Kamis, 06 September 2012

Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 2


Bab 2

AKU NGGAK BISA TIDUR DI TEMPAT TIDUR.
Maksudku, semua orang bisa tidur di atas tempat tidur dan memang benda itu dibuat untuk dijadikan tempat orang untuk tidur dan melepaskan penat setelah lelah seharian beraktivitas. Tapi pernahkah kalian tahu bahwa semua tempat tidur itu ada pemiliknya? Ya, tentu saja semua tempat tidur itu ada pemiliknya. Di kamar Ibuku, dia mempunyai sebuah ranjang besar dan itu adalah miliknya. Namun, yang ingin kukatakan adalah, tempat tidur adalah salah satu benda yang cukup dekat dengan manusia. Kau bisa menghabiskan waktu seharian di tempat tidur daripada keluar rumah, iya kan? Jadi, bisa dibilang tempat tidur memiliki bekas atau sesuatu yang dulu ditinggalkan pemiliknya.
Bahkan apabila kau memiliki tempat tidur yang baru sekalipun. Beberapa tempat tidur yang kulihat di toko-toko sama sekali bukan tempat tidur baru yang menarik. Di mataku semua tempat tidur itu dipenuhi kenangan, kenangan dari pemiliknya terdahulu, dan juga darah. Kau tahu apa maksudku dengan darah? Beberapa tempat tidur di rumah-rumahku yang terdahulu dipenuhi dengan darah, membuatku mendesis jijik dan bersumpah nggak akan menyentuh apalagi sampai tidur di sana.
“Kau mengerti kan kenapa aku merasa sekarang aku benar-benar berpikir bahwa aku sudah gila? Nggak ada yang percaya padaku, termasuk Ibuku sendiri!” aku meninggikan suaraku di kalimat terakhir. Untung saja aku sendirian di kamar yang aku tempati bersama Ibu di sebuah penginapan. Ibu kembali lagi ke kantornya setelah mengantarku ke sini.
Hantu perempuan yang seumuran denganku pun itu mengangguk. Ngomong-ngomong dia adalah penunggu tempat tidur di kamar ini. Aku menceritakan pengalamanku selama ini kepadanya, ya seenggaknya sebagian pengalamanku. “Memang ada beberapa tempat tidur dengan penunggu-penunggu yang jahat bahkan sadis. Dulu, di kamar salah satu penginapan ada yang mati terbunuh di tempat tidur, hanya gara-gara penunggu tempat tidur itu nggak suka ada orang yang tidur di atasnya, dan orang itu mati secara menggenaskan. Kepalanya dipenggal dan otaknya berceceran.”
Aku bergidik ngeri. “Aku nggak dapat membayangkannya. Lalu bagaimana sekarang dengan kamar itu?”
“Pemilik penginapan menutupnya, dan nggak ada seorang pun yang masuk ke kamar itu sampai sekarang,” jelas hantu itu. “Aku mati di sini pada tahun 2002 lalu. Ibu tiriku memasukkan racun ke dalam makananku  dan sejam kemudian aku sudah jadi mayat di atas tempat tidur ini.”
Aku hanya diam saja mendengar penuturan kenapa dia meninggal yang entah sudah ke berapa kalinya sejak aku bertemu dengannya. “Aku melihat kamarku di rumah itu dan anehnya aku sama sekali nggak merasakan apa-apa. Nggak ada yang ganjil sama sekali dengan tempat tidurnya.”
Hantu itu kelihatan berpikir sebentar sebelum menjawab, “Mungkin pemiliknya belum mau menampakkan dirinya kepadamu. Memang ada beberapa hantu yang nggak suka menampakkan dirinya. Namun hantu seperti inilah yang paling bikin jengkel. Mereka selalu menjahili manusia misalnya dengan sengaja memindah-mindahkan atau menggerak-gerakkan barang, membuat manusia jadi ketakutan melihat benda-benda melayang sendiri. Orang-orang Barat sana menyebut hantu ini Poltergeist.”
“Kayak nama film,” tukasku. “Apapun nama hantu itu, cepat atau lambat dia pasti akan menampakkan diri juga.”
“Kenapa kau bisa begitu yakin?”
Aku mengangkat bahu. “Entahlah, yang jelas penunggu tempat tidurku di kamar baru itu, pasti menarik.”

Dulu, aku punya seenggaknya satu sahabat dekat. Sekarang aku ragu, apa bisa aku mendapatkan teman di sekolah elit ini? Ya, kebanyakan anak yang bisa bersekolah di sini mempunyai orang tua yang berkantong tebal dengan uang, bukan dengan bon utang. Tapi bukan berarti aku bakalan minder, karena aku pun juga punya orang tua yang berkantong tebal dengan uang, ini lebih ditujukan kepada masalah pribadi. Teman-temanku di sekolah yang dulu menyebutku cenayang atau indigo. Atau yang paling parahnya, mereka menyebutku orang gila. Itu semua dikarenakan, aku entah kenapa nggak bisa mengontrol diriku-sendiri untuk menceritakan pengalaman-pengalaman anehku tentang tempat tidur dan hantu. Cuma ada satu anak, dan dia terlihat biasa saja ketika aku menceritakan pengalaman-pengalaman seramku itu seakan-akan semua ceritaku itu hanya sebuah kejadian yang sangat nggak penting.
“Kau nggak menganggapku aneh kan?” tanyaku suatu hari kepada anak itu.
Anak itu malah mengerutkan keningnya dan kemudian menggeleng.
“Kenapa?” tanyaku lagi ingin tahu.
Kali ini dia mengangkat bahu. “Kalau kau bertanya ‘kenapa’ maka yang bisa kukatakan adalah pengalamanmu itu nyata, karena kelihatannya sih begitu.”
Sungguh, aku sama sekali nggak mengerti apa yang dia katakan.
Jadi, hari pertama di sekolah yang baru, berlangsung biasa-biasa saja. Mereka semua cenderung nggak peduli dengan murid baru, sungguh individualistis. Apa ini tanda-tanda kebudayaan barat benar-benar telah tertanam penuh di Indonesia? Dan ngomong-ngomong soal barat, di kelasku yang baru ini, ada seorang anak bule namanya Georgia, tapi nama kepanjangannya aku lupa. Anak itu punya kulit putih kemerah-merahan, terutama ketika dia berada di bawah sinar matahari dan juga rambut coklat dan mata biru pucat. Dia termasuk murid paling tinggi di kelas dan aku hanya sebatas bahunya saja. Dan ngomong-ngomong aku duduk satu bangku dengannya.
Lalu, ada satu lagi murid yang melirikku sinis ketika aku memperkenalkan diriku di depan kelas tadi. Dia duduk di bangku paling depan, dua bangku di depanku. Cewek itu rambutnya hitam berombak dan dia sangat ceking seperti orang nggak makan setahun. Aku sempat menanyakan namanya kepada Georgia (yang untungnya bisa berbahasa Indonesia walau hanya bisa sedikit-sedikit) bahwa cewek itu bernama Tiara. Nama yang sangat nggak cocok untuknya.
Sekarang, aku sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah, memperhatikan beberapa anak yang sedang main sepak bola, ketika kurasakan bumi bergetar. Gempa bumikah? Aku terdiam menyaksikan tiga cewek dengan berat badan di atas rata-rata mendekatiku. Yang di tengah dengan badan yang paling besar, memasang muka sangar sedangkan yang lainnya memelototiku.
“Kalian mau apa?” tanyaku berusaha mengacuhkan ketiga raksasa.
“Hei, kau anak baru di kelas A kan!?” tanya cewek di tengah dengan nada membentak.
“Terus, kalau memang benar kenapa?” aku bertanya balik sambil memasang wajah yang tak kalah sangar.
“Wah, baru anak baru sudah berani melawan rupanya!?”
“Eh, tapi kau kan juga termasuk murid baru, kau kan baru dua bulan di sini,” sela temannya yang satu lagi dan dia langsung menutup mulutnya.
Cewek yang ditengah pura-pura tuli dan kemudian menyodorkan tangannya. “Mana!?”
“Mana apanya?” tanyaku heran.
“Ya uang keamananlah! Setiap murid baru yang masuk ke sini harus nyetor uang keamanan kepadaku!” dia berkata dengan nada yang tinggi, membuat beberapa murid melihat ke arah kami.
“Sejak kapan peraturan itu diberlakukan?” seingatku nggak disebut-sebut uang keamanan dalam formulir pendaftaran masuk sekolah ini.
Cewek berbadan besar semakin frustasi. “Banyak tanya ya? Bayar saja kenapa sih!?”
“Enak saja! Emang ini sekolah bapakmu apa!?” aku bersiap hendak pergi, tapi tanganku dicekal oleh cewek sok berkuasa itu.
 “Eh, mau kemana!?” bentaknya lebih kasar, membuat beberapa anak yang berada di dekatku langsung kabur ketakutan.
“Apa urusanmu!?” bentakku juga nggak mau kalah. Siapa sih cewek ini? Benar-benar menjengkelkan!
Lonceng sekolah berbunyi nyaring sekali, membuat gendang telingaku sakit, tapi lonceng itu telah menumbuhkan suatu alasan yang bagus untuk pergi dari hadapan Trio Truk Gandeng ini. Secara otomatis dia melepaskan cengkramannya dan aku langsung lari masuk ke kelas. Untung sekali aku nggak satu kelas dengan tiga orang itu. Sepertinya mereka kelas enam, tapi entahlah, aku nggak peduli. Di dalam kelas, sudah banyak anak-anak yang duduk di bangku masing-masing. Beberapa anak laki-laki membuat pesawat terbang dari kertas dan melayangkannya diseluruh ruangan dan salah satunya mendarat di mejaku. Aku langsung membuangnya dan memperhatikan Georgia sedang berbicara dengan anak menyebalkan, siapa namanya? Oh ya, Tiara.
Cewek ceking itu memandangku dengan pandangan merendahkan dan aku langsung membuang muka. Nggak ada gunanya melayani orang seperti itu. Guru kami masuk ke dalam kelas dan pelajaran segera dimulai.

Aku masih akan tetap tinggal di hotel lebih kurang dua hari lagi dan aku mendapat banyak informasi dari hantu penghuni tempat tidurku. Dia nggak pernah bergerak dari ranjangnya dan dengan santainya menonton TV tanpa tahu apa yang dia tonton. Sebenarnya TV bukanlah media hiburan untuk hantu, namun seperti yang terlihat di film-film horor, TV selalu menyala dengan sendirinya dan semua orang mengira bahwa itu kerjaan hantu.
Dia menyapaku dan tersenyum mengerikan serta menampakkan gigi-giginya yang telah membusuk akibat nggak pernah gosok gigi sejak tahun 2002. Sebagai hantu yang diracun, penampilan paling menakutkannya hanyalah giginya dan kulitnya yang pucat. Selebih itu dia terlihat kayak manusia bagiku. Beda lagi dengan hantu korban pembunuhan. Biasanya benda yang digunakan untuk membunuh mereka masih tertancap di badan mereka. “Bagaimana hari pertamamu di sekolah?”
“Buruk sekali.” Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan hantu itu membiarkannya. “Tiba-tiba aku sudah dapat empat musuh.”
“Wah.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dulu, aku juga pernah jadi murid baru dan untungnya nggak ada yang sudi jadi musuhku, padahal aku selalu mencari gara-gara dengan anak lain.”
Aku mendengus jengkel. “Beruntung sekali. Aku sama sekali nggak pernah mencari gara-gara, tetapi gara-gara itu yang mendantangiku.”
Aku masih saja terus mengobrol dengan teman hantuku itu tanpa sama sekali mengetahui bahwa sedari tadi Ibuku menguping dan melihat dari balik pintu kamar yang terbuka sedikit, bahwa aku berbicara dengan udara kosong. Kedatangan Ibu yang tiba-tiba membuatku tersentak dan menyadari pasti wanita itu sudah mendengar dan melihat apa yang kulakukan tadi.
“Kau pasti demam,” ujarnya dengan kekhawatiran yang berlebihan.
“Aku nggak demam kok,” jawabku.
“Ya, kau demam,” katanya keras kepala. “Sudah dua kali aku melihatmu berbicara sendiri, pasti karena demam.”
Aku menelengkan kepalaku, “Nggak, nggak ada hubungannya dengan demam. Aku kan anak indigo.”
Ibuku hampir saja membuat gerakan yang menyatakan aku gila, tapi dia berhasil menahannya. “Nggak, aku nggak percaya indigo dan kau nggak seperti itu. Kau sedang demam aku tahu itu.”
Ibuku selalu mengartikan segala sesuatu yang aneh pada diriku dengan demam. Aku nggak tahu apa hubungannya, tapi sepertinya ibuku kecanduan dengan penyakit itu. Dia bergerak cepat dan memegang keningku. Keningku memang agak panas, tentu saja karena aku tadi berjalan panas-panasan, namun tetap saja Ibuku menganggap itu demam. Terkadang aku tertawa sendiri melihat kelakuannya.
“Ukur suhu tubuhku dengan thermometer dan aku akan baik-baik saja,” ujarku sambil menyingkirkan tangan Ibuku dari keningku.
“Tapi kita nggak punya thermometer.” Dia mengigit jari jempolnya. Mengingatkanku pada anak balita. Ibuku terkadang bisa bertingkah sangat kekanak-kanakkan. “Oh, mungkin tetangga sebelah punya. Ibu Fatih, kalau nggak salah namanya. Dia tinggal sendiri, suaminya sudah meninggal dan anaknya sudah menikah dan sekarang berada di Malang. Kau sudah bertemu dengannya?”
“Ya, aku melihatnya. Dia aneh.” Aku menggerakkan tanganku untuk melepaskan sepatuku.
Ibuku terbelalak, nggak percaya bahwa anaknya begitu nggak peduli dengan orang lain dan malah mengatakan yang nggak-nggak tentang seseorang. “Mungkin kau memang harus dikirim ke psikiater.”
Aku bergidik. Kata psikiater selalu berhasil menakutiku. Anak-anak yang dikirim ke psikiater, biasanya dianggap gila oleh anak lain dan nantinya orang tua mereka akan melarang mereka untuk main dengan anak itu. Dengan keadaanku sekarang aku sudah cukup susah untuk mendapatkan teman, apalagi dengan tambahan isu bahwa aku akan dikirim ke psikiater. Guru pun pasti akan menjauhiku.
“Ya, ya, ya.” Ibuku terlihat senang seperti anak kecil mendapat mainan baru, “berapa nomor Dr. Gabriel?”
“Aku bilang aku nggak mau ke psikiater!” aku membuang muka sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tapi Ibu nggak memperhatikanku. Dia malah sibuk mencari nomor telepon di buku telepon.
“Aku heran kenapa nomor Dr. Gabriel nggak pernah tersambung? Apa dia sudah ganti nomor?” tanya Ibuku pada dirinya sendiri. Aku selalu punya opini bahwa Ibukulah yang seharusnya dikirim ke psikiater. Dia mengangkat gagang telepon tapi sedetik kemudian meletakkannya kembali, lalu menepuk keningnya sendiri. “Aku lupa aku harus lembur malam ini! Banyak sekali pekerjaan menumpuk, kau tahu kan sayang, aku nggak bisa menemanimu malam ini. Apa kau nggak apa-apa kutinggal sendirian?”
“Nggak, aku nggak sendiri di sini,” jawabku yakin sambil tersenyum.
Ibuku memperhatikan sekeliling dan berdecak jengkel. “Ya, ya, ya. Anak kecil selalu punya imajinasi yang bagus. Nah, sampai jumpa!” dia mencium pipiku dan pergi, namun belum sampai lima detik dia sudah nongol lagi di ambang pintu. Kalau kau lapar, tinggal telpon saja bapak penjaga meja depan itu dan dia akan membawakanmu makanan atau kau bisa pergi menemui tetangga kita bila kau butuh sesuatu dan apabila terjadi apa-apa seperti penginapan ini kebakaran, maka kau bisa menelponku. Mengerti?”
Aku mengangguk dan melambaikan tangan kepadanya.
“Ibumu agak sedikit cerewet ya?” hantu temanku itu kembali bersuara.
“Dan sedikit agak gila juga,” kataku kurang ajar.
“Tapi kupikir Ibumu lucu, dia seperti berbicara tanpa memperdulikan orang disekitarnya.”
“Ya, intinya dia selalu berbicara kepada dirinya sendiri dan dia juga terkadang menjawab pertanyaannya sendiri,” ujarku menambahkan dan berbaring di tempat tidur.
Kawan hantuku itu melanjutkan menonton TV.

Hari kedua di sekolah masih terkesan membosankan. Temanku pertama di sekolah ini mungkin Georgia, ya dia cukup baik, tapi kami masih jarang bicara satu sama lain, seakan-akan dia hanya menganggapku sebagai kenalan sekali lewat saja. Bahasa Indonesianya masih kacau, nggak heran dalam ulangan Bahasa Indonesia dia selalu dapat nilai rendah, namun dia tampaknya anak yang mau belajar. Tiara, anak ceking menjengkelkan itu masih menganggapku seekor hama dan dia tahan memandangku sinis berlama-lama, bahkan ketika aku sudah mengacuhkannya.
Setiap jam istirahat aku berusaha sekuat mungkin agar nggak bertemu dengan Trio Truk Gandeng dan itu luar biasa sulit. Bayangan mereka selalu ada di mana-mana dan itu membuatku ketakutan, tapi untunglah aku nggak bertemu dengan mereka. Aku memang melihat mereka di taman sekolah sedang mengambil jajanan seorang anak kelas tiga dan itu membuatku pingin melabrak mereka seandainya aku bisa.
Di penginapan, aku masih mengobrol dengan hantu penunggu tempat tidur di kamar ini. Ibu membawa Ibu Fatih, tetangga sebelah penginapan kami untuk makan malam bersama di luar tapi aku menolak untuk ikut. Ibu Fatih memang menyeramkan, seenggaknya menurutku. Dia mungkin sekitar 50-an, tapi mukanya menunjukkan dia lebih tua dari umur lima puluh. Kerut-kerutan di wajahnya terlalu jelas, seakan-akan kau bisa merobek kulit tipisnya dengan ujung jarimu. Urat-urat yang timbul dan tampak dengan jelas di tangannya membuatku ingin menarik mereka dan kujadikan hiasan di muka pintu. Dan aku langsung kena tempeleng Ibu ketika aku menceritakan hal itu.
Ibu memang nggak pernah menasehatiku macam-macam tentang pentingnya menghormati orang yang jauh lebih tua dariku, tapi ketika aku mencela orang-orang, biasanya dia langsung menempeleng atau bahkan menghukumku atau dengan ancaman-ancaman mengerikan. “Ibu Fatih itu orang tua yang baik dan malang,” kata Ibuku malam itu ketika dia hendak bersiap-siap pergi makan malam di luar.
“Ya dia memang orang baik. Aku menolak untuk ikut makan malam di luar bukan berarti aku nggak suka padanya, hanya saja aku punya banyak PR yang harus kukerjakan malam ini,” jawabku sambil mengeluarkan satu persatu bukuku dari dalam tas.
“Oh, kenapa nggak bilang dari tadi?” Ibuku memasang ekspresi kecewa yang dilebih-lebihkan.
“Perasaan aku sudah mengatakan hal itu tiga kali kepada Ibu,” kataku sambil memutar bola mata jengkel.
Ibuku terdiam sebentar sebelum akhirnya tertawa girang dan menepuk-nepuk kepalaku pelan. “Ya, aku lupa. Aku ingat kau tadi menyebutkan soal PR tiga kali.” Dia melihat jam tangannya dan tersentak kecil. “Aku sudah membiarkan wanita tua itu menunggu terlalu lama, aku akan pulang sekitar jam sembilan jadi selama itu baik-baiklah di rumah. Ingat pesanku, kalau ada apa-apa…”
“Kalau ada apa-apa seperti penginapan ini kebakaran, maka kau bisa meneleponku,” potongku dan menghela napas kesal. Aku sudah keburu hapal dengan pesan-pesannya. Dulu ketika kami punya rumah dia bakalan mengatakan, ‘kalau ada apa-apa seperti rumah ini kebakaran, maka kau bisa meneleponku’. Sekarang ketika kami berada di penginapan dia hanya tinggal mengubah sedikit saja pesannya, seakan-akan aku hanya boleh meneleponnya ketika terjadi kebakaran. Aku bertanya-tanya, apakah aku masih sempat terpikir untuk menelepon Ibu ketika terjadi kebakaran? Aku malah berpikir untuk menyelamatkan diriku sendiri terlebih dahulu.
Ibuku tersenyum. Merasa bangga bahwa pesan monotonnya telah diingat oleh anaknya. Dia mengucapkan ‘aku pergi dulu’ dan kemudian menutup pintu. Hantu temanku itu muncul kembali, kali ini wajahnya sedikit sedih. Sebenarnya wajahnya sih nggak menunjukkan ekpresi apa-apa, tapi aku punya firasat yang aneh bahwa dia sedang sedih. “Kau kenapa?” tanyaku dengan nada simpatik.
Dia mengeluarkan suara tercekik yang aneh dan berkata dengan nada marah. “Teman hantuku dari kamar no.12 telah dikirim ke alam baka!”
Aku mengernyit heran. “Maksudmu dia nggak lagi menghuni tempat tidur di kamar no.12?”
Dia mengangguk kuat-kuat dan masih dalam nada marah dia melanjutkan, “Nggak akan pernah ada hantu seperti dia lagi di penginapan ini. Kau tahu kan? Aku pernah menceritakannya kepadamu.”
“Ya, aku tahu, Lanina, dia hantu yang baik dan seumuran denganmu. Walau aku nggak pernah bertemu dengannya tapi aku turut berduka. Namun kenapa dia bisa dipindahkan ke alam baka?”
Hantu temanku itu membuat suara tangisan dan berkata pelan, “Seorang exorcist atau dukun kalau di Indonesia, dia berhasil membuat Lanina pindah. Padahal sangat sulit sekali membuat hantu seperti kami untuk meninggalkan tempat tidur kami, tapi lelaki ini hanya dengan membaca mantera-mantera nggak jelas dan dalam sekejap tubuh Lanina hilang! Oh ya ampun! Aku sangat takut apabila dukun itu mendatangiku juga!”
“Tenang, tenang,” kataku berusaha menenangkannya, “nggak mungkin dia datang ke sini. Aku nggak akan menyuruh siapa pun untuk mendatangkan dukun dan sejenisnya ke kamar ini.”
Dia berpaling ke arahku dan menggeleng. “Ya, aku percaya kau nggak akan mendatangkan dukun ke mari, tapi besok adalah hari terakhirmu di penginapan ini dan penginap selanjutnya pasti akan mendatangkan mereka!” kemudian dia histeris sendiri. “Bayangkan aku kehilangan teman-temanku dalam waktu yang singkat! Beberapa menit yang lalu Lanina dan besok, kau!”
Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi. Sebenarnya aku juga nggak mau melepas teman hantu yang paling baik yang pernah kukenal. Namun, aku memang nggak bisa tinggal di penginapan ini selama-lamanya dan hantu temanku itu juga nggak mungkin meninggalkan kamar ini, karena tempatnya di sini. Dia hanya bisa berpindah-pindah dari satu tempat tidur ke tempat tidur lain tapi hanya sebatas penginapan ini saja. “Aku pasti akan selalu mengingatmu kok. Kau adalah teman hantu terbaik yang pernah kupunya. Kalau ada kesempatan kita pasti bisa bertemu lagi.”
Hantu temanku itu nggak menjawab, dengan masih menangis tersedu-sedu dia pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Tangisannya benar-benar menyayat hati sampai-sampai aku nggak tega. Dan memang benar, besok hari terakhir aku di sini. Mungkin aku akan bilang ke Ibu bahwa aku sakit dan nggak mau sekolah sehingga kami punya waktu lebih panjang mengobrol sebelum aku pergi. Lagian Ibuku memang sudah mengira aku demam kok, dia pasti nggak mempermasalahkan hal itu dan jangan sampai pula dia memanggil Dr. Gabriel, karena itu berarti buruk bagiku.

Keesokan paginya, aku mengeluh nggak enak badan dan rasanya semua tubuhku sakit bagai dihantam palu godam. Awalnya Ibu hanya mengernyit dan memaksaku untuk tetap bersekolah seenggaknya setengah hari karena memang jam pelajaran pertama aku ada ulangan. Tapi darimana dia tahu bahwa aku ada ulangan hari ini padahal aku nggak pernah memberitahukannya. Pasti Ibuku telah melihat buku catatanku! Aku pun bersikeras untuk tetap nggak mau sekolah dan mengatakan aku nggak bisa kosentrasi mengerjakan ulangan dalam keadaan begini. Setelah berbagai macam rengekan yang kukeluarkan, akhirnya Ibu menyerah.
Dia pergi ke kantornya agak siang karena harus mengurusku terlebih dahulu. Bapak penjaga meja depan datang ke kamar kami untuk menjenguk sekalian mengatakan bahwa di penginapan ini terdapat beberapa obat yang mungkin bisa membantu. Ibu berpesan kepadaku bahwa bapak penjaga meja depan akan menjagaku dan dia juga akan berusaha pulang cepat kalau semua pekerjaannya beres. Aku mengangguk lemah saja walau dalam hati menggerutu jengkel.
Aku bukan menggerutu jengkel karena Ibu akan berusaha pulang cepat, namun aku menggerutu karena bapak penjaga meja depan akan datang ke sini untuk menjengukku. Aku nggak tahu namanya, sebenarnya aku lupa bukan nggak tahu karena dia hanya mengucapkan namanya sekali dan melihat kumisnya yang tebal membuatku nggak menyukainya. Lagian aku juga nggak mau minum obat, karena semua ini hanya kebohongan. Sakit yang hanya kukarang sendiri dan aku merasa sedikit bersalah pada Ibu karena telah membohonginya. Tapi ini harus kulakukan karena aku harus punya waktu lebih bersama dengan hantu temanku.
Bapak penjaga meja depan membawakan bubur ayam dan obat untukku dan aku langsung mengatakan bahwa aku ingin ditinggal sendirian di kamar. “Tapi Ibumu menyuruhku untuk menjagamu,” katanya agak sedikit kecewa.
Aku menggeleng. “Nggak usah terlalu menuruti permintaan Ibuku, Pak. Aku bisa merawat diriku sendiri dan hal yang paling kubutuhkan sekarang ini adalah tidur dan aku nggak ingin ada seseorang pun di kamar ketika aku tidur.”
Dia terdiam sebentar  dan menaruh bubur ayam dan obat di meja. Dia berpesan kepadaku untuk makan bubur dan kemudian minum obat sebelum dia keluar kamar. Aku menghela napas lega dan memanggil teman hantuku. Dia muncul lebih lama daripada yang kuperkirakan. Kupikir dia akan datang ketika namanya kupanggil tiga kali, seperti yang sudah-sudah. Tapi sekarang aku harus memanggilnya tiga kali lipat dari itu.
“Ada apa?” katanya dengan nada sedih. Ternyata kejadian kemarin masih membekas di dalam hatinya, itupun kalau dia masih punya hati. Seingatku hantu nggak punya hati, jantung, dan organ tubuh lain. Mereka seperti sebuah wadah kosong yang membentuk seonggok tubuh, maka daripada itulah mereka nggak bisa disentuh, dapat melayang dan menembus benda-benda.
“Aku punya kabar baik untukmu,” kataku dengan senyum terkembang, “dari pagi sampai seenggaknya jam tiga sore nanti, aku punya waktu bebas. Jadi bagaimana kalau kita mengobrol atau melakukan hal bersama-sama?”
Dia memandangku heran dan bertanya, “Memangnya kau nggak sekolah?”
“Nggak,” jawabku dengan bangga. “Aku membohongi Ibu dengan berpura-pura sakit supaya bisa punya waktu luang lebih bersamamu.”
Dia memutar-mutar kepalanya seakan-akan lehernya nggak bertulang dan akhirnya berkata, “Teganya kau membohongi Ibumu, tapi baguslah. Aku memang ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Tiba-tiba aku jadi bersemangat. Pasti sesuatu yang menarik! “Oke, apa itu?”
Dia tersenyum, lebih tepatnya menyeringai dan mengulurkan telapak tangannya padaku. “Pegang tanganku.”
“Eh, tapi kau kan hantu. Aku nggak bisa memegang tanganmu.” Terus terang saja aku terheran-heran mendengar permintaannya.
“Kalau aku menginginkannya, kau bisa memegang tanganku. Kami para hantu punya suatu metode agar dapat tersentuh oleh manusia. Seperti yang sering dilihat di film-film, hantu dapat berubah menjadi manusia, nah, itu adalah salah satu metode kami untuk menakut-nakuti manusia. Tapi sayangnya aku belum mempelajarinya, yah mungkin nanti kalau aku sudah mencapai tingkat keenam.”
“Eh, hantu punya tingkat-tingkat?” aku nggak pernah tahu bahwa hantu pun punya tingkatan-tingkatan seperti sekolah. Apa memang ada sekolah khusus hantu?
Dia mengangguk. “Tentu saja. Aku baru sampai tingkat ketiga dan metode yang baru kupelajari hanya sampai dapat merubah salah satu anggota tubuhku menjadi nyata dan dapat dipegang manusia. Namun, hal yang menarik yang ingin kutunjukkan merupakan metode tingkat keempat, tapi aku baru saja mempelajarinya beberapa minggu yang lalu dan aku ingin mencobanya sekarang.”
Aku langsung bergidik. “Maksudmu aku jadi kelinci percobaan?”
TBC...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar