Bab 2
AKU NGGAK BISA TIDUR DI TEMPAT
TIDUR.
Maksudku,
semua orang bisa tidur di atas tempat tidur dan memang benda itu dibuat untuk
dijadikan tempat orang untuk tidur dan melepaskan penat setelah lelah seharian
beraktivitas. Tapi pernahkah kalian tahu bahwa semua tempat tidur itu ada
pemiliknya? Ya, tentu saja semua tempat tidur itu ada pemiliknya. Di kamar
Ibuku, dia mempunyai sebuah ranjang besar dan itu adalah miliknya. Namun, yang
ingin kukatakan adalah, tempat tidur adalah salah satu benda yang cukup dekat
dengan manusia. Kau bisa menghabiskan waktu seharian di tempat tidur daripada
keluar rumah, iya kan? Jadi, bisa dibilang tempat tidur memiliki bekas atau
sesuatu yang dulu ditinggalkan pemiliknya.
Bahkan apabila
kau memiliki tempat tidur yang baru sekalipun. Beberapa tempat tidur yang
kulihat di toko-toko sama sekali bukan tempat tidur baru yang menarik. Di
mataku semua tempat tidur itu dipenuhi kenangan, kenangan dari pemiliknya
terdahulu, dan juga darah. Kau tahu apa maksudku dengan darah? Beberapa tempat
tidur di rumah-rumahku yang terdahulu dipenuhi dengan darah, membuatku mendesis
jijik dan bersumpah nggak akan menyentuh apalagi sampai tidur di sana.
“Kau mengerti
kan kenapa aku merasa sekarang aku benar-benar berpikir bahwa aku sudah gila?
Nggak ada yang percaya padaku, termasuk Ibuku sendiri!” aku meninggikan suaraku
di kalimat terakhir. Untung saja aku sendirian di kamar yang aku tempati
bersama Ibu di sebuah penginapan. Ibu kembali lagi ke kantornya setelah
mengantarku ke sini.
Hantu
perempuan yang seumuran denganku pun itu mengangguk. Ngomong-ngomong dia adalah
penunggu tempat tidur di kamar ini. Aku menceritakan pengalamanku selama ini
kepadanya, ya seenggaknya sebagian pengalamanku. “Memang ada beberapa tempat
tidur dengan penunggu-penunggu yang jahat bahkan sadis. Dulu, di kamar salah
satu penginapan ada yang mati terbunuh di tempat tidur, hanya gara-gara
penunggu tempat tidur itu nggak suka ada orang yang tidur di atasnya, dan orang
itu mati secara menggenaskan. Kepalanya dipenggal dan otaknya berceceran.”
Aku bergidik
ngeri. “Aku nggak dapat membayangkannya. Lalu bagaimana sekarang dengan kamar
itu?”
“Pemilik
penginapan menutupnya, dan nggak ada seorang pun yang masuk ke kamar itu sampai
sekarang,” jelas hantu itu. “Aku mati di sini pada tahun 2002 lalu. Ibu tiriku
memasukkan racun ke dalam makananku dan
sejam kemudian aku sudah jadi mayat di atas tempat tidur ini.”
Aku hanya diam
saja mendengar penuturan kenapa dia meninggal yang entah sudah ke berapa
kalinya sejak aku bertemu dengannya. “Aku melihat kamarku di rumah itu dan
anehnya aku sama sekali nggak merasakan apa-apa. Nggak ada yang ganjil sama
sekali dengan tempat tidurnya.”
Hantu itu
kelihatan berpikir sebentar sebelum menjawab, “Mungkin pemiliknya belum mau
menampakkan dirinya kepadamu. Memang ada beberapa hantu yang nggak suka
menampakkan dirinya. Namun hantu seperti inilah yang paling bikin jengkel.
Mereka selalu menjahili manusia misalnya dengan sengaja memindah-mindahkan atau
menggerak-gerakkan barang, membuat manusia jadi ketakutan melihat benda-benda
melayang sendiri. Orang-orang Barat sana menyebut hantu ini Poltergeist.”
“Kayak nama
film,” tukasku. “Apapun nama hantu itu, cepat atau lambat dia pasti akan
menampakkan diri juga.”
“Kenapa kau
bisa begitu yakin?”
Aku mengangkat
bahu. “Entahlah, yang jelas penunggu tempat tidurku di kamar baru itu, pasti
menarik.”
Dulu, aku
punya seenggaknya satu sahabat dekat. Sekarang aku ragu, apa bisa aku mendapatkan
teman di sekolah elit ini? Ya, kebanyakan anak yang bisa bersekolah di sini
mempunyai orang tua yang berkantong tebal dengan uang, bukan dengan bon utang.
Tapi bukan berarti aku bakalan minder, karena aku pun juga punya orang tua yang
berkantong tebal dengan uang, ini lebih ditujukan kepada masalah pribadi.
Teman-temanku di sekolah yang dulu menyebutku cenayang atau indigo. Atau yang
paling parahnya, mereka menyebutku orang gila. Itu semua dikarenakan, aku entah
kenapa nggak bisa mengontrol diriku-sendiri untuk menceritakan
pengalaman-pengalaman anehku tentang tempat tidur dan hantu. Cuma ada satu
anak, dan dia terlihat biasa saja ketika aku menceritakan pengalaman-pengalaman
seramku itu seakan-akan semua ceritaku itu hanya sebuah kejadian yang sangat
nggak penting.
“Kau nggak
menganggapku aneh kan?” tanyaku suatu hari kepada anak itu.
Anak itu malah
mengerutkan keningnya dan kemudian menggeleng.
“Kenapa?”
tanyaku lagi ingin tahu.
Kali ini dia
mengangkat bahu. “Kalau kau bertanya ‘kenapa’ maka yang bisa kukatakan adalah
pengalamanmu itu nyata, karena kelihatannya sih begitu.”
Sungguh, aku
sama sekali nggak mengerti apa yang dia katakan.
Jadi, hari
pertama di sekolah yang baru, berlangsung biasa-biasa saja. Mereka semua
cenderung nggak peduli dengan murid baru, sungguh individualistis. Apa ini
tanda-tanda kebudayaan barat benar-benar telah tertanam penuh di Indonesia? Dan
ngomong-ngomong soal barat, di kelasku yang baru ini, ada seorang anak bule
namanya Georgia, tapi nama kepanjangannya aku lupa. Anak itu punya kulit putih
kemerah-merahan, terutama ketika dia berada di bawah sinar matahari dan juga
rambut coklat dan mata biru pucat. Dia termasuk murid paling tinggi di kelas
dan aku hanya sebatas bahunya saja. Dan ngomong-ngomong aku duduk satu bangku
dengannya.
Lalu, ada satu
lagi murid yang melirikku sinis ketika aku memperkenalkan diriku di depan kelas
tadi. Dia duduk di bangku paling depan, dua bangku di depanku. Cewek itu
rambutnya hitam berombak dan dia sangat ceking seperti orang nggak makan
setahun. Aku sempat menanyakan namanya kepada Georgia (yang untungnya bisa
berbahasa Indonesia walau hanya bisa sedikit-sedikit) bahwa cewek itu bernama
Tiara. Nama yang sangat nggak cocok untuknya.
Sekarang, aku
sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah, memperhatikan beberapa anak
yang sedang main sepak bola, ketika kurasakan bumi bergetar. Gempa bumikah? Aku
terdiam menyaksikan tiga cewek dengan berat badan di atas rata-rata mendekatiku.
Yang di tengah dengan badan yang paling besar, memasang muka sangar sedangkan
yang lainnya memelototiku.
“Kalian mau
apa?” tanyaku berusaha mengacuhkan ketiga raksasa.
“Hei, kau anak
baru di kelas A kan!?” tanya cewek di tengah dengan nada membentak.
“Terus, kalau
memang benar kenapa?” aku bertanya balik sambil memasang wajah yang tak kalah
sangar.
“Wah, baru
anak baru sudah berani melawan rupanya!?”
“Eh, tapi kau
kan juga termasuk murid baru, kau kan baru dua bulan di sini,” sela temannya
yang satu lagi dan dia langsung menutup mulutnya.
Cewek yang
ditengah pura-pura tuli dan kemudian menyodorkan tangannya. “Mana!?”
“Mana apanya?”
tanyaku heran.
“Ya uang
keamananlah! Setiap murid baru yang masuk ke sini harus nyetor uang keamanan
kepadaku!” dia berkata dengan nada yang tinggi, membuat beberapa murid melihat
ke arah kami.
“Sejak kapan
peraturan itu diberlakukan?” seingatku nggak disebut-sebut uang keamanan dalam
formulir pendaftaran masuk sekolah ini.
Cewek berbadan
besar semakin frustasi. “Banyak tanya ya? Bayar saja kenapa sih!?”
“Enak saja!
Emang ini sekolah bapakmu apa!?” aku bersiap hendak pergi, tapi tanganku
dicekal oleh cewek sok berkuasa itu.
“Eh, mau kemana!?” bentaknya lebih kasar,
membuat beberapa anak yang berada di dekatku langsung kabur ketakutan.
“Apa
urusanmu!?” bentakku juga nggak mau kalah. Siapa sih cewek ini? Benar-benar
menjengkelkan!
Lonceng
sekolah berbunyi nyaring sekali, membuat gendang telingaku sakit, tapi lonceng
itu telah menumbuhkan suatu alasan yang bagus untuk pergi dari hadapan Trio
Truk Gandeng ini. Secara otomatis dia melepaskan cengkramannya dan aku langsung
lari masuk ke kelas. Untung sekali aku nggak satu kelas dengan tiga orang itu.
Sepertinya mereka kelas enam, tapi entahlah, aku nggak peduli. Di dalam kelas,
sudah banyak anak-anak yang duduk di bangku masing-masing. Beberapa anak
laki-laki membuat pesawat terbang dari kertas dan melayangkannya diseluruh
ruangan dan salah satunya mendarat di mejaku. Aku langsung membuangnya dan
memperhatikan Georgia sedang berbicara dengan anak menyebalkan, siapa namanya?
Oh ya, Tiara.
Cewek ceking
itu memandangku dengan pandangan merendahkan dan aku langsung membuang muka.
Nggak ada gunanya melayani orang seperti itu. Guru kami masuk ke dalam kelas
dan pelajaran segera dimulai.
Aku masih akan
tetap tinggal di hotel lebih kurang dua hari lagi dan aku mendapat banyak
informasi dari hantu penghuni tempat tidurku. Dia nggak pernah bergerak dari
ranjangnya dan dengan santainya menonton TV tanpa tahu apa yang dia tonton.
Sebenarnya TV bukanlah media hiburan untuk hantu, namun seperti yang terlihat
di film-film horor, TV selalu menyala dengan sendirinya dan semua orang mengira
bahwa itu kerjaan hantu.
Dia menyapaku
dan tersenyum mengerikan serta menampakkan gigi-giginya yang telah membusuk akibat
nggak pernah gosok gigi sejak tahun 2002. Sebagai hantu yang diracun,
penampilan paling menakutkannya hanyalah giginya dan kulitnya yang pucat.
Selebih itu dia terlihat kayak manusia bagiku. Beda lagi dengan hantu korban
pembunuhan. Biasanya benda yang digunakan untuk membunuh mereka masih tertancap
di badan mereka. “Bagaimana hari pertamamu di sekolah?”
“Buruk
sekali.” Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan hantu itu membiarkannya.
“Tiba-tiba aku sudah dapat empat musuh.”
“Wah.” Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dulu, aku juga pernah jadi murid baru dan
untungnya nggak ada yang sudi jadi musuhku, padahal aku selalu mencari
gara-gara dengan anak lain.”
Aku mendengus
jengkel. “Beruntung sekali. Aku sama sekali nggak pernah mencari gara-gara, tetapi
gara-gara itu yang mendantangiku.”
Aku masih saja
terus mengobrol dengan teman hantuku itu tanpa sama sekali mengetahui bahwa
sedari tadi Ibuku menguping dan melihat dari balik pintu kamar yang terbuka
sedikit, bahwa aku berbicara dengan udara kosong. Kedatangan Ibu yang tiba-tiba
membuatku tersentak dan menyadari pasti wanita itu sudah mendengar dan melihat
apa yang kulakukan tadi.
“Kau pasti
demam,” ujarnya dengan kekhawatiran yang berlebihan.
“Aku nggak
demam kok,” jawabku.
“Ya, kau
demam,” katanya keras kepala. “Sudah dua kali aku melihatmu berbicara sendiri,
pasti karena demam.”
Aku
menelengkan kepalaku, “Nggak, nggak ada hubungannya dengan demam. Aku kan anak
indigo.”
Ibuku hampir
saja membuat gerakan yang menyatakan aku gila, tapi dia berhasil menahannya.
“Nggak, aku nggak percaya indigo dan kau nggak seperti itu. Kau sedang demam
aku tahu itu.”
Ibuku selalu
mengartikan segala sesuatu yang aneh pada diriku dengan demam. Aku nggak tahu
apa hubungannya, tapi sepertinya ibuku kecanduan dengan penyakit itu. Dia
bergerak cepat dan memegang keningku. Keningku memang agak panas, tentu saja
karena aku tadi berjalan panas-panasan, namun tetap saja Ibuku menganggap itu
demam. Terkadang aku tertawa sendiri melihat kelakuannya.
“Ukur suhu
tubuhku dengan thermometer dan aku akan baik-baik saja,” ujarku sambil
menyingkirkan tangan Ibuku dari keningku.
“Tapi kita
nggak punya thermometer.” Dia mengigit jari jempolnya. Mengingatkanku pada anak
balita. Ibuku terkadang bisa bertingkah sangat kekanak-kanakkan. “Oh, mungkin
tetangga sebelah punya. Ibu Fatih, kalau nggak salah namanya. Dia tinggal
sendiri, suaminya sudah meninggal dan anaknya sudah menikah dan sekarang berada
di Malang. Kau sudah bertemu dengannya?”
“Ya, aku
melihatnya. Dia aneh.” Aku menggerakkan tanganku untuk melepaskan sepatuku.
Ibuku terbelalak,
nggak percaya bahwa anaknya begitu nggak peduli dengan orang lain dan malah
mengatakan yang nggak-nggak tentang seseorang. “Mungkin kau memang harus
dikirim ke psikiater.”
Aku bergidik.
Kata psikiater selalu berhasil menakutiku. Anak-anak yang dikirim ke psikiater,
biasanya dianggap gila oleh anak lain dan nantinya orang tua mereka akan
melarang mereka untuk main dengan anak itu. Dengan keadaanku sekarang aku sudah
cukup susah untuk mendapatkan teman, apalagi dengan tambahan isu bahwa aku akan
dikirim ke psikiater. Guru pun pasti akan menjauhiku.
“Ya, ya, ya.”
Ibuku terlihat senang seperti anak kecil mendapat mainan baru, “berapa nomor
Dr. Gabriel?”
“Aku bilang
aku nggak mau ke psikiater!” aku membuang muka sambil menyilangkan kedua tangan
di depan dada. Tapi Ibu nggak memperhatikanku. Dia malah sibuk mencari nomor
telepon di buku telepon.
“Aku heran
kenapa nomor Dr. Gabriel nggak pernah tersambung? Apa dia sudah ganti nomor?”
tanya Ibuku pada dirinya sendiri. Aku selalu punya opini bahwa Ibukulah yang
seharusnya dikirim ke psikiater. Dia mengangkat gagang telepon tapi sedetik
kemudian meletakkannya kembali, lalu menepuk keningnya sendiri. “Aku lupa aku
harus lembur malam ini! Banyak sekali pekerjaan menumpuk, kau tahu kan sayang,
aku nggak bisa menemanimu malam ini. Apa kau nggak apa-apa kutinggal
sendirian?”
“Nggak, aku
nggak sendiri di sini,” jawabku yakin sambil tersenyum.
Ibuku
memperhatikan sekeliling dan berdecak jengkel. “Ya, ya, ya. Anak kecil selalu
punya imajinasi yang bagus. Nah, sampai jumpa!” dia mencium pipiku dan pergi,
namun belum sampai lima detik dia sudah nongol lagi di ambang pintu. Kalau kau
lapar, tinggal telpon saja bapak penjaga meja depan itu dan dia akan
membawakanmu makanan atau kau bisa pergi menemui tetangga kita bila kau butuh
sesuatu dan apabila terjadi apa-apa seperti penginapan ini kebakaran, maka kau
bisa menelponku. Mengerti?”
Aku mengangguk
dan melambaikan tangan kepadanya.
“Ibumu agak
sedikit cerewet ya?” hantu temanku itu kembali bersuara.
“Dan sedikit
agak gila juga,” kataku kurang ajar.
“Tapi kupikir
Ibumu lucu, dia seperti berbicara tanpa memperdulikan orang disekitarnya.”
“Ya, intinya
dia selalu berbicara kepada dirinya sendiri dan dia juga terkadang menjawab
pertanyaannya sendiri,” ujarku menambahkan dan berbaring di tempat tidur.
Kawan hantuku
itu melanjutkan menonton TV.
Hari kedua di
sekolah masih terkesan membosankan. Temanku pertama di sekolah ini mungkin
Georgia, ya dia cukup baik, tapi kami masih jarang bicara satu sama lain,
seakan-akan dia hanya menganggapku sebagai kenalan sekali lewat saja. Bahasa
Indonesianya masih kacau, nggak heran dalam ulangan Bahasa Indonesia dia selalu
dapat nilai rendah, namun dia tampaknya anak yang mau belajar. Tiara, anak
ceking menjengkelkan itu masih menganggapku seekor hama dan dia tahan
memandangku sinis berlama-lama, bahkan ketika aku sudah mengacuhkannya.
Setiap jam
istirahat aku berusaha sekuat mungkin agar nggak bertemu dengan Trio Truk
Gandeng dan itu luar biasa sulit. Bayangan mereka selalu ada di mana-mana dan
itu membuatku ketakutan, tapi untunglah aku nggak bertemu dengan mereka. Aku
memang melihat mereka di taman sekolah sedang mengambil jajanan seorang anak
kelas tiga dan itu membuatku pingin melabrak mereka seandainya aku bisa.
Di penginapan,
aku masih mengobrol dengan hantu penunggu tempat tidur di kamar ini. Ibu
membawa Ibu Fatih, tetangga sebelah penginapan kami untuk makan malam bersama
di luar tapi aku menolak untuk ikut. Ibu Fatih memang menyeramkan, seenggaknya
menurutku. Dia mungkin sekitar 50-an, tapi mukanya menunjukkan dia lebih tua
dari umur lima puluh. Kerut-kerutan di wajahnya terlalu jelas, seakan-akan kau
bisa merobek kulit tipisnya dengan ujung jarimu. Urat-urat yang timbul dan
tampak dengan jelas di tangannya membuatku ingin menarik mereka dan kujadikan
hiasan di muka pintu. Dan aku langsung kena tempeleng Ibu ketika aku
menceritakan hal itu.
Ibu memang
nggak pernah menasehatiku macam-macam tentang pentingnya menghormati orang yang
jauh lebih tua dariku, tapi ketika aku mencela orang-orang, biasanya dia
langsung menempeleng atau bahkan menghukumku atau dengan ancaman-ancaman
mengerikan. “Ibu Fatih itu orang tua yang baik dan malang,” kata Ibuku malam
itu ketika dia hendak bersiap-siap pergi makan malam di luar.
“Ya dia memang
orang baik. Aku menolak untuk ikut makan malam di luar bukan berarti aku nggak
suka padanya, hanya saja aku punya banyak PR yang harus kukerjakan malam ini,”
jawabku sambil mengeluarkan satu persatu bukuku dari dalam tas.
“Oh, kenapa
nggak bilang dari tadi?” Ibuku memasang ekspresi kecewa yang dilebih-lebihkan.
“Perasaan aku
sudah mengatakan hal itu tiga kali kepada Ibu,” kataku sambil memutar bola mata
jengkel.
Ibuku terdiam
sebentar sebelum akhirnya tertawa girang dan menepuk-nepuk kepalaku pelan. “Ya,
aku lupa. Aku ingat kau tadi menyebutkan soal PR tiga kali.” Dia melihat jam
tangannya dan tersentak kecil. “Aku sudah membiarkan wanita tua itu menunggu
terlalu lama, aku akan pulang sekitar jam sembilan jadi selama itu baik-baiklah
di rumah. Ingat pesanku, kalau ada apa-apa…”
“Kalau ada
apa-apa seperti penginapan ini kebakaran, maka kau bisa meneleponku,” potongku
dan menghela napas kesal. Aku sudah keburu hapal dengan pesan-pesannya. Dulu
ketika kami punya rumah dia bakalan mengatakan, ‘kalau ada apa-apa seperti
rumah ini kebakaran, maka kau bisa meneleponku’. Sekarang ketika kami berada di
penginapan dia hanya tinggal mengubah sedikit saja pesannya, seakan-akan aku
hanya boleh meneleponnya ketika terjadi kebakaran. Aku bertanya-tanya, apakah
aku masih sempat terpikir untuk menelepon Ibu ketika terjadi kebakaran? Aku
malah berpikir untuk menyelamatkan diriku sendiri terlebih dahulu.
Ibuku
tersenyum. Merasa bangga bahwa pesan monotonnya telah diingat oleh anaknya. Dia
mengucapkan ‘aku pergi dulu’ dan kemudian menutup pintu. Hantu temanku itu
muncul kembali, kali ini wajahnya sedikit sedih. Sebenarnya wajahnya sih nggak
menunjukkan ekpresi apa-apa, tapi aku punya firasat yang aneh bahwa dia sedang
sedih. “Kau kenapa?” tanyaku dengan nada simpatik.
Dia
mengeluarkan suara tercekik yang aneh dan berkata dengan nada marah. “Teman
hantuku dari kamar no.12 telah dikirim ke alam baka!”
Aku mengernyit
heran. “Maksudmu dia nggak lagi menghuni tempat tidur di kamar no.12?”
Dia mengangguk
kuat-kuat dan masih dalam nada marah dia melanjutkan, “Nggak akan pernah ada
hantu seperti dia lagi di penginapan ini. Kau tahu kan? Aku pernah
menceritakannya kepadamu.”
“Ya, aku tahu,
Lanina, dia hantu yang baik dan seumuran denganmu. Walau aku nggak pernah
bertemu dengannya tapi aku turut berduka. Namun kenapa dia bisa dipindahkan ke
alam baka?”
Hantu temanku
itu membuat suara tangisan dan berkata pelan, “Seorang exorcist atau dukun
kalau di Indonesia, dia berhasil membuat Lanina pindah. Padahal sangat sulit
sekali membuat hantu seperti kami untuk meninggalkan tempat tidur kami, tapi
lelaki ini hanya dengan membaca mantera-mantera nggak jelas dan dalam sekejap
tubuh Lanina hilang! Oh ya ampun! Aku sangat takut apabila dukun itu
mendatangiku juga!”
“Tenang,
tenang,” kataku berusaha menenangkannya, “nggak mungkin dia datang ke sini. Aku
nggak akan menyuruh siapa pun untuk mendatangkan dukun dan sejenisnya ke kamar
ini.”
Dia berpaling
ke arahku dan menggeleng. “Ya, aku percaya kau nggak akan mendatangkan dukun ke
mari, tapi besok adalah hari terakhirmu di penginapan ini dan penginap
selanjutnya pasti akan mendatangkan mereka!” kemudian dia histeris sendiri.
“Bayangkan aku kehilangan teman-temanku dalam waktu yang singkat! Beberapa
menit yang lalu Lanina dan besok, kau!”
Aku nggak bisa
berkata apa-apa lagi. Sebenarnya aku juga nggak mau melepas teman hantu yang
paling baik yang pernah kukenal. Namun, aku memang nggak bisa tinggal di
penginapan ini selama-lamanya dan hantu temanku itu juga nggak mungkin
meninggalkan kamar ini, karena tempatnya di sini. Dia hanya bisa
berpindah-pindah dari satu tempat tidur ke tempat tidur lain tapi hanya sebatas
penginapan ini saja. “Aku pasti akan selalu mengingatmu kok. Kau adalah teman
hantu terbaik yang pernah kupunya. Kalau ada kesempatan kita pasti bisa bertemu
lagi.”
Hantu temanku
itu nggak menjawab, dengan masih menangis tersedu-sedu dia pergi meninggalkanku
sendirian di kamar. Tangisannya benar-benar menyayat hati sampai-sampai aku
nggak tega. Dan memang benar, besok hari terakhir aku di sini. Mungkin aku akan
bilang ke Ibu bahwa aku sakit dan nggak mau sekolah sehingga kami punya waktu
lebih panjang mengobrol sebelum aku pergi. Lagian Ibuku memang sudah mengira
aku demam kok, dia pasti nggak mempermasalahkan hal itu dan jangan sampai pula
dia memanggil Dr. Gabriel, karena itu berarti buruk bagiku.
Keesokan
paginya, aku mengeluh nggak enak badan dan rasanya semua tubuhku sakit bagai
dihantam palu godam. Awalnya Ibu hanya mengernyit dan memaksaku untuk tetap
bersekolah seenggaknya setengah hari karena memang jam pelajaran pertama aku
ada ulangan. Tapi darimana dia tahu bahwa aku ada ulangan hari ini padahal aku
nggak pernah memberitahukannya. Pasti Ibuku telah melihat buku catatanku! Aku
pun bersikeras untuk tetap nggak mau sekolah dan mengatakan aku nggak bisa
kosentrasi mengerjakan ulangan dalam keadaan begini. Setelah berbagai macam
rengekan yang kukeluarkan, akhirnya Ibu menyerah.
Dia pergi ke
kantornya agak siang karena harus mengurusku terlebih dahulu. Bapak penjaga
meja depan datang ke kamar kami untuk menjenguk sekalian mengatakan bahwa di
penginapan ini terdapat beberapa obat yang mungkin bisa membantu. Ibu berpesan
kepadaku bahwa bapak penjaga meja depan akan menjagaku dan dia juga akan
berusaha pulang cepat kalau semua pekerjaannya beres. Aku mengangguk lemah saja
walau dalam hati menggerutu jengkel.
Aku bukan
menggerutu jengkel karena Ibu akan berusaha pulang cepat, namun aku menggerutu
karena bapak penjaga meja depan akan datang ke sini untuk menjengukku. Aku
nggak tahu namanya, sebenarnya aku lupa bukan nggak tahu karena dia hanya
mengucapkan namanya sekali dan melihat kumisnya yang tebal membuatku nggak
menyukainya. Lagian aku juga nggak mau minum obat, karena semua ini hanya
kebohongan. Sakit yang hanya kukarang sendiri dan aku merasa sedikit bersalah
pada Ibu karena telah membohonginya. Tapi ini harus kulakukan karena aku harus
punya waktu lebih bersama dengan hantu temanku.
Bapak penjaga
meja depan membawakan bubur ayam dan obat untukku dan aku langsung mengatakan
bahwa aku ingin ditinggal sendirian di kamar. “Tapi Ibumu menyuruhku untuk
menjagamu,” katanya agak sedikit kecewa.
Aku
menggeleng. “Nggak usah terlalu menuruti permintaan Ibuku, Pak. Aku bisa
merawat diriku sendiri dan hal yang paling kubutuhkan sekarang ini adalah tidur
dan aku nggak ingin ada seseorang pun di kamar ketika aku tidur.”
Dia terdiam
sebentar dan menaruh bubur ayam dan obat
di meja. Dia berpesan kepadaku untuk makan bubur dan kemudian minum obat
sebelum dia keluar kamar. Aku menghela napas lega dan memanggil teman hantuku.
Dia muncul lebih lama daripada yang kuperkirakan. Kupikir dia akan datang
ketika namanya kupanggil tiga kali, seperti yang sudah-sudah. Tapi sekarang aku
harus memanggilnya tiga kali lipat dari itu.
“Ada apa?”
katanya dengan nada sedih. Ternyata kejadian kemarin masih membekas di dalam
hatinya, itupun kalau dia masih punya hati. Seingatku hantu nggak punya hati,
jantung, dan organ tubuh lain. Mereka seperti sebuah wadah kosong yang
membentuk seonggok tubuh, maka daripada itulah mereka nggak bisa disentuh,
dapat melayang dan menembus benda-benda.
“Aku punya
kabar baik untukmu,” kataku dengan senyum terkembang, “dari pagi sampai
seenggaknya jam tiga sore nanti, aku punya waktu bebas. Jadi bagaimana kalau
kita mengobrol atau melakukan hal bersama-sama?”
Dia
memandangku heran dan bertanya, “Memangnya kau nggak sekolah?”
“Nggak,”
jawabku dengan bangga. “Aku membohongi Ibu dengan berpura-pura sakit supaya
bisa punya waktu luang lebih bersamamu.”
Dia
memutar-mutar kepalanya seakan-akan lehernya nggak bertulang dan akhirnya
berkata, “Teganya kau membohongi Ibumu, tapi baguslah. Aku memang ingin
menunjukkan sesuatu padamu.”
Tiba-tiba aku
jadi bersemangat. Pasti sesuatu yang menarik! “Oke, apa itu?”
Dia tersenyum,
lebih tepatnya menyeringai dan mengulurkan telapak tangannya padaku. “Pegang
tanganku.”
“Eh, tapi kau
kan hantu. Aku nggak bisa memegang tanganmu.” Terus terang saja aku
terheran-heran mendengar permintaannya.
“Kalau aku
menginginkannya, kau bisa memegang tanganku. Kami para hantu punya suatu metode
agar dapat tersentuh oleh manusia. Seperti yang sering dilihat di film-film,
hantu dapat berubah menjadi manusia, nah, itu adalah salah satu metode kami
untuk menakut-nakuti manusia. Tapi sayangnya aku belum mempelajarinya, yah
mungkin nanti kalau aku sudah mencapai tingkat keenam.”
“Eh, hantu
punya tingkat-tingkat?” aku nggak pernah tahu bahwa hantu pun punya
tingkatan-tingkatan seperti sekolah. Apa memang ada sekolah khusus hantu?
Dia
mengangguk. “Tentu saja. Aku baru sampai tingkat ketiga dan metode yang baru
kupelajari hanya sampai dapat merubah salah satu anggota tubuhku menjadi nyata
dan dapat dipegang manusia. Namun, hal yang menarik yang ingin kutunjukkan merupakan
metode tingkat keempat, tapi aku baru saja mempelajarinya beberapa minggu yang
lalu dan aku ingin mencobanya sekarang.”
Aku langsung
bergidik. “Maksudmu aku jadi kelinci percobaan?”
TBC...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar