Bab 7
AKU MENUNGGU SAMPAI MALAM TIBA.
Semua sudah
semakin jelas dan nggak ada lagi yang perlu disembunyikan. Aku mengkhawatirkan
nasib Ibu, apa dia akan baik-baik saja? Kenapa aku punya semacam firasat bahwa
ada sesuatu hal buruk yang akan menimpanya? Kenapa aku merasa bahwa ramalan
nenek untuk Ibu akan segera terjadi?
Aku sendirian
di kamar ini. Tak ada siapapun bahkan tak ada hantu yang berkeliaran di sini.
Ternyata selama ini aku berada di jalan yang salah. Aku terlalu mempercayai
hantu-hantu yang selama ini kuanggap baik padaku. Ternyata hantu itu juga bisa
berbohong, benar apa kata Claudia. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan
lebih sedikit ketika aku mendengar ada yang membuka pintu dengan suara keras.
Aku harap itu Ibu, jadi aku berdiri dari kursiku dan hendak pergi keluar, namun
sebuah suara yang sudah sangat kukenal menahanku, “Tunggu dulu Bianca! Kau mau
kemana?”
Dengan gerakan
lambat aku berbalik dan tersenyum manis ke arah Clara. Hantu itu agak heran
melihatku namun dia ikut tersenyum. “Halo Clara. Bagaimana dengan pengintaianmu
terhadap lelaki misterius itu?” tanyaku dengan nada biasa supaya nggak
menimbulkan curiga.
“Oh ya!” dia
menepuk keningnya sendiri. “Mereka akan datang ke sini Bianca, gawat sekali!
Bisa saja besok atau mungkin lusa! Mereka sepertinya benar-benar berkeinginan
untuk segera membangkitkan kembali ritual kuno itu. Kau harus berhati-hati dan
mana Ibumu? Mungkin sudah saatnya kau memberitahukan ini kepadanya.”
Aku membuat
ekspresi terkejut yang dramatis. “Ya ampun! Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
aku rasa aku nggak berbakat akting.
Clara
mengelus-ngelus dagunya sebelum berkata. Suaranya kali ini terdengar dalam dan
mengandung arti lain di baliknya. “Aku mungkin bisa menahan mereka, lagian
mereka kan manusia. Tapi aku nggak tahu dengan hantu mereka. Mereka pasti punya
hantu yang memudahkan mereka untuk mengambil lembaran sakramen itu.”
“Tapi kau kan
pernah bilang bahwa hantu yang mau menuruti permintaan manusia adalah hantu
yang lemah?” sindirku teringat dengan perkataan Clara beberapa minggu lalu.
Muka Clara
nggak berubah sama sekali seakan dia nggak menangkap sindiran dari perkataanku
tadi. Terdengar suara kaki yang menaiki tangga. Aku menatap sebentar ke pintu
dan berbalik lagi ke arah Clara. “Sepertinya mereka sekarang sudah di sini. Apa
yang harus kita lakukan Clara, atau mesti kupanggil anaknya Ibu Marsita, istri
kedua Alfred?” aku tersenyum penuh arti kepadanya.
Mata kanan
Clara terbelalak dan akhirnya keluar dari rongganya lalu jatuh terhempas di
lantai. Clara nampaknya nggak berniat sedikitpun untuk mengambilnya. Dia
berkata dengan suara agak gemetar, suara yang tak pernah dia keluarkan
sebelumnya, “Bagaimana kau tahu akan hal itu?”
“Jadi kau
mengakuinya kan?” aku tersenyum makin lebar. “Aku sudah tahu semuanya. Ternyata
bukan hanya manusia yang bisa berbohong tapi hantu pun bisa berbohong.” Aku
berjalan mendekati Clara sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
Entah darimana aku mendapatkan keberanian ini. Setelah aku benar-benar berada
di depannya, aku memandang langsung matanya yang hanya berupa lubang kosong
sekarang. “Kau membohongiku selama ini. Kau berpura-pura menjadi temanku dan
menolongku memecahkan misteri ini padahal kau sudah tahu semuanya. Kau
berpura-pura tentang semuanya dari awal. Claudialah yang seharusnya jadi
penunggu tempat tidur ini tetapi entah darimana caranya, kau berhasil
mengusirnya dan menempatkannya di ruang bawah tanah yang seharusnya menjadi
tempatmu. Suara yang kita dengar itu sebenarnya adalah suaramu sendiri, kau
berusaha menakut-nakutiku dengan menciptakan suara seakan-akan itu berasal dari
sesuatu yang tak tampak. Dan aku juga baru ingat kalau kau bisa berbicara tanpa
menggerakkan bibirmu. Kau pada waktu itu bersikeras menolak turun ke bawah
karena takut kalau hantu Claudia akan mendatangimu dan mengacaukan semua
rencanamu. Kaulah yang menciptakan mimpi untukku ketika aku terbaring di atas
tempat tidur di ruangan itu, karena sebenarnya tempat tidur itulah yang
merupakan kepunyaanmu. Apa aku benar?”
Clara
menyeringai menampakkan gigi-gigi taringnya. Dengan cepat tanpa kusadari
tangannya melayang dan mengenaiku sehingga aku menabrak dinding dengan sangat
keras. Aku bisa merasakan sakit di hampir seluruh tubuhku. Pintu kamarku
terbuka dan masuklah dua orang berjubah hitam, orang-orang yang mencuri
lembaran sakramen itu. “Bagus Clara, anakku,” kata seorang dari mereka yang
memakai topeng. Dia membuka topengnya dan nampaklah wajah wanita setengah baya
berumur pertengahan limapuluhan. Walau dia sudah tua sekarang, tapi garis-garis
kecantikan yang dulu pernah dimilikinya masih ada. Perempuan ini adalah
Marsita, Ibunya Clara. “Aku pasti akan menepati janjiku padamu.”
Aku merasa
pusing yang amat sangat namun aku masih sadar. Aku masih bisa mengungkap
kebenaran dari misteri ini. Aku memandangi Marsita tajam dan berseru memanggilnya.
“Hei kau! Dasar nenek jahat!”
Marsita
menoleh dengan marah ke arahku. “Apa yang kau katakan tadi anak kurang ajar!?”
“Aku bilang
kau nenek jahat! Kau membunuh suamimu sendiri, kau menjadikan anakmu sebagai
tumbal sebuah ritual kuno menjijikkan, kau menghancurkan keluarga ini dan kau
adalah buronan polisi! Sekarang kau kembali ke sini 23 tahun setelah kejadian
ini hanya untuk membangkitkan sekte konyolmu itu! Benar-benar tidak
berperikemanusiaan!” aku meludah ke arahnya. Mungkin ini nggak patut dicontoh,
tapi wanita ini pantas mendapatkannya.
Marsita hanya
tersenyum sinis saja mendengar ocehanku. “Kau katakan hal itu sekali lagi
bocah, maka kau akan melihat ini.” Dia memberi isyarat kepada lelaki di
sampingnya dan lelaki itu pergi keluar kemudian masuk lagi dengan menyeret
seonggok mayat dari seseorang yang sangat kukenal. “Kau tahu siapa dia?”
Mataku
terbelalak demi melihat siapa mayat di depanku ini. Mayat itu benar-benar dalam
keadaan mengerikan. Kelopak matanya telah dipotong, alisnya telah dicukur
habis, mulutnya menganga menampakkan lidahnya yang telah hilang, kepalanya
berdarah-darah seperti dipukul dengan benda keras, di tubuhnya terdapat tiga
luka tusuk, satu di perut, dua di bagian dada. Darah segar mengucur dari luka
itu, darah Ibuku. “Apa yang kau lakukan!? Dasar kau wanita brengsek!” aku nggak
tahu apa yang sebenarnya yang kulakukan, aku berdiri tegak dan menyerang wanita
itu, tapi lelaki itu dengan sigap menghalangiku, menarik kedua tanganku ke
belakang dan memukul kepalaku keras-keras. Aku menjerit kesakitan sebelum
akhirnya jatuh pingsan.
Awalnya aku
sama sekali nggak tahu apa yang terjadi denganku ketika aku membuka mata
setelah pingsan dari pemukulan itu. Pertama yang aku lihat dengan penglihatan
kabur adalah seseorang di depanku yang memakai jubah hitam. Kemudian aku
mendengar suara perempuan, tapi aku sama sekali nggak ngerti dia ngomong apa.
Setelah akhirnya benar-benar merasa baikan, aku dapat melihat dengan lebih
jelas di mana aku berada. Aku berada di ruang bawah tanah, aku terbaring di
tempat tidur dengan kedua tangan dan kaki terikat di setiap ujung tempat tidur.
Aku menoleh ke arah kiriku dan melihat wanita yang kukenal. Dia sedang membaca
lembaran sakramen dalam dua bahasa itu. Mungkin dia sedang membaca bagian yang
berbahasa Latin makanya aku
sama sekali nggak mengerti satu kata pun yang diucapkannya. Wanita itu berhenti
membaca dan memandang ke arahku dengan senyuman licik terukir di bibirnya.
“Ternyata kau sudah bangun?”
“Aku benci
kau, wanita brengsek!” umpatku dengan suara lemah. Entah kenapa aku merasa sama
sekali nggak punya tenaga bahkan untuk berbicara. Ritual ini pasti punya
sesuatu yang membuat siapa pun yang menjadi tumbalnya akan kehabisan tenaga dan
tak bisa melawan.
Dia hanya
tersenyum saja mendengar umpatanku dan meneruskan kembali membaca lembaran
sakramen di tangannya. Berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk membaca
lembaran sial itu? Apa dia harus membaca semuanya?
“Kau membunuh
Ibuku, aku nggak akan memaafkanmu,” aku mulai berbicara lagi, tapi wanita itu
terus membaca seolah-olah dia tuli. “Awalnya kau ingin menumbalkan Claudia
namun sebuah surat peringatan dari sektemu memberitahumu bahwa ada perubahan
rencana dan kau harus mengorbankan anak kandungmu sendiri. Maka daripada itu
kau membawa anakmu pulang ke Indonesia. Artikel di koran itu, tentang istri
membunuh suaminya adalah tentang kau. Aku nggak tahu kenapa polisi sampai tak
bisa menangkapmu, jelas kau adalah buronan polisi tingkat tinggi.” Wanita itu
sama sekali nggak peduli atau mengatakan apa pun. Aku ragu kalau dia
mendengarkanku. “Setelah 23 tahun kau bersembunyi dari kejaran polisi, kau
berusaha untuk membangkitkan ritual kuno ini lagi. Kau tahu bahwa hantu Clara
akan mendatangimu untuk menuntut balas, namun entah apa yang kau janjikan
padanya sehingga dia malah berbalik untuk menjadi sekutumu. Apakah karena dia
begitu sayang dengan Ibunya atau ada sesuatu selain dari itu?” aku menatap
Clara yang berdiri agak jauh di sebelah kiriku, dia pun menatapku tapi dia
sudah berubah. Dia bukan lagi Clara yang kukenal yang selalu di sampingku. Kami
bukan teman akrab lagi sekarang.
“Aku minta
maaf Bianca,” akhirnya Clara berkata dengan nada penuh penyesalan. “Selama ini
aku sengaja mendekatimu dan berpura-pura menjadi sahabatmu hanya sekedar
jebakan. Ini semua adalah perintah Ibuku, dan aku nggak kuasa menolaknya. Pak
Kasim atau Paman Bibir Tebal mendapat perintah dari Ibuku untuk menjual rumah
ini setelah 23 tahun dibiarkan kosong. Dia sengaja menjual dengan harga murah
dan Ibumu membelinya. Maka daripada itu aku datang kepadamu dan semenjak aku
datang hantu Ibu Angela dan Alfred hilang begitu saja. Aku yang membuat mereka
begitu, kau tahu kan maksudku? Aku takut kalau-kalau mereka menceritakan
sesuatu kepadamu tentangku, jadi aku terpaksa berbuat begitu.” Dia membuang
mukanya ke arah lain.
“Jadi kau
menyingkirkan hantu Ibu Angela dan Alfred? Pantas sebulan lebih ini aku nggak
melihat mereka lagi. Dan Paman Bibir Tebal ternyata punya andil dalam rencana
kalian. Aku sudah tahu bahwa semua yang selama ini baik kepadaku ternyata hanya
berbohong saja. Hantu-hantu yang pernah kau undang itu juga nggak mengatakan
kebenaran, kau telah mengancam mereka karena mereka punya tingkatan lebih
rendah darimu. Kenapa semua orang harus berbohong? Kenapa kalian yang mati pun
harus berbohong?” aku nggak sadar tiba-tiba saja aku menitikkan air mata.
Wanita itu
telah selesai membaca dan memandangku dengan tatapan tajam. “Berhenti menangis.
Air matamu tidak ada artinya lagi, sekarang tidak akan ada yang bisa
menyelamatkanmu. Ritualnya akan kita mulai.” Marsita memanggil lelaki yang
sedari tadi diam itu. Lelaki tersebut mendorong sebuah meja dan
memberhentikannya di samping Marsita. Wanita tua itu mengambil belati berhias
bulu gagak yang sudah sangat kukenal. “Aku tidak punya anak yang lain, tapi aku
rasa untuk ritual ini ada pengecualian.” Dia melambai-lambaikan pisau itu di
depanku, “dan memang korban yang tepat itu selalu anak-anak.”
Marsita
memegang gagang pisau itu dengan kedua tangannya dan bersiap hendak menusukku.
Aku memejamkan mata, merasa sangat nggak bertenaga dan pasrah menerima apa yang
akan terjadi. Aku nggak percaya kalau aku bakalan mati dengan cara seperti ini.
Aku akan jadi hantu berupa jelek, seperti Clara si Pengkhianat. Aku bisa
merasakan ajal yang semakin dekat, kemudian terdengar suara seseorang, suara
yang kukenal.
Aku membuka
mata dan melihat di depanku berdiri Paman Bibir Tebal dengan mulut terbuka
lebar. Marsita terbelalak melihat kedatangan Paman Bibir Tebal yang tiba-tiba
ini. “Kenapa kau bisa ada di sini Kasim!?”
Paman Bibir
Tebal masih belum paham dengan apa yang terjadi di depannya. Dia memandang
heran sesaat ke arah Marsita dan bertanya dengan suara gemetar, “Aku, aku tidak
mengerti ini Nyonya, apa yang kau lakukan kepada Bianca?”
“Kau lebih
baik diam saja Kasim! Aldi!” Marsita memanggil lelaki yang menjadi kaki
tangannya tersebut dan dengan tangannya yang kekar dan lincah, Aldi segera
meringkus Paman Bibir Tebal dan memukul perutnya kuat-kuat sehingga Paman Bibir
Tebal jatuh pingsan. Aku memekik tertahan. Sekarang nggak ada lagi harapan
bagiku. “Bawa lelaki itu keluar dari ruangan ini!” perintah Marsita lagi kepada
kaki tangannya.
Aku melirik ke
arah Clara yang nampak nggak tenang. Wajahnya menunjukkan ekspresi antara takut
dan bingung, entahlah yang mana. Nampaknya Marsita alias ibu kandungnya
memperhatikan gerak-gerik hantu anaknya itu dan tersenyum licik yang memuakkan.
“Clara sayang, kau tidak perlu mencemaskan keadaan temanmu ini. Dia bukan
temanmu dan setelah ritual ini selesai kau akan jadi manusia seutuhnya lagi dan
mempunyai banyak teman. Bukankah kau sudah menyetujui perjanjiannya?”
Jadi manusia
seutuhnya? Sekarang aku mengerti kenapa Clara menjadi budak Ibunya. Dengan
dibangkitkannya kembali ritual ini Ibunya membujuk Clara dan menjanjikan dia
bahwa dia akan menjadi hantu tingkat sepuluh dan kemudian berubah menjadi
manusia seutuhnya. Dengan begitu dia bisa berkumpul bersama-sama lagi dengan
Ibunya seperti manusia normal. Aku sama sekali nggak menyangka.
Marsita
tersenyum licik lagi sebelum kembali terfokus padaku. Dia kembali memegang
belati dengan erat dan sekali lagi mengarahkan benda itu tepat dimana jantungku
berada. Nenek, dimana kau sekarang? Aku tahu bahwa mimpiku itu benar, bahwa
nenek menyampaikan pesannya kepadaku kalau dia akan membantuku dan sekarang aku
butuh bantuannya. Nenek, tolong aku.
Aku nggak tahu
apa yang terjadi kemudian, namun ketika aku membuka mata, mataku langsung silau
ketika melihat cahaya putih terang di atasku. Ada cahaya putih terang
menyilaukan di atas kami semua seakan-akan itu cahaya dari surga. Marsita
menjatuhkan belatinya dan Clara dengan mulut menganga menatap langsung ke
cahaya itu. Cahaya apa itu sebenarnya? Apa itu adalah bantuan nenek untukku?
Tubuh Clara
yang tertimpa oleh cahaya itu
perlahan-lahan mulai berubah menjadi abu. Satu-persatu dari setiap anggota
tubuhnya berubah jadi abu seperti terbakar oleh cahaya putih itu. Dia berteriak
frustasi melihat tubuhnya sendiri dan pada akhirnya dia sepenuhnya menjadi abu.
Dia sudah mati lagi, menjadi hantu yang tak akan pernah kembali ke alam baka
dan hanya akan menjadi abu yang nggak berguna. Tali yang mengikatku terlepas
sendiri dan aku bisa berdiri tegak kembali.
“Clara!” pekik
Marsita dan dia segera mendekati abu anaknya. Dia mengenggam abu itu dengan
isak tangis yang tak tertahankan. Aku mengambil belati yang tadi dijatuhkan
olehnya dan mendekati perempuan itu yang masih meratapi kematian anaknya yang
menjadi abu.
“Kau sudah
membunuh Ibuku,” aku bergumam pelan dibelakangnya, “Dan kau juga harus mati.”
Aku mengarahkan belati itu ke arahnya namun dia dengan cepat menghindar.
“Kau tidak
bisa membunuhku secepat itu, bocah!” serunya tapi aku nggak mau tahu. Aku
melayangkan belati itu ke arahnya lagi dan dia menangkap pergelangan tanganku
lalu merebut belati yang kupegang. Kemudian dia memelintir tanganku kebelakang
sampai aku menjerit kesakitan. “Diam atau kubunuh kau!” ancamnya sembari
mendekatkan belati yang dipegangnya ke leherku.
Cahaya putih
terang yang tadi menyinari kami menjadi menyempit sehingga hanya sebatas cahaya
yang mirip dengan cahaya lampu yang biasa dipakai di panggung-panggung. Cahaya
itu membentuk sosok samar, seorang gadis remaja yang aku lihat di mimpiku yang
merupakan reinkarnasi dari nenekku kini berdiri di depanku. Aku dan Marsita
sama-sama takjub melihat sosok itu di depan kami. “Si, siapa kau?” tanya
Marsita dengan nada gemetar. “Ke, kenapa kau bisa ada di sini?”
Sosok gadis
remaja itu nggak menjawab. Dia mengulurkan tangannya dan belati yang menempel
di leherku sekarang berpindah ke tangannya. Belati itu kemudian berubah menjadi
abu. Marsita langsung terkejut melihat kejadian itu. Dia mundur kebelakang
sambil masih menyanderaku namun akhirnya dia terpojok menabrak dinding batu di
belakangnya. “Aldi!” panggilnya kepada kaki tangannya. namun setelah dipanggil
beberapa kali, lelaki itu sama sekali nggak datang.
“Percuma
saja,” akhirnya sosok gadis remaja itu berbicara, “aku sudah menutup lubang itu
dan sekarang ruangan ini menjadi kedap suara. Dia tidak akan mendengar apapun
dari atas sana.”
“Brengsek!”
desis Marsita marah. “Kau tidak bisa membunuhku. Aku akan membangkitkan ritual
ini kembali dan anak ini akan menjadi tumbalnya!” dia mencekik leherku dan
tertawa setan, “Anak ini akan mati!”
Sosok di depan
kami mengulurkan tangannya lagi dan Marsita menjerit keras. Dia melepaskanku
dan memegang dadanya. Dari mulutnya keluar darah segar dan dia jatuh ke tanah
sambil masih memegangi dadanya atau lebih tepatnya jantungnya. Nampaknya sosok
gadis remaja itu meremas jantungnya dari dalam dan akhirnya Marsita mati dengan
mata membelalak.
Aku tertegun
diam melihat semua ini. Sesaat aku nggak bisa mengatakan apa-apa dan menoleh ke
arah sosok gadis remaja tersebut. Dia tersenyum kepadaku dan perlahan-lahan
tubuhnya kembali menjadi cahaya putih yang menyilaukan sebelum akhirnya
benar-benar menghilang dari hadapanku. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku
berusaha bangkit dan keluar dari ruang bawah tanah ini. Sesampainya di atas,
aku sama sekali nggak melihat tanda-tanda kaki tangan Marsita, si Aldi itu jadi
aku terus melangkah secara pelan-pelan keluar dari kamar. Aku berusaha untuk
nggak melihat mayat Ibu yang masih teronggok di depan pintu kamar walau rasanya
sangat sulit untuk melakukannya.
Ketika hendak
menuruni tangga, aku melihat sosok Aldi dan Paman Bibir Tebal di ruang tengah.
Paman Bibir Tebal sedang pingsan dan terikat di kursi sedangkan Aldi duduk
berjongkok di sebelahnya, sepertinya dia ketiduran. Aku bingung apa yang harus
aku lakukan. Aku nggak mau mengambil resiko untuk turun secara diam-diam dan
membebaskan Paman Bibir Tebal, tapi kalau dipikir-pikir kenapa aku mau
membebaskannya? Dia kan masih punya andil dalam rencana kejam Marsita ini.
Tapi aku harus
mengambil resiko itu. Jadi aku melangkah diam-diam menuruni tangga. Sesampainya
di bawah aku melirik takut-takut ke arah Aldi yang memang sedang tidur dan
melepaskan ikatan Paman Bibir Tebal.Aldi nampaknya orang yang ceroboh, dia sama
sekali nggak mengikat Paman Bibir Tebal dengan kuat sehingga aku cukup mudah
untuk membuka ikatannya. Paman Bibir Tebal masih belum sadar dan aku mulai
bingung bagaimana cara membawanya. Namun kemudian aku punya ide. Aku pergi ke
ruang tamu dan membuka pintu depan secara perlahan-lahan dan berlari keluar.
Kalian tentu tahu apa yang akan kulakukan.
Di wilayah ini
ada jadwal ronda dan itu dilaksanakan setiap malam. Pos rondanya sama sekali
nggak jauh dari rumahku, jadi aku berlari ke arah pos ronda itu dan menemukan
dua orang yang nampaknya baru saja menjalankan tugas mereka. Memang ronda ini
dimulai dari jam sepuluh malam sampai jam empat pagi. “Tolong, tolong!” seruku
kepada dua orang itu. “Ada pembunuh di rumahku dan kalian harus segera ke
sana!”
“Apa? Ada
apa?” seorang bapak berkepala plontos menanyaiku dengan raut keheranan. Ya
tentu semua orang akan heran melihat seorang anak kecil datang lalu meminta
tolong seperti aku ini.
“Tolong pak!”
aku berusaha mengatur napasku yang sesak sehabis berlari. “Di rumah saya ada
pembunuh dan dia sudah membunuh Ibu saya. Saya
berhasil lolos dari pembunuh itu namun saya yakin bahwa dia akan
membunuh saya juga. Sekarang dia masih di rumah saya dan dia menyekap pelayan
saya.”
“Kau serius,
Nak?” bapak yang satu lagi bertanya. Dia membetulkan pecinya yang agak miring.
Aku mengangguk
yakin. “Cepatlah Pak! Ayo ikut saya!”
“Wah,
sepertinya anak ini bersungguh-sungguh,” kata si kepala botak. “Darmin kamu
beritahu yang lain sementara saya mengikuti anak ini. Kalau memang ada pembunuh
di rumahnya, kita perlu bala bantuan. Ayo Nak kita ke rumahmu.” Aku dan si
kepala botak berlari menuju rumahku sedangkan si Darmin pergi untuk memberitahu
warga yang lain.
Sesampainya di
rumah, aku segera menarik bapak itu ke ruang tengah. Paman Bibir Tebal masih
ada di sana dan masih pingsan, tapi si Aldi sudah nggak ada. “Pembunuh itu
sudah nggak ada!” seruku kepada bapak kepala botak. “Tadi saya lihat dia berada
di ruangan ini dan dia…” aku melihat bayangan seseorang bergerak cepat di
lantai atas. “Itu dia!” aku menunjuk ke atas dan berlari menaiki tangga. Bapak
kepala botak mengikutiku dari belakang.
Aku melihat
Aldi masuk ke dalam kamarku dan aku pun mengikutinya. Namun ketika aku masuk,
tangan kuat Aldi meringkusku dan dia menekankan moncong pistol ke pelipisku.
Aku menjadi sandera lagi. “Berhenti!” perintahnya kepada bapak berkepala botak.
“Diam di sana atau anak ini mati!” bapak berkepala botak itu mengangkat
tangannya ke udara. “Sekarang kau minggir biar aku bisa membawa anak ini
keluar.” Perintah Aldi kembali dituruti oleh bapak berkepala botak.
Dengan langkah
perlahan sambil terus menekankan pistol ke pelipisku, Aldi pergi membawaku
keluar dari kamar. Aku nggak mau menjadi sandera dua orang dalam satu hari,
jadi ketika kami akan menuruni tangga aku melakukan suatu hal yang nekat. Aku
mengigit dengan kuat tangan lelaki itu sampai dia menjerit kesakitan dan
melepaskan dekapannya. Aku langsung berlari meninggalkannya. Aldi nggak begitu
saja membiarkanku lolos, dia berlari mengejarku juga sambil terus memegang
pistolnya.
Aku bisa
mendengar suara orang-orang di luar, jadi aku mempercepat langkahku. Aldi masih
mengejarku dari belakang, tapi aku nggak akan menyerah. Di luar, sudah banyak
orang yang berkumpul. Aldi tak akan bisa lagi mencari gara-gara dengan orang
sebanyak ini. Akhirnya aku selamat.
Aku selamat
dan aku gagal menyelamatkan Ibuku. Ternyata memang bukan Ibu yang aku
selamatkan sama seperti perkataan Clara dulu. Lalu siapa yang aku selamatkan?
Dua hari
setelah kejadian itu membawa dampak psikologis yang cukup hebat bagiku. Untuk
sementara waktu ini aku menginap di rumah Oma Hellen sampai bibi dan pamanku
menjemputku. Aku sudah nggak punya Ibu lagi. Entah apa yang nanti akan terjadi
kepadaku, apa bisa aku menjalani hidup ini tanpa sosok seorang Ibu? Apa sehabis
ini aku akan tinggal di rumah paman dan bibi di Yogyakarta dan pindah sekolah
lagi?
Aldi telah
ditangkap. Polisi datang malam itu juga ke rumahku. Mereka menyisiri lokasi dan
membawa jenazah Ibu berserta Marsita. Paman Bibir Tebal akhirnya tersadar dari
pingsannya dan sekarang dia sudah nampak seperti biasanya lagi. Aku tahu bahwa
Paman Bibir Tebal nggak salah apa-apa. Dia hanya menjalankan tugas dari Marsita
untuk menjual rumah ini tanpa tahu sama sekali maksud dan tujuan sebenarnya
dari wanita iblis itu. Aku benar-benar beruntung bisa selamat dari kejadian itu
dan itupun berkat bantuan nenek. Ketika aku menceritakan semuanya tanpa ada
satupun yang kututup-tutupi termasuk tentang ritual kuno, hantu Clara, dan
cahaya putih menyilaukan serta sosok gadis remaja yang tiba-tiba muncul kepada
polisi. Mereka terlihat bingung dengan penjelasanku dan akhirnya berkata,
“Apa?” kata yang pernah kuduga sebelumnya bakalan diucapkan oleh mereka.
Acara pemakaman
Ibu dilakukan sehari setelah kejadian tersebut. Sanak saudara kami nggak ada
yang hadir satupun di pemakaman Ibu karena mereka semua tinggal sangat jauh
dari sini dan berita ini baru saja sampai ke telinga mereka, jadi mereka nggak
bisa datang ke acara pemakaman. Aku berusaha tegar ketika melihat mayat Ibu
dimasukkan ke liang kubur dan para penggali mulai menguburnya. Rekan-rekan
sejawat Ibu dan tetangga-tetangga kami berusaha menghiburku dan menguatkanku.
Namun tetap saja terasa sakit bagiku untuk kehilangan Ibu di usia sepuluh
tahun. Aku kehilangan Ayah di usia tiga tahun dan sekarang Ibu.
Aku merasa
bahwa teka-teki dari misteri rumah itu masih belum sepenuhnya terjawab. Masih
ada satu potong puzzle lagi yang perlu diletakkan dengan benar supaya semuanya
menjadi jelas. Ibu Angela menyembunyikan Clarissa di suatu tempat dan tak ada
satupun yang tahu dimana. Tak ada yang tahu juga apakah si Clarissa ini sudah
meninggal ataukah masih hidup. Mengenai Clara, aku sudah memaafkannya. Dia
sebenarnya hantu yang baik walau dia memang bisa jadi jahat dan ganas. Aku
benar-benar nggak percaya bahwa dia memanfaatkanku selama ini hanya untuk
supaya dia bisa mencapai tingkat sepuluh dan menjadi manusia seutuhnya. Sampai
sekarangpun ketika aku memikirkan lagi kemungkinan itu, aku masih nggak
percaya. Ternyata Claralah yang mencuri lembaran sakramen itu dari laci kamarku
karena memang hanya dia yang tahu dimana aku menyimpannya. Dialah yang membuat
suara gaib yang pernah kami dengar dan berpura-pura nggak tahu tentang lubang
rahasia di bawah tempat tidurku. Benar kata hantu Claudia, bahwa bukan hanya
manusia saja yang bisa berbohong. Jadi apakah selama ini hantu-hantu yang
kutemui membeberkan kisah mereka dengan benar? Entahlah aku nggak tahu.
Hari ini aku
nggak masuk sekola lagi karena masih dalam tahap penyembuhan dari trauma karena
kejadian mengerikan itu. Aku sedang menyusun buku-buku pelajaranku ketika aku
melihat buku catatan Claudia yang aslinya merupakan kepunyaan Marsita terbawa
bersama buku-bukuku yang lain. Aku membawa buku itu dan duduk di sofa ruang
tengah dimana di sana sudah ada Oma Hellen yang sedang merajut. Aku membuka
buku itu dan isinya masih tetap sama. Aku membuka halaman terakhir dari buku
itu dan baru menyadari ada sebuah alamat tertulis di sampul belakangnya. Alamat
ini adalah alamat sebuah penginapan. Penginapan yang sudah kukenal baik karena
aku pernah menginap di sana.
Sekarang aku
tahu dimana Ibu Angela menyembunyikan Clarissa.
Siang itu juga
dengan bantuan dari pelayan Oma Hellen, aku pergi ke penginapan di mana aku dan
Ibuku pernah tinggal selama sepuluh hari sampai rumah kami selesai untuk
dibenahi. Rumah dimana teman hantuku yang nggak pernah mau menyebutkan namanya
tinggal. Aku masuk ke dalam dan harus berurusan dulu dengan bapak penjaga meja
depan. Uh, andai aku punya kekuatan hantu yang bisa pergi kemanapun kita mau
seperti menggunakan pintu ajaib Doraemon. Tapi untunglah bapak itu
mengizinkanku untuk masuk ke kamar tempat aku dan Ibuku tinggal dulu. Selain
itu kamar itu belum ditinggali oleh siapa-siapa. Setengah berlari aku menuju ke
kamarku, merasa sudah nggak sabar lagi untuk melihat hantu temanku tersebut
yang sudah kuketahui identitasnya sekarang.
Aku menemukan
dia duduk di tempat tidurnya sambil bersenandung lembut. Dia langsung tersenyum
melihatku. “Hei Bianca. Kau ke sini lagi? Dengan siapa kau ke sini? Rasanya kau
sekarang nggak bersama hantu.”
“Memang
nggak,” kataku lalu duduk di tepi ranjang. “Ada yang mau kukatakan padamu, ini
menyangkut namamu yang nggak pernah kau sebut-sebut.”
Dia langsung
terdiam mendengar perkataanku. “Mengenai itu…,” ujarnya malu-malu. “Aku…,”
“Nggak usah
disebut aku juga sudah tahu kok,” ujarku dengan senyum lebar. “Apa kabar
Clarissa, saudara kembar Claudia.”
dia sedikit
tersentak ketika aku menyebutkan namanya. Namun kemudian dia tertunduk dan
mukanya berubah menjadi sedih. “Maaf aku nggak menyebutkan namaku terlebih
dahulu. Masalahnya kenapa aku nggak menyebutkan namaku karena kau akan pindah
ke rumahku yang lama dan aku nggak kepingin kau tahu tentang masa laluku.”
“Tapi sekarang
aku sudah tahu semua kok. Kau adalah anak yang pendiam dan jarang bergaul,
sementara Claudia dia adalah anak periang dan dia pintar sekali melukis. Kau
nggak menyukai saudaramu begitu pula ibu tirimu. Jadi ibu tirimu mempengaruhimu
untuk memfitnah Claudia. Ibu tirimu meletakkan semua benda-benda ritualnya di
laci meja belajar Claudia dan kau berpura-pura menemukannya dan mengadukannya
kepada ayahmu. Ayahmu marah kepada Claudia dan saudaramu itu berubah dari anak
yang membuat bangga keluarga menjadi anak yang membuat malu keluarga sehingga
ayahmu mengurung Claudia di rumah. Dia nggak diijinkan keluar, mungkin dia
frustasi, tapi yang jelas pagi itu dia meninggal secara mendadak sama seperti
yang dikatakan pelayan rumah kalian itu. Lalu ibumu menuduh bahwa ibu tirimu
yang membunuh Claudia padahal nggak. Yang jelas ibumu terlanjur paranoid dengan
istri kedua suaminya dan kemudian membawamu kabur dari rumah. Namun kau
memberikan alamat penginapan ini kepada ibu tirimu karena kau merasa suka
kepadanya.” Aku menghentikan ceritaku untuk melihat ekspresi Clarissa. Dia
hanya diam saja dan mendengarkanku dengan penuh perhatian. “Kau berbohong
kepadaku bahwa kau meninggal di sini pada tahun 2002, padahal kau meninggal
diracun oleh Ibu tirimu pada tahun 1988 tepat sebelum ibu tirimu melaksanakan
ritualnya. Dia melakukan itu karena dia sama sekali nggak mau ada yang tahu apa
yang dia lakukan dan kau menurutnya suda tahu terlalu banyak sehingga dia nggak
mau mengambil resiko dengan membiarkanmu tetap hidup walau dia menganggapmu
sebagai anaknya sendiri. Maka daripada itulah Ibu Angela pulang ke rumah malam
itu untuk menuntut balas dan menyaksikan suaminya dibunuh oleh ibu tirimu.
Bukankah begitu?”
Clarissa
mengangguk lemah. “Ya, kau benar. Begitulah ceritanya. Maaf aku berbohong
kepadamu, tapi memangnya hanya manusia saja yang bisa berbohong?” seulas senyum
kini nampak di bibirnya yang pucat.
“Ya, aku tahu itu. Aku sangat tahu.” Aku pun
ikut tersenyum.
Epilog
SEBULAN SETELAH KEJADIAN ITU…
Aku sekarang
sudah pindah sekolah lagi. Paman dan Bibiku lah yang merawatku dan aku tinggal
di Yogya bersama mereka. Aku sudah berusaha melupakan kejadian itu, namun tetap
saja kematian Ibu membawa dampak yang menyakitkan buatku. Di rumah paman dan
bibi aku nggak bisa lagi berbuat sesukaku seperti aku tinggal bersama Ibuku
dulu. Walau mereka masih saudaraku juga, mereka punya dua anak lain yang juga
masih bersekolah dan aku hanya numpang saja dengan mereka sampai aku
benar-benar dewasa dan sudah mandiri.
Hesti dan Raka
adalah anak paman dan bibiku. Hesti berumur 14 tahun dan Raka sudah 16 tahun.
Mereka sudah remaja dan punya kegiatan mereka masing-masing. Sementara aku
seorang anak kecil berumur sepuluh tahun yang nggak mereka pedulikan. Paman dan
bibi sudah menasehati mereka agar mengajakku untuk melakukan aktivitas bersama
walau hanya sekedar bercakap-cakap atau nonton televisi bersama. Namun Hesti
dan Raka punya TV sendiri di kamar mereka dan mereka sangat jarang berbicara
denganku. Mereka hanya menyapaku sambil lalu, ngomong denganku seperti, “Hari
ini panas” atau “Pinjam guntingnya dong”. Yah, hanya sebatas itu saja sih.
Mereka masih menganggapku orang asing di rumah mereka.
Aku
mendapatkan kamarku sendiri. Nggak sebesar kamarku dulu dan letaknya berdekatan
dengan kamar pembantu di belakang. Atau mungkin ini dulu memang kamar pembantu?
Yang jelas pertama kali aku menginjakkan kaki di kamar itu, kamar itu kosong.
Belum ada sama sekali perabotan di dalamnya. Paman kemudian mengisinya dengan
perabotan-perabotan seperti lemari, meja belajar dan tempat tidur. Aku nggak
punya kamar mandi sendiri seperti yang aku dapat di rumahku yang dulu.
Ngomong-ngomong
soal tempat tidur baruku ini. Tempat tidur ini benar-benar baru dan sepertinya
nggak ada hantu yang menempatinya. Sama seperti yang Clara bilang, kalau
hantu-hantu yang menunggu tempat-tempat tidur di toko adalah hantu tingkat
rendah yang pergi karena nggak mau satu tempat dengan hantu yang lebih tinggi
tingkatannya darinya atau hantu-hantu yang meninggal bukan di tempat tidur,
seperti hantu yang dulunya meninggal karena kecelakaan mobil. Mereka bisa
memilih mau kembali ke alam baka atau mencari tempat tidur kosong yang belum
dihuni. Dan tempat tidurku yang sangat sempit dan kecil (aku yakin pamanku
nggak mau membuang-buang uang untuk membeli perabotan mahal untukku) sama
sekali nggak ada yang menghuninya. Dengan begitu aku sama sekali nggak mempunyai
teman baik dari manusia ataupun dari hantu.
Penghuni
tempat tidur Raka dan Hesti adalah remaja laki-laki. Yang satu berumur 17 tahun
dan yang satu lagi 19 tahun. Mereka berdua sangat sombong dan tentu saja nggak
akan mau bergaul dengan anak kecil sepertiku. Aku sudah bertemu dengan mereka
dan coba mengorek informasi kenapa mereka bisa meninggal, namun hasilnya nol
besar. Aku jadi benar-benar benci untuk tinggal di sini, lalu kalau aku nggak
tinggal di sini, aku mau dimana lagi?
Kebanyakan
saudara Ibuku tinggal di luar pulau Jawa dan aku nggak bakalan yakin mereka mau
menampungku. Paman adalah adik yang paling dekat dengan Ibu, jadi aku mau
diasuh olehnya. Namun aku benci dengan anak-anaknya, mereka memperlakukanku
kayak aku ini nggak ada. Tapi aku masih bersyukur aku masih dapat hidup
sekarang dan kebutuhanku tercukupi oleh pamanku. Ya dia sudah sangat baik.
Sekolahku
bukan sekolah untuk anak-anak kaya yang dulu. Anak-anak di sini memang
baik-baik dan mereka mau berteman sama siapa saja, jadi aku cukup nyaman di
sekolahku yang baru ini. Sekolahnya memang nggak besar dan fasilitasnya pun
masih belum terlalu lengkap, namun aku nggak mempermasalahkan hal itu.
Ngomong-ngomong soal sekolah yang lama, aku nggak bisa melihat acara ulang
tahun sekolahku yang sempat diundur dan baru saja dirayakan minggu lalu. Aku
jadi teringat dengan Clara, betapa dia sangat senang bernyanyi dalam kelompok
menyanyi kami dalam drama Putri Salju dan Tujuh Kurcaci itu. Aku nggak sempat
melihat bagaimana Georgia dengan bahasa Indonesia kacaunya bermain sebagai
Putri Salju di atas panggung dan betapa cocoknya Tiara menjadi Ibu tiri yang
jahat.
Ya, semuanya
selesai sudah. Aku sudah memecahkan misteri yang melingkupi rumahku yang dulu
itu walau dengan bantuan para hantu. Misteri yang hampir membawaku ke lembah
kematian andai saja aku tak diselamatkan oleh nenek. Nenek sekarang sudah
bereinkarnasi menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan aku berharap aku
bertemu dengannya di alam nyata.
Pagi hari
minggu ini merupakan hari yang sangat membosankan di rumah paman dan bibi.
Mereka semua bangun pada jam sembilan pagi sedangkan pembantu rumah ini sudah
bangun dari jam lima tadi dan mulai memberes-bereskan rumah. Dia agak sedikit
santai dalam menyiapkan sarapan pagi nggak seperti hari-hari biasanya. Tentu
saja karena penghuni rumah ini bangun lebih siang pada hari Minggu, jadi dia
menyiapkan sarapan juga agak siangan. Ketika itu jam masih menunjukkan pukul
setengah delapan lebih lima belas menit dan aku sedang menonton TV di ruang
keluarga ketika aku mendengar ketukan pintu dari luar. Aku berlari ke arah
pintu depan dan membukanya. Yang aku lihat membuatku kaget karena wajah orang
itu sepertinya kukenal.
Di depanku
berdiri seorang gadis remaja, mungkin berumur 17 tahun dan dia sangat mirip dengan
reinkarnasi nenekku. Dia punya senyuman yang menenangkan sama seperti nenek.
Dia benar-benar sama seperti gadis yang kulihat di mimpiku dan juga sosok yang
membantuku di ruang bawah tanah itu. Dan sekarang dia berdiri di depanku sambil
membawa sebuah kotak cukup besar.
“Hello, saya
baru pindah ke sebelah rumah ini dan Ibu saya memberikan kue ini kepada
tetangga kami yang baru. Mohon kalian menerimanya,” katanya dengan suara yang
persis sama dengan gadis reinkarnasi nenek. Dia menyerahkan kotak kue itu
kepadaku. Dengan gugup aku mengucapkan terima kasih.
Ketika gadis
remaja itu pergi, aku masih berdiri di ambang pintu sambil berpikir-pikir bahwa
sebenarnya nenek nggak akan pernah meninggalkanku seperti apa bentuknya
sekarang. Namun yang sampai sekarang masih mengganjal di pikiranku adalah
mengenai ramalan nenek kepadaku mengenai seseorang yang akan aku selamatkan,
tapi sejauh ini aku belum merasa menyelamatkan seseorang. Aku hanya mengangkat
bahu dan akhirnya menutup pintu depan.
Tamat!