung sesaat sebelum menjawab,
mungkin untuk merangkai kata-kata Bahasa Indonesia yang tepat atau mungkin dia
bingung melihatku yang nggak tahu apa-apa sama sekali. “Kau nggak tahu?”
tanyanya lambat-lambat. “Kejadian kemarin itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku teringat
dengan kejadian kemarin. Tawa Clara yang menggelegar di kelas dan didengar oleh
semua murid sehingga mereka semua ketakutan. Dan sekarang mereka benar-benar
yakin bahwa memang ada hantu di kelas. Juga tatapan teman-teman sekelasku yang
tertuju kepadaku adalah tatapan curiga karena aku satu-satunya yang nggak lari
ketakutan mendengar suara gaib itu. Sekarang mereka semua akan bertambah
keyakinannya bahwa aku berteman dengan hantu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tiara maju ke
depan dan menatapku dengan pandangan menyelidik yang jelas. “Biangca.” Dia
menekankan namaku yang sudah salah dia sebutkan. Kenapa dia selalu salah
menyebut namaku sih? “Rasa-rasanya cuma kau sendiri yang nggak merasa takut
dengan adanya hantu di kelas kita.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Memangnya
kalian benar-benar yakin ada hantu di kelas kita?” tanyaku walau itu pertanyaan
sia-sia. Semua anak sudah percaya bahwa di kelas ada hantu alias Clara. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tiara
mengangkat alisnya dan memasang wajah serius dan bibir yang dikerucutkan. Cara
yang aneh untuk mengeskpresikan tampang serius. “Memangnya kau nggak dengar
tawa gaib yang tiba-tiba muncul di kelas kita? Dan anak-anak yang selalu merasa
dijahili dengan sesuatu yang tak tampak? Itu semua sudah jadi bukti ada hantu
di kelas.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Maksudku
guru-guru bilang kita terlalu berlebihan dalam berimajinasi. Itu semua pasti
karena kita kebanyakan nonton film horor,” kataku mencoba mengelak dari
tatapannya. Memang guru-guru pernah bilang begitu, tapi semakin guru nggak
mempercayai anak-anak ini, semakin mereka mempercayai bahwa kelas kami ada
hantunya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Itu karena
mereka nggak merasakannya sendiri. Tapi kita semua yang ada di kelas ini sudah
sepakat bahwa kelas ini ada hantunya. Kalau kau benar-benar nggak bersekongkol
dengan hantu itu, maka kau pasti sepakat juga dengan kami.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ketua kelas
kami, Andi, maju mendekati kami dan berdehem. “Kami sudah sepakat bahwa kami
akan menyewa jasa pengusir hantu pamannya Kak Melanie. Dan yang belum
menyepakati ide itu hanya tinggal kau seorang.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Rasanya lucu
kalau Andi memanggil Si Gendut No.1 alias Melanie dengan panggilan ‘Kak’.
Bagaimana pun dia lebih tua dari semua murid di sekolah ini. Aku yakin dia
hanya menggunakan kata panggilan itu sebagai sikap sopan saja. Si Supradi jelas
nggak akan bisa mengusir Clara, karena dia sudah pernah mencobanya di rumahku
dan nggak berhasil. Aku melirik ke arah Clara, dia sudah nggak sanggup lagi
menahan tawanya. Aku menghela napas dan
berkata, “Baiklah aku juga sepakat.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Andi
mengangguk dan bel tanda masuk berbunyi namun kami semua nggak ada yang
beranjak untuk masuk ke kelas. Semuanya saling pandang satu sama lain seperti
menunggu seseorang untuk mengambil langkah duluan memasuki kelas. Sebenarnya
sih aku mau saja masuk, tapi itu malah akan membuat mereka yang sudah curiga
kepadaku menjadi bertambah curiga. Wali kelas kami datang dan langsung memarahi
kami karena masih saja belum masuk ke dalam. Memang wali kelas kami adalah wali
kelas paling galak di antara wali kelas lainnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Pasti kalian
masih takut dengan hantu yang kalian karang sendiri itu ya!?” bentak wali kelas
kami sambil berkacak pinggang. “Ayo semuanya masuk!” perintahnya dan tanpa
perlu disuruh dua kali kami semua masuk ke dalam kelas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku memberi
isyarat kepada Clara agar diam dan nggak menjahili atau berbuat yang aneh-aneh
selama kegiatan sekolah berlangsung. Dia jelas nggak mau menuruti perkataanku
tapi dia cukup tenang dan hanya menjahili Tiara dengan terus menerus
menjatuhkan pensilnya. Raut muka Tiara benar-benar kesal melihat dari tadi
pensilnya jatuh melulu padahal dia sangat yakin sekali sudah menaruh benda itu
di dalam tasnya. Ternyata Clara memang bersikap keras kepala sama sepertiku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Rencana kami
berdua sehabis pulang sekolah adalah menanyakan informasi mengenai rumahku. Ada
beberapa tetangga yang sudah tinggal puluhan tahun di wilayah ini dan aku sudah
mendata atau lebih tepatnya Clara yang mendata mereka semua. Rata-rata usia
mereka empat puluh tahun ke atas sekarang dan hanya tinggal berdua saja bersama
dengan suami atau istri mereka karena kebanyakan anak-anak mereka sudah menikah
dan pindah ke tempat lain. Orang pertama yang kami kunjungi adalah Pak
Abdullah, umur 56 tahun, pekerjaan pensiunan pegawai negeri. Pak Abdullah
tinggal berdua bersama istrinya, Ibu Aminah dan hidup dengan ditunjang gaji
pensiunan pegawai yang sedikit tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pertama kali
bertemu dengan pasangan suami istri ini, aku langsung mendapat kesan bahwa baik
Pak Abdullah dan istrinya ketika masih muda sama-sama merupakan idola. Walau
umur Pak Abdullah sudah 56 tahun, namun sisa-sisa ketampanannya masih tampak dari
balik wajahnya yang sudah keriput dan rambutnya sudah memutih. Demikian juga
Ibu Aminah yang berbeda usia tiga tahun dari suaminya. Dia berjilbab panjang
dan nampaknya tipikal wanita desa yang rajin dan cekatan serta sopan. Mereka
menyambut kedatangan aku dan Clara dengan senang hati. Mereka bahkan mengajakku
untuk makan siang di rumah mereka, namun aku menolaknya dengan halus.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah
basa-basi mengenai kehidupan mereka, aku segera menuju ke pokok pembicaraan
mengenai masa lalu rumahku. Mereka terlihat mengingat-ngingat dulu selama
beberapa menit sampai Pak Abdullah berkata, “Ah ya, saya baru ingat. Pada tahun
1988 saya berumur 33 tahun waktu itu dan istri saya baru saja melahirkan anak
bungsu kami. Jadi aku nggak terlalu tahu mengenai kematian salah seorang
penghuni rumah itu karena saya harus menemani istri saya di rumah sakit. Namun
saya mendengar dari tetangga bahwa yang meninggal itu bernama Claudia atau
Clarissa? Saya nggak begitu ingat.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Claudia yang
meninggal pada waktu itu,” jelas istrinya. “Katanya dia mati mendadak di atas
tempat tidurnya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
membenarkan perkataan Ibu Aminah dan bertanya lagi, “Lalu apa kalian kenal
Clara?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Clara?” Pak
Abdullah malah balik nanya, “Aku nggak tahu. Yang jelas pada waktu itu lelaki
penghuni rumah itu, siapa namanya, oh ya Alfred. Nah, si Alfred ini punya dua
istri.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Keterangan
bahwa si Alfred punya dua istri menarik perhatianku. Aku nggak tahu bahwa
ternyata selain Ibu Angela, Alfred punya istri lain. Jadi aku menanyakan lebih
banyak tentang istri kedua Alfred ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Butuh waktu
yang lumayan lama bagi kedua orang tua itu untuk mengingat. “Entahlah,” kata
Pak Abdullah setelah keheningan panjang yang terasa bagaikan setahun. “Aku sama
sekali nggak ingat lagi, Nak. Kami sudah tua, ingatan kami nggak setajam dulu
lagi. Jangankan mengingat peristiwa 23 tahun silam, peristiwa yang baru terjadi
sehari yang lalu saja kami sudah lupa.” Perkataan ini diakhiri dengan tawa
riang dari Pak Abdullah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi aku rasa
kalian nggak setua itu,” ujarku sungguh-sungguh. Aku juga punya kenalan berumur
sama seperti mereka, tapi dia masih punya ingatan yang tajam dan fisik yang
masih sehat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Oh, semua
orang punya kapasitas otak masing-masing, Nak,” Pak Abdullah mengeretukkan
giginya. “Aku dulu adalah pecandu alkohol dan baru berhenti sepuluh tahun yang
lalu. Saraf-saraf otakku telah banyak yang rusak karena benda terkutuk itu.
Untungnya aku nggak dibuat mati olehnya. Dan istriku ini dulunya susah tidur
jadi dia kecanduan obat penenang. Sekarang pun dia masih memakannya sekali
sekali.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengangguk
dan merasa nggak ada lagi yang bisa dikorek dari dua orang ini. Jadi aku
memutuskan untuk pamit dan mengunjungi rumah selanjutnya. Rumah Oma Hellen. Dia
keturunan Belanda dan umurnya sudah 75 tahun. Dia tinggal sendirian bersama
dengan seorang pelayan yang masih muda bernama Debby. Walaupun sudah berusia
lanjut, dia masih sanggup untuk merawat tanaman-tanaman di pekarangan rumahnya
yang asri dan indah. Ketika aku berdiri di depan pintu pagarnya, aku bisa
melihat wanita tua itu sedang bersantai di depan beranda rumahnya sembari
menjahit sebuah sweter. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia
menyilahkan aku masuk dan pelayannya yang masih muda bernama Debby itu sudah
membawa dua cangkir teh ke ruang tamu. Aku kurang suka dengan teh tapi aku
berterima kasih untuk itu. Seperti yang dilakukan Clara di rumah Pak Abdullah,
dia berkeliaran di sekitar rumah dan memasuki sebuah kamar dekat tangga. Aku
memperkenalkan diriku dan langsung mengutarakan maksud kedatanganku ke rumah
Oma Hellen. Dia mengangguk-ngangguk sambil tersenyum lalu meminum tehnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Rumah itu,”
mulainya setelah meletakkan cangkir teh di atas meja, “memang menyimpan banyak
misteri. Alfred dan istrinya Angela merupakan pribadi yang tertutup dan mereka
jarang bergaul dengan warga sekitar sini. Mengenai Alfred punya istri lagi, aku
tidak begitu tahu karena aku pun juga jarang bergaul dengan warga sekitar sini.
Tapi memang nampaknya fakta itu benar karena aku pernah melihat si Alfred
berjalan-jalan dengan seorang wanita lain yang jelas bukan Angela.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Lalu apa yang
Oma tahu tentang anak mereka? Apakah istri kedua Alfred ini punya anak atau
nggak?” tanyaku dan melirik-lirik ke arah Clara yang melayang menaiki tangga.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Oma Hellen
meminum tehnya lagi dan Debby membawakan teh yang baru. “Hm, coba Oma
ingat-ingat dulu. Rasanya istri keduanya ini punya anak, anak perempuan
seumuran dengan anak Alfred dan Angela. Siapa nama anak mereka? Claudia? Atau
Clarissa?” dahi Oma Hellen semakin kelihatan berkerut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Claudia, nama
anak mereka Claudia,” ujarku dan menyadari bahwa aku sama sekali belum meminum
tehku. Dengan terpaksa aku minum sedikit teh yang sudah mulai dingin itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, ya, nama
anak mereka Claudia. Tapi aku sama sekali nggak ingat nama anak dari istri
kedua Alfred.” Oma Hellen meminum teh keduanya. “Maaf, aku tidak bisa
memberikanmu banyak informasi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak apa-apa
Oma Hellen.” Aku memandangi jam dinding, sudah hampir pukul tiga sore. Masih
ada satu orang lagi yang harus ditanyai dan aku harus pulang duluan sebelum
Ibu. “Kalau begitu saya permisi dulu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku dan Clara
mengunjungi orang terakhir dalam daftar kami. Rumahnya cukup jauh dari rumah
Oma Hellen membuat kakiku letih setengah mati ketika sampai di depan pagar
rumahnya. Clara sih enak, dia hantu dan hantu nggak bisa merasakan capek.
Lagian dia berjalan dengan cara melayang di udara. Seorang wanita membukakan
pintu pagar buatku. Wanita ini bermuka pucat dan kerutan di bawah matanya
terlihat cukup jelas, padahal mungkin umurnya baru awal 30-an. Aku mengatakan
padanya bahwa aku ingin menemui Kakek Dahlan Wijaya dan wanita itu langsung
mengernyit heran namun tanpa berkata apa-apa dia mempersilahkanku masuk dan menggiringku
menaiki tangga ke lantai atas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kakek Dahlan
sedang sakit,” jelas wanita itu tanpa diminta. Dia membuka pintu kamar dan kami
berdua masuk ke dalam.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kakek Dahlan
berada di atas tempat tidurnya yang besar. Dia terbatuk-batuk ketika melihat
kami datang. Dia benar-benar terlihat sangat tua padahal kata Ibuku umurnya
sekitar 60 tahun, tapi di sini dia kayak kakek-kakek umur 80 tahun. Clara pergi
ke arah kamar mandi, mungkin dia mencari hantu penghuni tempat tidur Kakek
Dahlan yang bersembunyi darinya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kakek, anak
ini ingin bertemu dengan Kakek,” ujar wanita yang mengantarku tadi dengan
lembut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku tersenyum
ke arah Kakek Dahlan dan dia mengernyitkan dahinya ketika melihatku. Wanita itu
nggak beranjak dari tempatnya sejak tadi dan terus memperhatikanku dengan
tatapan curiga. Aku duduk di tepi tempat tidur kakek dan secara sopan
memperkenalkan diriku. Kemudian setelah perkenalan yang nggak dibalas sepatah
katapun oleh kakek, aku akhirnya berkata, “Kedatanganku ke sini untuk
menanyakan tentang kejadian yang terjadi di rumahku, rumah dimana dulunya
ditempati oleh pasangan suami-istri Pak Alfred dan Ibu Angela.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesaat kulihat
mata kakek membelalak terkejut sebelum akhirnya dia terbatuk-batuk. Wanita yang
sedari tadi diam segera beranjak ke sisi kakek dan memberinya air putih. Aku
bisa menarik kesimpulan bahwa wanita ini pelayan Kakek Dahlan atau mungkin
anaknya. Kakek itu memandangiku lagi selama beberapa detik dan dia memberi
isyarat dengan telunjuknya kepada wanita itu. Si wanita mendekat dan Kakek
Dahlan membisikkan sesuatu padanya. Aku nggak tahu apa yang membuat wanita itu
terlihat kaget dan menunjukkan raut nggak percaya di wajahnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dan tanpa
berkata apa-apa, dia berdiri tegak dan mengisyaratkanku untuk mengikutinya.
Kami berdua pergi keluar kamar dan wanita yang belum kuketahui namanya itu
menutup pintu kamar dan memandangku sambil menyilangkan tangannya di depan
dada. “Aku tidak menyangka bahwa kau ke sini, seorang anak kecil mungkin baru
delapan tahun, menanyai tentang masa lalu rumah yang kau tempati itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Umurku
sepuluh tahun!” sanggahku. “Memangnya kenapa tante, tante…,” aku lupa bahwa aku
belum tahu namanya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Namaku Anni,”
ujarnya dingin. “Tapi kakek memberitahukanku ini, bahwa Alfred dan istrinya
Angela, punya anak kembar, kakek nggak begitu ingat nama mereka. Dan salah satu
dari anak kembar itu meninggal dan satu lagi entah berada di mana dia sekarang,
sedangkan istri kedua Alfred, dia punya anak namun anaknya sedang berada
bersama paman dan bibinya. Ya kakek cuma tahu itu saja. Dia hanya terkejut
melihat kau menanyakan hal yang sekarang sudah tidak dibicarakan lagi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Informasi ini
cukup berguna. “Kau bilang mereka punya anak kembar, Apa yang satunya namanya
Claudia?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Mungkin,” ujarnya kurang yakin. “Yang satu
lagi Clarissa barang kali. Tapi kakek benar-benar tidak ingat.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Maaf apabila
pertanyaan ini membuatmu jengkel, tapi tante ini siapanya Kakek Dahlan?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku anaknya
yang paling bungsu. Pada waktu salah satu kembar itu meninggal aku masih kecil.
Namun aku masih ingat dengan cukup jelas ada polisi waktu itu yang datang ke
wilayah kami yang nyaman. Ibu Angela berteriak-teriak bahwa anaknya dibunuh dan
anaknya yang satu lagi dibawa kabur. Namun semua orang mengatakan bahwa anaknya
meninggal secara damai dan mengenai anaknya yang satu lagi, memang anak itu
menghilang, tidak ada satupun yang tahu. Aku tidak tahu apa kata polisi
mengenai anak mereka yang hilang itu.” Wanita itu terlihat merenung. Namun
kemudian memasang tampang dingin lagi. “Mungkin setelah ini kau bisa pulang
sekarang. Sudah jam empat dan Ibumu pasti mencarimu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Walau masih
ingin menggali informasi lagi, aku membetulkan ucapannya dalam hati. Saat aku
menuruni tangga kulihat Clara berdiri di depan pintu keluar. Wajahnya terlihat
puas sekali. Aku menanyakan hal apa yang membuatnya puas di sepanjang
perjalanan pulang, tapi dia nggak mau menjawabnya dan malah mengajukan suatu
hal yang membuatku nggak terlalu senang. “Aku sudah bertemu dengan hantu-hantu
di ketiga rumah itu. Rumah Pak Abdullah, aku menjumpai tiga, di rumah Oma
Hellen aku menjumpai dua dan di rumah Kakek Dahlan aku hanya menjumpai satu
padahal kakek itu punya rumah besar dengan banyak kamar, tapi nggak ada satupun
hantu yang pernah mendapati tempat tidur di kamar-kamar itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bagaimana
dengan tempat tidur Tante Anni?” tanyaku. Bila satu tempat tidur nggak ada sama
sekali penunggunya, maka tempat tidur itu nggak pernah ditiduri dan belum jadi
tempat baru bagi hantu yang nggak punya tempat tidur untuk dihuni. “Lalu kenapa
kau ingin mengundang mereka?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dia tidur di
sofa kata hantu rumah itu. Wanita aneh.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesampainya di
rumah, aku melihat Ibu yang baru turun dari mobilnya. Aku mendekatinya dan Ibu
terlihat heran mengapa aku berada di luar karena aku memang jarang terlihat
berada di luar oleh Ibu pada jam segini. Aku berbohong bahwa aku keluar karena
merasa bosan di rumah dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Ibuku nggak
menanyakan hal itu lebih lanjut. Baru saja kami masuk ke dalam rumah, telepon
berdering. Ibuku pergi untuk mengangkatnya dan aku pergi ke kamarku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Di kamar,
Clara menjelaskan dengan lebih terperinci kenapa dia mengundang hantu-hantu
dari ketiga tempat itu. “Hantu-hantu itu telah ada ketika peristiwa itu
terjadi. Mungkin mereka mengetahui juga sesuatu tentang misteri rumah ini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengangguk
paham. “Benar juga. Aku nggak berpikir ke situ. Tapi apa aku harus menyediakan
makanan dan minuman untuk mereka? Menyan atau darah ayam hitam mungkin?” aku
nggak bermaksud menyindir dengan perkataan terakhir itu, tapi Clara kayaknya
merasa tersindir.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Uh!” Clara
menggembungkan pipinya, membuat dia terlihat menggelikan. Kau pasti berpikiran
yang sama denganku kalau kau melihatnya secara langsung. Maksudku dengan mata
yang hanya sebelah, tanpa alis, muka melepuh dan bibir yang pecah-pecah.
Tiba-tiba aku teringat dengan mimpi yang kudapat di ruangan di bawah tempat
tidurku. Seorang berjubah dan bertopeng mencungkil bola mata seorang anak yang
dijadikan korban ritual. Aku benar-benar penasaran siapa anak itu, tapi aku
yakin aku akan tahu nanti. “Kami nggak makan dan minum yang begituan!” ujar
Clara. Dari suaranya dia terdengar sangat terhina sekali dengan perkataanku
tadi. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya maaf deh.
Habisnya kupikir asap kemenyan yang sering dipakai dukun-dukun itu untuk kalian
para hantu,” kataku berusaha membela diri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menggeleng cepat. “Nggak, itu salah. Kami hantu, kami nggak makan atau minum.
Kau hanya tinggal menyediakan tempat saja dan ingat pertemuan ini dimulai tepat
tengah malam. Sebenarnya aku menolak,
tapi mereka maunya jam segitu, jadi aku dengan terpaksa mengikuti kemauan
mereka.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Apa pertemuan
ini akan lama?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak.
Rata-rata dari mereka masih hantu tingkat lima walau ada juga yang tingkat
enam. Mereka yang masih tingkat lima nggak bisa pergi jauh lama-lama jadi kami
sepakat bahwa pertemuan ini mungkin hanya akan memakan waktu sejam atau dua jam
saja.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengangguk
dan teringat kalau aku belum makan dan mandi. Terdengar suara teriakan dari
Ibuku yang menanyakan apa aku sudah makan. Jadi aku turun ke bawah bersama
Clara. Walau hantu nggak makan atau minum, Clara sering menemaniku makan.
Pokoknya sekarang dia menemaniku ke mana saja kecuali ke kamar mandi.
Sepertinya kami sudah jadi teman akrab sekarang. Ya, teman akrab.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Guncangan
pelan di bahuku membuatku terbangun dari tidur. Aku membuka mataku dan melihat
senyum lebar Clara. “Sudah waktunya. Mereka sebentar lagi datang,” ujarnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menguap
lebar dan mengucek-ngucek mata. “Oh, sudah tengah malam?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
mengangguk senang. “Oh, aku rasa mereka sudah sampai.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Perkataan
Clara memang benar. Sesosok hantu menembus pintu kamarku diikuti dengan sosok
lainnya. Mataku nggak berkedip dan kantukku lenyap seketika tatkala aku melihat
banyak hantu disekitarku. Ada dua hantu anak-anak, tiga hantu orang dewasa, dan
satu hantu nenek-nenek. Ditambah Clara jumlah hantu di kamarku menjadi tujuh.
Belum pernah aku melihat begitu banyak hantu dalam satu ruangan seperti
sekarang. Mereka semua menatapku yang terbengong-bengong melihat kedatangan
mereka. Clara memperkenalkan satu persatu hantu-hantu tersebut. Untuk lebih
mempermudah penjelasan kalian aku membuat daftar dari hantu-hantu tersebut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Daftar Hantu
Undangan Clara<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
1. Kevin. Hantu anak umur delapan tahun dan
berwajah sinis serta sombong, mengingatkanku dengan Tiara versi cowok. Cuma
bedanya Kevin punya wajah yang tampan. Sayang dia masih begitu muda untuk
meninggal. Dia berasal dari rumah Oma Hellen, mungkin saja dia cucunya Oma
Hellen. Dia meninggal pada tahun 1987, persis setahun sebelum Claudia
meninggal. Dia meninggal dengan damai di atas tempat tidurnya, makanya
penampilannya nggak menyeramkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
2. Kemala. Hantu anak-anak yang berusia lima
tahun. Tragis, dia dibunuh dengan cara disekap dengan kain oleh Ibunya yang
ternyata sakit jiwa. Dia meninggal pada tahun 1983, lima tahun sebelum Claudia.
Dia berasal dari rumah Pak Abdullah yang baru kuketahui punya saudara gila
hingga tega membunuh anaknya sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
3. Septiadi atau Septian. Hantu berumur 23
tahun. Dulunya bekerja di bagian marketing di sebuah perusahaan tapi meninggal
karena tertabrak mobil pada tahun 1986, dua tahun sebelum Claudia. Karena nggak
mau kembali ke alam baka, dia kembali ke tempat tidurnya sendiri dan dia
merupakan hantu dari rumah Oma Hellen. Septian bilang dia masih punya ikatan
saudara dengan Oma dan tinggal sebentar di rumahnya. Karena korban kecelakaan,
dia punya banyak luka dan darah kering terlihat menghiasi sebagian wajah dan
beberapa anggota tubuh lainnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
4. Kristi Evita. Hantu perempuan berumur 27
tahun dan bekerja di bank. Meninggal pada tahun 1985 sebagai korban pembunuhan
dan juga perkosaan oleh sekelompok preman. Dia nggak punya tempat untuk dihuni
dan nggak mau kembali ke alam baka, jadi dia menunggui salah satu tempat tidur
di salah satu kamar yang nggak pernah terpakai di rumah Pak Abdullah. Masih
terlihat pisau yang menancap di dadanya dan juga goresan memanjang di tangan
dan kakinya. Dan dia juga nggak berhenti-hentinya menangis.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
5. Marcus Syahwan. Hantu laki-laki
berperawakan gendut tapi sikapnya seperti seorang pejabat berumur 35 tahun. Dia
dulunya adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Dia meninggal pada tahun
1986 karena makanan yang diantar ke kamarnya ternyata telah diberi racun
mematikan. Dia terbilang baru di rumah Pak Abdullah karena di tempat tidurnya
di rumahnya sendiri telah ditempati hantu lain yang jauh lebih kuat darinya
sehingga dia terpaksa pindah dan pilihannya jatuh ke salah satu kamar tidur di
rumah Pak Abdullah yang ternyata masih memiliki tempat tidur yang nggak
berpenghuni (dari sini aku mulai berpikir berapa kamar kosong dan tempat tidur
yang nggak pernah terpakai di tempat Pak Abdullah).<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
6. Nenek Mira. Dia merupakan Ibu dari Kakek
Dahlan. Ibu Kakek Dahlan meninggal pada tahun 1984 di usia 68 tahun dengan
tenang di tempat tidur yang sekarang dipakai Kakek Dahlan yang sedang sakit dan
hantu Ibunya ternyata selalu menemaninya. Nenek Mira benar-benar hantu yang
baik dan sopan khas hantu nenek-nenek lainnya. Dan dari semua hantu yang
diundang Clara, cuma Nenek Mira yang aku sukai.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Oke, semuanya
sudah berkumpul.” Clara memberi isyarat kepada kami semua untuk memulai acara.
Dia berdehem dan berkata, “Kalian semua sudah mati sebelum terjadi peristiwa di
rumah ini. Bisa kalian ceritakan apa saja yang kalian ketahui mengenai rumah
ini kepada Bianca?” Clara layaknya sudah seperti presenter di TV.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku nggak
suka dia!” suara cempreng Kevin terdengar. Dia memandangku sinis dari bawah
sampai atas. “Untuk apa kita harus memberikan dia informasi?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Agar kita
secepatnya dapat memecahkan misteri ini Kevin,” ujar Clara dengan penekanan pada
nama Kevin. Kevin hanya menjulurkan lidahnya ke arah Clara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku
melihatnya langsung!” kali ini si kecil Kemala yang berbicara. “Aku lihat ada
polisi datang dan ada seorang anak perempuan, oh bukan dua anak perempuan!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Jelas Kemala
masih terlalu kecil untuk ditanyai hal-hal seperti ini. Aku bingung kenapa
Clara mengundangnya ke sini, tapi aku tersenyum saja mendengar perkataannya.
Kevin pun nampaknya mengibarkan bendera perang kepadaku, jadi aku juga nggak
akan menanyainya. Aku memandang Septiadi. Hantu pemuda 23 tahun itu memandangku
dengan matanya yang sayu. Darah kering yang masih membasahi wajahnya membuatku
agak sedikit ngeri juga. “Apa yang Kak Septian ketahui tentang rumah ini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak
banyak,” jawabnya datar. “Aku sudah mati ketika peristiwa itu terjadi. Ibu
Angela dan suaminya Alfred memang punya anak kembar, Claudia dan yang satu
lagi….” Dia terlihat bingung untuk sesaat, “Entahlah, aku nggak tahu, Clarissa
barang kali. Dan yang meninggal itu Claudia, tapi entah kenapa aku rasa bukan
dia yang meninggal dengan tenang pada waktu itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Oh ya?” aku
mulai tertarik berbicara padanya. “Teruskan.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Claudia dan
kembarannya itu sangat mirip sehingga agak susah dibedakan. Tapi hanya
perasaanku saja tapi aku yakin bahwa yang meninggal itu bukan Claudia dan yang
hilang itu bukan kembarannya. Bisa jadi yang meninggal itu kembarannya Claudia
sedangkan yang hilang itu Claudia.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku sudah
bertemu dengan hantu Ibu Angela dan dia sangat yakin bahwa yang meninggal itu
Claudia bukan kembarannya,” kataku dan Kak Septiadi langsung bingung.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Mungkin,”
sela Marcus, “Ibu Angela dipaksa untuk mengakui bahwa yang meninggal itu adalah
Claudia.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menoleh ke
arah Marcus. “Siapa yang memaksanya? Dan untuk apa?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ini hanya
pendapatku saja tapi Ibu Angela takut pada suaminya, Alfred. Buktinya dia tidak
marah sama sekali ketika Alfred beristri lagi. Sejak dulu ada rumor bahwa
Alfred nggak menyukai anaknya Claudia, karena anak itu kerjanya cuma bisa bikin
onar dan malu keluarga.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Itu tidak
mungkin,” sergahku. “Kata pembantu rumah yang dulunya bekerja kepada mereka,
Claudia adalah anak yang pintar melukis dan sering dapat juara melukis. Nggak
mungkin si Alfred ini nggak menyukainya!” tentu saja semua orang tua ingin
anaknya berprestasi dan apabila memang si Alfred nggak suka pada anak yang
berprestasi, pastilah dia sudah kurang waras.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi
seingatku yang pintar melukis itu kembarannya. Aku lupa namanya, seingatku dia
memang jarang keluar dan bergaul dengan penduduk sekitar.” Septiadi, Kristi dan
Nenek Mira mengangguk membenarkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menanyai
mereka yang lainnya lagi, tapi tetap saja nggak terlalu banyak membantu.
Setelah hampir dua jam mereka di sini, mereka pun pamit pulang. Sebenarnya aku
ingin menanyai mereka tentang ritual yang dilakukan oleh seseorang di rumah
ini, tapi sepertinya aku tetap harus menyembunyikan hal itu dulu sampai
semuanya menjadi lebih jelas. Aku kembali beranjak untuk tidur pada jam dua
lewat lima belas ketika sebuah suara isakan memilukan dan kata-kata ‘Ibu, Ibu
kenapa kau melakukan ini?’ kembali terdengar untuk kedua kalinya dari ruang
bawah di kamarku. Clara pergi mengantar tamu-tamunya ke tempat mereka
masing-masing dan aku sendirian di kamar ini bersama suara dari hantu korban
ritual. Aku menyembunyikan diriku di dalam selimut dan merasakan seluruh tubuhku
bergetar karena ketakutan. Suara itu kemudian lama-lama semakin pelan dan
kemudian lenyap, sama seperti yang pernah terjadi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Suasana kamar
kembali menjadi senyap.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pagi harinya
aku merasakan bahuku kembali diguncang-guncang. Ketika aku membuka mata dengan
susah payah, aku melihat Ibu yang tengah berkacak pinggang menjulang di
hadapanku. “Bangun, Bianca!” ujarnya sambil menarik selimutku. “Ini sudah jam
setengah tujuh lho, entar terlambat ke sekolah lagi!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Mendengar kata
jam setengah tujuh, mataku langsung melek. “Wah, aku terlambat!” pekikku dan
segera berlari ke arah kamar mandi. Sial! Kalau aku nggak tiba di sekolah
setengah jam lagi, maka aku nggak akan diperbolehkan masuk. Padahal hari ini
ada ulangan! <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
menyelesaikan mandi, berganti pakaian,dan sarapan dalam waktu dua belas menit.
Rekor baruku sudah tercipta. Aku menyuruh Ibu untuk lebih cepat karena lima
menit lagi pagar sekolah akan ditutup. Ibuku memarahiku di sepanjang perjalanan
ke sekolah yang untungnya nggak memakan banyak waktu. Dia menyalahkanku atas
hal ini karena aku yang terlambat bangun dan mengira bahwa aku mungkin punya
penyakit sulit tidur atau insomnia yang langsung aku sanggah. Sampai kapanpun
aku nggak akan pernah mau punya penyakit kayak gitu. Aku sampai di sekolah
tepat pada saat satpam kami hendak menutup pagar. Aku langsung menyelinap masuk
dan berlari ke kelas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hal itu
terjadi beberapa jam yang lalu dan sekarang aku sedang berada di taman sekolah
dekat dengan lapangan olahraga. Aku sedang berusaha menyusun kesimpulan dari
semua informasi yang kudapat baik dari manusia maupun dari hantu. Kupandangi
lagi buku catatanku dan meneliti setiap cerita dari mereka semua. Rata-rata
mereka semua memberikan informasi yang sama seperti bahwa Alfred dan Ibu Angela
punya anak kembar dan Alfred menikah lagi. Tidak ada yang menyebut-nyebut
tentang ritual. Pasti ritual itu benar-benar disembunyikan dengan sangat baik
dari perhatian orang-orang. Namun setelah lebih kuteliti lagi aku menemukan
sebuah fakta yang menarik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dari semua
orang dan hantu yang kutanyai. Mereka menyebut nama Clarissa di samping nama
Claudia. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa saudara kembar Claudia bernama
Clarissa tapi dengan nada yang nggak yakin. Aku jadi bingung beberapa saat
sampai keterangan dari Pak Marcus menarik minatku. Dia bilang bahwa kembaran
Claudia itu orangnya sangat tertutup dan jarang bergaul dengan warga. Mungkin
itulah penyebab kenapa Clarissa dilupakan orang. Kau tentu melupakan sesuatu
yang nggak terlalu kau kenal dalam hidupmu kan? Maka dari situ kutarik
kesimpulan bahwa saudara kembar Claudia itu bernama Clarissa. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Mungkin Paman
Bibir Tebal tahu mengenai ini. Dia kan sudah berada di rumah itu selama enam
bulan sebelum kematian Claudia terjadi. Dia pasti menyembunyikan sesuatu dan
aku akan memaksanya untuk ngomong yang sejujurnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sehabis jam
pelajaran terakhir dan guru kami sudah keluar kelas, Andi maju ke depan dan
mulai berdehem, tanda dia akan ngomong panjang dan serius. “Sesuai dengan
rencana kita. Kita akan mendatangkan pengusir hantu untuk mengusir hantu jail
yang menganggu kita. Sekarang, sudah waktu pulang sekolah. Pengusir hantu itu
akan datang sebentar lagi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku lupa
dengan rencana kelas kami untuk mengusir Clara dari sini. Namun yang mereka datangkan
adalah seorang pengusir hantu yang sama sekali nggak bermutu. Clara yang sedari
tadi di sampingku, hanya bisa tertawa terkikik-kikik melihat anak-anak begitu
bersemangat untuk mengusirnya dengan menggunakan jasa pengusir hantu lemah yang
konyol. Suara ribut-ribut anak-anak segera hilang ketika dua orang yang sudah
kukenal memasuki ruangan kelas bagai selebriti memasuki red carpet. Si Supradi
dan asistennya Jalil.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Saya bisa
merasakan,” kata si Supradi tanpa basa-basi dan matanya jelalatan melihat sekeliling
ruangan kelas. “Anak-anak lebih baik kalian keluar. Hantu yang menghantui kelas
ini sangat kuat.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Teman-temanku
nggak perlu disuruh dua kali untuk keluar dan pintu kelas langsung ditutup dengan Jalil .
Semuanya keluar, kecuali aku yang masih terpaku di tempat dudukku dengan senyum
kecil yang menghiasi wajahku. Si Supradi langsung melotot begitu melihatku ada
di sini dan entah kenapa dia marah. “Anak kecil yang sama lagi!” dia berkacak
pinggang, “Ibumu benar-benar tidak waras! Dia marah hanya karena kami menyampah
di dalam rumah.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ibuku nggak
gila!” aku berdiri dan ikut-ikutan berkacak pinggang. “Justru kalian yang gila!
Siapa pun pasti akan marah kalau melihat ada orang asing yang menyampah di
rumah mereka!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Perkataanku
malah membuat si Supradi bertambah marah. Dia menggeram dan mukanya menunjukkan
ekspresi kalau dia mau menerkamku. “Dasar anak kurang ajar! Kau tahu kalau
bukan kami yang menyampah! Hantu di rumahmu itu yang melakukannya dan aku
berjanji kalau dia ada di sini maka aku akan mengirimnya ke alam baka!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ah, nggak
mungkin bisa!” aku tertawa kecil, merasa bahwa anak-anak yang berkumpul di luar
pada melihat kami dari jendela dengan tampang bingung campur takut. Bingung
dengan aku yang berani menantang pengusir hantu tersebut dan takut dengan
kemarahan si pengusir hantu yang mukanya udah memerah seperti setan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menampakkan dirinya dengan cara merangkak di langit-langit. Darah yang keluar
dari luka akibat tusukan dua pisau itu menetes satu demi satu di depan wajah si
Supradi, membuat dia menoleh ke atas. Matanya serasa akan keluar dari rongganya
ketika melihat Clara menempel di langit-langit. Clara menyeringai menampakkan
gigi-gigi taringnya yang berwarna hitam kemudian dia meludah di kepala Supradi.
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ludah Tiara
menjadi api kecil yang membakar sebagian rambut Supradi dan dia langsung panik
setengah mati. Jalil segera membantunya dengan menyiram sebotol air mineral ke
kepalanya. Clara dan aku sama-sama tertawa puas, benar-benar asyik mengerjai
pengusir hantu ini. Clara melempar bola mata kanannya dengan keras dan berhasil
menimpuk kening si Jalil. Jalil yang pendiam, mengambil benda yang menimpuknya
dan langsung terkejut karena benda itu adalah bola mata. Si Supradi yang sudah
basah, segera duduk bersila dan mulutnya komat-kamit membaca mantra. Tangannya
dia satukan di depan dada. Clara nggak membiarkan meditasi si Supradi berjalan
dengan tenang. Dia segera melompat dan megeluarkan taringnya yang panjang kemudian mencakar
badan Supradi. Kontan Supradi kaget dan dia berjalan mundur bersama Jalil ke
arah pintu. Anak-anak yang sedari tadi mengintip dari jendela, terkejut melihat
dua pengusir hantu yang nampaknya ketakutan. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menyerang lagi. Kali ini dia melompat dengan cepat dari satu sudut kelas ke
sudut yang lain. Itu semua dilakukan dengan sangat cepat, membuat dua pengusir
hantu itu bingung dan pusing. Aku mulai tegang. Apa yang akan dilakukan Clara?
Clara berhenti tepat di depan mereka dan menyemburkan cairan berwarna kuning
pucat ke arah dua orang itu. Aku tahu cairan itu. Itu cairan yang bisa membuat
kulit manusia melepuh. Bersyukurlah karena dua pengusir hantu itu memakai baju
panjang, tapi tetap saja membuat mereka berteriak kepanasan. Namun itu semua
juga belum cukup buat Clara. Dia mencakar kedua orang itu dengan ganas. Baju mereka
koyak-koyak, darah mereka mulai keluar dari badan dan juga muka mereka. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Anak-anak yang
melihat dari luar berteriak ketakutan dan beberapa anak perempuan menutup mata
nggak sanggup melihat adegan pencakaran gaib di depan mata mereka sendiri.
Jujur, aku juga takut. Clara benar-benar jahat dan sadis! Seharusnya dia nggak
melakukan sampai sejauh itu, itu sudah keterlaluan! Aku ingin menghentikannya,
tapi, aku menggigit bibir. Aku nggak bisa menghentikan Clara! Clara nggak mau
disuruh berhenti apabila dia sedang melakukan hal yang dia sukai. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si Supradi dan
asistennya segera berlari keluar kelas dengan banyak cakaran di tubuh mereka.
Mereka benar-benar nggak berdaya dan beberapa anak yang berusaha mengejar
mereka langsung terpekik kaget ketika melihat mereka jatuh dari tangga. Andi,
yang juga ikut mengejar mereka langsung turun dari tangga dan menghampiri kedua
orang itu. Ternyata dua pengusir hantu itu telah meninggal. Tubuh Supradi
menimpa tubuh asistennya, Jalil. Mereka pasti saking tergesanya nggak menyadari
bahwa kelas kami berada di lantai dua dan mereka nggak melihat adanya tangga
dan akhirnya jatuh. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mendengar
tentang meninggalnya dua orang itu dan aku langsung melotot ke arah Clara yang
hanya menutup mulutnya. “Lihat akibat perbuatanmu!” Aku benar-benar marah
kepadanya dan juga kepada diriku sendiri karena nggak berani menghentikan
perbuatannya tadi. “Sekarang mereka berdua meninggal!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi bukan
aku yang mendorong mereka dari tangga!” bela Clara. “Mereka jatuh sendiri!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, tapi kau
kan yang mencakar mereka. Mereka sebenarnya sudah sekarat dan tanpa sadar
mereka jatuh dari tangga!” aku menunjuk-nunjuk Clara dengan marah. Untung saja
semua anak sedang tersedot ke arah tangga tepatnya ke arah dua pengusir hantu
yang meninggal itu. Aku masih dapat mendengar suara orang-orang yang panik dan
ribut di luar sana. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara hanya
diam saja tapi kembali bersuara dengan keras sekali sampai menggetarkan seisi
kelas, “Aku benci mereka! Mereka sangat sok sekali seakan-akan mereka pengusir
hantu yang paling hebat, tapi ternyata mereka nggak bisa apa-apa! Menyebalkan
sekali orang seperti itu!” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku diam saja
mendengar pernyataan Clara. Bukan nggak bisa membantah perkataannya, hanya
takut akan kemungkinan bahwa dia juga nggak akan segan-segan menyakitiku. Aku
masih teringat dengan perkataan Ibu Angela mengenai Clara. Itu membuatku
bergidik. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara membuang
muka dari hadapanku dan akhirnya menghilang meninggalkanku yang masih terpaku
di tempat. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Rasanya sudah
lama sekali aku nggak bertemu dengan Ibu Angela. Mungkin benar kata Clara kalau
dia dan suaminya adalah hantu nomaden, suka berpindah-pindah tempat. Clara
nggak ada di sampingku, aku bahkan nggak bisa merasakan hawa kehadirannya yang
biasanya bisa kurasakan dengan mudah. Sepertinya dia nggak ada di rumah ini, mungkin
dia pergi ke suatu tempat. Dia masih marah kepadaku dan aku nggak yakin berapa
lama dia seperti itu. Aku merasa jadi kesepian karena biasanya pada jam segini
aku berbincang-bincang dengan Clara mengenai masalah hantu dan rencana kami.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak tahu
apa yang akan terjadi di sekolah besok. Yang jelas berita kematian dua pengusir
hantu itu akan jadi bahan pembicaraan semua warga sekolah dan masuk ke surat
kabar. Karena bosan, aku membuka laci-laci meja belajarku dan menemukan sesuatu
yang sempat kulupakan. Sebuah artikel koran bertanggal 29 September 1988
tentang seorang istri yang menderita penyakit kejiwaan membunuh suaminya
sendiri. Tahunnya sama dengan kematian Claudia, tapi sampai sekarang aku belum
tahu bulan dan tanggal tepatnya Claudia meninggal. Mungkin Paman Bibir Tebal
tahu. Aku akan menanyakannya pada saat acara minum teh sore. Ibu pasti
bertanya-tanya kenapa aku ikut minum teh bersama karena biasanya aku selalu
menolak kalau diajak untuk minum teh sore. Aku nggak terlalu suka teh, tapi
kalau acara itu diganti jadi acara minum milkshake sore, mungkin aku akan
dengan senang hati mengikutinya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sayangnya
acara minum teh itu sudah ada sejak nenekku masih kecil dan aku kurang yakin
apa sudah ada milkshake pada jaman dia masih kecil. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Paman Bibir
Tebal selalu datang untuk minum teh sore bersama Ibu walau sore itu hujan
lumayan lebat. Dia datang bersama anak bungsunya, Adi, atau harus kupanggil Kak
Adi untuk menjaga kesopanan. Aku berkata kepada Ibu bahwa aku juga akan ikut
acara minum teh dan Ibuku seperti terkena serangan jantung mendengarnya. Ya
ampun, Ibuku itu memang terlalu berlebihan. “Aku hanya menyiapkan tiga teh dan
karena kau mau ikut, aku harus menyiapkannya juga untukmu. Seharusnya kau
bilang lebih awal, Bianca.” Ibuku mengambil gelas lain dari dalam lemari dapur.
“Panas atau dingin?” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Biasanya
kalian minum teh panas atau dingin?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kami yang
sudah tua ini lebih suka teh panas, apalagi di waktu hujan lebat ini.” Aneh
rasanya Ibuku mengakui kalau dia sudah tua dan perkataannya yang pertama tadi
benar-benar nggak penting untuk dibicarakan. Kalau seandainya aku membatalkan
niatku untuk minum teh bareng, apa Ibu akan kesal karena tehku sudah terlanjur
dibuat?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Baiklah kalau
begitu aku minta teh panas,” kataku dan berjalan menuju ruang tamu. Sudah ada
Paman Bibir Tebal dan Kak Adi. Ini untuk kedua kalinya aku bertemu Kak Adi dan
wajahnya tetap datar dan menyebalkan. Paman Bibir Tebal tersenyum kepadaku.
“Nggak biasanya aku melihatmu sore-sore begini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengambil
posisi duduk di kursi di sebelah Kak Adi. “Ya, aku akan ikut acara minum teh
sore.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tumben
sekali.” Paman Bibir Tebal memandangku heran. “Kata Ibumu kau nggak suka dengan
tradisi ini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Seingatku Kak
Adi juga baru pertama ini ikut acara minum teh sore,” cibirku. Kak Adi hanya
diam saja. Tampangnya yang sok nggak berdosa itu benar-benar nggak enak untuk
dipandang. “Lagian apa paman nggak punya kerjaan sehingga tiap hari harus ikut
tradisi turun temurun keluarga Ibuku ini? Mana istri paman? Kenapa dia nggak
marah paman pergi ke sini untuk minum teh dengan Ibu dan dia nggak paman ajak?”
aku menanyainya dengan sindiran yang sangat jelas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Muka Paman
Bibir Tebal memerah karena malu. Ibu datang membawa nampan berisi empat cangkir
teh dan mengedarkannya ke kami. Dia sendiri duduk menghadap Paman Bibir Tebal
dan Kak Adi. Aku ingin tahu apa yang dibicarakan Ibu dengan Paman Bibir Tebal
kalau sedang minum teh sore.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hari ini
hujan cukup lebat dan Anda masih bisa datang. Saya sangat menghargainya,” kata
Ibuku memulai pembicaraan. Dia tersenyum manis sekali.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Muka Paman
Bibir Tebal memerah dan aku tahu dia terpesona dengan senyum Ibuku. “Nggak
apa-apa Bu. Ini sudah jadi semacam
tradisi yang entah kenapa saya menyukai tradisi ini.” Paman Bibir Tebal juga
tersenyum pahit sekali.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Apa-apaan ini?
Nggak mungkin kan Paman Bibir Tebal menyukai Ibuku? Jarak umur mereka bagiku
terlalu jauh! Ibuku berumur 33 tahun, sedangkan Paman Bibir Tebal 49 tahun!
Jelas aku nggak akan sudi dia menjadi ayah tiriku! Selain itu mukanya nggak
bisa disejajarkan dengan aktor-aktor semacam Leonardo di Caprio ataupun Orlando
Bloom atau Christian Sugiono. Bahkan disejajarkan dengan Sule pun, dia sama
sekali nggak pantas. Belum lagi pertimbangan bahwa Adi akan menjadi kakak
tiriku. Bayangkan pemuda dingin dan cuek itu? Aku sama sekali nggak mau! Dan
aku juga yakin Ibuku nggak akan mau disukai olehnya. Ha! Cinta Paman Bibir
Tebal bertepuk sebelah tangan!<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tadi ada dua
orang yang meninggal di sekolah Bianca.” Ibuku memulai ceritanya. Aku memang
menceritakan hal itu kepadanya. “Mereka adalah pengusir hantu dan berniat untuk
mengusir hantu di kelas Bianca. Namun mereka keluar dari kelas dengan muka dan
tubuh penuh cakaran dan akhirnya jatuh dari tangga.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Paman Bibir
Tebal menunjukkan muka prihatin, sementara Kak Adi masih tetap nggak
berekspresi. “Kasihan sekali. Memangnya benar ada hantu di kelasmu Bianca?” dia
sekarang menoleh ke arahku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengangkat
bahu dan menjawab sekenanya, “Kata teman-temanku ada hantu. Tapi aku nggak
pernah dijahili oleh hantu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Saya tidak
percaya dengan hantu, Pak Kasim. Bagaimana dengan Anda?” Ibuku mengipasi tehnya
yang masih panas. Aku pun baru teringat bahwa nama Paman Bibir Tebal adalah
Kasim. Baiklah, aku akan mengingat nama itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dibilang
percaya mungkin juga, tapi selama saya hidup saya nggak pernah melihat hantu
secara langsung.” Paman Bibir Tebal atau Pak Kasim berhenti untuk meminum
tehnya. Kemudian dia melanjutkan, “Namun saya yakin mereka berada di antara
kita.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku mengangguk
dan berpaling ke arahku. “Kenapa kau nggak minum tehmu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tehnya masih
panas,” jawabku santai. Memang benar kok tehnya masih panas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bianca, teh
itu tidak akan terasa enak lagi kalau sudah dingin,” Ibuku mengingatkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi tehnya
masih panas, Bu. Aku nggak mau mengorbankan lidahku.” Aku menjulurkan lidah ke
arah Ibu dan Ibu langsung melotot.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hah, Bianca
anak yang lucu ya?” Paman Bibir Tebal tertawa kecil. Aku berpaling kepadanya
dan ingin memprotes apa yang dikatakannya, tetapi Ibuku keburu memotong.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dia bukannya
lucu, dia anak yang nggak sopan dan sedikit kurang ajar juga keras kepala. Saya
rasa itu pasti keturunan ayahnya.” Ibuku sendiri juga keras kepala, tapi dia
nggak mau mengakuinya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Percakapan ini
berlanjut dengan pembicaraan tentang politik. Aku nggak tahu Paman Bibir Tebal
tahu banyak tentang politik karena wajahnya sama sekali nggak menunjukkan
apapun tentang itu. Aku malah berpikir bahwa Paman Bibir Tebal hanya lulusan
SMP makanya dia bekerja sebagai pelayan dan sekarang penjaga rumah ini. Kak Adi
nggak berbicara dari tadi dan hanya memandangi Ibu dan Paman Bibir Tebal
mengobrol.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ada jeda
sesaat ketika Ibu dan Paman Bibir Tebal minum teh mereka yang ketiga sore itu.
Jeda ini adalah kesempatanku untuk menanyai kapan persisnya Claudia meninggal.
“Paman Kasim,” mulaiku yang akhirnya dapat juga memakai namanya dalam
percakapan, “Begini, aku ingin tahu lebih banyak tentang kematian Claudia.
Kapan tepatnya dia meninggal?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bianca!” seru
Ibuku. “Kenapa kau menanyakan itu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Wajah Paman
Bibir Tebal terlihat kaget mendengar pertanyaanku, tapi dengan tenang dia
menjawab, “Kalau kau benar ingin tahu. Nona Claudia meninggal tanggal 25
September 1988. Memangnya kenapa?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak ada
apa-apa,” kataku berbohong. Aku meminum tehku yang memang sudah dingin dan
memikirkan perkataan Paman Bibir Tebal. Tanggal di koran adalah 29 September
1988 sedangkan Claudia meninggal tanggal 25 September 1988. Kira-kira apa
hubungan dari kedua hal ini? Aku mencoba menghubungkannya tapi rasanya nggak
ada hubungannya sama sekali. Mungkin memang nggak ada hubungannya, tapi kenapa
artikel koran itu disimpan di kardus barang bukti?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Semua ini jadi
semakin sulit.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Malam harinya
aku duduk-duduk di teras di belakang rumah yang terdapat sebuah pohon besar
yang sangat familiar bagiku karena aku melihatnya setiap hari dari jendela di
dekat tempat tidurku dan setiap bangun aku melongok dari jendela untuk melihat
adakah tanda-tanda Ibu Angela akan datang. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
nampaknya masih ngambek jadi dia nggak ada di sampingku, membuatku bertambah bosan.
Nggak ada sama sekali yang bisa kuajak ngobrol di sini. Ibu selalu menyuruhku
untuk bergaul dengan anak-anak di wilayah ini namun aku sama sekali nggak
tertarik. Sepertinya aku lebih baik bersosialisasi dengan hantu daripada dengan
manusia nyata. Entah berapa lama aku terdiam ketika sesosok hantu muncul di
depanku. Aku hampir terjungkang kebelakang melihat hantu itu yang tiba-tiba
muncul dan rasanya samar-samar aku kenal wajahnya walau sebagian wajah itu
telah rusak dan berdarah-darah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Akhirnya aku
bisa juga menemuimu,” ujar hantu wanita tersebut. “Hantu yang selalu
mendampingimu itu sedang tidak ada jadi aku bebas untuk bicara denganmu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Siapa ya?”
aku menunjuk sambil mengangkat sebelah alisku dan dia terlihat sangat kesal
dengan kelakuanku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Masa kau
tidak kenal? Aku Ibu Rahayu yang mati karena kecelakaan,” jawabnya sambil
menggeram.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekarang baru
aku ingat siapa dia. Ibu Rahayu, si gelandangan dan orang gila yang suka
berkeliaran di wilayah ini ketika masih hidup. “Ibu kan yang berteriak-teriak
di depan rumahku? Apa yang Ibu maksud dengan kutukan pada waktu itu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Rumahmu ini
mengandung kutukan. Istri kedua Alfred, pemilik terdahulu dari rumah ini adalah
tukang sihir! Dia sangat jahat dan sampai sekarang dia masih hidup dan polisi
tidak tahu dia berada di mana.” Ibu Rahayu mendengus dan berbicara lagi,
“Selain itu dia juga gila. Dia tega membunuh Alfred, suaminya sendiri.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku terbelalak
saking terkejutnya mendengar informasi yang sangat baru dari Ibu Rahayu.
Ternyata dia tahu lebih banyak mengenai pemilik terdahulu rumah ini. “Darimana
Ibu tahu mengenai hal itu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia sekarang
menampakkan wajah puas karena akhirnya aku sudi untuk mendengarkannya. “Tentu
saja aku tahu. Istri kedua Alfred, Marsita, adalah saudaraku. Bisa dibilang dia
adalah kakak tertuaku. Kakakku menikah muda dengan suaminya yang terdahulu
yaitu pada usia 18 tahun dan pernikahan itu dirahasiakan dari keluarga karena
kakakku hamil di luar nikah. Jadi kakakku menyusun rencana bahwa dia akan
menikah di Singapura tanpa sepengetahuan ayah dan ibu dan hanya aku saja yang
tahu rencana itu. Ayah dan ibuku hanya tahu bahwa kakakku melanjutkan kuliah di
Singapura. Dua tahun kemudian, kakakku kembali ke Indonesia dan memberitahuku
bahwa dia dan suaminya sudah bercerai dan dia juga sudah punya anak perempuan
yang sekarang dirawat oleh paman dan bibi di sana. Dia tidak mungkin membawa
anaknya ke Indonesia karena orang tua kami pasti akan tahu. Dia juga sudah
menyuruh paman dan bibi untuk tidak memberitahukan perihal anaknya kepada siapa
pun. Setelah dia berada di Indonesia selama seminggu, dia kembali pulang ke
Singapura.” Hantu Ibu Rahayu menghentikan ceritanya, dia mengeluarkan suara
tangisan yang aneh dan kemudian kembali melanjutkan ceritanya, “Aku nggak
bertemu lagi dengan kakakku selama sepuluh tahun setelah itu, namun pada
akhirnya dia pulang bertepatan dengan tahun baru. Namun dia jadi aneh. Dia
mulai berbicara mengenai ritual kuno dan lembaran sakramen yang kami semua
tidak mengerti. Terkadang dia mengurung diri di kamar sambil membaca sesuatu
dalam bahasa asing, Inggris dan Latin menurutku, dan matanya selalu kosong. Aku
tidak tahu bagaimana caranya dia bisa bertemu Alfred, yang jelas Alfred
menyukainya dan mengajaknya menikah. Waktu itu usia kakakku sudah mencapai 30
tahun sedangkan Alfred 39 tahun. Pada waktu itu Juni tahun 1987, mereka
menikah. Ternyata aku baru tahu bahwa Alfred sudah punya istri namanya Angela
dan mereka pun sudah dikaruniai anak kembar, Claudia dan Clarisa. Tapi si
Angela ini kayaknya pasrah saja melihat suaminya menikah lagi begitu pula
anak-anaknya walau aku merasa ada kebencian tersendiri di mata Claudia. Dan
akhirnya Alfred mengajak kakakku tinggal bersama dia dan istri pertamanya serta
anak-anaknya dalam satu rumah.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Cerita ini
sangat menarik. Aku rasa ini sangat membantu dalam menghadapi teka-teki misteri
rumah ini. Jadi sejauh ini kakak Ibu Rahayu, Marsita jadi aneh setelah sepuluh
tahun nggak pulang ke Indonesia. Mungkin dia adalah dalang dari adanya
pelaksanaan ritual kuno di rumahku. Pasti lembaran sakramen yang dicuri orang
itu merupakan miliknya. “Terus apa yang terjadi?” tanyaku nggak sabar mendengar
kisah berikutnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibu Rahayu
duduk di sebelahku dan mulai bercerita lagi, “Kakakku menceritakan kepada
Alfred bahwa dia sudah pernah menikah dan punya anak perempuan berumur 12 tahun
yang tinggal di Singapura. Seperti yang dia lakukan padaku, dia tidak mau
memberitahukan nama anaknya, entah kenapa. Kehidupan mereka sangat baik pada
awalnya. Kakakku dan Angela bisa berhubungan dengan baik begitu pula dengan Clarissa,
tetapi Claudia tetap nggak menyukai kakakku. Walau semenjak menikah dengan
Alfred, kakakku jauh dariku, dia masih sempat untuk menelponku atau mengirim
surat, namun awal tahun 1988, aku kehilangan kontak dengannya. Aku pernah
menulis surat kepadanya bahwa ayah dan ibu meninggal karena kecelakaan kereta
api ketika hendak berangkat ke Madiun, namun surat itu nggak pernah dibalas
sedangkan kakakku tidak mengirimkan alamat rumah barunya kepadaku. Aku menikah
dengan mantan suamiku bulan September dan ketika aku membaca surat kabar
langganan mantan suamiku, aku melihat di salah satu artikel mengenai seorang
istri yang membunuh suaminya dan di situ terpampang nama dan foto kakakku.
Menurut koran itu kakakku masih dalam pengejaran polisi dan sampai sekarang belum
ditemukan keberadaannya. Aku sama sekali nggak tahu harus mencari dimana
kakakku itu, entah dia masih hidup atau sudah mati.” Dia mengakhiri kisahnya
dengan tangisan keras yang memekakkan gendang telingaku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jadi,
bagaimana dengan anaknya yang berada di Singapura? Apa sekarang dia masih
berada di sana?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia berusaha
untuk menahan tangisnya sebelum menjawab, “Aku pernah menghubungi paman dan
bibiku di Singapura dan mereka mengatakan bahwa kakakku sudah membawanya ke
Indonesia awal September 1988. Ketika aku menanyai siapa nama anaknya, mereka
nggak mau menyebutkannya karena mereka dipaksa kakakku untuk nggak
memberitahukan identitas anaknya kepada siapapun.” Setelah mengatakan itu dia
menangis keras-keras lagi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku diam
sambil memandangi hantu Ibu Rahayu. Wanita yang malang, aku jadi merasa sangat
jahat karena mengejeknya gila dan nggak punya otak serta pscyho. Dia datang ke
sini dan memberikan aku informasi berharga ini. Sekarang misteri ini semakin
jelas. Memang benar bahwa Clarissa adalah kembaran Claudia dan istri kedua
Alfred punya anak perempuan berumur 12 tahun, walau belum diketahui namanya.
Dan juga ritual kuno itu dilakukan oleh kakak Ibu Rahayu. Pasti wanita itu juga
yang membuat ruang rahasia di bawah kamarku. Mungkin dia melakukan ritual itu bersama
anggota sekte lainnya pada saat semua orang di rumah lagi pergi, atau mungkin
dia punya jalan lain ke ruangan itu?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tiba-tiba aku
teringat dengan mimpi yang kudapat di ruang bawah tanah itu. Sekumpulan orang
memakai jubah hitam dan topeng. Kemudian seorang anak perempuan yang juga
dipasangi topeng bersama dengan selusin orang berjubah hitam dan bertopeng
datang. Anak itu dibaringkan di tempat tidur di ruangan itu dan seorang dari
selusin orang itu maju dan menusuk anak itu. Mengambil mata dan organ tubuh
lainnya dari anak itu. Pada waktu itu aku melihat semuanya itu dari jarak jauh
dan anak itu dikerubungi oleh orang-orang sehingga aku nggak berhasil melihat
wajah anak itu ketika topengnya dilepas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kalau aku
berbaring di tempat tidur di ruang bawah tanah itu lagi, akankah aku mendapat
mimpi yang sama yang mungkin bisa memperjelas semuanya. Apakah orang berjubah
dan bertopeng yang menusuk anak itu adalah kakak Ibu Rahayu? Dan apakah anak
yang dijadikan tumbal itu adalah Claudia, Clarissa, atau malah mungkin anaknya
sendiri?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Satu lagi
teka-teki yang harus dipecahkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
TBC...</div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-67181589836425676162012-09-08T06:06:00.000-07:002012-09-08T06:13:46.141-07:00Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 4<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bab 4<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
HARI YANG BARU, RENCANA YANG
BARU.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sudah
mulai mendapat satu titik terang dari semua misteri ini. Memang masih ada satu
keping puzzle yang hilang, tapi lambat laun aku pasti bisa menemukannya. Aku
bisa membayangkan diriku sebagai seorang detektif misteri, memecahkan segala
macam misteri yang menyangkut tentang hantu atau apapun itu jenisnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Semenit di
sekolah sama dengan satu jam bagiku. Hari ini semua pelajarannya membosankan!
Tiara nggak masuk sekolah karena harus pergi check up ke dokter. Entah apa
penyakitnya, aku pun nggak tahu dan aku juga nggak mau tahu. Trio Truk Gandeng
nggak mengangguku untuk kali ini karena mereka sibuk mempersiapkan acara mereka
sendiri untuk ulang tahun sekolah nanti. Anak kelas enam juga sudah mulai
mengikuti bimbingan belajar yang diadakan di sekolah jadi otomatis Trio Truk
Gandeng nggak bisa banyak-banyak bersantai.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu Clara
rasa-rasanya sudah menjadi bagian dari kelas kami saja, walau cuma aku yang
menyadari dia berada di sekitar kami. Dia ikut belajar dan mendengarkan guru
menerangkan dan ikut-ikut tertawa kalau ada murid yang dimarahi guru karena
nggak bisa mengerjakan soal. Semenjak dia berada di kelas kami, banyak murid
yang terjatuh dengan sendirinya, entah karena bangkunya ditarik Clara atau dia
sengaja mendorongnya atau dengan cara lainnya. Banyak anak yang mengeluh dan
mengatakan kepada wali kelas kami bahwa mungkin kelas kami berhantu dan wali
kelas kami hanya bisa menjawab bahwa nggak ada hantu di kelas dan mungkin juga
menertawakan kami dalam hati. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pulang
sekolah, hal yang sangat kutunggu-tunggu sedari tadi. Seperti biasa, Ibuku
menjemputku dan kami memulai percakapan mengenai hal-hal apa saja yang terjadi
sehari itu. Ibuku mengajakku ke mall, tapi aku menolak dengan alasan aku banyak
PR yang harus diselesaikan. Sebenarnya alasanku menolak ajakan itu karena aku
akan menyusuri gudang dengan Clara untuk menemukan petunjuk sekecil apapun
tentang keberadaan hantu Claudia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesampainya di
rumah aku langsung berlari ke kamar. Di kamar, aku segera berganti baju dan
nggak sabar lagi untuk segera membongkar gudang. Clara kayaknya juga senang,
tapi sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku mendengar suara Paman
Bibir Tebal yang datang untuk memberitahu Ibu bahwa akan ada acara syukuran di
rumah Pak Samsudin nanti malam. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Sudah siap
nggak? Kelihatannya kau bersemangat sekali.” Clara mengulurkan tangannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
mengangguk. “Tentu dong! Ayo kita pergi!” aku menerima uluran tangan Clara dan
seperti biasa hanya dalam waktu beberapa detik saja kami sudah sampai di tempat
tujuan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku langsung
batuk-batuk. “Debunya lebih tebal dari terakhir aku ke sini!” ujarku di
sela-sela batuk. “Dan udaranya juga jauh lebih pengap.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Namanya juga
gudang yang jarang dibersihkan,” ucap Clara santai. Dia mulai melayang-layang
di udara. “Sebaiknya kau segera memeriksa semuanya sebelum Ibumu memeriksa
kamarmu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tanpa disuruh
pun aku juga sudah tahu.” Aku segera menyingkirkan kain-kain putih yang
menutupi semua benda yang ada di gudang. Pertama, aku menemukan cermin tua
dengan kaca yang sudah retak-retak. Kemudian aku menemukan sebuah meja belajar.
Kuobrak-abrik laci-laci yang ada di meja tersebut dan hanya menemukan buku-buku
tulis dan cetak milik Claudia. Nggak ada sesuatu yang berarti. Aku periksa lagi
benda-benda yang lain, meja rias, lemari piring, lemari baju, meja kerja (yang
kosong sama sekali), dan terakhir sebuah peti yang kayak peti harta karun. Aku
berusaha membukanya, namun peti itu terkunci. “Clara!” panggilku sambil melihat
sekeliling. “Bisa nggak bantu aku membuka peti terkunci ini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara yang
masih melayang-layang di udara bagai asap mendatangiku dan hanya dengan
selayang pandang ke peti itu, peti itu terbuka dengan sendirinya. Aku
mengucapkan banyak terima kasih padanya kemudian dia melayang lagi. Kubuka
lebih lebar tutup peti dan langsung terbatuk-batuk lagi. Debu bertebangan di
mukaku! Aku rasa peti ini sudah puluhan tahun ada di sini dan nggak pernah
dibuka-buka. Dengan rasa kesal kuamati apa saja isi dari peti tersebut. Sebuah
belati dengan bulu-bulu berwarna hitam, seperti bulu burung gagak. Lalu ada bungkusan
plastik hitam dan ketika kuangkat bungkusan itu cukup berat dan berbau busuk.
Kubuka ikatannya dan aku langsung menjauh sambil menutup mukaku karena isi dari
bungkusan itu adalah daging busuk dengan banyak belatung. Clara yang sedari
tadi melayang di udara memperhatikanku dan akhirnya menjejak tanah dan
ikut-ikutan melongok ke dalam bungkusan itu. Dia hanya nyengir saja melihatnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Daging burung
heh? Sepertinya burung gagak,” katanya santai. Dia malah melemparkan bungkusan
itu ke arahku dan aku langsung menghindar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Darimana kau
tahu itu daging burung gagak?” tanyaku dengan suara parau.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Karena peti
ini berisi banyak bulu burung gagak, coba kau lihat kemari.” Clara mengeluarkan
dua bungkusan lain dan isinya adalah bulu burung gagak. “Lagian seperti yang
ada di gambar yang terdapat di buku catatan Claudia, dia menggambar burung
gagak yang digantung kan?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
membetulkan dalam hati. Memang di buku itu ada gambar seperti itu, tapi aku
nggak tahu apa hubungan burung gagak itu. “Apa itu salah satu syarat ritual?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, kalau kau
baca dan ingat isi buku tersebut. Tentu gagak adalah salah satu syarat ritual
kuno tersebut. Gagak yang masih hidup, dibunuh, darahnya kemudian diminum dan
dagingnya mereka bakar lalu dimakan. Tulang-tulang gagak tersebut mereka jadikan
koleksi atau disulap menjadi semacam perhiasan seperti kalung atau gelang, dan
bangkai gagak mereka kubur di depan rumah,” jelas Clara panjang lebar. Melihat
dari cara dia menjelaskan, aku jadi berpikir bahwa dia tahu lebih banyak
tentang ritual ini, atau mungkin dia tahu sebenarnya apa yang terjadi di rumah
ini pada masa lampau.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kenapa kau
bisa tahu begitu banyak? Kau menghapal isi buku itu ya?” tanyaku penasaran. Aku
jadi mulai curiga bahwa Clara menyembunyikan sesuatu dariku. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak kok.
Begini, Bianca, kami para hantu selalu ada hubungannya dengan ritual.
Kebanyakan ritual dikhususkan untuk pemujaan dewa, setan, atau hantu dan arwah.
Tentu saja kami tahu banyak mengenai ritual apa saja yang pernah dilakukan
manusia di muka bumi ini. Ritual sudah jadi semacam pelajaran bagi kami para
hantu. Sama sepertimu di sekolah, punya pelajaran sejarah, nah kami juga punya
pelajaran seperti itu, bedanya kami membahas semua hal yang dilakukan manusia
dalam pemujaan kepada sesuatu yang bukan Tuhan, termasuk ritual-ritual.” Dia
mengeluarkan lagi isi dari peti dan menemukan setumpuk berkas yang diikat jadi
satu. “Lihat, apa yang kutemukan.” Dia
membuka tali yang mengikat berkas itu dan meniup debu yang menebal di berkas
tersebut. Sekali tiup, debu itu langsung hilang berterbangan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sebenarnya aku
mau menanyakan banyak hal ke Clara, tapi berkas-berkas itu menarik perhatianku.
Aku mendekati Clara dan ikut-ikutan melihat berkas-berkas tersebut. Isi dari
semua berkas itu membuat mataku perih! Semuanya ditulis dalam Bahasa Inggris
dan Latin. Ya ampun, ada apa dengan orang-orang ini? Apa mereka nggak cinta
akan Bahasa Indonesia? Atau pembuatnya adalah orang asing dari luar negeri?
“Apa maksudnya semua ini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menggeleng. “Kayaknya masih lembaran sakramen juga. Tulisannya sama dengan
lembaran sakramen yang kau temukan di kardus.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ngomong-ngomong
soal kardus, aku nggak melihatnya sedari tadi. “Oh ya, kardus itu seharusnya
kan ada di pojok gudang. Kenapa sekarang nggak ada?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jelas nggak
ada.” Clara kembali memasukkan semua barang ke dalam peti, “kardus itu telah
dicuri.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
membelalakkan mata mendengar ucapan Clara. “A, apa maksudmu, su-sudah dicuri?”
tanyaku agak gagap saking terkejutnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya dicuri.
Tanpa kita sadari si pencuri ini beraksi lagi dan entah bagaimana dia punya
kunci duplikat gudang.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Akhirnya kami
nggak menemukan sesuatu yang berarti. Semangatku turun dengan drastis. Nggak
menggebu-gebu lagi seperti sebelumnya. Kardus itu sudah dicuri orang dan aku
sama sekali nggak punya petunjuk mengenai pencurinya. Jadi aku menanyakan
kepada Clara kapan tepatnya kardus itu dicuri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku nggak
terlalu yakin,” jawabnya dengan murung. Baru kali ini dia nggak yakin dengan
perkataannya sendiri. “Mungkin tiga atau empat hari lalu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dan kau nggak
berusaha untuk menangkapnya?” tanyaku lagi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Untuk apa?
Aku juga nggak tahu kapan persisnya kejadian itu terjadi.” Alangkah pahitnya
bagi Clara untuk mengatakan hal tersebut. Baginya nggak mengetahui apa yang
terjadi di rumah ini dengan tepat adalah suatu hal yang sangat menyakitkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Berarti
pencuri ini hebat juga bisa lolos dari pandanganmu,” sindirku, tapi dalam hati
aku berharap bahwa Clara nggak menangkap kata-kata sindiran itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi aku
benar kan bahwa kardus itu dicuri?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya sih, tapi
bagaimana kalau kardus itu dibuang oleh Paman Bibir Tebal atau Ibu? Kemungkinan
itu bisa saja kan?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara tampak
berpikir walau aku nggak tahu apa otaknya masih berfungsi. “Ada banyak kardus
dan kotak-kotak nggak berguna di gudang, kenapa paman ini atau Ibumu hanya
membuang kardus itu saja? Lagi pula katamu semua barang yang nggak berguna
hanya akan ditaruh di gudang dan nggak
akan dibuang.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Rasa-rasanya
aku nggak pernah ngomong kayak gitu pada Clara. Sepertinya aku nggak pernah
bilang bahwa semua barang yang disimpan di gudang nggak akan dibuang. Tapi
ucapan Clara ada benarnya juga. Lagian Ibuku sendiri yang mengunci pintu
gudang. “Aku benar-benar nggak mengerti kenapa kardus itu begitu penting.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bukan
kardusnya, tapi barang-barang yang ada di dalamnya. Kau kan belum melihat semua
isi dalam kardus itu.” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku hanya
mengiyakan dan akhirnya beranjak ke kamar mandi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Malam harinya
Ibu memberitahu bahwa dia akan pergi syukuran ke rumah Pak Samsudin yang
jaraknya cukup dekat dengan rumah kami. Jalan kaki mungkin hanya butuh waktu
lima belas menit, tapi Ibu ke sana dengan mengendarai mobil. Ibu juga
mengajakku ke sana, tapi aku menolak, lagian itu kan juga acara orang tua.
Anak-anak hanya akan jadi penganggu saja. Jadi Ibu meninggalkanku denga
nasihatnya yang sudah sangat basi. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku dan Clara
nonton TV di ruang tengah. Ada acara musik di televisi, acara kesukaan Clara.
Karena dia mati tahun 1988, dia sangat buta tentang lagu-lagu zaman sekarang
dan hanya menyenandungkan ‘nananana’ saja sedari tadi. Bagi ukuran hantu, suara
Clara lumayan bagus tapi masih terasa unsur menyeramkannya ketika dia
bernyanyi. Seperti suara nyanyian dari alam kubur.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ada yang
mengetuk pintu rumah. Aku pergi ke ruang tamu untuk membukanya dan terlihat dua
orang laki-laki berpakaian hitam-hitam. Yang satu mungkin berumur sekitar 45
tahunan dan yang satunya lagi mungkin sekitar 30-an. Entah siapa mereka, yang
jelas mereka aneh. Lelaki yang lebih tua berkata dengan sikap sopan yang
dibuat-buat, “Hallo anak manis. Perkenalkan nama saya Supradi, pengusir hantu
paling top se-Jakarta. Dan ini asisten saya namanya Jalil.” Dia mengeluarkan
sebuah kartu nama dari sakunya dan memberikannya kepadaku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tidak ada
yang memanggil pengusir hantu ke sini,” ujarku ketus kepada mereka. Nggak
mungkin Ibu yang memanggil mereka, karena dia nggak percaya dengan hal-hal
begituan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si lelaki tua
bernama Supradi tersenyum dengan sangat terpaksa. “Memang tidak ada yang
memanggil kami ke sini, Cuma saya bisa merasakan adanya arwah-arwah yang masih
bergentayangan di sini. Baunya begitu kuat dan saya juga merasakan adanya
sesuatu dari masa lalu yang masih membekas di sini.” Dia masuk ke rumah tanpa
izin dan asistennya dengan setia mengikutinya. Aku membiarkan mereka dan
membuang kartu nama si Supradi kemudian mengikuti mereka ke dalam.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara yang
masih menonton televisi hanya memandang datar saja dengan kehadiran pengusir
hantu yang memandang ke sekeliling ruangan dan kemudian matanya tertuju kepada
Clara yang terlihat santai di sofa. Aku langsung mengigit bibir. “Aku memang
benar. Ada hantu di sini,” kata Supradi dan dia menunjuk Clara dengan sikap menantang,
“hantu anak-anak yang sangat jelek, Jalil! Wahai kau hantu ,apa yang sebenarnya
kau inginkan dengan menghantui rumah ini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara hanya
nyengir. Dia memutar kepalanya sampai 360 derajat. “Memangnya kau pikir kau
siapa bisa mengusirku?” tantang Clara tak mau kalah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku adalah
pengusir hantu yang akan mengirimmu ke alam baka! Kau akan bernasib sama dengan
hantu seusiamu yang menunggu sebuah kamar di penginapan. Sekarang dia sudah
terbang ke alam baka!” Supradi tertawa keras-keras, merasa bangga akan dirinya
sendiri. Sementara itu Jalil hanya tersenyum kecil saja.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tunggu dulu!
Hantu seusia Clara yang menunggu kamar di sebuah penginapan? Apa mungkin itu
Lanina, sahabat teman hantuku yang pernah dia ceritakan? Kalau nggak salah dia
pernah bilang bahwa ada pengusir hantu yang berhasil membuat Lanina pergi ke
alam baka. Atau mungkin si Supradi ini berbicara tentang hantu anak-anak yang
lain? <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Coba saja
kalau berani!” Clara sama sekali nggak
takut dengan ancaman pengusir hantu itu. Tiba-tiba kegelapan melingkupi
seluruh ruangan. Hal sama yang pernah terjadi ketika Clara pertama kali
menampakkan wujudnya di depanku. Dia bisa menciptakan kegelapan yang sangat
pekat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sama
sekali nggak bisa melihat apapun namun secercah cahaya kecil di depanku
membuatku mendekat ke sana. Kemudian terdengar suara Supradi, “Untung kita
sudah bawa persediaan lilin. Aku yakin bahwa hantu anak ini bukan hantu biasa.”
Ternyata cahaya itu berasal dari lilin yang dipegang oleh Jalil.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi Sup…,
maksudku paman! Saya rasa Anda nggak perlu melawan hantu itu! Sepertinya dia
baik!” ujarku kepada pengusir hantu itu walaupun aku yakin nggak bakalan ada
gunanya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hantu seperti
anak itu mana ada yang baik? Kau nggak lihat wajahnya yang menyeramkan? Bola
matanya hanya satu dan semua tubuhnya dipenuhi luka. Kita harus…” ucapannya
terhenti karena lilin yang dipegang Jalil terlempar dan menyebabkan apinya
padam. Suasana kembali gelap lagi. “Sial! Aku nggak bisa membaca buku
pengusiran hantuku dalam keadaan gelap begini. Jalil, hidupkan lilin yang lain!”
perintah si Supradi. Aku hanya diam saja walaupun kami semua tahu pelaku
pelemparan lilin tadi adalah Clara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Wah Bos,
semua persediaan lilin kita sudah nggak ada lagi,” ujar Jalil untuk pertama
kalinya. Bisa kurasakan bahwa suaranya gemetaran. Entah takut akan kena marah
atau takut dengan kegelapan ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Pasti si anak
hantu itu yang mengambilnya dan eh…,” ucapan si Supradi terpotong lagi karena
Clara mengambil paksa buku pengusiran hantu dari dekapannya. “Kembali kan
bukuku!” teriaknya sia-sia di kegelapan pekat ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kami bisa
mendengar suara kertas yang disobek-sobek sebelum kegelapan sirna dan
potongan-potongan kertas jatuh menimpa tubuh dua lelaki pengusir hantu itu.
Potongan-potongan kertas dari buku pengusir hantu si Supradi. Di saat kami
masih tertegun dengan apa yang terjadi (atau lebih tepatnya mereka berdua yang
tertegun), Ibu masuk ke ruang tengah sembari ngomong, “Bianca kenapa pintu
depan nggak ditutup?” dia terkejut melihat dua orang asing berada di dalam
rumahnya. “Kalian membuat sampah!” maki Ibuku yang ternyata memperhatikan hal
yang nggak penting itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si Supradi
yang tadi terbengong segera sadar. Dengan susah payah dia menjelaskan ke Ibu,
“Sebentar Bu, semua ini bisa saya jelaskan.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku nggak
mau mendengar alasan apa pun saat ini. “Kalian membuat sampah! Pergi dari sini
dan pungut semua sampah itu sebelum saya telpon polisi!” ancam Ibuku sembari
mengeluarkan HP dari dalam tas tangannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Baiklah,
baiklah!” si Supradi dan asistennya menurut dan dengan perasaan enggan mereka
memunguti sobekan buku pengusir hantu mereka sendiri. Setelah selesai, mereka
pun pamit pulang. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku segera
mengistirahatkan tubuhnya di sofa yang sebenarnya sedang diduduki Clara. Karena
Clara hantu, tubuh Ibu menembus tubuhnya. Namun Clara nggak memprotes atau
marah atau melakukan tindakan gila kepadanya. Aku bertanya kepada Ibu kenapa
dia pulang begitu cepat dan dia menjawab bahwa dia lupa membawa kunci kamarnya
dan bermaksud untuk mengambilnya. Namun, ketika sampai di rumah, dia menemukan
pintu terbuka dan dia segera masuk ke dalam. Di dalam, dia lebih terkejut lagi
melihat dua orang asing. Tapi yang benar-benar membuat shock dirinya adalah dua
orang asing itu sudah membuang sampah di dalam rumah. Bagi Ibu, kebersihan
rumah adalah hal yang paling utama sehingga nggak heran kenapa dia berbuat
begitu kepada dua pengusir hantu itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Mereka itu
sebenarnya pengusir hantu.” Aku terangkan kenapa mereka bisa ada di dalam
rumah. Tentu saja aku nggak menyebut-nyebut soal Clara dan berbohong bahwa
kedua orang itulah yang dengan sengaja menyobek-nyobek kertas di dalam rumah
bukan Clara. Mendengar ceritaku Ibu hanya mendengus kesal.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dasar orang
gila!” umpat Ibuku kesal. “Uh, kalau sudah begini Ibu jadi nggak punya
keinginan untuk pergi lagi ke rumah Pak Samsudin.” Ibu beranjak dari sofa dan
berjalan menuju dapur. “Coba kita lihat apakah kita masih punya persediaan
mie.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Latihan drama
kedua kami berjalan hampir sama dengan latihan drama yang pertama. Ulang tahun
sekolah tinggal dua minggu lagi dan kami semakin giat berlatih. Aku dan lima
belas orang lainnya ditambah Clara yang nyumpel di kelompok penyanyi berlatih
untuk terus menyamakan suara vokal kami dan menghapal lagu-lagu dan
gerakan-gerakan untuk drama musikal ini. Dan Clara benar-benar bersemangat
untuk latihan. Seandainya saja dia masih hidup sekarang, mungkin dia bakal jadi
murid kesayangannya Pak Rony.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Georgia masih
susah menghapal beberapa dialog panjang karena bahasa Indonesianya masih belum
terlalu bagus. Tiara masih mempertahankan akting bagusnya sebagai Ibu tiri
Putri Salju sampai jadi nenek-nenek yang memberikan apel kepada Putri Salju.
Tujuh anak laki-laki yang jadi kurcaci harus belajar bagaimana berjalan dengan
lutut mereka supaya menampilkan kesan kurcaci yang identik dengan orang kerdil.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sewaktu
istirahat Tiara menghampiriku. Aku agak kaget ketika dia mengulurkan tangannya
kepadaku mengajak bersalaman. “Buat apa?” tanyaku sangsi kepada Tiara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Buat apa?”
Tiara memutar bola matanya, “ya salamanlah! Sebagai tanda perdamaian!” dia
mengambil secara paksa tanganku untuk bersalaman dengan tangannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku masih
terbengong mendengar ucapannya ketika dia mulai bersuara lagi, “Eh,
ngomong-ngomong aku sering melihatmu duduk-duduk di bangku taman sendirian.
Namun rasanya ada yang aneh. Kau seperti berbicara dengan seseorang, tapi
seseorang itu nggak ada di sana. Kau seperti berbicara sendiri.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Perkataan
Tiara yang kedua ini hanya membuat aku tambah terbengong. Jadi selama ini Tiara
memperhatikanku dari kejauhan? Dia melihatku seperti berbicara sendiri? Dia
nggak bisa melihat Clara tentu saja. Aku benar-benar bakalan di cap orang gila.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dan kejadian
aneh di kelas kita dimana anak-anak sering terjatuh dengan sendirinya, di
antara kami semua, hanya kau yang nggak pernah mengalaminya. Hanya kau yang
nggak kehilangan barang-barang di kelas. Pasti ada sesuatu.” Dia menatapku
dengan pandangan menyelidik. “Bianca, jangan-jangan kau bisa melihat dan
berkomunikasi dengan hantu? Atau kau malah berteman dengan hantu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tepat sasaran!
Perkataannya tepat sasaran! Lalu apa yang harus kukatakan? Aku bisa melihat
dari sudut mataku tampang nggak peduli Clara. Aku hanya bisa memaki dalam hati.
“Nggak, nggak mungkinlah.” Aku berusaha tertawa, tapi suara tawaku terdengar
aneh. Anak umur dua tahun pun juga bakal tahu bahwa aku sedang gugup.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tiara memasang
tampang menyelidik lagi. “Kalau kau nggak mau ngomong, juga nggak apa-apa.
Lagian aku hanya ingin tahu.” Setelah mengatakan itu, dia pergi ke tempat
teman-temannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kenapa kau
nggak bilang saja kepadanya?” tanya Clara yang berada di sampingku. “Kalau kau
bilang, maka dia dan semua anak bakalan takut kepadamu dan mungkin kau bisa
merekomendasikanku kepada guru kesenianmu itu untuk bisa menjadi salah satu
anggota paduan suara kalian.” Dia mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak
menanggapi perkataan Clara. Kalau aku bilang yang sejujurnya, mereka mungkin
memang akan takut kepadaku, tapi itu juga otomatis membuatku nggak punya teman
lagi karena mereka berpikir mungkin akan berbahaya apabila berteman denganku.
Dan lagian untuk apa Clara ingin direkomendasikan untuk menjadi anggota
kelompok menyanyi kami? Dia hantu, semua orang nggak bakalan ada yang mau
menyaksikan seorang hantu dengan tampang menyeramkan menyanyi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Keesokan
paginya, ada kejadian yang sangat mengejutkan! Lembaran sakramen yang aku
simpan di laci meja belajar hilang! Aku sudah mencari lembaran itu kemana-mana
namun hasilnya nihil. Aku pun sudah bertanya kepada Ibu, mungkin dia
mengotak-atik kamarku dan menemukan lembaran itu lalu membuangnya. Tapi Ibuku
sama sekali nggak merasa bahwa dia pernah membuang benda itu. Dia malah
berpikir bahwa aku yang membuangnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hilang!
Kenapa lembaran itu bisa hilang?” tanyaku frustasi kepada Clara yang
merenggangkan tubuhnya di atas tempat tidur.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalau begitu
lembaran itu bukan hilang, tapi dicuri,” jawab Clara tenang. “Kan aku sudah
pernah bilang padamu bahwa lembaran itu sangat penting.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah aku
merasa bisa berpikir jernih lagi aku baru teringat bahwa Clara memang pernah
mengatakan hal itu. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa dia akan mendatangi
kamarku! Darimana dia masuk? Apa dari jendela? Dia pasti masuk ketika rumah
dalam keadaan sepi! Tapi jendela itu terkunci dan nggak ada tanda-tanda bahwa
jendela itu dibobol orang dari luar. Atau…, uh, aku paling benci mengatakan
kemungkinan ini, tapi mungkin saja ini memang terjadi. Orang ini punya
kelebihan yang sama sepertiku dan dia menyuruh hantu untuk mengambil lembaran
sakramen itu. Ketika aku menyampaikan pendapatku ini kepada Clara, dia langsung
mengiyakan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku bisa
merasakan, masih tertinggal bau hantu di sekitar kamar ini. Seorang hantu
tingkat rendah yang lemah sehingga mudah untuk diperintah. Pencuri itu pasti
menyuruh hantu untuk mengambil sakramen itu,” kata Clara. Dia kelihatan marah
sekarang. Baginya sesosok hantu yang mau-maunya diperintah oleh manusia adalah
hantu yang sangat lemah dan bodoh dan pengecut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jadi apa kau
punya rencana?” tanyaku lesu. Rumah kami sudah kemalingan dua kali dan maling
itu mengambil benda yang bakalan susah untuk dijelaskan kepada Ibu atau bahkan
pihak berwajib. Mereka pasti akan mengangkat sebelah alis mereka dan
mengatakan, “Apa?” dengan intonasi seolah-olah ingin mengatakan aku gila.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku bukan
penyusun rencana yang baik.” Dia mengaku untuk pertama kalinya tanpa nada
jengkel dalam suaranya. “Kalau menurutku sih nggak ada gunanya kita menjebak
maling itu. Lagian aku nggak yakin kalau dia bakalan kembali lagi ke sini. Aku
rasa dia sudah mendapatkan apa yang dia cari.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
menggeleng. “Tapi menurutku dia akan datang lagi. Dia pasti masih mencari
sesuatu yang berhubungan dengan ritual itu. Aku yakin.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
mendengus. Asap hitam keluar dari lubang hidungnya seperti seekor naga. “Ya,
dia akan datang lagi untuk mencari korban ritual. Dan seperti yang pernah aku
katakan bahwa korbannya bisa kau dan Ibumu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kenapa sih
kau tampaknya berharap itu bakalan terjadi?” tanyaku dan ikut-ikutan mendengus
walau aku nggak akan pernah bisa mengeluarkan asap hitam dari hidung. “Kayaknya
kau berharap perkataanmu itu jadi kenyataan.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bukan berarti
aku bakalan senang kalau kalian menjadi tumbal, tapi aku hanya sekedar
mengingatkan sebelum hal yang buruk terjadi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ya, sebelum
hal yang buruk terjadi dan aku masih belum dapat petunjuk apa-apa mengenai
misteri ini. Nggak ada satupun yang bisa memberikan informasi yang berguna. Ibu
Angela nggak kelihatan lagi ataupun suaminya, Alfred. Mungkin mereka takut
dengan Clara karena dia selalu mengikutiku kemana-mana. Apa Ibu Angela tahu
bahwa sakramen itu dicuri? Apa mungkin dia tahu siapa pencurinya? Bagaimana
pertanyaan itu terjawab kalau aku sendiri nggak melihatnya lagi. Mungkin dia
ada di sekitar sini, tapi nggak mau menunjukkan wujudnya kepadaku. “Hei,
bagaimana pendapatmu tentang Ibu Angela? Apa menurutmu dia tahu kalau lembaran
sakramen itu dicuri?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
kelihatan nggak senang ketika nama Ibu Angela disebut-sebut. Dia memang selalu
nggak senang kalau sudah menyangkut apapun yang berhubungan dengan Ibu Angela.
“Entahlah. Mungkin dia tahu atau mungkin nggak. Aku nggak melihat-lihat mereka
lagi. Mereka itu hantu yang nomaden, berpindah-pindah. Biasanya apabila ada
hantu yang tingkatannya lebih tinggi di satu rumah atau tempat maka hantu-hantu
yang tingkatannya lebih rendah nggak suka terus menerus menghuni tempat tidur
mereka. Mereka akan pergi ke tempat-tempat lain. Yang jelas bagi kami para
hantu, tingkatan itu menunjukkan kekuatan. Siapa yang kuat, dia yang menang.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalian para
hantu seperti binatang saja,” sindirku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalian
manusia juga sama kan? Kalian memang punya hukum yang diatur, tapi masih ada
golongan-golongan yang memegang teguh hukum rimba,” balas Clara nggak mau
kalah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jadi
menurutmu Ibu Angela dan suaminya nggak lagi di sini karena ada kau?” tanyaku
kembali ke pokok awal. Sudah cukup berdebat tentang masalah hukum. “Tapi kan
kalian sudah lama menghuni rumah ini bersama-sama.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku punya
tempatku sendiri dan mereka punya tempat mereka sendiri. Kami nggak pernah
saling mengusik satu sama lain. Tapi semenjak aku mendapat tingkat lebih tinggi
dari mereka, mereka jadi segan denganku dan akhirnya jadi jarang menetap di
rumah ini,” jelas Clara, kemudian dia menambahkan, “tapi tempat mereka di sini,
di rumah ini atau lebih tepatnya di tempat tidur Ibumu. Kemana pun mereka
pergi, mereka akan terus kembali lagi ke sini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bagaimana
caranya kalian para hantu bisa naik tingkat? Kalau ditilik dari umur jelas kau
lebih pantas jadi anak mereka, tapi kenapa tingkatmu lebih tinggi dari mereka?”
tanyaku ingin tahu. Selama ini aku memang selalu bingung mengenai masalah
tingkatan hantu ini semenjak teman hantuku memberitahukan bahwa hantu pun punya
tingkatan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kami para
hantu nggak peduli berapa umurmu atau siapa yang lebih dulu meninggal. Untuk
naik tingkat kami harus punya niat karena semakin tinggi tingkatan sesosok
hantu maka semakin tinggi pula resiko dia akan musnah.” Clara terlihat bergidik
ketika mengatakan kalimat terakhir.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Musnah?” aku
mengernyit heran. Aku masih belum dapat menangkap perkataan Clara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Clara
menggosok-gosok telapak tangannya. “Ya musnah. Memangnya kau pikir setiap kami
mempelajari sebuah ilmu baru untuk naik tingkat itu nggak ada resikonya? Ilmu
baru yang kami dapat misalnya mengubah wujud menjadi manusia itu selalu
mendatangkan resiko saat pertama kali mencoba. Ada banyak yang mengalami
kegagalan sehingga akhirnya musnah. Maka daripada itu banyak hantu yang
membutuhkan waktu yang lama untuk naik tingkat walau dia sudah mati selama
seratus tahun pun. Dibutuhkan kemampuan dan kosentrasi tinggi untuk bisa naik
tingkat.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah
mendengar penjelasan Clara tentang tingkat-tingkat hantu, aku jadi berpikir
kalau seandainya aku jadi hantu nanti apa aku bisa mencapai tingkat yang
tinggi? Clara tingkat tujuh, tiga tingkat di bawah sepuluh dan sejauh yang bisa
kuingat dia adalah hantu pertama yang kukenal yang mencapai tingkat setinggi
itu. Oh, nggak, masih ada satu lagi, nenekku. Kalau Clara bicara yang
sebenarnya bahwa nenekku adalah hantu tingkat sepuluh, hantu dengan tingkat
paling tinggi, maka mungkin saja semua hal yang pernah diramalkan bakalan
terjadi. Dan selama ini memang ramalannya selalu terjadi. Ibu akan mati
mengenaskan dan aku akan menyelamatkan seseorang. Dua ramalan ini belum terjadi
walau dalam hati entah kenapa aku yakin bahwa itu akan terjadi. Jadi aku
menceritakan ramalan itu kepada Clara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Itu akan
terjadi,” ujarnya yang membuat aku takut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi kenapa
Ibuku bisa mati mengenaskan dan siapa yang akan kuselamatkan?” tanyaku dengan
perasaan campur aduk. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Entahlah
karena aku bukan peramal tapi aku bisa memberikan spekulasi dan untungnya
spekulasiku selama ini sering tepat sasaran.” Dia berhenti sebentar hanya untuk
menyeringai dan melanjutkan, “Ibumu adalah korban ritual kuno itu dan orang
yang akan kau selamatkan adalah Ibumu. Tapi kalau dalam ramalan itu Ibumu
diramalkan mati berarti kau gagal menyelamatkannya.” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Perkataan
Clara sungguh membuatku takut. Tapi kalau aku gagal menyelamatkan Ibu, berarti
ramalan itu salah? Kan ramalan itu berbunyi bahwa aku akan menyelamatkan
seseorang. Apa mungkin bahwa orang itu bukan Ibu?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Berarti kau
menyelamatkan orang lain, entah siapa. Yang jelas dia masih ada hubungannya
denganmu.” Perkataan Clara membenarkan apa yang tadi kupikirkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Siapa? Siapa
yang akan kuselamatkan? Kenapa teka-teki ini menjadi bertambah rumit? Kenapa
sekarang aku jadi nggak yakin bakalan dapat memecahkan misteri ini? Kenapa aku
merasa bahwa ada bahaya yang mendekat? Semua ini hanya membuatku bertambah
pusing.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak usah
terlalu dipikirkan. Bagaimana pun juga kau masih kecil. Bukan tugasmu untuk
menyelesaikan semua misteri ini,” ujar Clara berusaha menenangkan tetapi nggak
berhasil.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi kalau
ini menyangkut keselamatan aku dan Ibuku, nggak mungkin aku hanya diam saja!”
ujarku sengit. Aku memang masih kecil, tapi aku yakin aku bisa. Yang hanya
perlu kulakukan adalah mencari petunjuk. Dan permainan teka-teki seperti ini
juga bagus untuk mengasah kecerdasan otak. Aku pernah mendengar bahwa teka-teki
atau puzzle atau permainan edukatif lainnya bisa merangsang kecerdasan seorang
anak.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau kan bisa
pindah rumah,” usul Clara yang entah kenapa kedengaran seperti mengusir.<o:p></o:p></div>
<span style="font-size: 11pt; line-height: 115%;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;">Ibuku sudah sangat menyukai rumah ini dan dia
nggak bakalan menerima alasan yang nggak logis menurutnya itu sebagai alasan
untuk angkat kaki dari sini. Oke, jadi apa yang harus kulakukan?</span></span><br />
<span style="font-size: 11pt; line-height: 115%;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times, 'Times New Roman', serif;">TBC...</span></span>Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-50160476239968140142012-09-06T05:29:00.002-07:002012-09-06T05:30:08.451-07:00Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 3<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-size: 16.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bab 3<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<o:p><br /></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
HANTU ITU MENGGANGUK DAN MENAMPAKKAN SENYUM MENGERIKAN. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Siapa lagi?
Kau kan satu-satunya yang bisa melihatku di sini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, benar
juga.” Aku menggaruk bagian belakang kepalaku. “Baiklah kalau begitu.” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu temanku
itu menyodorkan telapak tangannya dan aku dengan agak sedikit ragu
menyentuhnya. Ternyata benar! Tangannya bisa kusentuh! Ya, rasanya seperti
menyentuh udara kosong, tangan ini nggak mempunyai jiwa. Nggak ada aliran darah
yang mengalir dan sangat lembek seakan-akan apabila kutekan sedikit saja,
bentuknya akan hancur, dan tangan ini sedingin es. Aku sama sekali nggak tahu
apa yang dilakukannya, tapi setelah aku menyentuh telapak tangannya, keadaan di
sekitar seperti terdistorsi. Aku merasakan kepalaku pusing dan jantungku
berdenyut lebih cepat, rasanya tubuhku seakan terhisap ke suatu dimensi, entahlah,
yang jelas ketika aku membuka mata, aku sudah tiba di lobi penginapan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Bapak penjaga
meja depan terbengong-bengong melihatku, aku pun sendiri juga nggak dapat
mengerti kenapa aku bisa ada di sini. Beberapa orang yang ada di lobi juga
bengong, namun aku segera tersadar. “Hai bapak penjaga meja depan!” sapaku yang
kubuat seceria mungkin.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Oh, ya,
kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya dengan muka heran. “Aku pikir tadi kau
masih ada di kamarmu, istirahat.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, aku ada
urusan mendadak. Bilang sama Ibu bahwa aku akan pergi bersama temanku. Dia
sudah menunggu di luar, jadi…,” aku bergegas keluar dari penginapan dan
berteriak dari luar, “aku pergi dulu!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku masih
sempat mendengar Bapak penjaga meja depan berteriak ke arahku, “Tapi kupikir
kau masih sakit…” sehabis itu suaranya menghilang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Oke, sekarang
aku harus meminta penjelasan dengan hantu yang telah membawaku keluar, eh, tapi
bukankah dia nggak bisa pergi keluar dari penginapan? Ah, sial! Kenapa aku baru
ingat sekarang! “Kau mau pergi ke mana?” sebuah suara yang nggak kuketahui
asalnya bertanya kepadaku. Aku segera melihat kanan-kiri, tapi nggak ada
seorang pun di dekatku. “Aku ada di dalam kepalamu,” suara itu berujar lagi.
Segera aku memegang kepalaku dan bertanya, “Memangnya ini siapa?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Masa kau
melupakan suaraku? Aku hantu teman baikmu. Aku yang membawamu keluar dari kamar
dan ternyata aku berhasil!” suara itu terdengar sangat senang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bagaimana
bisa kau berbicara denganku? Aku pikir kau nggak bisa keluar dari penginapan?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Memang benar.
Tapi aku bisa berbicara denganmu karena aku berada di dalam tubuhmu, ya mungkin
untuk beberapa jam ke depan. Ini salah satu keistimewaan hantu tingkat tiga.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Seorang Ibu
dan anaknya yang kebetulan lewat di depanku, memandangku aneh, karena jelas aku
kelihatan berbicara sendiri. Aku segera pergi dan terus berbicara, “Jadi
sekarang ini tubuhku telah dikuasai olehmu? Seperti kesurupan begitu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak. Kau
masih mengontrol tubuh dan pikiranmu. Aku hanya bersemayam sementara di dalam
tubuhmu dan nggak akan menguasai atau mengontrol pikiranmu, tapi kalau aku mau,
yah, aku bisa melakukannya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
mengangguk-ngangguk kecil merasa bahwa orang-orang menatapku dengan pandangan
bertanya-tanya. Kebetulan aku selalu membawa dompetku kemana-mana. Uang di
dalamnya memang nggak banyak, hasil tabunganku dari menyisihkan sebagian uang
saku, tapi kupikir bisa untuk naik taksi. Aku nggak suka naik bajaj ataupun
angkot, karena aku nggak pernah naik kendaraan itu seumur hidupku dan rasanya
aku mau muntah bila berada dalam angkutan tersebut barang satu menit saja. Oke,
ejek saja aku anak manja, aku nggak peduli. Dan nggak ada pangkalan ojek sejauh
mata memandang, jadi kuputuskan untuk mencari taksi, walaupun aku tahu
bayarannya pasti akan mahal.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ada sebuah
taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya beberapa meter di depanku. Segera
aku mendekati taksi itu dan masuk ke dalamnya. Si supir memandangku aneh, tapi
aku memberitahukannya tempat yang akan kutuju dan tanpa bertanya lagi, dia
langsung menjalankan mobil. Hantu di dalam kepalaku terus bertanya kenapa aku
memutuskan untuk memilih tempat itu, tapi aku memilih untuk diam. Nggak mungkin
aku menjawab pertanyaan sementara si supir terus saja mengalihkan pandangannya
ke kaca spion. Kalau aku menjawab, maka dia akan membelokkan perjalanan ini ke
rumah sakit jiwa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah sampai
di tempat yang kutuju, aku membayar ongkos taksi dan mengira-ngira bahwa argo
taksi itu sudah disabotase si supir. Tempat yang kutuju inilah adalah sebuah
mall. Yak, aku nggak pernah pergi ke mall sendirian, karena umurku baru sepuluh
tahun dan sekarang aku ingin mencobanya. Ibuku selalu melarangku pergi ke mall
ataupun jalan-jalan ke mana pun sendirian, soalnya dia takut bakalan ada yang
mencopetku walaupun aku nggak tahu ada pencopet yang mau mencopet anak sepuluh
tahun. Lebih tepatnya lagi aku takut kalau-kalau aku diculik dan dijual ke luar
negeri. Itu kendengaran lebih masuk akal, tapi Ibuku nggak pernah menggubrisnya
seakan-akan dia lebih takut kepada pencopet daripada sindikat penculikan anak.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku merasa
seperti gembel masuk kota. Baju yang kukenakan sangat nggak pas untuk dibawa
pergi ke mall, karena aku hanya memakai kaus longgar dan celana pendek selutut
juga sandal jepit yang biasanya dipakai di dalam rumah. Seorang satpam
memperhatikanku dan mengeluarkan alat komunikasinya. Bagus, sepertinya dia
melaporkan bahwa ada orang gila masuk. Aku terus saja berjalan tanpa
memperdulikan tatapan beberapa orang yang memandangiku dari atas ke bawah.
Hantu temanku terus saja mengoceh, bahwa sudah sembilan tahun dia nggak pergi
ke mall dan pemandangan mall sekarang menakjubkannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kami atau
lebih tepatnya aku, naik eskalator ke lantai dua dan melihat seorang ibu yang
menggendong anaknya sedang memilah-milih baju yang sangat nggak cocok untuknya
di salah satu butik ternama di mall ini. Sebenarnya aku nggak bermaksud untuk
membeli sesuatu di sini, karena merasa uangku nggak akan cukup dan hanya
melihat-lihat sepertinya menyenangkan. Aku nggak bisa membayangkan bahwa
tetanggaku dahulu adalah seorang wanita yang sangat gila belanja ke mall. Dia
selalu menghabiskan hampir setengah harinya untuk berbelanja ke mall. Bahkan
aku pun nggak akan heran bahwa dia pun membeli jarum pentul di mall.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah puas
melihat lantai dua yang isinya sangat monoton (baju, sepatu, baju, sepatu, dan
toko mainan, dan oh, satu toko olahraga) aku menaiki eskalator lagi menuju
lantai tiga. Total keseluruhan mall ada lima lantai dan biasanya di lantai
kelima, kau hanya menemukan orang-orang yang menjual kain ataupun karpet dan
pintu di ujung biasanya menghubungkan ke tempat parkir. Di lantai tiga, ada
sebuah toko besar yang menjual furniture, yang artinya termasuk di dalamnya
adalah tempat tidur. Ada beberapa tempat tidur dalam berbagai ukuran di sana,
jadi aku bermaksud untuk melihat-melihat ke dalam. Sebenarnya ini bukan ideku,
tapi hantu di dalam tubuhku menginginkan aku masuk ke sana. Seorang petugas
toko itu mengernyit heran saat aku masuk. Sepertinya dia berpikir bahwa aku
adalah hama yang akan mengerecoki pembeli lainnya. Namun, aku terus melenggang
masuk ke dalam toko. Ada sebuah keluarga bahagia yang sedang menawar sebuah
tempat tidur berukuran besar dan pelayan toko itu dengan sumringah menyebutkan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki tokonya ini, termasuk potongan harga yang
cukup besar, walau aku sangsi kalau itu benar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Namun,
pandanganku bukan tertuju kepada acara tawar-menawar itu, melainkan tempat
tidur itu. Tempat tidur itu begitu lusuh dan tua dan seorang wanita, penunggu
tempat tidur itu, berteriak-teriak marah ketika tempat tidurnya akan dijual.
Tentu saja nggak ada yang menggubrisnya. Wanita itu punya muka yang penuh
dengan luka cakaran, mungkin dia mati karena dicakar kucing atau binatang lain
yang punya kuku tajam, yang jelas aku melihat dia berteriak-teriak ke arahku,
seperti memohon agar aku membatalkan transaksi itu yang nggak akan mungkin
dilakukan. Mana mungkin aku bisa membatalkan transaksi itu dengan mengatakan,
‘eh, ngomong-ngomong tempat tidur ini ada penunggunya, lho!’ Itu rasanya sangat
mustahil untuk dilakukan. Aku menanyakan kepada hantu temanku apakah aku harus
menolong hantu itu, tapi kebetulan seorang pelayan toko lewat di depanku dan
walaupun dia nggak berkata apa-apa, aku yakin di dalam hati dia sudah membaca
doa-doa tolak bala.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Merasa tidak
diperhatikan, hantu perempuan itu dengan marah mencengkram kepala anak
laki-laki keluarga itu yang mungkin baru berusia lima tahun, menarik rambutnya
dan menyeretnya ke lemari terdekat. Kemudian hantu itu menghentakkan kepala
anak itu kuat-kuat ke lemari itu, membuat kepalanya mengeluarkan darah dan anak
itu segera menangis. Orang tuanya terkejut dan mereka lebih terkejut lagi
ketika melihat anaknya membanting kepalanya sendiri ke lemari (karena memang
itulah yang terlihat oleh mereka). Setelah tiga kali bantingan kepala, anak itu
roboh ke tanah dengan darah berlumuran membasahi baju dan lantai. Semua orang
di toko mengerubuti anak itu. Seseorang berteriak bahwa anak itu masih hidup,
dan ayah dari anak itu membopong anak itu keluar toko.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku melihat
semua kejadian itu dengan mata terbelalak. Hantu perempuan itu begitu
menakutkan dan ketika aku kembali memandanginya, dia menyeringai ke arahku dan
kembali meringkuk di tempat tidurnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kejadian
kemarin nggak bisa kulupakan. Waktu aku cerita hal itu ke Ibu, dia terlihat
sedih sekali. “Anak itu pasti mengalami depresi berat!” ujarnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak
yakin seorang anak lima tahun bisa mengalami depresi, tapi aku membiarkan Ibuku
dengan argumennya sendiri. Ini adalah hari dimana aku akan pindah ke rumah
baru. Aku benar-benar akan sangat merindukan teman hantuku, dan dia bilang dia
akan segera menyelesaikan pelajarannya sampai ke tingkat paling tertinggi
supaya bisa keluar dari penginapan dengan leluasa. Aku mengangguk saja, walau
aku nggak tahu akan makan waktu berapa tahun untuk itu. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pagi itu,
sebelum berangkat ke sekolah, aku mengambil salah satu koran di meja depan
ketika bapak penjaga meja depan tengah pergi ke toilet. Setiap pagi dia selalu
memborong koran untuk dijualnya ke para penginap, tapi karena Ibuku nggak suka
baca koran, walau dia langganan empat jenis majalan bisnis, jadi aku mengambil
koran itu diam-diam dan memasukkannya ke dalam tas untuk kubaca nanti pada jam
istirahat sekolah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekolah
berjalan seperti biasa, namun sayangnya hari ini Georgia nggak masuk jadi aku
duduk sendirian. Si jahat Tiara, tetap memandangku dengan pandangan jahatnya
entah karena apa, namun yang jelas dia satu-satunya murid di kelas ini yang tak
pernah kusapa. Pada jam istirahat, dengan lagi-lagi harus menghindari Trio Truk
Gandeng, aku pergi ke WC, dan masuk ke salah satu biliknya. Ada sebuah WC duduk
di bilik ini dan aku duduk di atasnya sambil membaca koran yang kuambil di
penginapan tadi pagi. Di sini bau, tapi karena sudah terbiasa, dan menurutku
semua WC sekolah itu bau, maka dengan tenang aku membaca koran. Aku ingin
melihat apakah kejadian di mall kemarin dimuat di dalam koran, aku ingin tahu
siapa nama anak itu dan bagaimana keadaannya sekarang. Namun setelah
kubolak-balik halaman demi halaman, meneliti setiap kolom, berita tentang anak
itu nggak ada. Koran-koran sekarang memang nggak bermutu. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku
nampaknya telah selesai mengepak barang-barang kami dan semuanya telah tertata
rapi di bagasi, jadi kami akan segera pergi ke rumah kami yang baru. Rumah yang
besar, seperti villa berhantu dan Paman Bibir Tebal yang menjaganya, membuatku
sebenarnya enggan untuk pindah. Terutama aku belum tahu hantu macam apa yang
menunggu tempat tidurku, apakah hantu yang pernah dibicarakan oleh teman
hantuku itu? Ketika aku melihat rumah baru kami untuk kedua kalinya, catnya
sudah diganti jadi warna krem. Paman Bibir Tebal sudah menanti di depan gerbang
dan aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang mengecat seluruh dinding rumah
ini dalam waktu tiga hari? Padahal rumah ini sangat besar. Lukisan-lukisan yang
dulunya memenuhi dinding ruangan, sudah diturunkan dan dipindahkan ke gudang.
Beberapa perabotan baru dan yang lama sudah ditata rapi. Aku lumayan kecewa
ketika lukisan abstrak yang kusukai di ruang makan itu juga dipindahkan ke
gudang, padahal aku berencana untuk menaruhnya di kamarku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku melihat
kamarku lagi, semuanya masih nampak sama, bahkan catnya pun sama! Dasar Ibu
pelit! Kenapa hanya kamarku saja yang nggak dicat? Apa karena kamar ini catnya
masih bagus? Dan ada juga beberapa furniture tambahan. Tempat tidurnya masih
sama, namun seprainya berbau harum toko. Masih nggak ada tanda-tanda kemunculan
hantu di sini. Aku masih belum mendapatkan TV pribadi, padahal aku sudah
memintanya sebelum kami pindah ke sini. Aku naik ke tempat tidur dan menatap
melalui jendela, pohon itu masih ada, dan seorang hantu wanita yang kulihat di
kamar Ibuku berada di bawahnya. Tapi dia nggak sendirian, ada seorang lelaki,
sepertinya hantu juga, karena kulit dan bibirnya begitu pucat. Dia jelas seumuran
dengan hantu wanita itu, mungkin mereka sepasang suami-istri. Si hantu wanita
melambai kepadaku, sama seperti yang dia lakukan ketika kami pertama bertemu,
tetapi hantu lelaki itu hanya menatapku muram. Apa mereka adalah orang tua anak
yang mati 23 tahun silam itu?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pandanganku
teralih ke sebuah suara yang memanggilku. Di ambang pintu berdiri Ibuku dan
Paman Bibir Tebal. Aku mengikuti mereka sampai ke ruang tamu dan Paman Bibir
Tebal menyerahkan kunci rumah ini kepada Ibu. Aku ingin meminta kunci duplikatnya,
tapi Ibu membekap mulutku. Jadi, setelah basa-basi sebentar, si Paman Bibir
Tebal pamit pergi. Jadi, disinilah kami, di rumah baru kami. Ibuku merasa
sangat senang dengan rumah besar tapi berharga murah ini. Aku menyampaikan
pendapatku bahwa rumah besar tapi berharga murah biasanya terdapat suatu
rahasia yang kelam. Yang aku terima setelah menyampaikan itu adalah jeweran di
telinga.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Malam harinya,
ketika aku bersiap hendak tidur pada jam setengah sepuluh malam atas perintah
Ibuku yang terpaksa kulakukan padahal ada film bagus di TV, aku mendengar
suara-suara erangan yang memilukan hati. Rasanya suara itu berasal di kamar
ini, namun nggak ada apa-apa di sini. Mungkin itu suara hantu penunggu, jadi
aku mengabaikannya karena sudah terbiasa dengan suara-suara semacam itu.
Biasanya para hantu itu bisa sangat jahil dan menggoda manusia dengan membuat
suara-suara gaib seperti itu. Aku menunggu dan menunggu dan memperhatikan
sekeliling, siapa tahu ada sesuatu yang muncul, namun suara erangan itu malah
mengecil dan hilang sama sekali. Kamarku kembali sunyi senyap. Suara TV di
lantai bawah tidak terdengar lagi, mungkin Ibuku mengecilkan volumenya, padahal
dia biasanya menonton dengan volume keras hingga tetangga sebelah marah-marah.
Setelah garuk-garuk kepala sebentar, aku pun akhirnya tertidur.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Pagi pertama di rumah baru biasanya Ibu
memasak sarapan istimewa. Kali ini dia membuatkanku bekal sandwich yang nggak
enak, karena sebenarnya Ibuku itu nggak pintar masak. Tadi pagi kami makan nasi
goreng sosis ditambah irisan telur, sayur dan bawang goreng yang kekurangan
garam. Sebenarnya Ibuku tahu kelemahan yang dia miliki dalam urusan
masak-memasak makanya dia selalu beli makanan di luar dan seingatku Ibuku
memang memasak untuk acara-acara penting, itupun jarang yang berhasil. Aku
melupakan sandwich buatan Ibuku ketika istirahat sekolah dan memilih makan
bakso di kantin sekolah. Harga makanan di kantin ini terlalu mahal, nggak
sesuai dengan kantong anak SD.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Georgia masih
belum masuk hari ini dan Tiara semakin menjadi-jadi. Cewek ceking dan jelek itu
nggak lagi menatapku dengan tatapan beracunnya, sekarang dia dan teman-temannya
menghampiriku ketika kami menunggu guru yang mengajar datang. Dengan gayanya
yang membuatku ingin muntah dia memulai percakapan dengan suara yang
dimanis-maniskan, “Hai Bianca!” dia menyebut namaku dengan ‘Bianca’ pada bahasa
Indonesia, maksudku ‘Bianca’ itu memang dibaca ‘Bianca’ bukan ‘Bianka’ seperti
orang-orang barat yang hobi mengubah bacaan huruf C menjadi K. Aku baru tahu bahwa Tiara adalah orang yang
sangat nasionalis. Dan salahkan Ibuku yang sok kebarat-baratan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Namaku
Bianca. C-nya diganti jadi K,” ujarku mengoreksi. ‘Tahu Bahasa Inggris nggak
sih?’ tambahku dalam hati.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Maaf deh,”
ujarnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Teman-temannya cekikikan di
belakangnya. “Oke, jadi Bianca, kau sudah hampir dua minggu ya bersekolah di
sini, bagaimana menurutmu tentang sekolah ini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Apa-apaan dia?
Emang dia pikir dia wartawan sekolah? “Cukup baik.” Lalu dalam hati aku
menambahkan, ‘Tanpa kau pasti akan jauh lebih baik.’ Mungkin kalau Trio Truk
Gandeng juga nggak ada, maka sekolah ini pasti akan sangat baik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia
mengangguk-ngangguk sok ngerti lalu berkata lagi, “Aku nggak suka ada murid
baru yang lebih pintar dariku.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
‘Emangnya kau
pintar?’ seingatku nggak pernah ada yang bilang bahwa Tiara anak pintar di
kelas. Beberapa guru memang memujiku karena nilai-nilai yang kuperoleh, padahal
aku belum lagi dua minggu di sini. Tapi seingatku mereka nggak pernah
menyebut-nyebut Tiara pintar. Anna-lah murid terpintar di sini, kata beberapa
anak, tapi dia sangat pemalu dan pendiam. Tiara hanya mengobral bualan saja.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Melihatku
nggak berkomentar dia terus saja berkata dengan nada sinis, “tapi kau kan baru
dua minggu ya, kau nggak mungkin mengalahkan Anna.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekarang arah
pembicaraannya berubah lagi. Sekarang dia membanggakan orang lain? <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi di sini
juga masih ada Dicky, dia lebih pintar dariku dan tentu saja darimu. Bahasa
Inggrisnya adalah yang paling terbaik,” dia mengoceh terus.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Please deh!
Dia ini ngomong apa sih?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Guru yang
mengajar memasuki kelas dan Tiara beserta teman-temannya duduk di bangku
masing-masing, bergerombol di satu deretan bangku. Aku nggak memperdulikan
ucapan cewek menyebalkan, jelek, ceking, sok pintar dan segala macam hal-hal
menjengkelkan lainnya yang pantas melekat padanya itu. Jelas-jelas dia hanya
menggertak, membuat semua anak baru tahu bahwa dia yang berkuasa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tapi dia bukan
siapa-siapa. Dia hanyalah anak kepala sekolah. Apa aku tadi bilang dia anak
kepala sekolah?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hari Minggu
ini Paman Bibir Tebal mengunjungi rumah kami untuk numpang sarapan. Ibu
membuatkan kami roti selai strawberry dan puding jelly yang terlalu lembek.
Paman Bibir Tebal hanya makan roti selai strawberry sementara aku membuat
orkestra dari piring-piring dan gelas. Ibu mencubit pipiku dan menghabiskan
puding jellynya yang ketiga. Sepertinya hanya Ibuku yang memakan makanan itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setelah
selesai makan pagi, Paman Bibir Tebal minum teh dengan Ibu di ruang tamu,
sedangkan aku pergi main keluar. Aku pergi ke bawah pohon besar yang selalu
kulihat dari jendela kamarku dan mendapati hantu wanita bergaun biru itu.
Sepertinya dia hantu tingkat enam, karena dia berhasil keluar dari tempatnya,
tanpa harus bersemayam di tubuh orang lain.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hai,” aku
menyapanya duluan dan dia hanya melambaikan tangan. “Siapa nama Anda?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia terlihat
diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Namaku Angela. Aku berumur 38 tahun
ketika aku meninggal, menderita karena anakku.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak
ngerti apa yang dia bicarakan jadi aku bertanya, “Apa maksudmu? Aku sama sekali
nggak mengerti.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Anakku
meninggal dan aku yakin dia dibunuh, tapi polisi dan semua orang nggak percaya
denganku. Aku frustasi dan akhirnya bunuh diri.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia bunuh diri?
Hantu bunuh diri adalah hantu yang paling rapuh karena mereka menantang takdir
Tuhan. Mereka bisa dimusnahkan dengan mudah oleh para dukun atau orang pintar
atau pengusir setan atau apapun itu namanya, dan mereka nggak akan dikirim ke
alam baka, mereka akan jadi abu yang bertebangan di langit. Sepertinya hantu ini menabrakkan kepalanya
sendiri ke dinding atau benda keras lainnya soalnya kepalanya berdarah-darah
begitu. “Anakmu ini, apakah yang mati pada tahun 1988 itu?” tanyaku hati-hati.
Inilah adalah topik paling sensitif untuk semua Ibu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau benar.
Itu anakku. Itu Claudia! Dia pasti dibunuh! Aku tahu ada seseorang yang
membunuhnya, mungkin dengan racun. Sianida, arsenik, strychnine! Apa pun yang
pernah ada di novel-novel detektif. Aku pikir ada seseorang yang nggak suka
melihatnya, atau sebenarnya dia ingin membunuhku, tapi jebakan itu malah
mengenai Claudia! Sungguh malang anakku!” dia mulai menangis, tangis yang
memilukan hati siapa pun yang mendengarnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Claudia? Dan
Ibunya pasti penggemar cerita detektif. Tapi kata Paman Bibir Tebal dia mati
mendadak. Dia mati pagi itu, dengan tenang. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi
hantu wanita itu sudah menghilang dari pandangan. Dia melayang-layang di udara,
sebelum akhirnya lenyap seutuhnya. Suara Ibu memanggilku dan aku kembali ke
dalam rumah. Di depan pintu, aku hampir bertabrakan dengan Paman Bibir Tebal.
Ibuku nampaknya benar-benar sumringah hari ini, dia menyanyi-nyanyi riang
seakan-akan ini perkemahan dengan api unggun dan dia melompat-lompat seperti anak
kecil. Dia berkata padaku bahwa dia akan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku
lupa mengatakan bahwa setiap awal bulan atau kapan pun Ibuku merasa perlu untuk
berbelanja kebutuhan sehari-hari, maka dia akan terlihat senang sekali. Itulah
satu-satunya alasan dia bisa pergi jalan-jalan kemanapun dia mau, sendirian,
dan bebas mengekspresikan apapun yang dia suka. Berkata seolah-olah, ‘aku ini
masih gadis lho!’ di depan semua orang. Di usianya yang sudah 33 tahun, Ibuku
memang masih kayak cewek umur 22 atau 23, yang jelas wajahnya nggak bertambah
tua. Entah dia keturunan bidadari seperti di legenda Sangkuriang, yang jelas
Ibuku selalu berdandan heboh kalau dia akan berbelanja kebutuhan sehari-hari.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dan satu yang
paling menyebalkan, aku nggak boleh ikut! Padahal aku ingin membeli pasta
instan kemasan yang ada di TV-TV itu dan mencoba membuatnya sendiri, soalnya
aku suka pasta. Ibuku nggak memperbolehkanku memasak, bahkan akupun nggak
diperbolehkan dekat-dekat kompor, jadi pertama kali aku memasak ketika umurku
delapan tahun di rumah temanku yang di Surabaya. Dan hasilnya, telur dadar
gosong tercipta. Air yang kumasak aja sampai kering saking kelamaan ditaruh di
atas api, jadi aku benar-benar nggak terlalu berharap bakalan jadi Ibu yang
baik juga suatu hari nanti. Ibuku bukankah dia juga nggak pandai masak? Mungkin
ini semacam kutukan yang diturunkan langsung dari Ibu ke anak perempuannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ketika Ibu
sudah pergi, hal pertama yang kulakukan adalah menjelajahi rumah luas ini.
Sebenarnya sih, satu-satunya ruangan yang ingin kutuju adalah gudang, tempat
dimana barang-barang lama rumah ini disimpan. Gudang berada di luar rumah
tepatnya di taman belakang dan baunya sangat apek dan berdebu. Aku
terbatuk-batuk dan sedikit terjengkal ke belakang ketika seekor tikus besar lewat
di depanku. Gudang ini penuh dengan lukisan, nggak heran karena pemilik rumah
ini sebelumnya adalah kolektor lukisan dan anaknya pun adalah seorang pelukis.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengamati
lukisan abstrak yang menarik perhatianku ketika pertama kali aku datang ke
rumah ini. Warna-warnanya begitu indah, menyatu dengan sempurna, walau aku
nggak ngerti apa arti dari lukisan itu, yang jelas pasti artinya bagus. Aku
baru sadar bahwa ada semacam tanda-tangan pelukis di pojok kiri bawah lukisan
itu. Biasanya memang kebanyakan pelukis memberikan tanda tangan mereka pada
lukisan mereka. Tanda tangan itu membentuk sebuah nama yang nampaknya pernah
mampir ke telingaku. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Claudia, 12
Jan 1985<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Claudia. Si
hantu wanita itu menyebutkan nama anaknya Claudia dan Paman Bibir Tebal
menyebutkan bahwa anak pemilik rumah ini dulu sangat pintar melukis. Dia mati
di kamar yang sekarang menjadi kamarku. Si hantu wanita menyebutkan bahwa dia
dibunuh dengan racun, tapi si Paman Bibir Tebal bilang dia mati mendadak.
Sebenarnya mana dari dua ucapan ini yang benar? Aku mulai mencari-cari lagi
lukisan-lukisan Claudia yang lain. Ada banyak di gudang itu, tinggal dipilih
mana yang mau dijual. Nggak, aku nggak bermaksud menjualnya kok, tapi untuk
anak umur 12 tahun, dia bisa menyaingi pelukis yang lebih senior.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ada sebuah
kardus usang dan pinggirannya sudah digigitin tikus tergeletak dengan damainya
di pojok gudang. Kardus ini membuatku tertarik karena disitu tertempel kertas
yang bertuliskan, BARANG BUKTI, HARAP JANGAN SENTUH! Eh? Barang bukti apa yang
disimpan di gudang begitu lamanya? Tanpa ragu aku menarik kardus itu yang
ternyata cukup berat dan mengeluarkan isi-isinya. Hal pertama yang kukeluarkan
adalah sebuah foto seorang anak perempuan, namun wajahnya sudah ditutupi dengan
bercak darah kering, sehingga aku nggak bisa mengenalinya. Aku menemukan juga
sebuah buku sketsa dan melihat isinya. Isinya aneh, ada gambar orang mati
digeletakkan di altar, bangkai burung gagak digantungkan layaknya jemuran. Ada
sebuah kertas yang terjatuh dari buku sketsa, sebuah kertas yang telah
menguning dengan tulisan yang sudah hampir memudar. Mungkin isinya kira-kira
begini,<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Satu perubahan
rencana! Penggunaan sakramen-sakramen harus dilakukan secepat mungkin. Sakramen
yang terakhir harus segera disempurnakan! Harus ada yang melakukannya, dan kau
bisa melakukannya. Anakmu sendiri yang harus menjalani semua ini, bukan orang
lain seperti rencana awal. Kami sudah mempengaruhi pikirannya, tidak mudah
untuk melakukan itu, tapi perdamaian di bumi harus ditegakkan. Satu penambahan khusus
dan inilah tugas-tugasmu :<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
(Bagian teks
ini sama sekali nggak bisa kubaca, karena tinta penanya sudah sangat luntur)<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Surat aneh,
isinya pun aneh. Perubahan rencana? Sakramen? Perdamaian di bumi? Apa-apaan
semua ini? Aku memutuskan untuk mengambil surat itu dan mengeluarkan yang lain
dari dalam kardus, sebuah potongan artikel koran yang lusuh, judul beritanya
berbunyi, ‘SEORANG ISTRI MEMBUNUH SUAMINYA’. Di bawah judul yang ditulis
besar-besar itu ada tulisan lain lagi, ‘Diketahui bahwa sang istri mungkin mengalami gangguan kejiwaan, karena
setelah membunuh suaminya, dia juga membunuh istri pertama dari suaminya dan
sampai sekarang wanita itu menjadi buronan polisi. Harap bagi yang tahu atau
kenal dengan perempuan ini harap segera melaporkannya kepada polisi. Diketahui nama wanita itu (bagian di sini
dihapuskan dengan tip-ex)….’ Selebihnya aku nggak begitu tertarik namun tanggal
koran ini membuatku heran, 29 September 1988. Aku juga mengambil potongan koran
itu dan mengeluarkan segala macam hal yang ada di kardus. Sebuah buku catatan
yang nggak bisa dibuka, pensil yang kedua ujungnya sudah diruncingi, sebuah
pisau pemotong daging (yang membuatku bergidik) yang nampaknya masih bagus,
lembaran-lembaran kertas kuno yang berisi tulisan yang sama sekali nggak kumengerti,
ketika kusadari semuanya ternyata memakai bahasa inggris dan sebagian lagi
latin. Selain dari hal itu aku juga menemukan sebuah boneka beruang usang dan
sekantung permen yang sudah kadarluasa bertahun-tahun yang lalu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku hanya
membawa buku catatan yang nggak bisa dibuka itu sementara yang lainnya
kutinggalkan di gudang. Di dalam sakuku aku masih menyimpan surat dan potongan
koran itu untuk diberitahukan kepada Ibu, atau Paman Bibir Tebal yang nama
aslinya pun sudah kulupakan. Aku kembali menuju ke kamarku dan perasaanku
langsung nggak enak. Arwah jahat sepertinya bergentanyangan di kamar ini, di
suatu tempat di kamar ini lebih tepatnya. Ya, ada sesuatu, sesuatu yang belum
menunjukkan bentuk aslinya, namun tengah merangkak keluar dan menunggu waktu
yang tepat. Nggak ada tanda-tanda hantu di sini, tapi aura ini benar-benar
menyesakkan. Karena yakin aku sekarang megap-megap, aku menaruh buku catatan
yang kutemukan di atas meja dan berlari keluar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesampainya di
luar, aku merasa perasaanku sudah mulai membaik. Rumah ini jadi terlihat makin
angker. Seorang Ibu di usia awal 40-annya lewat di depan rumahku dan berhenti
sambil memandangi rumahku dari pintu gerbang. Nggak ada satpam di rumahku, jadi
keamanan rumah adalah tanggung jawab aku dan Ibuku. Ibu itu memakai daster
paling norak dan paling silau yang pernah kulihat, terlebih lagi dandanannya
yang terlalu berlebihan yang bahkan nggak sanggup menutupi keriput yang mulai
bermunculan. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Si Tante
Jelek, begitu aku menyebutnya. Aku memang selalu memberi julukan kepada
seseorang karena penampilan atau sifatnya, jadi terus terang saja itu memang
sifatku. Dia mengamatiku yang berdiri di balik pintu gerbang, membuatku
merinding seakan-akan aku baru disiram air dingin. Sepertinya dia melihat
sesuatu karena matanya terbelalak dan kemudian dia berteriak-teriak kayak orang
kesurupan. “Pergi kau! Pergi kau dari rumah ini! Rumah ini kutukan! Kutukan!”
setelah dia mengatakan hal itu dia langsung berlari pergi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku sama
sekali nggak ngerti apa yang dia bicarakan, yang jelas dia mengusirku dari
rumahku sendiri. Mungkin dia orang gila di daerah sini, atau dia pasien rumah
sakit jiwa yang kabur. Dandanannya saja udah kayak badut sirkus. Tapi entah
kenapa kayaknya dia mengatakan kebenaran, atau dia tahu sesuatu mengenai masa lampau
rumah ini. Paman Bibir Tebal dia sudah bekerja di rumah ini ketika si Nona
Claudia ini meninggal, dan dia juga pasti tahu sesuatu, cuma supaya rumah ini
laku dijual dia menutup-nutupi kejelekan dari rumah ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ngomong-ngomong
rumah Paman Bibir Tebal di mana ya?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Malam ini aku
makan pizza yang dipesan Ibu sore tadi. Paman Bibir Tebal tadi sore berkunjung
ke rumah dan dia minum teh bersama Ibu di beranda belakang. Aku nggak suka adat
minum teh tiap sore, tapi Ibu menyukainya. Itu mengingatkannya akan kenangan
masa kecilnya bersama kakeknya yang sekarang sudah meninggal. Ibu nggak pernah
lagi bertemu dengan orang tuanya, jadi terakhir kali aku bertemu dengan kakek
dan nenekku sekitar lima tahun lalu. Ada masalah, itu selalu yang Ibu ucapkan.
Nenekku pandai meramal, dia pernah meramal Ibuku bahwa dia akan menjadi
single-parent dan akan mati dalam keadaan mengenaskan. Semenjak itu Ibu sama
sekali nggak percaya sama ramalan tapi aku percaya ramalan nenek. Ketika aku
berumur lima tahun, nenek juga meramalku dengan melihat garis tanganku dan
mengatakan bahwa aku punya kelebihan istimewa dan aku akan menyelamatkan
seseorang. Aku percaya dengan ramalan nenek yang pertama, aku memang punya
kelebihan yang lebih bagus disebut kutukan, karena aku nggak pernah memintanya.
Tapi yang kedua, aku nggak begitu yakin orang apa yang akan aku selamatkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Lagi-lagi hawa
menyeramkan itu masih menyelubungi kamarku, namun aku berusaha untuk
mengabaikannya. Memang ada sesuatu, tapi aku nggak tahu dan nggak mau tahu
tentang hal itu sekarang. Hantu wanita penunggu tempat tidur Ibu datang
mengunjungiku malam ini dan kami mengadakan obrolan mengenai anaknya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jadi Ibu
benar-benar yakin bahwa anak Ibu terbunuh bukan mati mendadak?” tanyaku
benar-benar penasaran.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia
menggeleng, rambutnya yang kusut menutupi keseluruhan mukanya. “Aku yakin bahwa
dia dibunuh. Dia diracun, dia minum sesuatu malam itu, dan paginya dia langsung
meninggal. Pasti karena minuman itu sudah dimasukkan racun.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kelihatannya
hantu ini terdengar yakin sekali. Bisa saja itu cuma takdir Tuhan kan? Ada
banyak orang yang terlihat baik-baik saja namun pagi kemudian dia meninggal.
“Bagaimana dengan pemeriksaan polisi? Hasil autopsi menunjukkan bahwa anak Ibu
diracun?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu itu
terdiam dan menggeleng, “Tidak, autopsinya menunjukkan bahwa dia memang
meninggal, tidak ada bukti bahwa dia diracun.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menghela
napas, “Berarti dia memang meninggal.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Suara hantu
itu berubah menjadi tangisan miris, “Aku yakin bahwa dia dibunuh, kalau memang
bukan diracun, dia meninggal karena sakramen itu!” suara tangisannya
mengingatkanku pada suara tangisan kuntilanak di film-film.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sakramen? Dia
bilang sakramen? Di kertas lusuh yang kutemukan juga menuliskan tentang
sakramen. Hantu itu pasti tahu tentang sakramen itu! “Sakramen apa yang kau
maksud?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Oh, sakramen
itu! Lembaran-lembaran dalam bahasa asing, Inggris dan Latin yang tidak pernah
bisa kupahami. Mereka semua iblis! Mereka membunuh Claudia!” dia menjadi tambah
histeris ketika menyebut nama anaknya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Oke, aku akui
bahwa aku sama sekali nggak nangkap apa yang dia bicarakan. Tapi seingatku
memang ada beberapa lembaran dalam bahasa Inggris dan Latin di kardus yang
kutemukan di gudang tadi pagi. Aku baru teringat juga tentang buku catatan atau
buku diary? Pokoknya buku itu nggak bisa dibuka. Aku beranjak dari tempat tidur
dan mengambil buku tersebut kemudian menunjukkannya kepada hantu wanita di
depanku. “Buku ini, ini nggak bisa dibuka. Kira-kira siapa yang punya buku
ini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Rambut hantu
itu tersibak sedikit, dan matanya yang merah terlihat membelalak. “Ya ampun,
itu buku diary Claudia, buku itu tak pernah bisa dibuka karena hanya Claudia
yang punya kuncinya. Aku menaruh buku itu di dalam kardus dan meletakkannya di
sudut gudang. Semua barang-barang yang ada di dalam kardus itu adalah milik
Claudia.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku menemukan
lembaran sakramen yang Ibu bicarakan. Apa itu juga termasuk milik Claudia?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, aku
menemukannya di laci meja belajarnya, seminggu setelah kematiannya. Awalnya aku
tidak tahu apa itu, jadi kusimpan saja bersama barangnya yang lain, tapi
setelah aku tahu apa itu, aku berniat membuangnya, namun lembaran-lembaran itu
telah menghilang, entah siapa yang mengambilnya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Namun
nampaknya lembaran-lembaran itu kembali lagi, ada seseorang yang mengambilnya kemudian
mengembalikannya lagi.” Aku bertanya-tanya apa maksud dari orang tersebut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau harus
segera memusnahkan lembaran-lembaran itu!” hantu itu berkata dengan keras,
“lembaran-lembaran itu berbahaya, kau harus memusnahkannya sebelum orang itu
kembali mengambilnya!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tunggu dulu!”
kataku cukup lantang, mungkin Ibu akan mendengar suaraku dari bawah, tapi
nampaknya dia lagi masang earphone untuk dengerin musik. Biasanya dia melakukan
itu kalau lagi bosan. “Memangnya apa yang menyebabkan lembaran itu berbahaya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Entah kenapa
aku bisa merasakan bahwa dia ketakutan. Eh, ternyata hantu bisa takut juga?
“Aku tidak bisa memberitahumu, nak. Kau harus mencari tahu sendiri.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi kenapa?”
tanyaku mendesaknya, “kau pasti mencurigai seseorang kan? Kau pasti tahu sesuatu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sesosok hantu
lain muncul di kamarku. Dia adalah hantu lelaki yang kulihat di bawah pohon
tadi pagi bersama hantu wanita ini. Dia berwajah sangat pucat dan suram, bahkan
kau pun bisa melihat mendung di atas kepalanya. Baru kusadari bahwa bola
matanya berwarna abu-abu dan banyak sekali luka tusukan di tubuhnya. Dia
nampaknya adalah seorang lelaki tampan
dulunya, namun aku nggak yakin apa yang menyebabkan badannya jadi terdapat
banyak tusukan begitu. Sepertinya dia dibunuh oleh seseorang. “Itu suamiku, ayah
Claudia,” ujar hantu wanita di sampingku. “Namanya Alfred. Dan, eh, kami harus
pergi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Sebentar Ibu
Angela! Kau kan belum jawab pertanyaanku!” namun terlambat, dia dan suaminya
menghilang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ada sesuatu
yang salah di sini. Suami Ibu Angela alias ayah dari Claudia, sepertinya
mencurigakan. Wajahnya seperti menyimpan begitu banyak misteri dan bola mata
abu-abunya, sepertinya kontak lensa. Namun, adakah kontak lensa di tahun
1980-an? Entahlah, aku belum lahir pada saat itu. Hawa menyeramkan itu masih
menghantui ruangan kamarku, apa dua hantu tadi merasakannya? Dan
ngomong-ngomong aku nggak akan menuruti permintaan hantu itu. Enak saja! Aku
nggak akan melakukan sesuatu yang belum jelas asal-usulnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Nggak terasa
aku tinggal di rumah baruku ini sudah hampir dua minggu, itu berarti aku sudah
bersekolah selama hampir sebulan di sekolah menyebalkan dengan murid-murid
menyebalkan ini. Ibuku meminta pendapatku apakah aku betah tinggal di rumah
yang baru, aku menjawab lumayan. Masalahnya hawa menyeramkan itu masih
melingkupi kamarku, jadi aku nggak betah untuk terus tinggal di kamar. Hantu
wanita itu nggak muncul-muncul lagi setelah percakapan kami mengenai kematian
Claudia yang entah kenapa bisa dihubungkan dengan sakramen. Pagi hari Minggu
itu aku bertemu dengan Paman Bibir Tebal yang memang sudah sering ke sini untuk
numpang sarapan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Paman Bi…,”
aku langsung menutup mulutku. Aku lupa nama asli lelaki ini. “Maksudku Paman,
apa kau mengetahui sesuatu tentang kematian Nona Claudia?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia hampir
saja menumpahkan kopi yang sedang dipegangnya. “Bu, bukankah saya sudah
mengatakannya? Kematian mendadak, dia meninggal di tempat tidurnya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Bisa saja itu
cerita yang kau karang-karang sendiri!” ujarku mulai kurang ajar. Untung nggak
ada Ibu yang akan menghukumku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia terlihat
gelagapan. Aha! Aku tahu dia nggak beres! “Mana mungkin. Aku sudah bekerja enam
bulan di rumah ini pada saat peristiwa kematian Nona Claudia terjadi. Dia
memang terlihat sehat di malam hari dan paginya dia meninggal begitu saja.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi apa dia
minum sesuatu malamnya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Paman Bibir
Tebal membuka mulutnya namun menutupnya lagi, sepertinya dia memikirkan
perkataan apa yang cocok untuk dia keluarkan, “Rasanya dia hanya minum teh.
Tapi itu hanya teh biasa, saya yang membuatkannya. Keterangan polisi dan hasil
autopsi pun…”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Menyatakan
dia meninggal, karena memang dia harus meninggal,” ujarku memotong kalimatnya.
“Lalu apa yang Paman ketahui mengenai sakramen?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Apa itu?”
tanyanya heran. Wajahnya menunjukkan keheranan yang benar-benar asli. Mungkin
dia memang nggak tahu apa-apa. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku menghela
napas jengkel. Nggak ada satu pun informasi yang kuperoleh. Aku kepingin
kembali ke penginapan, bertanya dengan teman hantuku di situ. Setelah aku
memikirkan hal itu pun, aku sampai sekarang belum tahu siapa namanya. Dia nggak
pernah memberitahuku, dan rasanya aneh aku nggak pernah mendesaknya untuk
memberitahukan namanya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Jauh di lubuk
hatiku, satu kepingan dari semua teka-teki ini ada yang hilang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Trio Truk
Gandeng berhasil menyergapku di toilet. Aku benci banget sama mereka. Ingin
rasanya menyeprotkan air toilet ke muka mereka yang lebar. Terutama yang
ditengah. Aku tahu namanya adalah Melanie, aku mengetahuinya dari Georgia, tapi
aku lebih senang menyebutnya Si Gendut No.1. Dan dua temannya yang lain, Silfa
dan Rika, aku panggil Si Gendut No. 2 dan Si Gendut No.3. Mereka pasti akan
marah besar kalau aku memanggil mereka begitu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nah, akhirnya
kami berhasil menangkapmu juga, Tikus Got!” ujar Si Gendut No.1 sampai ludahnya
muncrat ke mukaku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku bukan
tikus got!” aku berusaha memberanikan diriku sendiri walau aku tahu aku nggak
bakalan menang ngelawan mereka.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, kau tikus
got! Sudah lama kami mencarimu dan kau bersembunyi di dalam toilet. Bersembunyi
saja di dalam parit sekalian!” dia tertawa keras-keras bersama teman-temannya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku benci
mereka. Kenapa aku harus dapat musuh sebesar gajah seperti mereka? Kalau Tiara,
hah, cewek jelek dan ceking itu bisa kupatahkan tulangnya kalau dia berani
berkata begitu. Trio Truk Gandeng? Aku
nyerah deh.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau kan belum
bayar uang keamanan!” bentak Si Gendut No.1 lebih keras daripada sebelumnya.
“Sekarang bayar atau kujeburkan mukamu ke dalam toilet!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Seharusnya
aku yang melakukan itu!” setelah mengatakan itu aku ingin menampar mulutku
sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Trio Truk
Gandeng terdiam sesaat, sebelum akhirnya meledak dalam tawa yang menggetarkan
toilet. Suara bel berbunyi walau nggak terlalu terdengar dari toilet karena
diredam oleh tawa setan Trio Truk Gandeng. Tawa mereka terhenti, tapi aku masih
melihat bahwa sebenarnya mereka ingin tertawa lagi. “Kau selamat untuk hari ini
Tikus Got! Kami ada ulangan dan yah, kami harus pergi.” Mereka pergi keluar
dari toilet dan tertawa lagi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Di kelas,
pelajaran Bahasa Inggris. Di sekolah ini pelajaran Bahasa Inggrisnya sudah
dimulai sejak kelas satu. Di sekolahku dulu, sejak kelas tiga, dan di sekolahku
yang dulunya lagi malahan baru kelas enam yang belajar Bahasa Inggris, dan
sekolah yang dulu-dulunya lagi, aku nggak ingat. Aku sedikit terhibur melihat
Tiara dimarahi oleh Bu Tina karena nggak bisa menyebutkan kata ‘father’ dan
‘mother’ dengan benar. Dia dan lidah nasionalisnya….<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Georgia nggak
perlu diragukan lagi. Sebagai anak yang menganggap Bahasa Inggris adalah bahasa
sejak bayi, dia terlihat acuh tak acuh saja. Bu Tina juga nggak pernah
menanyainya seingatku. Dan Dicky, orang yang dibilang Tiara pintar berbahasa
Inggris, ternyata dia memang lumayan. Tiara melotot ke arahku karena dia
menangkap basah aku yang sedang cekikikan ke arahnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku adalah
penyayang binatang. Dia membawa kembali kucing tetangga kami yang dibuang oleh
mereka kemarin dan dengan ikhlas menasehati mereka bahwa binatang itu jangan
disia-siakan. Aku pikir mereka nggak menginginkan kucing itu jadi mereka
membuangnya, lalu kenapa Ibuku yang sewot dan susah-susah membawa pulang kucing
itu? Setahuku para binatang punya ingatan tajam, jadi apabila seekor kucing
dibuang jauh-jauh, asalkan matanya nggak ditutup, suatu hari nanti dia pasti
akan kembali ke rumah pemiliknya. Tapi aku nggak begitu yakin mengenai teori
itu, soalnya tetanggaku yang di Bandung dulu sering kehilangan anjing mereka
dan binatang itu nggak pernah kembali.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Walau Ibu
adalah penyayang binatang, kami nggak memelihara binatang. Eh, ada sih, ikan
hias yang diletakkan di aquarium depan. Aku lumayan alergi dengan semua
binatang berbulu dan aku pernah menyarankan kepada Ibu agar kita memelihara
reptil yang langsung ditolaknya mentah-mentah. Baru saja aku berpikir tentang
Ibuku, orangnya sudah nongol di pintu depan. Wajahnya ditekuk, dan dia terlihat
marah. Pasti karena tetangga itu nggak menggubris perkataannya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kenapa orang
sekarang membenci binatang?” gerutunya setelah dia duduk di sofa di sebelahku.
“Keluarga Bisono itu seharusnya memelihara kucing mereka dengan benar!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Mereka nggak
suka kucing,” kataku pelan-pelan, “lagipula itu urusan mereka, kenapa Ibu harus
turut campur?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku melipat
tangannya di dada dan mendengus kesal. Lebih baik aku berlari masuk ke kamar
saja sebelum dia mengomeliku yang macam-macam. Aku bosan di kamar ini, hawa
menyeramkan itu terlihat ingin mengancam, namun kekuatannya belum cukup untuk
mengajukan ancaman besar. Pokoknya apapun itu, dia ada di sini, dan aku yakin
dia adalah penunggu kamar ini, cuma dia belum mau menampakkan wujudnya.
Ngomong-ngomong soal hantu, hantu wanita itu kemana sih? Aku belum mendapat
penjelasan nih tentang sakramen itu. Mengingat sakramen, membuatku ingin
kembali ke gudang dan mengambil lembaran-lembaran lusuh dari dalam kardus yang
juga sama lusuhnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Di gudang, aku
mencari lembaran itu di dalam kardus yang sama dan berhasil mendapatkannya.
Tapi rasanya ada yang aneh mengenai posisi kardus ini. Aku yakin kardus ini sudah
dipindahkan beberapa senti dari tempat semulanya. Ada seseorang yang tahu
tentang sakramen-sakramen itu, tepat seperti kata hantu Ibu Angela, dan lebih
anehnya, dia nggak mengambil apa-apa di dalam kardus ini. Aku sangat yakin isi
kardus ini sama seperti yang aku tinggalkan beberapa hari lalu. Kubawa
lembaran-lembaran berbahasa yang sama sekali nggak kumengerti itu ke ruang tamu
tempat dimana Ibuku sedang nonton sinetron pagi. Aku menyimpan yang berbahasa
latin dan menunjukkan ke Ibu yang berbahasa inggris, karena tuntutan
pekerjaannya yang selalu berhadapan dengan orang bule, Ibuku pintar berbahasa
inggris.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Apa ini?”
tanyanya sambil mengerut melihat isi sakramen itu. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku temukan
itu di dalam kardus yang berada di gudang. Kira-kira apa artinya?” aku menengok
wajah Ibuku yang nampaknya memancarkan sinar ketidakpercayaan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Isinya
menyeramkan,” kata Ibuku, “lebih baik kita buang saja.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tunggu dulu!”
aku menahan lengan Ibu yang hendak berdiri, “aku kan belum tahu isinya!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tidak bisa
Bianca! Ini bukan untuk anak umur sepuluh tahun!” Ibuku berusaha melepaskan
pengangan tanganku dari lengannya, tapi aku semakin memperkuat penganganku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku yang
menemukannya, jadi aku berhak tahu!” kataku keras kepala. Aku emang nggak
pernah bisa ngomong sopan di depan orang yang lebih tua, bahkan Ibuku sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalau kau
benar-benar ingin tahu, ini tentang ritual,” ujar Ibuku kemudian dia duduk
kembali dan meletakkan lembaran-lembaran tersebut di atas meja.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku berhenti
memegang lengan Ibuku. “Ritual? Maksud Ibu seperti memberikan sesembahan
begitu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku juga
nggak begitu mengerti,” aku Ibuku. “Namun di lembaran ini mengatakan bahwa
ritual itu mengharuskan adanya seorang anak perempuan sebagai korban. Seorang
anggota baru harus mengorbankan anak perempuannya sendiri untuk sesembahan dan
meminum darah anak itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Iih,
menjijikkan!” aku bergidik ngeri. “Masa’ mereka mau melakukan itu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku
mengangkat bahu. “Beberapa halaman kayaknya ada yang hilang. Tapi di halaman
terakhir mengatakan tentang sesuatu yang disebut sebagai kedamaian di atas
bumi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengingat
tentang kertas yang juga menyebutkan tentang membawa perdamaian ke atas bumi.
Orang macam apa sih yang menulis semua ini? <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Yang jelas
ini tidak masuk akal!” kata Ibuku mengagetkanku. “Aku tidak mengerti kenapa
barang-barang ini ada di rumah kita!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Itu dulunya
pasti punya pemilik rumah ini!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Jangan
menuduh dulu. Kita kan tidak tahu benar tentang mantan pemilik rumah ini.”
Pintu depan diketuk orang, jadi Ibuku pergi untuk membuka pintu. Aku langsung
menyambar lembaran-lembaran itu dan berlari ke belakang. Selintas aku bisa
melihat tamu Ibuku, Si Tante Jelek itu! Mau apa dia ke sini? Ah, biar nanti
saja aku tanyakan kepada Ibu. Aku ingin melakukan sesuatu sekarang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Di dapur, aku
mengambil sebotol minyak tanah dan korek api. Aku membawa semua benda itu ke
taman belakang. Ada tumpukan daun di bawah pohon besar, pasti akan dibakar oleh
Paman Bibir Tebal. Mungkin aku bisa membantunya. Aku membuang lembaran-lembaran
yang kusimpan ke tumpukan itu, menyiram minyak tanah di atasnya, dan menyalakan
korek api. Aku melihat api yang menjalar, mulai menghanguskan daun-daun, namun
ada yang aneh. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Lembaran-lembaran
itu nggak terbakar!<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Api itu
seolah-olah menjauh dari lembaran-lembaran itu. Si api aneh itu malah terlihat
menjauhi lembaran-lembaran tersebut dan malah membakar habis daun-daun di
bawahnya. Aku mengambil semua lembaran itu, bahkan lembaran itu sama sekali
nggak terasa panas. Aku menyalakan korek api lagi dan langsung membakar
lembaran-lembaran itu. Namun, setiap korek api mendekati ujung lembaran itu,
apinya langsung padam, seakan-akan ada yang meniupnya. Aku bisa bersumpah nggak
ada apa-apa di sekitarku dan angin sedang nggak bertiup. Kalau memang ada hantu
yang meniupnya, dia pasti nggak menampakkan wujudnya, dasar pengecut!<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Karena nggak
berhasil membakar lembaran-lembaran sial itu, dengan langkah mengentak-ngentak
aku pergi masuk kembali ke dalam rumah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Menyedihkan!
Itulah kata pertama yang bisa ditangkap pikiranku ketika selesai mendengar
cerita Ibu tentang si Tante Jelek. Ternyata namanya Rahayu, Ibu Rahayu, usia 45
tahun, tinggal di mana saja. Dia numpang dari satu rumah ke rumah yang lain.
Dia kabur dari rumahnya, karena suaminya yang kejam dan suka memukul-mukul. Dia
nggak punya anak, dan semua sanak familinya tinggal jauh dari sini. Dia sudah
seperti orang gila, kalau melihat dandanannya, tapi ternyata dia 100% waras
hanya saja agak sedikit depresi, begitu kata Ibuku. Apa pun namanya, dia tetap
si Tante Jelek dalam pikiranku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengatakan
pada Ibu bahwa perempuan itu pernah nongkrong di depan gerbang rumah dan dia
mengatakan tentang kutukan. Ibu hanya menggeleng dan mengatakan bahwa dia
sedikit depresi makanya ngomongnya melantur. Aku bersikeras bahwa dia adalah orang
gila yang pscyho, namun Ibu juga bersikeras bahwa dia mengalami sedikit
depresi, aku pun juga tetap bersikeras bahwa dia kehilangan otaknya. Ibu
memarahiku atas kekurangajaranku, dan aku diam saja. Aku pun bingung kenapa aku
bisa mendapat tingkah laku kurang ajar seperti ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Siaran berita
aku tinggalkan karena aku merasa bosan dan akhirnya memutuskan masuk ke kamar.
Sebelum ke kamarku sendiri, aku ke kamar Ibuku siapa tahu aku bisa bertemu
dengan Ibu Angela, karena kamar Ibuku adalah bekas kamarnya. Ketika aku masuk,
dia nggak ada, tetapi hawa bahwa dia pernah ke sini masih terasa olehku. Aneh,
kenapa sekarang dia menghindar? Pasti karena hantu lelaki misterius bermata
abu-abu itu!<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hawa
menyeramkan itu benar-benar semakin terasa, tapi nggak terlalu mengancam, hanya
membuat bulu kuduk berdiri saja. Aku duduk sembari menyandar di tempat tidur
dan mendengarkan suara-suara. Hanya suara TV yang terdengar dari bawah.
Sekarang rasanya ada yang lain, ada sesuatu yang mendekat, dekat dan dekat.
Kemudian entah darimana kamarku berubah menjadi gelap seperti mati lampu,
padahal jelas-jelas suara TV masih terdengar. Kegelapan ini hanya meliputi
seputaran kamarku. Aku pernah mengalami ini, ketika umurku enam tahun. Ini
disebut hawa kebencian. Hawa kebencian para hantu mengakibatkan kegelapan
datang. Melihat seberapa gelap ruangan
kamarku sekarang, hawa kebencian hantu itu pasti sangat dalam.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku bisa
mendengar angin berhembus. ‘Pasti dari AC,’ Pikirku. Namun, aku lupa bahwa aku
nggak menghidupkan AC kamar seharian ini. Bahuku menegang, dan aku merasakan
jantungku ingin meloncat dari dadaku. Belum pernah seumur hidupku, semenjak aku
bisa melihat hantu, aku merasakan ketakutan seperti ini. Hantu ini sepertinya
benar-benar jahat. Oh, jangan-jangan ini hantu Claudia pemilik kamar ini? Aku
pun baru sadar, bahwa aku bersender ke ranjang tempat tidur. Apa hantu ini akan
datang dan marah karena aku mengambil tempat tidurnya tanpa izin? Tapi dia
sendiri kan yang nggak menampakkan wujudnya?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Lalu di suatu
tempat dalam kegelapan di kamarku, sebuah suara mengerikan terdengar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
TBC...</div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-65005394719502911562012-09-06T05:26:00.003-07:002012-09-06T05:29:54.309-07:00Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 2<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bab 2<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
AKU NGGAK BISA TIDUR DI TEMPAT
TIDUR.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Maksudku,
semua orang bisa tidur di atas tempat tidur dan memang benda itu dibuat untuk
dijadikan tempat orang untuk tidur dan melepaskan penat setelah lelah seharian
beraktivitas. Tapi pernahkah kalian tahu bahwa semua tempat tidur itu ada
pemiliknya? Ya, tentu saja semua tempat tidur itu ada pemiliknya. Di kamar
Ibuku, dia mempunyai sebuah ranjang besar dan itu adalah miliknya. Namun, yang
ingin kukatakan adalah, tempat tidur adalah salah satu benda yang cukup dekat
dengan manusia. Kau bisa menghabiskan waktu seharian di tempat tidur daripada
keluar rumah, iya kan? Jadi, bisa dibilang tempat tidur memiliki bekas atau
sesuatu yang dulu ditinggalkan pemiliknya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Bahkan apabila
kau memiliki tempat tidur yang baru sekalipun. Beberapa tempat tidur yang
kulihat di toko-toko sama sekali bukan tempat tidur baru yang menarik. Di
mataku semua tempat tidur itu dipenuhi kenangan, kenangan dari pemiliknya
terdahulu, dan juga darah. Kau tahu apa maksudku dengan darah? Beberapa tempat
tidur di rumah-rumahku yang terdahulu dipenuhi dengan darah, membuatku mendesis
jijik dan bersumpah nggak akan menyentuh apalagi sampai tidur di sana. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau mengerti
kan kenapa aku merasa sekarang aku benar-benar berpikir bahwa aku sudah gila?
Nggak ada yang percaya padaku, termasuk Ibuku sendiri!” aku meninggikan suaraku
di kalimat terakhir. Untung saja aku sendirian di kamar yang aku tempati
bersama Ibu di sebuah penginapan. Ibu kembali lagi ke kantornya setelah
mengantarku ke sini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu
perempuan yang seumuran denganku pun itu mengangguk. Ngomong-ngomong dia adalah
penunggu tempat tidur di kamar ini. Aku menceritakan pengalamanku selama ini
kepadanya, ya seenggaknya sebagian pengalamanku. “Memang ada beberapa tempat
tidur dengan penunggu-penunggu yang jahat bahkan sadis. Dulu, di kamar salah
satu penginapan ada yang mati terbunuh di tempat tidur, hanya gara-gara
penunggu tempat tidur itu nggak suka ada orang yang tidur di atasnya, dan orang
itu mati secara menggenaskan. Kepalanya dipenggal dan otaknya berceceran.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku bergidik
ngeri. “Aku nggak dapat membayangkannya. Lalu bagaimana sekarang dengan kamar
itu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Pemilik
penginapan menutupnya, dan nggak ada seorang pun yang masuk ke kamar itu sampai
sekarang,” jelas hantu itu. “Aku mati di sini pada tahun 2002 lalu. Ibu tiriku
memasukkan racun ke dalam makananku dan
sejam kemudian aku sudah jadi mayat di atas tempat tidur ini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku hanya diam
saja mendengar penuturan kenapa dia meninggal yang entah sudah ke berapa
kalinya sejak aku bertemu dengannya. “Aku melihat kamarku di rumah itu dan
anehnya aku sama sekali nggak merasakan apa-apa. Nggak ada yang ganjil sama
sekali dengan tempat tidurnya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu itu
kelihatan berpikir sebentar sebelum menjawab, “Mungkin pemiliknya belum mau
menampakkan dirinya kepadamu. Memang ada beberapa hantu yang nggak suka
menampakkan dirinya. Namun hantu seperti inilah yang paling bikin jengkel.
Mereka selalu menjahili manusia misalnya dengan sengaja memindah-mindahkan atau
menggerak-gerakkan barang, membuat manusia jadi ketakutan melihat benda-benda
melayang sendiri. Orang-orang Barat sana menyebut hantu ini Poltergeist.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kayak nama
film,” tukasku. “Apapun nama hantu itu, cepat atau lambat dia pasti akan
menampakkan diri juga.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kenapa kau
bisa begitu yakin?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengangkat
bahu. “Entahlah, yang jelas penunggu tempat tidurku di kamar baru itu, pasti
menarik.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dulu, aku
punya seenggaknya satu sahabat dekat. Sekarang aku ragu, apa bisa aku mendapatkan
teman di sekolah elit ini? Ya, kebanyakan anak yang bisa bersekolah di sini
mempunyai orang tua yang berkantong tebal dengan uang, bukan dengan bon utang.
Tapi bukan berarti aku bakalan minder, karena aku pun juga punya orang tua yang
berkantong tebal dengan uang, ini lebih ditujukan kepada masalah pribadi.
Teman-temanku di sekolah yang dulu menyebutku cenayang atau indigo. Atau yang
paling parahnya, mereka menyebutku orang gila. Itu semua dikarenakan, aku entah
kenapa nggak bisa mengontrol diriku-sendiri untuk menceritakan
pengalaman-pengalaman anehku tentang tempat tidur dan hantu. Cuma ada satu
anak, dan dia terlihat biasa saja ketika aku menceritakan pengalaman-pengalaman
seramku itu seakan-akan semua ceritaku itu hanya sebuah kejadian yang sangat
nggak penting.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau nggak
menganggapku aneh kan?” tanyaku suatu hari kepada anak itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Anak itu malah
mengerutkan keningnya dan kemudian menggeleng.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kenapa?”
tanyaku lagi ingin tahu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kali ini dia
mengangkat bahu. “Kalau kau bertanya ‘kenapa’ maka yang bisa kukatakan adalah
pengalamanmu itu nyata, karena kelihatannya sih begitu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sungguh, aku
sama sekali nggak mengerti apa yang dia katakan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Jadi, hari
pertama di sekolah yang baru, berlangsung biasa-biasa saja. Mereka semua
cenderung nggak peduli dengan murid baru, sungguh individualistis. Apa ini
tanda-tanda kebudayaan barat benar-benar telah tertanam penuh di Indonesia? Dan
ngomong-ngomong soal barat, di kelasku yang baru ini, ada seorang anak bule
namanya Georgia, tapi nama kepanjangannya aku lupa. Anak itu punya kulit putih
kemerah-merahan, terutama ketika dia berada di bawah sinar matahari dan juga
rambut coklat dan mata biru pucat. Dia termasuk murid paling tinggi di kelas
dan aku hanya sebatas bahunya saja. Dan ngomong-ngomong aku duduk satu bangku
dengannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Lalu, ada satu
lagi murid yang melirikku sinis ketika aku memperkenalkan diriku di depan kelas
tadi. Dia duduk di bangku paling depan, dua bangku di depanku. Cewek itu
rambutnya hitam berombak dan dia sangat ceking seperti orang nggak makan
setahun. Aku sempat menanyakan namanya kepada Georgia (yang untungnya bisa
berbahasa Indonesia walau hanya bisa sedikit-sedikit) bahwa cewek itu bernama
Tiara. Nama yang sangat nggak cocok untuknya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Sekarang, aku
sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah, memperhatikan beberapa anak
yang sedang main sepak bola, ketika kurasakan bumi bergetar. Gempa bumikah? Aku
terdiam menyaksikan tiga cewek dengan berat badan di atas rata-rata mendekatiku.
Yang di tengah dengan badan yang paling besar, memasang muka sangar sedangkan
yang lainnya memelototiku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalian mau
apa?” tanyaku berusaha mengacuhkan ketiga raksasa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Hei, kau anak
baru di kelas A kan!?” tanya cewek di tengah dengan nada membentak.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Terus, kalau
memang benar kenapa?” aku bertanya balik sambil memasang wajah yang tak kalah
sangar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Wah, baru
anak baru sudah berani melawan rupanya!?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Eh, tapi kau
kan juga termasuk murid baru, kau kan baru dua bulan di sini,” sela temannya
yang satu lagi dan dia langsung menutup mulutnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Cewek yang
ditengah pura-pura tuli dan kemudian menyodorkan tangannya. “Mana!?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Mana apanya?”
tanyaku heran.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya uang
keamananlah! Setiap murid baru yang masuk ke sini harus nyetor uang keamanan
kepadaku!” dia berkata dengan nada yang tinggi, membuat beberapa murid melihat
ke arah kami.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Sejak kapan
peraturan itu diberlakukan?” seingatku nggak disebut-sebut uang keamanan dalam
formulir pendaftaran masuk sekolah ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Cewek berbadan
besar semakin frustasi. “Banyak tanya ya? Bayar saja kenapa sih!?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Enak saja!
Emang ini sekolah bapakmu apa!?” aku bersiap hendak pergi, tapi tanganku
dicekal oleh cewek sok berkuasa itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Eh, mau kemana!?” bentaknya lebih kasar,
membuat beberapa anak yang berada di dekatku langsung kabur ketakutan. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Apa
urusanmu!?” bentakku juga nggak mau kalah. Siapa sih cewek ini? Benar-benar
menjengkelkan!<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Lonceng
sekolah berbunyi nyaring sekali, membuat gendang telingaku sakit, tapi lonceng
itu telah menumbuhkan suatu alasan yang bagus untuk pergi dari hadapan Trio
Truk Gandeng ini. Secara otomatis dia melepaskan cengkramannya dan aku langsung
lari masuk ke kelas. Untung sekali aku nggak satu kelas dengan tiga orang itu.
Sepertinya mereka kelas enam, tapi entahlah, aku nggak peduli. Di dalam kelas,
sudah banyak anak-anak yang duduk di bangku masing-masing. Beberapa anak
laki-laki membuat pesawat terbang dari kertas dan melayangkannya diseluruh
ruangan dan salah satunya mendarat di mejaku. Aku langsung membuangnya dan
memperhatikan Georgia sedang berbicara dengan anak menyebalkan, siapa namanya?
Oh ya, Tiara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Cewek ceking
itu memandangku dengan pandangan merendahkan dan aku langsung membuang muka.
Nggak ada gunanya melayani orang seperti itu. Guru kami masuk ke dalam kelas
dan pelajaran segera dimulai. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku masih akan
tetap tinggal di hotel lebih kurang dua hari lagi dan aku mendapat banyak
informasi dari hantu penghuni tempat tidurku. Dia nggak pernah bergerak dari
ranjangnya dan dengan santainya menonton TV tanpa tahu apa yang dia tonton.
Sebenarnya TV bukanlah media hiburan untuk hantu, namun seperti yang terlihat
di film-film horor, TV selalu menyala dengan sendirinya dan semua orang mengira
bahwa itu kerjaan hantu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia menyapaku
dan tersenyum mengerikan serta menampakkan gigi-giginya yang telah membusuk akibat
nggak pernah gosok gigi sejak tahun 2002. Sebagai hantu yang diracun,
penampilan paling menakutkannya hanyalah giginya dan kulitnya yang pucat.
Selebih itu dia terlihat kayak manusia bagiku. Beda lagi dengan hantu korban
pembunuhan. Biasanya benda yang digunakan untuk membunuh mereka masih tertancap
di badan mereka. “Bagaimana hari pertamamu di sekolah?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Buruk
sekali.” Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan hantu itu membiarkannya.
“Tiba-tiba aku sudah dapat empat musuh.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Wah.” Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dulu, aku juga pernah jadi murid baru dan
untungnya nggak ada yang sudi jadi musuhku, padahal aku selalu mencari
gara-gara dengan anak lain.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mendengus
jengkel. “Beruntung sekali. Aku sama sekali nggak pernah mencari gara-gara, tetapi
gara-gara itu yang mendantangiku.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku masih saja
terus mengobrol dengan teman hantuku itu tanpa sama sekali mengetahui bahwa
sedari tadi Ibuku menguping dan melihat dari balik pintu kamar yang terbuka
sedikit, bahwa aku berbicara dengan udara kosong. Kedatangan Ibu yang tiba-tiba
membuatku tersentak dan menyadari pasti wanita itu sudah mendengar dan melihat
apa yang kulakukan tadi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kau pasti
demam,” ujarnya dengan kekhawatiran yang berlebihan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku nggak
demam kok,” jawabku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, kau
demam,” katanya keras kepala. “Sudah dua kali aku melihatmu berbicara sendiri,
pasti karena demam.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
menelengkan kepalaku, “Nggak, nggak ada hubungannya dengan demam. Aku kan anak
indigo.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku hampir
saja membuat gerakan yang menyatakan aku gila, tapi dia berhasil menahannya.
“Nggak, aku nggak percaya indigo dan kau nggak seperti itu. Kau sedang demam
aku tahu itu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku selalu
mengartikan segala sesuatu yang aneh pada diriku dengan demam. Aku nggak tahu
apa hubungannya, tapi sepertinya ibuku kecanduan dengan penyakit itu. Dia
bergerak cepat dan memegang keningku. Keningku memang agak panas, tentu saja
karena aku tadi berjalan panas-panasan, namun tetap saja Ibuku menganggap itu
demam. Terkadang aku tertawa sendiri melihat kelakuannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ukur suhu
tubuhku dengan thermometer dan aku akan baik-baik saja,” ujarku sambil
menyingkirkan tangan Ibuku dari keningku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi kita
nggak punya thermometer.” Dia mengigit jari jempolnya. Mengingatkanku pada anak
balita. Ibuku terkadang bisa bertingkah sangat kekanak-kanakkan. “Oh, mungkin
tetangga sebelah punya. Ibu Fatih, kalau nggak salah namanya. Dia tinggal
sendiri, suaminya sudah meninggal dan anaknya sudah menikah dan sekarang berada
di Malang. Kau sudah bertemu dengannya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, aku
melihatnya. Dia aneh.” Aku menggerakkan tanganku untuk melepaskan sepatuku. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku terbelalak,
nggak percaya bahwa anaknya begitu nggak peduli dengan orang lain dan malah
mengatakan yang nggak-nggak tentang seseorang. “Mungkin kau memang harus
dikirim ke psikiater.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku bergidik.
Kata psikiater selalu berhasil menakutiku. Anak-anak yang dikirim ke psikiater,
biasanya dianggap gila oleh anak lain dan nantinya orang tua mereka akan
melarang mereka untuk main dengan anak itu. Dengan keadaanku sekarang aku sudah
cukup susah untuk mendapatkan teman, apalagi dengan tambahan isu bahwa aku akan
dikirim ke psikiater. Guru pun pasti akan menjauhiku. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, ya, ya.”
Ibuku terlihat senang seperti anak kecil mendapat mainan baru, “berapa nomor
Dr. Gabriel?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku bilang
aku nggak mau ke psikiater!” aku membuang muka sambil menyilangkan kedua tangan
di depan dada. Tapi Ibu nggak memperhatikanku. Dia malah sibuk mencari nomor
telepon di buku telepon. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku heran
kenapa nomor Dr. Gabriel nggak pernah tersambung? Apa dia sudah ganti nomor?”
tanya Ibuku pada dirinya sendiri. Aku selalu punya opini bahwa Ibukulah yang
seharusnya dikirim ke psikiater. Dia mengangkat gagang telepon tapi sedetik
kemudian meletakkannya kembali, lalu menepuk keningnya sendiri. “Aku lupa aku
harus lembur malam ini! Banyak sekali pekerjaan menumpuk, kau tahu kan sayang,
aku nggak bisa menemanimu malam ini. Apa kau nggak apa-apa kutinggal
sendirian?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak, aku
nggak sendiri di sini,” jawabku yakin sambil tersenyum.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku
memperhatikan sekeliling dan berdecak jengkel. “Ya, ya, ya. Anak kecil selalu
punya imajinasi yang bagus. Nah, sampai jumpa!” dia mencium pipiku dan pergi,
namun belum sampai lima detik dia sudah nongol lagi di ambang pintu. Kalau kau
lapar, tinggal telpon saja bapak penjaga meja depan itu dan dia akan
membawakanmu makanan atau kau bisa pergi menemui tetangga kita bila kau butuh
sesuatu dan apabila terjadi apa-apa seperti penginapan ini kebakaran, maka kau
bisa menelponku. Mengerti?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengangguk
dan melambaikan tangan kepadanya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ibumu agak
sedikit cerewet ya?” hantu temanku itu kembali bersuara.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Dan sedikit
agak gila juga,” kataku kurang ajar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tapi kupikir
Ibumu lucu, dia seperti berbicara tanpa memperdulikan orang disekitarnya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, intinya
dia selalu berbicara kepada dirinya sendiri dan dia juga terkadang menjawab
pertanyaannya sendiri,” ujarku menambahkan dan berbaring di tempat tidur.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Kawan hantuku
itu melanjutkan menonton TV.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hari kedua di
sekolah masih terkesan membosankan. Temanku pertama di sekolah ini mungkin
Georgia, ya dia cukup baik, tapi kami masih jarang bicara satu sama lain,
seakan-akan dia hanya menganggapku sebagai kenalan sekali lewat saja. Bahasa
Indonesianya masih kacau, nggak heran dalam ulangan Bahasa Indonesia dia selalu
dapat nilai rendah, namun dia tampaknya anak yang mau belajar. Tiara, anak
ceking menjengkelkan itu masih menganggapku seekor hama dan dia tahan
memandangku sinis berlama-lama, bahkan ketika aku sudah mengacuhkannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Setiap jam
istirahat aku berusaha sekuat mungkin agar nggak bertemu dengan Trio Truk
Gandeng dan itu luar biasa sulit. Bayangan mereka selalu ada di mana-mana dan
itu membuatku ketakutan, tapi untunglah aku nggak bertemu dengan mereka. Aku
memang melihat mereka di taman sekolah sedang mengambil jajanan seorang anak
kelas tiga dan itu membuatku pingin melabrak mereka seandainya aku bisa. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Di penginapan,
aku masih mengobrol dengan hantu penunggu tempat tidur di kamar ini. Ibu
membawa Ibu Fatih, tetangga sebelah penginapan kami untuk makan malam bersama
di luar tapi aku menolak untuk ikut. Ibu Fatih memang menyeramkan, seenggaknya
menurutku. Dia mungkin sekitar 50-an, tapi mukanya menunjukkan dia lebih tua
dari umur lima puluh. Kerut-kerutan di wajahnya terlalu jelas, seakan-akan kau
bisa merobek kulit tipisnya dengan ujung jarimu. Urat-urat yang timbul dan
tampak dengan jelas di tangannya membuatku ingin menarik mereka dan kujadikan
hiasan di muka pintu. Dan aku langsung kena tempeleng Ibu ketika aku
menceritakan hal itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibu memang
nggak pernah menasehatiku macam-macam tentang pentingnya menghormati orang yang
jauh lebih tua dariku, tapi ketika aku mencela orang-orang, biasanya dia
langsung menempeleng atau bahkan menghukumku atau dengan ancaman-ancaman
mengerikan. “Ibu Fatih itu orang tua yang baik dan malang,” kata Ibuku malam
itu ketika dia hendak bersiap-siap pergi makan malam di luar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya dia memang
orang baik. Aku menolak untuk ikut makan malam di luar bukan berarti aku nggak
suka padanya, hanya saja aku punya banyak PR yang harus kukerjakan malam ini,”
jawabku sambil mengeluarkan satu persatu bukuku dari dalam tas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Oh, kenapa
nggak bilang dari tadi?” Ibuku memasang ekspresi kecewa yang dilebih-lebihkan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Perasaan aku
sudah mengatakan hal itu tiga kali kepada Ibu,” kataku sambil memutar bola mata
jengkel.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku terdiam
sebentar sebelum akhirnya tertawa girang dan menepuk-nepuk kepalaku pelan. “Ya,
aku lupa. Aku ingat kau tadi menyebutkan soal PR tiga kali.” Dia melihat jam
tangannya dan tersentak kecil. “Aku sudah membiarkan wanita tua itu menunggu
terlalu lama, aku akan pulang sekitar jam sembilan jadi selama itu baik-baiklah
di rumah. Ingat pesanku, kalau ada apa-apa…”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalau ada
apa-apa seperti penginapan ini kebakaran, maka kau bisa meneleponku,” potongku
dan menghela napas kesal. Aku sudah keburu hapal dengan pesan-pesannya. Dulu
ketika kami punya rumah dia bakalan mengatakan, ‘kalau ada apa-apa seperti
rumah ini kebakaran, maka kau bisa meneleponku’. Sekarang ketika kami berada di
penginapan dia hanya tinggal mengubah sedikit saja pesannya, seakan-akan aku
hanya boleh meneleponnya ketika terjadi kebakaran. Aku bertanya-tanya, apakah
aku masih sempat terpikir untuk menelepon Ibu ketika terjadi kebakaran? Aku
malah berpikir untuk menyelamatkan diriku sendiri terlebih dahulu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Ibuku
tersenyum. Merasa bangga bahwa pesan monotonnya telah diingat oleh anaknya. Dia
mengucapkan ‘aku pergi dulu’ dan kemudian menutup pintu. Hantu temanku itu
muncul kembali, kali ini wajahnya sedikit sedih. Sebenarnya wajahnya sih nggak
menunjukkan ekpresi apa-apa, tapi aku punya firasat yang aneh bahwa dia sedang
sedih. “Kau kenapa?” tanyaku dengan nada simpatik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia
mengeluarkan suara tercekik yang aneh dan berkata dengan nada marah. “Teman
hantuku dari kamar no.12 telah dikirim ke alam baka!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku mengernyit
heran. “Maksudmu dia nggak lagi menghuni tempat tidur di kamar no.12?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia mengangguk
kuat-kuat dan masih dalam nada marah dia melanjutkan, “Nggak akan pernah ada
hantu seperti dia lagi di penginapan ini. Kau tahu kan? Aku pernah
menceritakannya kepadamu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ya, aku tahu,
Lanina, dia hantu yang baik dan seumuran denganmu. Walau aku nggak pernah
bertemu dengannya tapi aku turut berduka. Namun kenapa dia bisa dipindahkan ke
alam baka?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu temanku
itu membuat suara tangisan dan berkata pelan, “Seorang exorcist atau dukun
kalau di Indonesia, dia berhasil membuat Lanina pindah. Padahal sangat sulit
sekali membuat hantu seperti kami untuk meninggalkan tempat tidur kami, tapi
lelaki ini hanya dengan membaca mantera-mantera nggak jelas dan dalam sekejap
tubuh Lanina hilang! Oh ya ampun! Aku sangat takut apabila dukun itu
mendatangiku juga!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Tenang,
tenang,” kataku berusaha menenangkannya, “nggak mungkin dia datang ke sini. Aku
nggak akan menyuruh siapa pun untuk mendatangkan dukun dan sejenisnya ke kamar
ini.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia berpaling
ke arahku dan menggeleng. “Ya, aku percaya kau nggak akan mendatangkan dukun ke
mari, tapi besok adalah hari terakhirmu di penginapan ini dan penginap
selanjutnya pasti akan mendatangkan mereka!” kemudian dia histeris sendiri.
“Bayangkan aku kehilangan teman-temanku dalam waktu yang singkat! Beberapa
menit yang lalu Lanina dan besok, kau!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku nggak bisa
berkata apa-apa lagi. Sebenarnya aku juga nggak mau melepas teman hantu yang
paling baik yang pernah kukenal. Namun, aku memang nggak bisa tinggal di
penginapan ini selama-lamanya dan hantu temanku itu juga nggak mungkin
meninggalkan kamar ini, karena tempatnya di sini. Dia hanya bisa
berpindah-pindah dari satu tempat tidur ke tempat tidur lain tapi hanya sebatas
penginapan ini saja. “Aku pasti akan selalu mengingatmu kok. Kau adalah teman
hantu terbaik yang pernah kupunya. Kalau ada kesempatan kita pasti bisa bertemu
lagi.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Hantu temanku
itu nggak menjawab, dengan masih menangis tersedu-sedu dia pergi meninggalkanku
sendirian di kamar. Tangisannya benar-benar menyayat hati sampai-sampai aku
nggak tega. Dan memang benar, besok hari terakhir aku di sini. Mungkin aku akan
bilang ke Ibu bahwa aku sakit dan nggak mau sekolah sehingga kami punya waktu
lebih panjang mengobrol sebelum aku pergi. Lagian Ibuku memang sudah mengira
aku demam kok, dia pasti nggak mempermasalahkan hal itu dan jangan sampai pula
dia memanggil Dr. Gabriel, karena itu berarti buruk bagiku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Keesokan
paginya, aku mengeluh nggak enak badan dan rasanya semua tubuhku sakit bagai
dihantam palu godam. Awalnya Ibu hanya mengernyit dan memaksaku untuk tetap
bersekolah seenggaknya setengah hari karena memang jam pelajaran pertama aku
ada ulangan. Tapi darimana dia tahu bahwa aku ada ulangan hari ini padahal aku
nggak pernah memberitahukannya. Pasti Ibuku telah melihat buku catatanku! Aku
pun bersikeras untuk tetap nggak mau sekolah dan mengatakan aku nggak bisa
kosentrasi mengerjakan ulangan dalam keadaan begini. Setelah berbagai macam
rengekan yang kukeluarkan, akhirnya Ibu menyerah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia pergi ke
kantornya agak siang karena harus mengurusku terlebih dahulu. Bapak penjaga
meja depan datang ke kamar kami untuk menjenguk sekalian mengatakan bahwa di
penginapan ini terdapat beberapa obat yang mungkin bisa membantu. Ibu berpesan
kepadaku bahwa bapak penjaga meja depan akan menjagaku dan dia juga akan
berusaha pulang cepat kalau semua pekerjaannya beres. Aku mengangguk lemah saja
walau dalam hati menggerutu jengkel.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku bukan
menggerutu jengkel karena Ibu akan berusaha pulang cepat, namun aku menggerutu
karena bapak penjaga meja depan akan datang ke sini untuk menjengukku. Aku
nggak tahu namanya, sebenarnya aku lupa bukan nggak tahu karena dia hanya
mengucapkan namanya sekali dan melihat kumisnya yang tebal membuatku nggak
menyukainya. Lagian aku juga nggak mau minum obat, karena semua ini hanya
kebohongan. Sakit yang hanya kukarang sendiri dan aku merasa sedikit bersalah
pada Ibu karena telah membohonginya. Tapi ini harus kulakukan karena aku harus
punya waktu lebih bersama dengan hantu temanku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Bapak penjaga
meja depan membawakan bubur ayam dan obat untukku dan aku langsung mengatakan
bahwa aku ingin ditinggal sendirian di kamar. “Tapi Ibumu menyuruhku untuk
menjagamu,” katanya agak sedikit kecewa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku
menggeleng. “Nggak usah terlalu menuruti permintaan Ibuku, Pak. Aku bisa
merawat diriku sendiri dan hal yang paling kubutuhkan sekarang ini adalah tidur
dan aku nggak ingin ada seseorang pun di kamar ketika aku tidur.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia terdiam
sebentar dan menaruh bubur ayam dan obat
di meja. Dia berpesan kepadaku untuk makan bubur dan kemudian minum obat
sebelum dia keluar kamar. Aku menghela napas lega dan memanggil teman hantuku.
Dia muncul lebih lama daripada yang kuperkirakan. Kupikir dia akan datang
ketika namanya kupanggil tiga kali, seperti yang sudah-sudah. Tapi sekarang aku
harus memanggilnya tiga kali lipat dari itu. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Ada apa?”
katanya dengan nada sedih. Ternyata kejadian kemarin masih membekas di dalam
hatinya, itupun kalau dia masih punya hati. Seingatku hantu nggak punya hati,
jantung, dan organ tubuh lain. Mereka seperti sebuah wadah kosong yang
membentuk seonggok tubuh, maka daripada itulah mereka nggak bisa disentuh,
dapat melayang dan menembus benda-benda.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Aku punya
kabar baik untukmu,” kataku dengan senyum terkembang, “dari pagi sampai
seenggaknya jam tiga sore nanti, aku punya waktu bebas. Jadi bagaimana kalau
kita mengobrol atau melakukan hal bersama-sama?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia
memandangku heran dan bertanya, “Memangnya kau nggak sekolah?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Nggak,”
jawabku dengan bangga. “Aku membohongi Ibu dengan berpura-pura sakit supaya
bisa punya waktu luang lebih bersamamu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia
memutar-mutar kepalanya seakan-akan lehernya nggak bertulang dan akhirnya
berkata, “Teganya kau membohongi Ibumu, tapi baguslah. Aku memang ingin
menunjukkan sesuatu padamu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Tiba-tiba aku
jadi bersemangat. Pasti sesuatu yang menarik! “Oke, apa itu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia tersenyum,
lebih tepatnya menyeringai dan mengulurkan telapak tangannya padaku. “Pegang
tanganku.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Eh, tapi kau
kan hantu. Aku nggak bisa memegang tanganmu.” Terus terang saja aku
terheran-heran mendengar permintaannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Kalau aku
menginginkannya, kau bisa memegang tanganku. Kami para hantu punya suatu metode
agar dapat tersentuh oleh manusia. Seperti yang sering dilihat di film-film,
hantu dapat berubah menjadi manusia, nah, itu adalah salah satu metode kami
untuk menakut-nakuti manusia. Tapi sayangnya aku belum mempelajarinya, yah
mungkin nanti kalau aku sudah mencapai tingkat keenam.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
“Eh, hantu
punya tingkat-tingkat?” aku nggak pernah tahu bahwa hantu pun punya
tingkatan-tingkatan seperti sekolah. Apa memang ada sekolah khusus hantu? <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Dia
mengangguk. “Tentu saja. Aku baru sampai tingkat ketiga dan metode yang baru
kupelajari hanya sampai dapat merubah salah satu anggota tubuhku menjadi nyata
dan dapat dipegang manusia. Namun, hal yang menarik yang ingin kutunjukkan merupakan
metode tingkat keempat, tapi aku baru saja mempelajarinya beberapa minggu yang
lalu dan aku ingin mencobanya sekarang.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
Aku langsung
bergidik. “Maksudmu aku jadi kelinci percobaan?”</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
TBC...</div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-81021452664373494992012-09-06T05:22:00.002-07:002012-09-06T05:25:45.476-07:00Cerbung : Don't Sleep on the Bed Prolog+Bab 1Another cerita bersambung dariku! Semoga kalian menyukainya!<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-large;">Don’t Sleep On the Bed</span></b><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: x-large;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
—“Each bed has an owner”—<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: large;">Prolog</span></b><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: large;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
SEGALANYA SAMA SAJA.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pernahkah kau berpikir bahwa seharusnya kelebihan itu bisa
menjadi bencana? Bagiku itu memang sudah seharusnya. Suatu kelebihan bisa
menjadi suatu berkah tapi juga bisa menjadi suatu bencana bagi seseorang. Sama
sepertiku yang nampaknya nggak akan pernah ingin memiliki kelebihan ini.
Kelebihan ini menakutkan, pada awalnya. Aku bahkan nggak bisa tidur barang sedetik pun hanya
karena kelebihanku yang kumiliki. Aku nggak mau menyebutnya kelebihan. Mungkin
bisa disebut sebagai semacam kutukan atau apa?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Segala sesuatu itu sama saja bagiku. Kapan pun aku
berpindah, tempat itu memang selalu ada. Itu semua membuatku ingin segera
pergi, mengepak barang dan pindah lagi. Umurku baru sepuluh tahun tapi aku
sudah berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu daerah ke
daerah yang lain, bahkan dari satu provinsi ke provinsi yang lain aku juga
sudah pernah melakukannya. Awalnya aku tinggal di sebuah komplek perumahan di
Jakarta Selatan, tapi aku hanya bertahan selama dua bulan di sana sebelum
akhirnya pindah. Ketika itu umurku adalah lima tahun saat pertama kali aku
menyadari kelebihan yang kumiliki ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sebelumnya aku akan memperkenalkan siapa diriku. Namaku
Bianca Larasati dan seperti yang disebutkan di atas umurku sepuluh tahun. Aku
tinggal hanya berdua dengan Ibuku sedangkan Ayahku meninggal ketika aku berumur
tiga tahun. Aku nggak terlalu ingat sebenarnya karena apa Ayah meninggal karena
ketika itu aku masih sangat kecil. Seingatku Ibu dan keluargaku yang lain
mengatakan Ayah meninggal karena kecelakaan. Dan seperti yang aku bilang di
atas tadi, aku dan Ibuku suka berpindah-pindah. Ini dimulai dari ketika aku
menyadari kelebihan yang kupunya. Awalnya, aku menganggap itu menyenangkan,
tapi sekarang ini mulai mengangguku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Karena aku sering berpindah-pindah, secara langsung aku juga
sering berpindah-pindah sekolah. Aku nggak pernah bertahan di suatu sekolah
selama lebih dari dua bulan, makanya aku nggak pernah punya niat untuk
mendapatkan teman. Lagian aku juga berpikir, kenapa harus punya teman jikalau
hanya untuk dikenal selama dua bulan saja? Sekarang aku bersekolah di sebuah SD
yang dekat dengan komplek perumahanku yang baru di daerah Cengkareng, Jakarta
Barat. Sebelum di sini aku bersekolah di Jawa Timur. Aku merasa benar-benar
nggak betah di sana, dan akhirnya Ibu memutuskan untuk kembali lagi ke Jakarta.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bila dihitung-hitung, aku sudah dua puluh lima kali pindah
rumah dan sekolah. Bayangkan! Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Ibu
untuk sewa rumah dan bayar biaya masuk sekolahku selama itu? Ibu sendiri
awalnya nggak mempercayai kelebihan yang kumiliki, namun sekarang dia
perlahan-lahan mulai sadar walaupun dia berusaha untuk menutup-nutupinya dan
mengatakan bahwa itu semua nggak masuk akal. Tapi sekarang, aku nggak mau
pindah lagi. Aku nggak akan pindah hanya karena kelebihan yang lebih mirip
kutukan ini menghalang-halangiku, membuatku takut dan gelisah setiap saat. Aku
nggak akan lari lagi, mungkin beginilah cara mereka berkomunikasi denganku dan
aku nggak akan terus-menerus menghindari mereka lagi. Mereka ada dimana-mana,
nggak dapat untuk dihindari.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Aku merasakan mereka, mengerti penderitaan mereka, dan
berkomunikasi dengan mereka di satu tempat. Kamarku, lebih tepatnya tempat
tidurku. Bagiku semua tempat tidur itu nggak nyaman, berapapun mahalnya harga
mereka. Seperti saat ini, aku sedang berada di atas tempat tidur baruku yang
dalam penglihatanku, merupakan semua tempat tidur lusuh dengan beberapa bercak
darah di seprainya. Padahal, tempat tidur ini seprainya baru saja diganti baru,
namun tetap saja bekas-bekas pemilik lamanya masih tetap membekas dan nggak
akan mau hilang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: large;">Bab 1</span></b><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: large;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span class="Apple-style-span" style="font-size: large;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal">
IBU MEMBELI SEBUAH RUMAH YANG LUAR BIASA BESAR.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Rumah ini seperti sebuah villa berhantu. Keadaannya begitu
sangat nggak terurus dan catnya sudah jelek. Walaupun memang Ibu membeli rumah
ini dengan harga yang sepadan, entah berapa yang jelas harganya murah. Penjaga
rumah ini, Pak Kasim, tapi aku lebih suka memanggilnya Paman Bibir Tebal karena
memang bibirnya tebal, dan tentu saja aku nggak akan langsung mengatakan hal
itu terus terang kepada Pak Kasim ataupun Ibu kalau nggak mau dipukul dan
dikurung di kamar seharian. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Aku benar-benar nggak mengerti apa istimewanya dari rumah
ini, namun memang rumah ini sangat besar. Ada banyak lukisan di setiap
dindingnya, membuatku sedikit merinding juga. Lukisan-lukisan itu bentuknya
besar-besar dan aneh-aneh, tapi aku suka salah satu lukisan abstrak yang
digantung di ruang makan. Paman Bibir Tebal bilang bahwa pemilik terdahulu dari
rumah ini memang seorang kolektor lukisan dan sebagian dari koleksinya sudah
dijual dan sebagian lagi masih bertahan di rumah ini. Kebanyakan dari lukisan
itu sudah bersemayam di dalam gudang. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Kamarku terletak di lantai dua, berdekatan dengan kamar Ibu.
Itu memang sudah menjadi tradisi kayaknya, karena itu pulalah Ibu selalu
berusaha untuk mendapatkan rumah dengan dua kamar yang saling berdekatan.
Malahan Ibu berniat memintaku untuk tidur satu kamar dengannya, jelas-jelas
kutolak dengan alasan aku mau tidur sendirian. Hal pertama yang kurasakan ketika
memasuki kamarku adalah mual dan bersin-bersin. Kamar ini benar-benar pengap
dan berdebu. Meja belajar di ujung sana nampaknya sudah ditutupi debu setebal
tiga senti dan bau aneh dan nggak enak menusuk indera penciumanku. Bau apa sih
ini?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Ini dulunya kamar Nona Claudia. Dia seumuran denganmu pada
waktu itu dan dia sangat pintar melukis,” ujar Paman Bibir Tebal ceria, “dia
sering memenangkan perlombaan melukis.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Itu sekitar tahun berapa ya?” tanyaku ingin tahu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Sekitar tahun 1988, 23 tahun yang lalu. Nona Claudia, dia
meninggal di usia yang masih sangat muda, 12 tahun.” Paman Bibir Tebal
menundukkan kepalanya. “Ketika itu saya baru bekerja di rumah ini selama 6
bulan, tapi tetap saja kematian Nona Claudia membawa kesedihan keseluruh
keluarga.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Kasihan sekali anak itu.” Ibuku menggeleng-gelengkan
kepala. “Apa sebabnya dia meninggal?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Kematian mendadak,” jelas Paman Bibir Tebal, kemudian dia
terlihat merenung sejenak, “maksud saya, dia ditemukan sudah meninggal pagi
harinya di atas tempat tidurnya. Padahal malam sebelumnya dia masih baik-baik
saja. Kami semua menyebutnya kematian mendadak.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Benar-benar kasihan.” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya
lagi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Seenggaknya kematiannya nggak menyusahkan orang-orang,”
kataku asal saja yang membuat Ibu melotot kepadaku, namun aku nggak peduli dan
berkata lagi, “dia mati dengan tenang.” <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Mari kita lihat kamar Anda, Bu.” Paman Bibir Tebal dan Ibu
pergi ke kamar di sebelah kamarku, sedangkan aku masih terpaku di dalam kamar
pengap ini. Tempat tidur di sini kecil, hanya cukup untuk satu orang dan
diletakkan di dekat jendela, sehingga memungkinkan untuk melihat pemandangan di
luar. Nampaknya, sejauh ini baik-baik saja. Nggak ada bisikan-bisikan aneh,
angin dingin yang tiba-tiba berhembus, bayangan-bayangan yang datang tiba-tiba,
atau malah penampakkan hantu-hantu penunggu. Aku berjalan pelan-pelan dan
hati-hati menuju tempat tidur itu seakan-akan lantai ini dipenuhi ranjau dan
akan sangat berbahaya apabila sampai salah melangkah. Aku menaiki tempat tidur
itu dan memandangi pemandangan di luar melalui jendela berdebu. Ternyata
jendela ini mengarahkanku ke taman belakang rumah yang terdapat sebuah pohon
besar dengan daunnya yang berserakan dimana-mana.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Aku segera turun dari tempat tidur dan menghampiri Ibu dan
Paman Bibir Tebal di kamar sebelah. Kamar yang akan ditempati Ibu berukuran
lebih besar dari kamarku dengan tempat tidur berukuran besar. Aku memandangi
tempat tidur itu cukup lama, sampai aku melihat sebentuk bayangan, entahlah,
seperti bayangan seorang wanita yang mungkin berumur 35 tahunan dalam balutan
gaun tidur warna biru muda yang agak transparan. Aku ingin mengucapkan ‘hai’
pada hantu pertama yang aku jumpai di rumah ini, tapi teringat bahwa Ibu dan
Paman Bibir Tebal masih ada di kamar ini. Hantu wanita itu melihatku dan
melambaikan tangannya, seakan-akan mengisyaratkan selamat datang. Sepertinya
dia hantu yang baik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Nah, kami akan kembali ke sini tiga hari lagi,” ujar Ibu
sambil mengamit lenganku dan kami pun berjalan keluar kamar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Ya, saya yakin rumah ini akan bersih dan tertata rapi lagi
setelah Anda kembali kemari.” Paman Bibir Tebal tersenyum. “Kami juga akan
mengganti catnya sesuai keinginan Anda, Bu.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Ibuku mengangguk dan tersenyum.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Setelah kami meninggalkan rumah itu, di sepanjang perjalanan
menuju penginapan tempat kami menginap selama hampir seminggu ini, aku memulai
percakapan dengan Ibu, “Eh, Ibu tahu nggak kalau penunggu tempat tidur Ibu itu
adalah seorang wanita sebaya Ibu yang nampaknya baik hati. Mungkin dia akan menyilahkan
Ibu untuk tidur tenang di tempat tidurnya. Nggak seperti penunggu tempat tidur
Ibu sebelum-sebelumnya yang membuat Ibu nggak pernah tidur dengan nyaman.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Jangan mulai lagi deh!” kata Ibuku dengan nada cukup tinggi
sambil terus berkosentrasi menyetir. “Ibu bukannya nggak bisa tidur tenang
karena hantu-hantu yang kau bicarakan itu! Sama sekali nggak masuk akal!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Tapi bagaimana Ibu bisa menjelaskan tentang telapak kaki
Ibu yang serasa digelitik-gelitik? Atau rumah kita sebelumnya ketika Ibu bilang
bahwa setiap pagi punggung Ibu terasa sakit dan nyeri? Itu semua karena hantu
penunggu tempat tidur Ibu adalah hantu pelit yang nggak mau membagi tempat
mereka kepada orang lain!” ujarku berapi-api walau pun sudah sangat jelas Ibu
tetap nggak akan percaya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Kan Ibu sudah pernah bilang kepadamu bahwa karena Ibu
kelelahan bekerja!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Tapi pekerjaan Ibu kan bukan menjadi kuli angkut! Pekerjaan
Ibu itu di ruangan ber-AC dan duduk-duduk terus sambil menandatangani berbagai
macam kertas nggak jelas yang jelas-jelas nggak ada hubungannya dengan sakit
pinggang!” kataku masih tetap ngotot.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
“Sudahlah! Capek ngomong ama kamu.” Ibu membanting setirnya
ke kanan. “Bisa nggak menceritakan hal yang lain?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Aku ingin protes lagi, tapi segera menutup mulutku kalau
nggak mau dikirim ke psikiater oleh Ibu. Seterusnya perjalanan ke penginapan
diisi dengan diam.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
TBC...</div>
<br />
<br />
<br />Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-59494005621578700472012-09-05T07:08:00.000-07:002012-09-05T07:08:05.872-07:00Cerbung : The Library Bab 1<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-size: 26.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">The </span><span lang="IN" style="font-size: 26.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">L</span><span style="font-size: 26.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">ibrary<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<span style="font-size: 26.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
</div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right;">
<b>Bab I<o:p></o:p></b></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b>May, 20-2005<o:p></o:p></b></div>
<div>
<table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0" hspace="0" vspace="0">
<tbody>
<tr>
<td align="left" style="padding-bottom: 0cm; padding-left: 0cm; padding-right: 0cm; padding-top: 0cm;" valign="top">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 62.05pt; mso-element-anchor-horizontal: column; mso-element-anchor-vertical: paragraph; mso-element-linespan: 3; mso-element-wrap: around; mso-element: dropcap-dropped; mso-height-rule: exactly; mso-line-height-rule: exactly; page-break-after: avoid; text-align: justify; text-indent: 9.0pt; vertical-align: baseline;">
<span style="font-size: 76.5pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt; mso-text-raise: -3.0pt;">M<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
r. Lawrence
menepuk-nepuk kepala bocah lelaki yang berada di sampingnya. Bocah lelaki itu
merapatkan mantelnya dan melihat ke depan. Dia memandang Mr. Lawrence dengan
bingung, lalu kembali melihat rumah di depannya. Rumah itu tidak besar. Bertingkat
dua, dengan banyak jendela dan satu pintu yang terbuat dari kayu jati. Rumah
ini berdinding bata yang sudah berlumut dan ditumbuhi tumbuhan menjalar.
Pekarangan rumahnya cukup luas dengan banyak bebatuan yang bertebaran di
sana-sini. Sebuah pohon besar berdiri kokoh di sana. Akarnya menjalar
kemana-kemana dan sulur-sulurnya mencapai tanah. Intinya rumah ini sudah
bertahun-tahun ditinggal penghuninya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Bocah itu kembali memandangi Mr. Lawrence seperti meminta sebuah penjelasan,
tapi Mr. Lawrence hanya tersenyum. Dia mengajak bocah itu masuk ke dalam.
“Bagaimana pendapatmu?” Tanya Mr. Lawrence sambil meletakkan mantelnya di
gantungan di dekat pintu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Orang yang ditanya tidak menjawab. Dia malah sibuk memperhatikan seisi
rumah itu. Dindingnya berwarna abu-abu dan penuh dengan coret-coretan tidak
jelas, lantainya seperti papan catur, perabotan di sana sudah usang dan
berdebu, tangga untuk menuju ke lantai dua juga terlihat lapuk. “Menurutmu apa
pendapatku?” anak itu malah bertanya balik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“<i>Well,</i> cukup baik.” Mr.
Lawrence ikut memperhatikan seisi rumah tersebut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
‘Cukup baik katanya?’ anak itu berdecak kesal dalam hati. Dia mendekati
sebuah <i>grand piano </i>yang terletak di
sudut ruangan. Piano itu ditutupi debu dan sarang laba-laba. Anak itu mencoba
untuk menekan tuts-tutsnya. Suara yang keluar dari piano itu masih terdengar
jernih walaupun anak itu yakin piano ini sudah lama bertengger di sini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Ayo, Matthew, kutunjukkan kamarmu,” ujar Mr. Lawrence sambil melambaikan
tangannya ke arah Matthew yang masih sibuk dengan piano itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Matthew hanya mengangguk dan mengikuti Mr. Lawrence menaiki tangga.
Anak-anak tangga itu berdenyit ketika dipijak, membuat Matthew mengernyitkan
dahinya. Mereka akhirnya sampai di kamar Matthew. “Nah, ini kamarmu.” Mr.
Lawrence membuka pintu dan terlihatlah ruangan yang sangat sederhana tapi
setidaknya lebih bersih daripada ruangan di bawah tadi. Kamarnya memang tidak
sebesar kamarnya yang dulu, di kamar ini hanya ada tempat tidur <i>single,</i> satu lemari pakaian, dan satu
meja belajar. Matthew membuka tirai yang menutupi jendela dan melihat
pemandangan di luar. Entah ini perasaan Matthew saja atau memang pekarangan
rumah ini jadi lebih besar dari sebelumnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Bagaimana dengan kamar barumu, Matthew? Semoga kau betah ya.” Mr.
Lawrence mengelus-ngelus rambut coklat Matthew. “Oh ya, kamar mandinya ada di
ujung lantai dua ini. Kau bisa turun ke bawah untuk mengambil makanan, oke?”
Mr. Lawrence melepaskan tangannya dari puncak kepala Matthew. “Aku mau pergi
dulu.” Dia berjalan keluar dari kamar Matthew.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Setelah Mr. Lawrence pergi, Matthew mengambil kopernya dan mengeluarkan
semua bajunya. Dia membuka lemari dan langsung bersin-bersin karena debu yang
bertumpuk di sana. Matthew benar-benar heran kenapa Mr. Lawrence membawanya ke
sini, kenapa tidak ke panti asuhan saja? Matthew menutup lagi lemari itu dan
menjatuhkan dirinya di kasur.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Awww!” Matthew mengeluh sakit karena kasur itu begitu keras seakan dia
terjatuh di atas tumpukkan besi. “Kenapa kasurnya keras sekali? Ini sama saja
dengan tidur di atas dipan!” dia turun dari kasur itu dan berjalan keluar
kamar. Setelah membuka pintu, Matthew langsung terpeleset.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Uh-oh! Apa lagi ini?” Matthew memperhatikan cairan bening yang membasahi
lantai. “Sial! Siapa yang menumpahkan air putih disini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Itu aku!” suara seorang anak lelaki bergema di sepanjang koridor.
“Makanya kau jangan ceroboh!” sambungnya lagi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Si, siapa kau?” Tanya Matthew sembari berdiri, “kenapa aku cuma bisa
mendengar suaramu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Sesaat Matthew berpikir bahwa dia pasti mengigau, tapi suara itu
terdengar lagi, “Tentu saja. Aku tidak kelihatan oleh mata manusia biasa!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Matthew mendadak menjadi takut. “Kau, kau hantu ya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Bukan!” suara itu kembali bergema, lebih keras daripada sebelumnya. “Aku
dulu tinggal di sini, dan pada suatu malam aku menghilang begitu saja. Aku
tidak bisa melihat tubuhku sendiri begitu pula orang tidak dapat melihatku,
tapi aku bisa melihatmu dan pemandangan di sekitarku. Aku masih bisa menyentuh
benda-benda, tapi aku tidak bisa makan dan juga minum!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Sudah berapa lama kau di sini?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Aku sudah berada di sini semenjak tahun 1920!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Mata Matthew terbelalak sempurna mendengar jawaban anak tidak kelihatan
itu. “Sembilan belas dua puluh? Kau tidak bercanda kan? Berarti kau sudah lama
sekali berada di sini!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Suara itu hilang lagi untuk beberapa saat sehingga Matthew berpikir bahwa
mungkin anak tidak kelihatan tersebut sudah pergi, namun suaranya kembali
bergema. Kali ini dengan nada sedih, “Ironis sekali ya? Ngomong-ngomong
sekarang tahun berapa?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Matthew jadi tidak enak untuk menyebut sekarang tahun berapa. Pasti
kesedihan anak itu akan semakin mendalam kalau dia tahu bahwa dia benar-benar
sudah lama menjadi manusia tidak kelihatan seperti itu. Dan yang mengganjal
pikiran Matthew adalah, kenapa anak itu belum meninggal? Walau mungkin dia
ditakdirkan untuk berumur panjang, tapi pasti dia sekarang sudah sangat tua.
Jelas sekali bahwa suara yang didengar Matthew adalah suara anak-anak yang
mungkin sebaya dengannya. Aneh, benar-benar aneh.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Kenapa kau tidak menjawab?” suara itu bertanya dan terdengar kesal.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Maaf, tapi sekarang sudah tahun 2005. Apa kau yakin kau berada di sini
sejak tahun 1920?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Koridor kembali hening kemudian disusul teriakan. “Matilah aku! Matilah
aku!” anak itu benar-benar terdengar panik sekarang, “Aku sangat kesepian di
sini! Kau adalah orang yang pertama kali aku ajak bicara. Waktu itu terlalu
cepat berjalan!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Aku sebenarnya kasihan padamu, tapi ada satu yang mengganjal.” Matthew
terdiam sebentar. “Kau sebenarnya manusia biasa kan? Tapi kau hidup begitu lama
dan dari suaramu sepertinya kau masih sebaya denganku. Itu kedengarannya tidak
mungkin!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Aku tanpa sengaja memakan Buah Keabadian. Jadi karena buah itu aku tidak
akan pernah bertambah tua dan tidak akan pernah mati. Tapi itu juga tidak ada
gunanya kan? Aku toh, tidak kelihatan dan kesepian.” Suara itu semakin memelan
dan pelan kemudian terdengar suara yang lain dari ujung koridor. Seperti suara
pintu dibanting dan langkah-langkah yang terburu-buru.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Anak itu nampaknya sudah pergi.<o:p></o:p></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Malam harinya, Mr. Lawrence pulang dengan membawa dua kotak pizza.
Matthew tidak makan banyak malam itu dan Mr. Lawrence nampaknya juga tidak
mempermasalahkannya. Setelah makan, mereka berdua duduk-duduk di depan televisi
mencari siaran bagus tapi tak menemukan satu pun. Matthew ingin sekali
menanyakan perihal apakah Mr. Lawrence pernah mendengar suara-suara aneh di
rumah ini, tapi segera mengurungkan niatnya ketika melihat wajah lelah lelaki
itu. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Jam berapakah kau biasanya tidur, Sir Law?” Matthew memberikan panggilan
itu beberapa menit setelah mereka menyelesaikan makan malam mereka.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Mr. Lawrence mengalihkan perhatiannya dari layar TV. “Apa itu sebuah
pertanyaan penting? Orang dewasa bisa tidur kapan saja mereka mau.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Tapi kalian para orang dewasa selalu tidur di atas jam dua belas malam,”
ujar Matthew tertawa geli sendiri mendengar perkataannya. “Bolehkan
sekali-sekali aku tidur di atas jam dua belas?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Pertanyaan itu membuat Mr. Lawrence terdiam sebentar. “Boleh saja, namun
anak-anak itu seperti sudah diatur jam tidurnya. Mereka tidak akan bisa tidak
tidur di atas jam sepuluh.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Bisa saja,” tantang Matthew. “Aku akan tidur di atas jam dua belas!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Mr. Lawrence hanya tertawa kecil saja menanggapinya. “Memangnya ada apa
sih? Aku tidak mau besok kau bangun terlambat. Besok ada obral baju anak-anak
di sebuah toko dan itu dilaksanakan pagi-pagi sekali. Kalau kita tidak datang
cepat-cepat, bisa-bisa tidak dapat baju yang murah.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Matthew mengangguk-ngangguk seperti burung pelatuk yang mematuk-matuk
batang pohon. “Aku akan bangun jam enam pagi!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Nggak usah sepagi itu,” ujar Mr. Lawrence sambil tersenyum. “Obralnya
dimulai jam sembilan kok.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Kalau begitu aku bangun jam setengah delapan saja,” ujar Matthew asal
kemudian dia bangkit dari sofa. “Mau ke kamar, selamat malam Sir Law!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Selamat malam Matthew!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Dengan langkah kaki yang lincah, Matthew menaiki tangga dan masuk ke
kamarnya. Sesampainya di kamar, dia mengambil sebuah buku dari balik bantalnya
dan menulis sesuatu di situ:<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
20 Mei 2005<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Hari ini aku pindah ke rumah Mr. Lawrence dan rumah ini sangat aneh dan
juga berkesan angker. Kata Mr. Law ketika kami makan malam, pemilik awal rumah
ini adalah seorang konglomerat dari abad ke-19, namanya George Martino. Rumah
besar ini dibangun pada tahun 1823 dan kemudian diwariskan kepada buyut Sir
Law, Martin Hookman. Tapi rumah ini pernah disewakan kepada seorang bankir
sebagai tempat untuk menikmati musim panas mereka sekitar tahun 1920-an. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Ngomong-ngomong soal tahun itu, tadi siang aku mendengar suara seorang
anak. Anak itu tidak kelihatan dan dia juga tidak bertambah tua dan bisa hidup
abadi karena memakan Buah Keabadian. Aku lupa menanyakan siapa nama anak itu,
karena anak itu terlalu cepat menghilang. Menurut pengakuannya, dia sudah
berada di rumah ini sejak tahun 1920. Apa dia anak bankir itu? <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Aku belum sempat menjelajahi seluruh ruangan dari rumah berlantai tiga
ini. Rumah ini sangat besar dan memiliki banyak kamar. Siapa tahu aku bisa
menemukan sebuah rahasia atau mungkin harta karun? Hehehehe….<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Oh ya, aku bertanya-tanya, apa bisa aku ketemu sama anak tidak kelihatan
itu lagi?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
Matthew<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Matthew menutup buku catatannya, dan kembali menyelipkan buku itu di
bawah bantal dan bersiap hendak tidur, ketika bunyi berderit dari pintu tua
kamarnya yang menandakan ada seseorang yang membukanya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Sir Law?” secara otomatis Matthew memanggil
orang tua itu karena mereka memang hanya tinggal berdua di rumah itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Tidak ada jawaban dari balik pintu
dan pintu itu menutup dengan sendirinya. Lalu terdengar langkah kaki yang
berjalan mendekati Matthew. Anak itu langsung menyembunyikan dirinya di dalam
selimut. Dia bisa merasakan sesuatu itu semakin dekat dan sekarang sudah berada
di sampingnya. Bunyi suara napas yang teratur memasuki indera pendengarannya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Hei!” selimut Matthew disentakkan keras-keras dan rambutnya serasa
ditarik kebelakang oleh sesuatu yang tidak tampak.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Matthew menjerit kesakitan dan terjatuh dari tempat tidur. Selimutnya
melayang sendiri dan memerangkap Matthew, membuat anak itu meronta-ronta
sendiri. Selimut itu terlepas dan dengan cepat Matthew menginjak-nginjaknya.
Setelah yakin bahwa selimut itu tidak bergerak lagi, dia mengambil selimut itu
dan melipatnya kemudian ditaruh di samping tempat tidurnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Selimut hantu!” ujarnya kepada selimut itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Tidak, tidak, itu bukan selimut hantu!” sebuah suara muncul entah
darimana disusul dengan serangkaian tawa khas anak kecil.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Matthew sepertinya mengenal suara ini. Ini kan suara anak kecil itu. Anak
kecil yang tidak kelihatan itu! “Kau kan yang tadi!” pekiknya tapi langsung
menutup mulut ketika teringat bahwa Sir Law mungkin bisa mendengar pekikannya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Ya! Aku senang sekali akhirnya aku punya teman yang bisa untuk
dijahili!” dia tertawa keras lagi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Sssttt!!!” Matthew memperingatkan, “suaramu bisa kedengaran oleh Sir Law!”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Tidak, dia tidak akan mendengar suaraku. Hanya anak-anak yang dapat
mendengar suaraku,” ujarnya sambil menahan tawa. “Lagian Matthew…,”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Darimana kau tahu namaku?” potong Matthew.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Kau kan tadi sudah memberitahukan namamu,” jawabnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Oh ya, ngomong-ngomong soal nama, kau belum memperkenalkan dirimu. Kau
tadi keburu histeris jadi aku belum sempat menanyakannya.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Benar juga.” Tempat tidur Matthew berderik pelan. Mungkin anak tidak
kelihatan ini sedang duduk di sana. “Namaku Lucas Harryfield. Pada tahun 1920,
aku dan orang tuaku menginap di rumah ini selama musim panas.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Eh, jangan-jangan kamu adalah anak bankir itu ya?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Benar, darimana kamu tahu?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Sir Law yang memberitahukanku. Rumah ini adalah milik kakek buyutnya,
tapi awalnya pemilik rumah ini adalah seorang konglomerat bernama George
Martino.” Matthew duduk di tepi kasurnya. Dia merasa aneh karena berbicara
dengan sesuatu yang tak tampak. Bagaimana kalau Sir Law masuk dan menemukannya
berbicara sendiri? Dia pasti langsung dikirim ke psikiater.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
“Ya, ayahku juga pernah menceritakannya. Matthew, aku sangat sedih sekali
ternyata aku telah tak tampak begitu lama. Sudah 85 tahun aku terkurung di
rumah ini tanpa ada satupun orang yang bisa kuajak bercakap-cakap. Lelaki
bernama Sir Law itu sangat jarang datang kemari dan dia masih bujangan, tidak
punya istri dan anak. Lagian ini hanyalah sebuah rumah tua yang besar, yang
menyimpan begitu banyak kamar rahasia.”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
Ketika mendengar kamar rahasia disebutkan, telinga Matthew langsung
tegak. “Kau bilang banyak kamar rahasia?”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">“Memangnya kenapa kalau di
rumah ini banyak kamar rahasia?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">Senyum Matthew terkembang
begitu lebar di wajahnya. “Aku punya banyak waktu untuk menjelajah rumah ini!
Aku suka kamar rahasia!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">Sebuah suara helaan napas, dan
Lucas kembali berbicara, “Kau tidak akan menemukannya!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">“Eh, kenapa kau berpikir
seperti itu?” tanya Matthew antara penasaran dan jengkel karena merasa
direndahkan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">“Karena mereka tersembunyi!
Tidak perlu buang-buang waktu hanya untuk mencari kamar rahasia!” jawab Lucas.
“Lagian, kau tidak akan senang dengan apa yang akan kau temukan!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">Matthew mengerutkan kening,
tetapi dia yakin pasti ada sesuatu tersembunyi di rumah ini. Kalau tidak,
kenapa Lucas terlihat sedikit gelisah dan gugup ketika dia berkata seperti itu
tadi. Benar! Pasti ada sesuatu! “Aku tidak peduli apa katamu! Kau kan tidak
bisa melarangku!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">Terdengar suara helaan napas
lagi. “Dengar ya, anak bandel!” suara Lucas meninggi dan Matthew meringis sakit
karena anak yang tak tampak itu menjewer telinganya. “Aku sudah memperingatkanmu!
Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">“Memangnya, apa sih yang kau
coba sembunyikan?” tanya Matthew sambil mengusap-ngusap kupingnya yang terasa
perih.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">“Tidak ada yang kusembunyikan.
Tetapi berhentilah bersikap sok ingin tahu semua hal!” Lucas lagi-lagi menghela
napas, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kemudian kamar Matthew berubah
menjadi hening, sepertinya Lucas pergi meninggalkannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="IN">Matthew berbaring di tempat
tidurnya dan tersenyum senang. <i>kamar
rahasia, aku datang!</i> Ternyata dia masih tetap pada pendiriannya untuk
mencari apa pun yang menjadi rahasia di rumah barunya ini.<o:p></o:p></span></div>
<br />
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-698707982266381340.post-18265852143492464962012-09-05T06:58:00.001-07:002012-09-05T06:58:39.636-07:00Cerpen : Jiwa-jiwa Yang Terlupakan<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 18.0pt; line-height: 200%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Jiwa-jiwa Yang Terlupakan<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Aku
selalu mengingat-ingat saat-saat yang paling menyedihkan dalam hidup. Tidak ada
yang bisa kulakukan selain menambah kesedihan di dalam hati ini. Aku jadi
teringat akan Greta yang rasanya baru beberapa menit yang lalu berdiri di
depanku dengan senyumannya yang bagaikan malaikat itu, namun sekarang semuanya
terasa hampa. Senyuman Greta yang kurindukan begitu dingin sekarang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sepulang
sekolah waktu itu, hujan turun dengan lebatnya. Dan aku melihatnya, Greta,
gadis yang selama ini selalu menghantui pikiranku dengan senyum malaikatnya,
sedang berteduh di salah satu ruko. Kudatangi dia dengan payung yang kubawa,
dan ketika jarak kami telah dekat, senyum malaikat itu tergantikan dengan
senyum sedingin es. Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa perubahannya bisa
secepat ini. Tapi sekarang aku tahu, Greta telah meninggal. Tepat dua minggu
setelah kami saling berkenalan dan menjadi teman akrab.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sehelai
surat tiba begitu saja di kamarku malam itu. Hal yang mengejutkanku tentang
surat itu adalah nama Greta yang tertulis sebagai pengirimnya. Apa ini? Apakah
hanya sebuah lelucon saja? Greta telah tiada, gadis yang bahkan belum sempat
kuberitahu betapa aku sangat menyanyanginya, sekarang mengirimiku sepucuk
surat. Dengan rasa penasaran yang tinggi, kubuka amplop itu dan kubaca isinya:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Abraham sayang,<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Ini mungkin tidak
pantas kuutarakan padamu, tetapi aku butuh bantuanmu. Tolonglah aku, tidak,
maksudku kami, jiwa-jiwa yang hilang, tersesat di belantara kegelapan dunia.
Buatlah sebuah hari dimana kami akan diingat. Kami adalah jiwa-jiwa yang
terlupakan.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Salam, Greta<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Aku
tertegun membaca surat itu. Tubuhku berubah kaku bagaikan patung. Tidak mungkin
ini adalah surat dari Greta. Dia sudah meninggal, dia tidak mungkin menulis
surat ini. Pasti ada orang iseng yang menulisnya! Aku meremuk surat itu dan
membuangnya ke tong sampah. Merasa kesal, aku mencoba berbaring di kasurku,
tidak menghiraukan pekerjaan rumah yang menumpuk. Tetapi kenapa isi surat itu
terngiang-ngiang terus di kepalaku? Entah kenapa sebagian hatiku mempercayai bahwa
surat itu memang dari Greta. Dulu, ketika dia masih hidup, aku telah berjanji
kepadanya bahwa aku akan selalu menolongnya, tapi sekarang, dengan datangnya
surat misterius ini, aku membayangkan Greta memanggil namaku dari dalam kubur.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Bagaimanakah
caranya menolong jiwa-jiwa yang hilang itu? Aku teringat surat Greta mengenai
jiwa-jiwa hilang yang terlupakan. Buatlah hari dimana mereka semua akan selalu
diingat. Itu mustahil sekali. Namun janjiku kepada Greta tetap harus kutepati
walau dia sudah mati dan berbeda alam denganku. Haruskah kuminta tolong kepada
paranormal? Kupandangi mega yang menghiasi langit biru pagi ini, mengharapkan
ada sesuatu yang dapat memberikanku petunjuk. Tetapi aku tahu bahwa tidak akan
ada petunjuk untukku satu pun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Tiba-tiba
langit biru yang sedari tadi kupandangi berubah menjadi mendung. Rintik-rintik
hujan mulai membasahi bumi dengan begitu cepat, tidak memperdulikan orang-orang
yang berlari mencari perlindungan dari guyuran hujan. Langit begitu cerah tadi,
tetapi sekarang, hujan lebat, aku jadi teringat akan Greta. Pertemuan pertama
kami juga terjadi di saat hujan lebat seperti ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Apakah
kau merindukanku Bram?” sebuah suara yang familiar di telingaku tiba-tiba
hadir. Kutoleh kepalaku memandangi kesekeliling kamar, namun tidak kutemukan
siapa-siapa. “Apakah kau sudah menerima suratku?” Ya Tuhan, itu suara Greta!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Gret?
Apakah itu kau?” tanyaku antara takut dan penasaran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Oh,
tentu saja Bram. Aku ada di sini, tetapi kau tidak bisa melihatku. Apakah kau
membantuku Bram? Membantuku dan teman-temanku di sini mencari jalan pulang?
Kami sangat takut berada di kegelapan tidak berujung ini! Tolonglah aku Bram!”
suara Greta terdengar menggema. Aku tahu secara tidak sadar bahwa aku sedang
berkomunikasi dengan arwah Greta, tetapi aku ingin melihat wajahnya! <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Aku
tidak tahu bagaimana harus menolongmu, Gret. Percayalah aku akan menepati
janji, aku akan membantumu. Tetapi, aku hanyalah manusia biasa dan aku tidak
mempunyai kekuatan untuk menolongmu!” setelah mengatakan itu aku bisa mendengar
suara sedu tangis yang memilukan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Tidak
bisakah kau mengusahakannya? Aku telah memberimu petunjuk di surat itu. Kenapa
kami tidak diingat? Karena kami adalah jiwa-jiwa tersesat yang terlupakan! Aku
mohon, kau sudah berjanji!” Suara Greta semakin mengecil dan sampai akhirnya
tidak terdengar lagi. Suara sedu tangis itu pun menghilang bersamanya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Aku
terduduk di tepi ranjang, merasa bersalah dalam segala hal. Greta terlihat
sangat menderita, bisa kurasakan penderitaan itu melalui alunan suaranya, dan isak
tangis tadi, rasanya banyak sekali yang menangis di kamarku. Jiwa-jiwa yang
tersesat, yang terlupakan. Hujan lebat tadi tiba-tiba berhenti, begitu pula
dengan awan mendung yang menutupi langit biru. Hari kembali cerah, secerah
sebelum roh Greta mendatangiku.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Kurasa
kau sedang berkhayal,” ujar temanku, Andi, pada suatu hari di sekolah. Dia
masih saja tidak percaya walau aku sudah memberikannya surat dari Greta yang
misterius itu. Tetapi yang dia lakukan hanya menggeleng dan aku yakin dia
menertawakanku dalam hati karena percaya begitu saja kepada surat itu. “Ada
banyak orang iseng di luar sana. Lagian kenapa sih kau terlalu memikirkan gadis
itu? Kalian kan baru saja berteman selama dua minggu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Kau
tidak tahu saja. Dua minggu sudah cukup bagiku untuk merasa bahwa aku sudah
mengenal Greta hampir seumur hidupku. Senyuman malaikatnya itu..., itu adalah
hal yang sangat susah untuk dilupakan. Tapi sekarangnya sudah berubah, dia
sudah meninggal dunia.” Aku menundukkan kepalaku kemudian menoleh ke arah kaca
jendela hanya untuk menyaksikan anak-anak lain bermain basket.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“Ya,
terserah kau sajalah. Yang jelas, semua ini sama sekali tidak masuk akal!”<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kutemukan
sesuatu yang berbeda setelah aku menerima surat dari Greta seminggu yang lalu.
Aku merasakan ada sesuatu yang membuntutiku, sesuatu yang tak tampak. Setelah
seminggu kutelantarkan surat dari Greta, aku berniat untuk membacanya sekali
lagi dan kusadari sudah ada yang berbeda di surat itu. Semua tulisan yang ada
di dalam kertas itu telah menghilang menyisakan lembar putih kosong.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Apa
yang terjadi? Apa mungkin huruf-huruf itu telah jatuh dan bertebaran dibawa
angin? Tidak, tidak mungkin. Kuambil amplop pembungkus surat ini, namun yang
kutemukan bernasib sama dengan surat itu. Tidak ada sama sekali nama pengirimnya,
tidak seperti ketika pertama kali aku membaca nama Greta tertulis di atasnya.
Sekarang aku benar-benar merasa bahwa aku tidak pernah menerima surat dari
Greta. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Mungkin
yang dikatakan oleh Andi benar, semuanya memang tidak masuk akal. Mungkin seminggu
ini aku hanya berhalusinasi, berhalusinasi buruk tentang Greta. Kalau memang
benar, betapa melegakannya hal ini. tidak ada yang namanya surat dari orang
yang telah meninggal, tidak ada jiwa-jiwa tersesat yang meminta sebuah hari
untuk mengingat mereka, itu semua hanya halusinasiku!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Namun
ternyata halusinasiku harus kembali kukikis habis dua hari berikutnya. Sesuatu
yang selama ini mengikutiku, mulai menampakkan wujudnya. Ternyata yang selama
ini mengikutiku adalah Greta. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menjelaskan
semua ini, tetapi aku dapat melihat wujud Greta lagi. Memang banyak yang
berubah darinya, dan yang paling membuatku kecewa adalah senyuman malaikatnya
telah tergantikan dengan senyuman sedingin es di kutub. “Nampaknya kau
melanggar janjimu untuk kali ini, Bram,” ujarnya dingin. “Kau tidak mau
membantu kami.” Sekarang suaranya berubah menjadi sendu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Jadi
akhirnya kami kembali lagi ke pokok permasalahan awal? Janji itu, entah kenapa
sekarang begitu menyebalkan bagiku. Kenapa aku harus berjanji seperti itu
kepadanya? Dan pemikiran seperti itu langsung tertepis oleh perasaan yang telah
lama kupendam. Aku memang harus menepati janji itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Greta
menghilang bagai ditelan angin. Sepertinya dia kecewa sekali denganku. Kuambil
lagi surat dari Greta yang huruf-hurufnya telah hilang itu. Oke, sekarang aku
benar-benar takut. Surat itu sekarang sudah ditulis lagi, tapi dengan isi yang
lain dari seminggu lebih yang lalu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Abraham sayang,<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Aku tahu bahwa kau
tidak mendapatkan cara sama sekali untuk membantu kami, para jiwa yang hilang,
para jiwa yang terlupakan. Namun, aku tahu kau akan menepati janjimu padaku.
Buatlah orang-orang kembali mengingat kami, Abraham. Hari dimana kau berhasil
mengingatkan mereka akan kami, itulah dimana hari dimana kami akan diingat.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Salam, Greta<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Begitukah
semua artinya ini? Greta, kau dan semua jiwa-jiwa yang hilang, tidak, kalian
semua salah. Kalian merasa tidak ada lagi yang mengingat kalian, di masa hidup
kalian, kalian adalah orang-orang yang terabaikan. Orang-orang yang merasa
selalu dilupakan, terbuang dalam dunia kegelapan yang kalian ciptakan sendiri.
Begitulah kesanku pada saat pertama kali bertemu Greta ketika kami berteduh di
salah satu atap ruko karena hujan yang mengguyur lebat. Dia adalah seorang
gadis pemurung, tidak terlalu banyak bicara, tetapi sebenarnya dia mempunyai
hati yang lembut dan senyum yang menawan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dia
merasa selalu menjadi yang tersisihkan di keluarganya. Keluarganya berantakan,
ayahnya menikah lagi, ibunya menjadi putus asa berat dan akhirnya jadi gila,
kakak-kakaknya lain, tidak peduli padanya yang merupakan anak bungsu di
keluarga. Dari Gretalah aku tahu bagaimana rasanya menjalani hidup tanpa ada
satu orangpun yang mendukung dari belakang, bagaimana rasanya menjadi orang
yang selalu ditinggalkan, dan bagaimana rasanya terjebak dalam kegelapan yang
tak berujung...<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sekarang,
setelah dia meninggal, dia bergabung dengan semua jiwa-jiwa hilang yang
terlupakan. Jiwa-jiwa yang merasa mereka akan terus bergetanyangan mencari apa
yang selama ini mereka cari dalam kegelapan, baik ketika mereka masih hidup
ataupun ketika mereka sudah mati, sesuatu itu, berupa seseorang, hanya satu
orang saja yang mereka harapkan untuk mengingat mereka dan melekatkan nama
mereka di lubuk hati orang itu. Seseorang yang dapat mereka percayai dan selalu
mereka dapat andalkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Greta,
aku sudah menemukan bagaimana cara untuk menolongmu. Ku ambil secarik kertas
dan pena. Kutulis sebuah surat yang secara khusus kutujukan untuk Greta dan
juga teman-temannya di alam sana. Aku tidak tahu apakah dia akan membacanya
atau tidak, setidaknya inilah satu-satunya cara yang kuharap bisa membantu
kalian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dear Greta,<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kau tahu bahwa kau dan
semua jiwa-jiwa hilang yang terlupakan, tidak akan benar-benar terlupakan. Itu
semua hanya perasaan kalian saja, perasaan kalian yang menuntun kalian masih
berkeliling di dalam kegelapan, padahal sebenarnya itu tidak perlu. Kalian
sudah menemukan apa yang kalian cari.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Percayalah, tidak ada
orang yang benar-benar melupakan kalian walau kalian sudah tiada. Jauh di lubuk
hati mereka, nama kalian masih tetap berbekas, tidak akan terlupa, hanya saja
kalian yang tidak bisa melihat hal itu.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Greta, aku akan selalu
menepati janjiku padamu. Namun, sampai saat ini pun aku tidak sanggup untuk
mengatakan perasaanku kepadamu. Kau sudah berada di alam yang lain, dan kuharap
kau mengerti maksudku walau aku tidak menjelaskannya secara terperinci.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<i><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Salam, Abraham<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: justify; text-indent: 14.2pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kumasukkan
suratku itu ke dalam sebuah amplop dan kutulis namaku sebagai pengirimnya.
Greta, ini untukmu, dari seseorang yang selalu mengingatmu dan menyanyangimu.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-bottom: 2.0pt; margin-left: 0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 2.0pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">***<o:p></o:p></span></div>
Suci Nurfernidhahttp://www.blogger.com/profile/16987183095387424977noreply@blogger.com0