Kamis, 06 September 2012

Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 3


Bab 3


HANTU ITU MENGGANGUK DAN MENAMPAKKAN SENYUM MENGERIKAN.
“Siapa lagi? Kau kan satu-satunya yang bisa melihatku di sini?”
“Ya, benar juga.” Aku menggaruk bagian belakang kepalaku. “Baiklah kalau begitu.”
Hantu temanku itu menyodorkan telapak tangannya dan aku dengan agak sedikit ragu menyentuhnya. Ternyata benar! Tangannya bisa kusentuh! Ya, rasanya seperti menyentuh udara kosong, tangan ini nggak mempunyai jiwa. Nggak ada aliran darah yang mengalir dan sangat lembek seakan-akan apabila kutekan sedikit saja, bentuknya akan hancur, dan tangan ini sedingin es. Aku sama sekali nggak tahu apa yang dilakukannya, tapi setelah aku menyentuh telapak tangannya, keadaan di sekitar seperti terdistorsi. Aku merasakan kepalaku pusing dan jantungku berdenyut lebih cepat, rasanya tubuhku seakan terhisap ke suatu dimensi, entahlah, yang jelas ketika aku membuka mata, aku sudah tiba di lobi penginapan.
Bapak penjaga meja depan terbengong-bengong melihatku, aku pun sendiri juga nggak dapat mengerti kenapa aku bisa ada di sini. Beberapa orang yang ada di lobi juga bengong, namun aku segera tersadar. “Hai bapak penjaga meja depan!” sapaku yang kubuat seceria mungkin.
“Oh, ya, kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya dengan muka heran. “Aku pikir tadi kau masih ada di kamarmu, istirahat.”
“Ya, aku ada urusan mendadak. Bilang sama Ibu bahwa aku akan pergi bersama temanku. Dia sudah menunggu di luar, jadi…,” aku bergegas keluar dari penginapan dan berteriak dari luar, “aku pergi dulu!”
Aku masih sempat mendengar Bapak penjaga meja depan berteriak ke arahku, “Tapi kupikir kau masih sakit…” sehabis itu suaranya menghilang.
Oke, sekarang aku harus meminta penjelasan dengan hantu yang telah membawaku keluar, eh, tapi bukankah dia nggak bisa pergi keluar dari penginapan? Ah, sial! Kenapa aku baru ingat sekarang! “Kau mau pergi ke mana?” sebuah suara yang nggak kuketahui asalnya bertanya kepadaku. Aku segera melihat kanan-kiri, tapi nggak ada seorang pun di dekatku. “Aku ada di dalam kepalamu,” suara itu berujar lagi. Segera aku memegang kepalaku dan bertanya, “Memangnya ini siapa?”
“Masa kau melupakan suaraku? Aku hantu teman baikmu. Aku yang membawamu keluar dari kamar dan ternyata aku berhasil!” suara itu terdengar sangat senang.
“Bagaimana bisa kau berbicara denganku? Aku pikir kau nggak bisa keluar dari penginapan?”
“Memang benar. Tapi aku bisa berbicara denganmu karena aku berada di dalam tubuhmu, ya mungkin untuk beberapa jam ke depan. Ini salah satu keistimewaan hantu tingkat tiga.”
Seorang Ibu dan anaknya yang kebetulan lewat di depanku, memandangku aneh, karena jelas aku kelihatan berbicara sendiri. Aku segera pergi dan terus berbicara, “Jadi sekarang ini tubuhku telah dikuasai olehmu? Seperti kesurupan begitu?”
“Nggak. Kau masih mengontrol tubuh dan pikiranmu. Aku hanya bersemayam sementara di dalam tubuhmu dan nggak akan menguasai atau mengontrol pikiranmu, tapi kalau aku mau, yah, aku bisa melakukannya.”
Aku mengangguk-ngangguk kecil merasa bahwa orang-orang menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Kebetulan aku selalu membawa dompetku kemana-mana. Uang di dalamnya memang nggak banyak, hasil tabunganku dari menyisihkan sebagian uang saku, tapi kupikir bisa untuk naik taksi. Aku nggak suka naik bajaj ataupun angkot, karena aku nggak pernah naik kendaraan itu seumur hidupku dan rasanya aku mau muntah bila berada dalam angkutan tersebut barang satu menit saja. Oke, ejek saja aku anak manja, aku nggak peduli. Dan nggak ada pangkalan ojek sejauh mata memandang, jadi kuputuskan untuk mencari taksi, walaupun aku tahu bayarannya pasti akan mahal.
Ada sebuah taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya beberapa meter di depanku. Segera aku mendekati taksi itu dan masuk ke dalamnya. Si supir memandangku aneh, tapi aku memberitahukannya tempat yang akan kutuju dan tanpa bertanya lagi, dia langsung menjalankan mobil. Hantu di dalam kepalaku terus bertanya kenapa aku memutuskan untuk memilih tempat itu, tapi aku memilih untuk diam. Nggak mungkin aku menjawab pertanyaan sementara si supir terus saja mengalihkan pandangannya ke kaca spion. Kalau aku menjawab, maka dia akan membelokkan perjalanan ini ke rumah sakit jiwa.
Setelah sampai di tempat yang kutuju, aku membayar ongkos taksi dan mengira-ngira bahwa argo taksi itu sudah disabotase si supir. Tempat yang kutuju inilah adalah sebuah mall. Yak, aku nggak pernah pergi ke mall sendirian, karena umurku baru sepuluh tahun dan sekarang aku ingin mencobanya. Ibuku selalu melarangku pergi ke mall ataupun jalan-jalan ke mana pun sendirian, soalnya dia takut bakalan ada yang mencopetku walaupun aku nggak tahu ada pencopet yang mau mencopet anak sepuluh tahun. Lebih tepatnya lagi aku takut kalau-kalau aku diculik dan dijual ke luar negeri. Itu kendengaran lebih masuk akal, tapi Ibuku nggak pernah menggubrisnya seakan-akan dia lebih takut kepada pencopet daripada sindikat penculikan anak.
Aku merasa seperti gembel masuk kota. Baju yang kukenakan sangat nggak pas untuk dibawa pergi ke mall, karena aku hanya memakai kaus longgar dan celana pendek selutut juga sandal jepit yang biasanya dipakai di dalam rumah. Seorang satpam memperhatikanku dan mengeluarkan alat komunikasinya. Bagus, sepertinya dia melaporkan bahwa ada orang gila masuk. Aku terus saja berjalan tanpa memperdulikan tatapan beberapa orang yang memandangiku dari atas ke bawah. Hantu temanku terus saja mengoceh, bahwa sudah sembilan tahun dia nggak pergi ke mall dan pemandangan mall sekarang menakjubkannya.
Kami atau lebih tepatnya aku, naik eskalator ke lantai dua dan melihat seorang ibu yang menggendong anaknya sedang memilah-milih baju yang sangat nggak cocok untuknya di salah satu butik ternama di mall ini. Sebenarnya aku nggak bermaksud untuk membeli sesuatu di sini, karena merasa uangku nggak akan cukup dan hanya melihat-lihat sepertinya menyenangkan. Aku nggak bisa membayangkan bahwa tetanggaku dahulu adalah seorang wanita yang sangat gila belanja ke mall. Dia selalu menghabiskan hampir setengah harinya untuk berbelanja ke mall. Bahkan aku pun nggak akan heran bahwa dia pun membeli jarum pentul di mall.
Setelah puas melihat lantai dua yang isinya sangat monoton (baju, sepatu, baju, sepatu, dan toko mainan, dan oh, satu toko olahraga) aku menaiki eskalator lagi menuju lantai tiga. Total keseluruhan mall ada lima lantai dan biasanya di lantai kelima, kau hanya menemukan orang-orang yang menjual kain ataupun karpet dan pintu di ujung biasanya menghubungkan ke tempat parkir. Di lantai tiga, ada sebuah toko besar yang menjual furniture, yang artinya termasuk di dalamnya adalah tempat tidur. Ada beberapa tempat tidur dalam berbagai ukuran di sana, jadi aku bermaksud untuk melihat-melihat ke dalam. Sebenarnya ini bukan ideku, tapi hantu di dalam tubuhku menginginkan aku masuk ke sana. Seorang petugas toko itu mengernyit heran saat aku masuk. Sepertinya dia berpikir bahwa aku adalah hama yang akan mengerecoki pembeli lainnya. Namun, aku terus melenggang masuk ke dalam toko. Ada sebuah keluarga bahagia yang sedang menawar sebuah tempat tidur berukuran besar dan pelayan toko itu dengan sumringah menyebutkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki tokonya ini, termasuk potongan harga yang cukup besar, walau aku sangsi kalau itu benar.
Namun, pandanganku bukan tertuju kepada acara tawar-menawar itu, melainkan tempat tidur itu. Tempat tidur itu begitu lusuh dan tua dan seorang wanita, penunggu tempat tidur itu, berteriak-teriak marah ketika tempat tidurnya akan dijual. Tentu saja nggak ada yang menggubrisnya. Wanita itu punya muka yang penuh dengan luka cakaran, mungkin dia mati karena dicakar kucing atau binatang lain yang punya kuku tajam, yang jelas aku melihat dia berteriak-teriak ke arahku, seperti memohon agar aku membatalkan transaksi itu yang nggak akan mungkin dilakukan. Mana mungkin aku bisa membatalkan transaksi itu dengan mengatakan, ‘eh, ngomong-ngomong tempat tidur ini ada penunggunya, lho!’ Itu rasanya sangat mustahil untuk dilakukan. Aku menanyakan kepada hantu temanku apakah aku harus menolong hantu itu, tapi kebetulan seorang pelayan toko lewat di depanku dan walaupun dia nggak berkata apa-apa, aku yakin di dalam hati dia sudah membaca doa-doa tolak bala.
Merasa tidak diperhatikan, hantu perempuan itu dengan marah mencengkram kepala anak laki-laki keluarga itu yang mungkin baru berusia lima tahun, menarik rambutnya dan menyeretnya ke lemari terdekat. Kemudian hantu itu menghentakkan kepala anak itu kuat-kuat ke lemari itu, membuat kepalanya mengeluarkan darah dan anak itu segera menangis. Orang tuanya terkejut dan mereka lebih terkejut lagi ketika melihat anaknya membanting kepalanya sendiri ke lemari (karena memang itulah yang terlihat oleh mereka). Setelah tiga kali bantingan kepala, anak itu roboh ke tanah dengan darah berlumuran membasahi baju dan lantai. Semua orang di toko mengerubuti anak itu. Seseorang berteriak bahwa anak itu masih hidup, dan ayah dari anak itu membopong anak itu keluar toko.
Aku melihat semua kejadian itu dengan mata terbelalak. Hantu perempuan itu begitu menakutkan dan ketika aku kembali memandanginya, dia menyeringai ke arahku dan kembali meringkuk di tempat tidurnya.

Kejadian kemarin nggak bisa kulupakan. Waktu aku cerita hal itu ke Ibu, dia terlihat sedih sekali. “Anak itu pasti mengalami depresi berat!” ujarnya.
Aku nggak yakin seorang anak lima tahun bisa mengalami depresi, tapi aku membiarkan Ibuku dengan argumennya sendiri. Ini adalah hari dimana aku akan pindah ke rumah baru. Aku benar-benar akan sangat merindukan teman hantuku, dan dia bilang dia akan segera menyelesaikan pelajarannya sampai ke tingkat paling tertinggi supaya bisa keluar dari penginapan dengan leluasa. Aku mengangguk saja, walau aku nggak tahu akan makan waktu berapa tahun untuk itu.
Pagi itu, sebelum berangkat ke sekolah, aku mengambil salah satu koran di meja depan ketika bapak penjaga meja depan tengah pergi ke toilet. Setiap pagi dia selalu memborong koran untuk dijualnya ke para penginap, tapi karena Ibuku nggak suka baca koran, walau dia langganan empat jenis majalan bisnis, jadi aku mengambil koran itu diam-diam dan memasukkannya ke dalam tas untuk kubaca nanti pada jam istirahat sekolah.
Sekolah berjalan seperti biasa, namun sayangnya hari ini Georgia nggak masuk jadi aku duduk sendirian. Si jahat Tiara, tetap memandangku dengan pandangan jahatnya entah karena apa, namun yang jelas dia satu-satunya murid di kelas ini yang tak pernah kusapa. Pada jam istirahat, dengan lagi-lagi harus menghindari Trio Truk Gandeng, aku pergi ke WC, dan masuk ke salah satu biliknya. Ada sebuah WC duduk di bilik ini dan aku duduk di atasnya sambil membaca koran yang kuambil di penginapan tadi pagi. Di sini bau, tapi karena sudah terbiasa, dan menurutku semua WC sekolah itu bau, maka dengan tenang aku membaca koran. Aku ingin melihat apakah kejadian di mall kemarin dimuat di dalam koran, aku ingin tahu siapa nama anak itu dan bagaimana keadaannya sekarang. Namun setelah kubolak-balik halaman demi halaman, meneliti setiap kolom, berita tentang anak itu nggak ada. Koran-koran sekarang memang nggak bermutu.
Ibuku nampaknya telah selesai mengepak barang-barang kami dan semuanya telah tertata rapi di bagasi, jadi kami akan segera pergi ke rumah kami yang baru. Rumah yang besar, seperti villa berhantu dan Paman Bibir Tebal yang menjaganya, membuatku sebenarnya enggan untuk pindah. Terutama aku belum tahu hantu macam apa yang menunggu tempat tidurku, apakah hantu yang pernah dibicarakan oleh teman hantuku itu? Ketika aku melihat rumah baru kami untuk kedua kalinya, catnya sudah diganti jadi warna krem. Paman Bibir Tebal sudah menanti di depan gerbang dan aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang mengecat seluruh dinding rumah ini dalam waktu tiga hari? Padahal rumah ini sangat besar. Lukisan-lukisan yang dulunya memenuhi dinding ruangan, sudah diturunkan dan dipindahkan ke gudang. Beberapa perabotan baru dan yang lama sudah ditata rapi. Aku lumayan kecewa ketika lukisan abstrak yang kusukai di ruang makan itu juga dipindahkan ke gudang, padahal aku berencana untuk menaruhnya di kamarku.
Aku melihat kamarku lagi, semuanya masih nampak sama, bahkan catnya pun sama! Dasar Ibu pelit! Kenapa hanya kamarku saja yang nggak dicat? Apa karena kamar ini catnya masih bagus? Dan ada juga beberapa furniture tambahan. Tempat tidurnya masih sama, namun seprainya berbau harum toko. Masih nggak ada tanda-tanda kemunculan hantu di sini. Aku masih belum mendapatkan TV pribadi, padahal aku sudah memintanya sebelum kami pindah ke sini. Aku naik ke tempat tidur dan menatap melalui jendela, pohon itu masih ada, dan seorang hantu wanita yang kulihat di kamar Ibuku berada di bawahnya. Tapi dia nggak sendirian, ada seorang lelaki, sepertinya hantu juga, karena kulit dan bibirnya begitu pucat. Dia jelas seumuran dengan hantu wanita itu, mungkin mereka sepasang suami-istri. Si hantu wanita melambai kepadaku, sama seperti yang dia lakukan ketika kami pertama bertemu, tetapi hantu lelaki itu hanya menatapku muram. Apa mereka adalah orang tua anak yang mati 23 tahun silam itu?
Pandanganku teralih ke sebuah suara yang memanggilku. Di ambang pintu berdiri Ibuku dan Paman Bibir Tebal. Aku mengikuti mereka sampai ke ruang tamu dan Paman Bibir Tebal menyerahkan kunci rumah ini kepada Ibu. Aku ingin meminta kunci duplikatnya, tapi Ibu membekap mulutku. Jadi, setelah basa-basi sebentar, si Paman Bibir Tebal pamit pergi. Jadi, disinilah kami, di rumah baru kami. Ibuku merasa sangat senang dengan rumah besar tapi berharga murah ini. Aku menyampaikan pendapatku bahwa rumah besar tapi berharga murah biasanya terdapat suatu rahasia yang kelam. Yang aku terima setelah menyampaikan itu adalah jeweran di telinga.
Malam harinya, ketika aku bersiap hendak tidur pada jam setengah sepuluh malam atas perintah Ibuku yang terpaksa kulakukan padahal ada film bagus di TV, aku mendengar suara-suara erangan yang memilukan hati. Rasanya suara itu berasal di kamar ini, namun nggak ada apa-apa di sini. Mungkin itu suara hantu penunggu, jadi aku mengabaikannya karena sudah terbiasa dengan suara-suara semacam itu. Biasanya para hantu itu bisa sangat jahil dan menggoda manusia dengan membuat suara-suara gaib seperti itu. Aku menunggu dan menunggu dan memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada sesuatu yang muncul, namun suara erangan itu malah mengecil dan hilang sama sekali. Kamarku kembali sunyi senyap. Suara TV di lantai bawah tidak terdengar lagi, mungkin Ibuku mengecilkan volumenya, padahal dia biasanya menonton dengan volume keras hingga tetangga sebelah marah-marah. Setelah garuk-garuk kepala sebentar, aku pun akhirnya tertidur.

 Pagi pertama di rumah baru biasanya Ibu memasak sarapan istimewa. Kali ini dia membuatkanku bekal sandwich yang nggak enak, karena sebenarnya Ibuku itu nggak pintar masak. Tadi pagi kami makan nasi goreng sosis ditambah irisan telur, sayur dan bawang goreng yang kekurangan garam. Sebenarnya Ibuku tahu kelemahan yang dia miliki dalam urusan masak-memasak makanya dia selalu beli makanan di luar dan seingatku Ibuku memang memasak untuk acara-acara penting, itupun jarang yang berhasil. Aku melupakan sandwich buatan Ibuku ketika istirahat sekolah dan memilih makan bakso di kantin sekolah. Harga makanan di kantin ini terlalu mahal, nggak sesuai dengan kantong anak SD.
Georgia masih belum masuk hari ini dan Tiara semakin menjadi-jadi. Cewek ceking dan jelek itu nggak lagi menatapku dengan tatapan beracunnya, sekarang dia dan teman-temannya menghampiriku ketika kami menunggu guru yang mengajar datang. Dengan gayanya yang membuatku ingin muntah dia memulai percakapan dengan suara yang dimanis-maniskan, “Hai Bianca!” dia menyebut namaku dengan ‘Bianca’ pada bahasa Indonesia, maksudku ‘Bianca’ itu memang dibaca ‘Bianca’ bukan ‘Bianka’ seperti orang-orang barat yang hobi mengubah bacaan huruf C menjadi K.  Aku baru tahu bahwa Tiara adalah orang yang sangat nasionalis. Dan salahkan Ibuku yang sok kebarat-baratan.
“Namaku Bianca. C-nya diganti jadi K,” ujarku mengoreksi. ‘Tahu Bahasa Inggris nggak sih?’ tambahku dalam hati.
“Maaf deh,” ujarnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Teman-temannya cekikikan di belakangnya. “Oke, jadi Bianca, kau sudah hampir dua minggu ya bersekolah di sini, bagaimana menurutmu tentang sekolah ini?”
Apa-apaan dia? Emang dia pikir dia wartawan sekolah? “Cukup baik.” Lalu dalam hati aku menambahkan, ‘Tanpa kau pasti akan jauh lebih baik.’ Mungkin kalau Trio Truk Gandeng juga nggak ada, maka sekolah ini pasti akan sangat baik.
Dia mengangguk-ngangguk sok ngerti lalu berkata lagi, “Aku nggak suka ada murid baru yang lebih pintar dariku.”
‘Emangnya kau pintar?’ seingatku nggak pernah ada yang bilang bahwa Tiara anak pintar di kelas. Beberapa guru memang memujiku karena nilai-nilai yang kuperoleh, padahal aku belum lagi dua minggu di sini. Tapi seingatku mereka nggak pernah menyebut-nyebut Tiara pintar. Anna-lah murid terpintar di sini, kata beberapa anak, tapi dia sangat pemalu dan pendiam. Tiara hanya mengobral bualan saja.
Melihatku nggak berkomentar dia terus saja berkata dengan nada sinis, “tapi kau kan baru dua minggu ya, kau nggak mungkin mengalahkan Anna.”
Sekarang arah pembicaraannya berubah lagi. Sekarang dia membanggakan orang lain?
“Tapi di sini juga masih ada Dicky, dia lebih pintar dariku dan tentu saja darimu. Bahasa Inggrisnya adalah yang paling terbaik,” dia mengoceh terus.
Please deh! Dia ini ngomong apa sih?
Guru yang mengajar memasuki kelas dan Tiara beserta teman-temannya duduk di bangku masing-masing, bergerombol di satu deretan bangku. Aku nggak memperdulikan ucapan cewek menyebalkan, jelek, ceking, sok pintar dan segala macam hal-hal menjengkelkan lainnya yang pantas melekat padanya itu. Jelas-jelas dia hanya menggertak, membuat semua anak baru tahu bahwa dia yang berkuasa.
Tapi dia bukan siapa-siapa. Dia hanyalah anak kepala sekolah. Apa aku tadi bilang dia anak kepala sekolah?

Hari Minggu ini Paman Bibir Tebal mengunjungi rumah kami untuk numpang sarapan. Ibu membuatkan kami roti selai strawberry dan puding jelly yang terlalu lembek. Paman Bibir Tebal hanya makan roti selai strawberry sementara aku membuat orkestra dari piring-piring dan gelas. Ibu mencubit pipiku dan menghabiskan puding jellynya yang ketiga. Sepertinya hanya Ibuku yang memakan makanan itu.
Setelah selesai makan pagi, Paman Bibir Tebal minum teh dengan Ibu di ruang tamu, sedangkan aku pergi main keluar. Aku pergi ke bawah pohon besar yang selalu kulihat dari jendela kamarku dan mendapati hantu wanita bergaun biru itu. Sepertinya dia hantu tingkat enam, karena dia berhasil keluar dari tempatnya, tanpa harus bersemayam di tubuh orang lain.
“Hai,” aku menyapanya duluan dan dia hanya melambaikan tangan. “Siapa nama Anda?”
Dia terlihat diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Namaku Angela. Aku berumur 38 tahun ketika aku meninggal, menderita karena anakku.”
Aku nggak ngerti apa yang dia bicarakan jadi aku bertanya, “Apa maksudmu? Aku sama sekali nggak mengerti.”
“Anakku meninggal dan aku yakin dia dibunuh, tapi polisi dan semua orang nggak percaya denganku. Aku frustasi dan akhirnya bunuh diri.”
Dia bunuh diri? Hantu bunuh diri adalah hantu yang paling rapuh karena mereka menantang takdir Tuhan. Mereka bisa dimusnahkan dengan mudah oleh para dukun atau orang pintar atau pengusir setan atau apapun itu namanya, dan mereka nggak akan dikirim ke alam baka, mereka akan jadi abu yang bertebangan di langit.  Sepertinya hantu ini menabrakkan kepalanya sendiri ke dinding atau benda keras lainnya soalnya kepalanya berdarah-darah begitu. “Anakmu ini, apakah yang mati pada tahun 1988 itu?” tanyaku hati-hati. Inilah adalah topik paling sensitif untuk semua Ibu.
“Kau benar. Itu anakku. Itu Claudia! Dia pasti dibunuh! Aku tahu ada seseorang yang membunuhnya, mungkin dengan racun. Sianida, arsenik, strychnine! Apa pun yang pernah ada di novel-novel detektif. Aku pikir ada seseorang yang nggak suka melihatnya, atau sebenarnya dia ingin membunuhku, tapi jebakan itu malah mengenai Claudia! Sungguh malang anakku!” dia mulai menangis, tangis yang memilukan hati siapa pun yang mendengarnya.
Claudia? Dan Ibunya pasti penggemar cerita detektif. Tapi kata Paman Bibir Tebal dia mati mendadak. Dia mati pagi itu, dengan tenang. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi hantu wanita itu sudah menghilang dari pandangan. Dia melayang-layang di udara, sebelum akhirnya lenyap seutuhnya. Suara Ibu memanggilku dan aku kembali ke dalam rumah. Di depan pintu, aku hampir bertabrakan dengan Paman Bibir Tebal. Ibuku nampaknya benar-benar sumringah hari ini, dia menyanyi-nyanyi riang seakan-akan ini perkemahan dengan api unggun dan dia melompat-lompat seperti anak kecil. Dia berkata padaku bahwa dia akan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku lupa mengatakan bahwa setiap awal bulan atau kapan pun Ibuku merasa perlu untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, maka dia akan terlihat senang sekali. Itulah satu-satunya alasan dia bisa pergi jalan-jalan kemanapun dia mau, sendirian, dan bebas mengekspresikan apapun yang dia suka. Berkata seolah-olah, ‘aku ini masih gadis lho!’ di depan semua orang. Di usianya yang sudah 33 tahun, Ibuku memang masih kayak cewek umur 22 atau 23, yang jelas wajahnya nggak bertambah tua. Entah dia keturunan bidadari seperti di legenda Sangkuriang, yang jelas Ibuku selalu berdandan heboh kalau dia akan berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Dan satu yang paling menyebalkan, aku nggak boleh ikut! Padahal aku ingin membeli pasta instan kemasan yang ada di TV-TV itu dan mencoba membuatnya sendiri, soalnya aku suka pasta. Ibuku nggak memperbolehkanku memasak, bahkan akupun nggak diperbolehkan dekat-dekat kompor, jadi pertama kali aku memasak ketika umurku delapan tahun di rumah temanku yang di Surabaya. Dan hasilnya, telur dadar gosong tercipta. Air yang kumasak aja sampai kering saking kelamaan ditaruh di atas api, jadi aku benar-benar nggak terlalu berharap bakalan jadi Ibu yang baik juga suatu hari nanti. Ibuku bukankah dia juga nggak pandai masak? Mungkin ini semacam kutukan yang diturunkan langsung dari Ibu ke anak perempuannya.
Ketika Ibu sudah pergi, hal pertama yang kulakukan adalah menjelajahi rumah luas ini. Sebenarnya sih, satu-satunya ruangan yang ingin kutuju adalah gudang, tempat dimana barang-barang lama rumah ini disimpan. Gudang berada di luar rumah tepatnya di taman belakang dan baunya sangat apek dan berdebu. Aku terbatuk-batuk dan sedikit terjengkal ke belakang ketika seekor tikus besar lewat di depanku. Gudang ini penuh dengan lukisan, nggak heran karena pemilik rumah ini sebelumnya adalah kolektor lukisan dan anaknya pun adalah seorang pelukis.
Aku mengamati lukisan abstrak yang menarik perhatianku ketika pertama kali aku datang ke rumah ini. Warna-warnanya begitu indah, menyatu dengan sempurna, walau aku nggak ngerti apa arti dari lukisan itu, yang jelas pasti artinya bagus. Aku baru sadar bahwa ada semacam tanda-tangan pelukis di pojok kiri bawah lukisan itu. Biasanya memang kebanyakan pelukis memberikan tanda tangan mereka pada lukisan mereka. Tanda tangan itu membentuk sebuah nama yang nampaknya pernah mampir ke telingaku.
Claudia, 12 Jan 1985
Claudia. Si hantu wanita itu menyebutkan nama anaknya Claudia dan Paman Bibir Tebal menyebutkan bahwa anak pemilik rumah ini dulu sangat pintar melukis. Dia mati di kamar yang sekarang menjadi kamarku. Si hantu wanita menyebutkan bahwa dia dibunuh dengan racun, tapi si Paman Bibir Tebal bilang dia mati mendadak. Sebenarnya mana dari dua ucapan ini yang benar? Aku mulai mencari-cari lagi lukisan-lukisan Claudia yang lain. Ada banyak di gudang itu, tinggal dipilih mana yang mau dijual. Nggak, aku nggak bermaksud menjualnya kok, tapi untuk anak umur 12 tahun, dia bisa menyaingi pelukis yang lebih senior.
Ada sebuah kardus usang dan pinggirannya sudah digigitin tikus tergeletak dengan damainya di pojok gudang. Kardus ini membuatku tertarik karena disitu tertempel kertas yang bertuliskan, BARANG BUKTI, HARAP JANGAN SENTUH! Eh? Barang bukti apa yang disimpan di gudang begitu lamanya? Tanpa ragu aku menarik kardus itu yang ternyata cukup berat dan mengeluarkan isi-isinya. Hal pertama yang kukeluarkan adalah sebuah foto seorang anak perempuan, namun wajahnya sudah ditutupi dengan bercak darah kering, sehingga aku nggak bisa mengenalinya. Aku menemukan juga sebuah buku sketsa dan melihat isinya. Isinya aneh, ada gambar orang mati digeletakkan di altar, bangkai burung gagak digantungkan layaknya jemuran. Ada sebuah kertas yang terjatuh dari buku sketsa, sebuah kertas yang telah menguning dengan tulisan yang sudah hampir memudar. Mungkin isinya kira-kira begini,
Satu perubahan rencana! Penggunaan sakramen-sakramen harus dilakukan secepat mungkin. Sakramen yang terakhir harus segera disempurnakan! Harus ada yang melakukannya, dan kau bisa melakukannya. Anakmu sendiri yang harus menjalani semua ini, bukan orang lain seperti rencana awal. Kami sudah mempengaruhi pikirannya, tidak mudah untuk melakukan itu, tapi perdamaian di bumi harus ditegakkan. Satu penambahan khusus dan inilah tugas-tugasmu :
(Bagian teks ini sama sekali nggak bisa kubaca, karena tinta penanya sudah sangat luntur)
Surat aneh, isinya pun aneh. Perubahan rencana? Sakramen? Perdamaian di bumi? Apa-apaan semua ini? Aku memutuskan untuk mengambil surat itu dan mengeluarkan yang lain dari dalam kardus, sebuah potongan artikel koran yang lusuh, judul beritanya berbunyi, ‘SEORANG ISTRI MEMBUNUH SUAMINYA’. Di bawah judul yang ditulis besar-besar itu ada tulisan lain lagi, ‘Diketahui bahwa sang istri  mungkin mengalami gangguan kejiwaan, karena setelah membunuh suaminya, dia juga membunuh istri pertama dari suaminya dan sampai sekarang wanita itu menjadi buronan polisi. Harap bagi yang tahu atau kenal dengan perempuan ini harap segera melaporkannya kepada polisi.  Diketahui nama wanita itu (bagian di sini dihapuskan dengan tip-ex)….’ Selebihnya aku nggak begitu tertarik namun tanggal koran ini membuatku heran, 29 September 1988. Aku juga mengambil potongan koran itu dan mengeluarkan segala macam hal yang ada di kardus. Sebuah buku catatan yang nggak bisa dibuka, pensil yang kedua ujungnya sudah diruncingi, sebuah pisau pemotong daging (yang membuatku bergidik) yang nampaknya masih bagus, lembaran-lembaran kertas kuno yang berisi tulisan yang sama sekali nggak kumengerti, ketika kusadari semuanya ternyata memakai bahasa inggris dan sebagian lagi latin. Selain dari hal itu aku juga menemukan sebuah boneka beruang usang dan sekantung permen yang sudah kadarluasa bertahun-tahun yang lalu.
Aku hanya membawa buku catatan yang nggak bisa dibuka itu sementara yang lainnya kutinggalkan di gudang. Di dalam sakuku aku masih menyimpan surat dan potongan koran itu untuk diberitahukan kepada Ibu, atau Paman Bibir Tebal yang nama aslinya pun sudah kulupakan. Aku kembali menuju ke kamarku dan perasaanku langsung nggak enak. Arwah jahat sepertinya bergentanyangan di kamar ini, di suatu tempat di kamar ini lebih tepatnya. Ya, ada sesuatu, sesuatu yang belum menunjukkan bentuk aslinya, namun tengah merangkak keluar dan menunggu waktu yang tepat. Nggak ada tanda-tanda hantu di sini, tapi aura ini benar-benar menyesakkan. Karena yakin aku sekarang megap-megap, aku menaruh buku catatan yang kutemukan di atas meja dan berlari keluar.
Sesampainya di luar, aku merasa perasaanku sudah mulai membaik. Rumah ini jadi terlihat makin angker. Seorang Ibu di usia awal 40-annya lewat di depan rumahku dan berhenti sambil memandangi rumahku dari pintu gerbang. Nggak ada satpam di rumahku, jadi keamanan rumah adalah tanggung jawab aku dan Ibuku. Ibu itu memakai daster paling norak dan paling silau yang pernah kulihat, terlebih lagi dandanannya yang terlalu berlebihan yang bahkan nggak sanggup menutupi keriput yang mulai bermunculan.
Si Tante Jelek, begitu aku menyebutnya. Aku memang selalu memberi julukan kepada seseorang karena penampilan atau sifatnya, jadi terus terang saja itu memang sifatku. Dia mengamatiku yang berdiri di balik pintu gerbang, membuatku merinding seakan-akan aku baru disiram air dingin. Sepertinya dia melihat sesuatu karena matanya terbelalak dan kemudian dia berteriak-teriak kayak orang kesurupan. “Pergi kau! Pergi kau dari rumah ini! Rumah ini kutukan! Kutukan!” setelah dia mengatakan hal itu dia langsung berlari pergi.
Aku sama sekali nggak ngerti apa yang dia bicarakan, yang jelas dia mengusirku dari rumahku sendiri. Mungkin dia orang gila di daerah sini, atau dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Dandanannya saja udah kayak badut sirkus. Tapi entah kenapa kayaknya dia mengatakan kebenaran, atau dia tahu sesuatu mengenai masa lampau rumah ini. Paman Bibir Tebal dia sudah bekerja di rumah ini ketika si Nona Claudia ini meninggal, dan dia juga pasti tahu sesuatu, cuma supaya rumah ini laku dijual dia menutup-nutupi kejelekan dari rumah ini.
Ngomong-ngomong rumah Paman Bibir Tebal di mana ya?

Malam ini aku makan pizza yang dipesan Ibu sore tadi. Paman Bibir Tebal tadi sore berkunjung ke rumah dan dia minum teh bersama Ibu di beranda belakang. Aku nggak suka adat minum teh tiap sore, tapi Ibu menyukainya. Itu mengingatkannya akan kenangan masa kecilnya bersama kakeknya yang sekarang sudah meninggal. Ibu nggak pernah lagi bertemu dengan orang tuanya, jadi terakhir kali aku bertemu dengan kakek dan nenekku sekitar lima tahun lalu. Ada masalah, itu selalu yang Ibu ucapkan. Nenekku pandai meramal, dia pernah meramal Ibuku bahwa dia akan menjadi single-parent dan akan mati dalam keadaan mengenaskan. Semenjak itu Ibu sama sekali nggak percaya sama ramalan tapi aku percaya ramalan nenek. Ketika aku berumur lima tahun, nenek juga meramalku dengan melihat garis tanganku dan mengatakan bahwa aku punya kelebihan istimewa dan aku akan menyelamatkan seseorang. Aku percaya dengan ramalan nenek yang pertama, aku memang punya kelebihan yang lebih bagus disebut kutukan, karena aku nggak pernah memintanya. Tapi yang kedua, aku nggak begitu yakin orang apa yang akan aku selamatkan.
Lagi-lagi hawa menyeramkan itu masih menyelubungi kamarku, namun aku berusaha untuk mengabaikannya. Memang ada sesuatu, tapi aku nggak tahu dan nggak mau tahu tentang hal itu sekarang. Hantu wanita penunggu tempat tidur Ibu datang mengunjungiku malam ini dan kami mengadakan obrolan mengenai anaknya.
“Jadi Ibu benar-benar yakin bahwa anak Ibu terbunuh bukan mati mendadak?” tanyaku benar-benar penasaran.
Dia menggeleng, rambutnya yang kusut menutupi keseluruhan mukanya. “Aku yakin bahwa dia dibunuh. Dia diracun, dia minum sesuatu malam itu, dan paginya dia langsung meninggal. Pasti karena minuman itu sudah dimasukkan racun.”
Kelihatannya hantu ini terdengar yakin sekali. Bisa saja itu cuma takdir Tuhan kan? Ada banyak orang yang terlihat baik-baik saja namun pagi kemudian dia meninggal. “Bagaimana dengan pemeriksaan polisi? Hasil autopsi menunjukkan bahwa anak Ibu diracun?”
Hantu itu terdiam dan menggeleng, “Tidak, autopsinya menunjukkan bahwa dia memang meninggal, tidak ada bukti bahwa dia diracun.”
Aku menghela napas, “Berarti dia memang meninggal.”
Suara hantu itu berubah menjadi tangisan miris, “Aku yakin bahwa dia dibunuh, kalau memang bukan diracun, dia meninggal karena sakramen itu!” suara tangisannya mengingatkanku pada suara tangisan kuntilanak di film-film.
Sakramen? Dia bilang sakramen? Di kertas lusuh yang kutemukan juga menuliskan tentang sakramen. Hantu itu pasti tahu tentang sakramen itu! “Sakramen apa yang kau maksud?”
“Oh, sakramen itu! Lembaran-lembaran dalam bahasa asing, Inggris dan Latin yang tidak pernah bisa kupahami. Mereka semua iblis! Mereka membunuh Claudia!” dia menjadi tambah histeris ketika menyebut nama anaknya.
Oke, aku akui bahwa aku sama sekali nggak nangkap apa yang dia bicarakan. Tapi seingatku memang ada beberapa lembaran dalam bahasa Inggris dan Latin di kardus yang kutemukan di gudang tadi pagi. Aku baru teringat juga tentang buku catatan atau buku diary? Pokoknya buku itu nggak bisa dibuka. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil buku tersebut kemudian menunjukkannya kepada hantu wanita di depanku. “Buku ini, ini nggak bisa dibuka. Kira-kira siapa yang punya buku ini?”
Rambut hantu itu tersibak sedikit, dan matanya yang merah terlihat membelalak. “Ya ampun, itu buku diary Claudia, buku itu tak pernah bisa dibuka karena hanya Claudia yang punya kuncinya. Aku menaruh buku itu di dalam kardus dan meletakkannya di sudut gudang. Semua barang-barang yang ada di dalam kardus itu adalah milik Claudia.”
“Aku menemukan lembaran sakramen yang Ibu bicarakan. Apa itu juga termasuk milik Claudia?”
“Ya, aku menemukannya di laci meja belajarnya, seminggu setelah kematiannya. Awalnya aku tidak tahu apa itu, jadi kusimpan saja bersama barangnya yang lain, tapi setelah aku tahu apa itu, aku berniat membuangnya, namun lembaran-lembaran itu telah menghilang, entah siapa yang mengambilnya.”
“Namun nampaknya lembaran-lembaran itu kembali lagi, ada seseorang yang mengambilnya kemudian mengembalikannya lagi.” Aku bertanya-tanya apa maksud dari orang tersebut.
“Kau harus segera memusnahkan lembaran-lembaran itu!” hantu itu berkata dengan keras, “lembaran-lembaran itu berbahaya, kau harus memusnahkannya sebelum orang itu kembali mengambilnya!”
“Tunggu dulu!” kataku cukup lantang, mungkin Ibu akan mendengar suaraku dari bawah, tapi nampaknya dia lagi masang earphone untuk dengerin musik. Biasanya dia melakukan itu kalau lagi bosan. “Memangnya apa yang menyebabkan lembaran itu berbahaya?”
Entah kenapa aku bisa merasakan bahwa dia ketakutan. Eh, ternyata hantu bisa takut juga? “Aku tidak bisa memberitahumu, nak. Kau harus mencari tahu sendiri.”
“Tapi kenapa?” tanyaku mendesaknya, “kau pasti mencurigai seseorang kan? Kau pasti tahu sesuatu.”
Sesosok hantu lain muncul di kamarku. Dia adalah hantu lelaki yang kulihat di bawah pohon tadi pagi bersama hantu wanita ini. Dia berwajah sangat pucat dan suram, bahkan kau pun bisa melihat mendung di atas kepalanya. Baru kusadari bahwa bola matanya berwarna abu-abu dan banyak sekali luka tusukan di tubuhnya. Dia nampaknya adalah seorang lelaki  tampan dulunya, namun aku nggak yakin apa yang menyebabkan badannya jadi terdapat banyak tusukan begitu. Sepertinya dia dibunuh oleh seseorang. “Itu suamiku, ayah Claudia,” ujar hantu wanita di sampingku. “Namanya Alfred. Dan, eh, kami harus pergi.”
“Sebentar Ibu Angela! Kau kan belum jawab pertanyaanku!” namun terlambat, dia dan suaminya menghilang.
Ada sesuatu yang salah di sini. Suami Ibu Angela alias ayah dari Claudia, sepertinya mencurigakan. Wajahnya seperti menyimpan begitu banyak misteri dan bola mata abu-abunya, sepertinya kontak lensa. Namun, adakah kontak lensa di tahun 1980-an? Entahlah, aku belum lahir pada saat itu. Hawa menyeramkan itu masih menghantui ruangan kamarku, apa dua hantu tadi merasakannya? Dan ngomong-ngomong aku nggak akan menuruti permintaan hantu itu. Enak saja! Aku nggak akan melakukan sesuatu yang belum jelas asal-usulnya.

Nggak terasa aku tinggal di rumah baruku ini sudah hampir dua minggu, itu berarti aku sudah bersekolah selama hampir sebulan di sekolah menyebalkan dengan murid-murid menyebalkan ini. Ibuku meminta pendapatku apakah aku betah tinggal di rumah yang baru, aku menjawab lumayan. Masalahnya hawa menyeramkan itu masih melingkupi kamarku, jadi aku nggak betah untuk terus tinggal di kamar. Hantu wanita itu nggak muncul-muncul lagi setelah percakapan kami mengenai kematian Claudia yang entah kenapa bisa dihubungkan dengan sakramen. Pagi hari Minggu itu aku bertemu dengan Paman Bibir Tebal yang memang sudah sering ke sini untuk numpang sarapan.
“Paman Bi…,” aku langsung menutup mulutku. Aku lupa nama asli lelaki ini. “Maksudku Paman, apa kau mengetahui sesuatu tentang kematian Nona Claudia?”
Dia hampir saja menumpahkan kopi yang sedang dipegangnya. “Bu, bukankah saya sudah mengatakannya? Kematian mendadak, dia meninggal di tempat tidurnya.”
“Bisa saja itu cerita yang kau karang-karang sendiri!” ujarku mulai kurang ajar. Untung nggak ada Ibu yang akan menghukumku.
Dia terlihat gelagapan. Aha! Aku tahu dia nggak beres! “Mana mungkin. Aku sudah bekerja enam bulan di rumah ini pada saat peristiwa kematian Nona Claudia terjadi. Dia memang terlihat sehat di malam hari dan paginya dia meninggal begitu saja.”
“Tapi apa dia minum sesuatu malamnya?”
Paman Bibir Tebal membuka mulutnya namun menutupnya lagi, sepertinya dia memikirkan perkataan apa yang cocok untuk dia keluarkan, “Rasanya dia hanya minum teh. Tapi itu hanya teh biasa, saya yang membuatkannya. Keterangan polisi dan hasil autopsi pun…”
“Menyatakan dia meninggal, karena memang dia harus meninggal,” ujarku memotong kalimatnya. “Lalu apa yang Paman ketahui mengenai sakramen?”
“Apa itu?” tanyanya heran. Wajahnya menunjukkan keheranan yang benar-benar asli. Mungkin dia memang nggak tahu apa-apa.
Aku menghela napas jengkel. Nggak ada satu pun informasi yang kuperoleh. Aku kepingin kembali ke penginapan, bertanya dengan teman hantuku di situ. Setelah aku memikirkan hal itu pun, aku sampai sekarang belum tahu siapa namanya. Dia nggak pernah memberitahuku, dan rasanya aneh aku nggak pernah mendesaknya untuk memberitahukan namanya.
Jauh di lubuk hatiku, satu kepingan dari semua teka-teki ini ada yang hilang.

Trio Truk Gandeng berhasil menyergapku di toilet. Aku benci banget sama mereka. Ingin rasanya menyeprotkan air toilet ke muka mereka yang lebar. Terutama yang ditengah. Aku tahu namanya adalah Melanie, aku mengetahuinya dari Georgia, tapi aku lebih senang menyebutnya Si Gendut No.1. Dan dua temannya yang lain, Silfa dan Rika, aku panggil Si Gendut No. 2 dan Si Gendut No.3. Mereka pasti akan marah besar kalau aku memanggil mereka begitu.
“Nah, akhirnya kami berhasil menangkapmu juga, Tikus Got!” ujar Si Gendut No.1 sampai ludahnya muncrat ke mukaku.
“Aku bukan tikus got!” aku berusaha memberanikan diriku sendiri walau aku tahu aku nggak bakalan menang ngelawan mereka.
“Ya, kau tikus got! Sudah lama kami mencarimu dan kau bersembunyi di dalam toilet. Bersembunyi saja di dalam parit sekalian!” dia tertawa keras-keras bersama teman-temannya.
Aku benci mereka. Kenapa aku harus dapat musuh sebesar gajah seperti mereka? Kalau Tiara, hah, cewek jelek dan ceking itu bisa kupatahkan tulangnya kalau dia berani berkata begitu.  Trio Truk Gandeng? Aku nyerah deh.
“Kau kan belum bayar uang keamanan!” bentak Si Gendut No.1 lebih keras daripada sebelumnya. “Sekarang bayar atau kujeburkan mukamu ke dalam toilet!”
“Seharusnya aku yang melakukan itu!” setelah mengatakan itu aku ingin menampar mulutku sendiri.
Trio Truk Gandeng terdiam sesaat, sebelum akhirnya meledak dalam tawa yang menggetarkan toilet. Suara bel berbunyi walau nggak terlalu terdengar dari toilet karena diredam oleh tawa setan Trio Truk Gandeng. Tawa mereka terhenti, tapi aku masih melihat bahwa sebenarnya mereka ingin tertawa lagi. “Kau selamat untuk hari ini Tikus Got! Kami ada ulangan dan yah, kami harus pergi.” Mereka pergi keluar dari toilet dan tertawa lagi.
Di kelas, pelajaran Bahasa Inggris. Di sekolah ini pelajaran Bahasa Inggrisnya sudah dimulai sejak kelas satu. Di sekolahku dulu, sejak kelas tiga, dan di sekolahku yang dulunya lagi malahan baru kelas enam yang belajar Bahasa Inggris, dan sekolah yang dulu-dulunya lagi, aku nggak ingat. Aku sedikit terhibur melihat Tiara dimarahi oleh Bu Tina karena nggak bisa menyebutkan kata ‘father’ dan ‘mother’ dengan benar. Dia dan lidah nasionalisnya….
Georgia nggak perlu diragukan lagi. Sebagai anak yang menganggap Bahasa Inggris adalah bahasa sejak bayi, dia terlihat acuh tak acuh saja. Bu Tina juga nggak pernah menanyainya seingatku. Dan Dicky, orang yang dibilang Tiara pintar berbahasa Inggris, ternyata dia memang lumayan. Tiara melotot ke arahku karena dia menangkap basah aku yang sedang cekikikan ke arahnya.

Ibuku adalah penyayang binatang. Dia membawa kembali kucing tetangga kami yang dibuang oleh mereka kemarin dan dengan ikhlas menasehati mereka bahwa binatang itu jangan disia-siakan. Aku pikir mereka nggak menginginkan kucing itu jadi mereka membuangnya, lalu kenapa Ibuku yang sewot dan susah-susah membawa pulang kucing itu? Setahuku para binatang punya ingatan tajam, jadi apabila seekor kucing dibuang jauh-jauh, asalkan matanya nggak ditutup, suatu hari nanti dia pasti akan kembali ke rumah pemiliknya. Tapi aku nggak begitu yakin mengenai teori itu, soalnya tetanggaku yang di Bandung dulu sering kehilangan anjing mereka dan binatang itu nggak pernah kembali.
Walau Ibu adalah penyayang binatang, kami nggak memelihara binatang. Eh, ada sih, ikan hias yang diletakkan di aquarium depan. Aku lumayan alergi dengan semua binatang berbulu dan aku pernah menyarankan kepada Ibu agar kita memelihara reptil yang langsung ditolaknya mentah-mentah. Baru saja aku berpikir tentang Ibuku, orangnya sudah nongol di pintu depan. Wajahnya ditekuk, dan dia terlihat marah. Pasti karena tetangga itu nggak menggubris perkataannya.
“Kenapa orang sekarang membenci binatang?” gerutunya setelah dia duduk di sofa di sebelahku. “Keluarga Bisono itu seharusnya memelihara kucing mereka dengan benar!”
“Mereka nggak suka kucing,” kataku pelan-pelan, “lagipula itu urusan mereka, kenapa Ibu harus turut campur?”
Ibuku melipat tangannya di dada dan mendengus kesal. Lebih baik aku berlari masuk ke kamar saja sebelum dia mengomeliku yang macam-macam. Aku bosan di kamar ini, hawa menyeramkan itu terlihat ingin mengancam, namun kekuatannya belum cukup untuk mengajukan ancaman besar. Pokoknya apapun itu, dia ada di sini, dan aku yakin dia adalah penunggu kamar ini, cuma dia belum mau menampakkan wujudnya. Ngomong-ngomong soal hantu, hantu wanita itu kemana sih? Aku belum mendapat penjelasan nih tentang sakramen itu. Mengingat sakramen, membuatku ingin kembali ke gudang dan mengambil lembaran-lembaran lusuh dari dalam kardus yang juga sama lusuhnya.
Di gudang, aku mencari lembaran itu di dalam kardus yang sama dan berhasil mendapatkannya. Tapi rasanya ada yang aneh mengenai posisi kardus ini. Aku yakin kardus ini sudah dipindahkan beberapa senti dari tempat semulanya. Ada seseorang yang tahu tentang sakramen-sakramen itu, tepat seperti kata hantu Ibu Angela, dan lebih anehnya, dia nggak mengambil apa-apa di dalam kardus ini. Aku sangat yakin isi kardus ini sama seperti yang aku tinggalkan beberapa hari lalu. Kubawa lembaran-lembaran berbahasa yang sama sekali nggak kumengerti itu ke ruang tamu tempat dimana Ibuku sedang nonton sinetron pagi. Aku menyimpan yang berbahasa latin dan menunjukkan ke Ibu yang berbahasa inggris, karena tuntutan pekerjaannya yang selalu berhadapan dengan orang bule, Ibuku pintar berbahasa inggris.
“Apa ini?” tanyanya sambil mengerut melihat isi sakramen itu.
“Aku temukan itu di dalam kardus yang berada di gudang. Kira-kira apa artinya?” aku menengok wajah Ibuku yang nampaknya memancarkan sinar ketidakpercayaan.
“Isinya menyeramkan,” kata Ibuku, “lebih baik kita buang saja.”
“Tunggu dulu!” aku menahan lengan Ibu yang hendak berdiri, “aku kan belum tahu isinya!”
“Tidak bisa Bianca! Ini bukan untuk anak umur sepuluh tahun!” Ibuku berusaha melepaskan pengangan tanganku dari lengannya, tapi aku semakin memperkuat penganganku.
“Aku yang menemukannya, jadi aku berhak tahu!” kataku keras kepala. Aku emang nggak pernah bisa ngomong sopan di depan orang yang lebih tua, bahkan Ibuku sendiri.
“Kalau kau benar-benar ingin tahu, ini tentang ritual,” ujar Ibuku kemudian dia duduk kembali dan meletakkan lembaran-lembaran tersebut di atas meja.
Aku berhenti memegang lengan Ibuku. “Ritual? Maksud Ibu seperti memberikan sesembahan begitu?”
“Aku juga nggak begitu mengerti,” aku Ibuku. “Namun di lembaran ini mengatakan bahwa ritual itu mengharuskan adanya seorang anak perempuan sebagai korban. Seorang anggota baru harus mengorbankan anak perempuannya sendiri untuk sesembahan dan meminum darah anak itu.”
“Iih, menjijikkan!” aku bergidik ngeri. “Masa’ mereka mau melakukan itu?”
Ibuku mengangkat bahu. “Beberapa halaman kayaknya ada yang hilang. Tapi di halaman terakhir mengatakan tentang sesuatu yang disebut sebagai kedamaian di atas bumi.”
Aku mengingat tentang kertas yang juga menyebutkan tentang membawa perdamaian ke atas bumi. Orang macam apa sih yang menulis semua ini?
“Yang jelas ini tidak masuk akal!” kata Ibuku mengagetkanku. “Aku tidak mengerti kenapa barang-barang ini ada di rumah kita!”
“Itu dulunya pasti punya pemilik rumah ini!”
“Jangan menuduh dulu. Kita kan tidak tahu benar tentang mantan pemilik rumah ini.” Pintu depan diketuk orang, jadi Ibuku pergi untuk membuka pintu. Aku langsung menyambar lembaran-lembaran itu dan berlari ke belakang. Selintas aku bisa melihat tamu Ibuku, Si Tante Jelek itu! Mau apa dia ke sini? Ah, biar nanti saja aku tanyakan kepada Ibu. Aku ingin melakukan sesuatu sekarang.
Di dapur, aku mengambil sebotol minyak tanah dan korek api. Aku membawa semua benda itu ke taman belakang. Ada tumpukan daun di bawah pohon besar, pasti akan dibakar oleh Paman Bibir Tebal. Mungkin aku bisa membantunya. Aku membuang lembaran-lembaran yang kusimpan ke tumpukan itu, menyiram minyak tanah di atasnya, dan menyalakan korek api. Aku melihat api yang menjalar, mulai menghanguskan daun-daun, namun ada yang aneh.
Lembaran-lembaran itu nggak terbakar!
Api itu seolah-olah menjauh dari lembaran-lembaran itu. Si api aneh itu malah terlihat menjauhi lembaran-lembaran tersebut dan malah membakar habis daun-daun di bawahnya. Aku mengambil semua lembaran itu, bahkan lembaran itu sama sekali nggak terasa panas. Aku menyalakan korek api lagi dan langsung membakar lembaran-lembaran itu. Namun, setiap korek api mendekati ujung lembaran itu, apinya langsung padam, seakan-akan ada yang meniupnya. Aku bisa bersumpah nggak ada apa-apa di sekitarku dan angin sedang nggak bertiup. Kalau memang ada hantu yang meniupnya, dia pasti nggak menampakkan wujudnya, dasar pengecut!
Karena nggak berhasil membakar lembaran-lembaran sial itu, dengan langkah mengentak-ngentak aku pergi masuk kembali ke dalam rumah.

Menyedihkan! Itulah kata pertama yang bisa ditangkap pikiranku ketika selesai mendengar cerita Ibu tentang si Tante Jelek. Ternyata namanya Rahayu, Ibu Rahayu, usia 45 tahun, tinggal di mana saja. Dia numpang dari satu rumah ke rumah yang lain. Dia kabur dari rumahnya, karena suaminya yang kejam dan suka memukul-mukul. Dia nggak punya anak, dan semua sanak familinya tinggal jauh dari sini. Dia sudah seperti orang gila, kalau melihat dandanannya, tapi ternyata dia 100% waras hanya saja agak sedikit depresi, begitu kata Ibuku. Apa pun namanya, dia tetap si Tante Jelek dalam pikiranku.
Aku mengatakan pada Ibu bahwa perempuan itu pernah nongkrong di depan gerbang rumah dan dia mengatakan tentang kutukan. Ibu hanya menggeleng dan mengatakan bahwa dia sedikit depresi makanya ngomongnya melantur. Aku bersikeras bahwa dia adalah orang gila yang pscyho, namun Ibu juga bersikeras bahwa dia mengalami sedikit depresi, aku pun juga tetap bersikeras bahwa dia kehilangan otaknya. Ibu memarahiku atas kekurangajaranku, dan aku diam saja. Aku pun bingung kenapa aku bisa mendapat tingkah laku kurang ajar seperti ini.
Siaran berita aku tinggalkan karena aku merasa bosan dan akhirnya memutuskan masuk ke kamar. Sebelum ke kamarku sendiri, aku ke kamar Ibuku siapa tahu aku bisa bertemu dengan Ibu Angela, karena kamar Ibuku adalah bekas kamarnya. Ketika aku masuk, dia nggak ada, tetapi hawa bahwa dia pernah ke sini masih terasa olehku. Aneh, kenapa sekarang dia menghindar? Pasti karena hantu lelaki misterius bermata abu-abu itu!
Hawa menyeramkan itu benar-benar semakin terasa, tapi nggak terlalu mengancam, hanya membuat bulu kuduk berdiri saja. Aku duduk sembari menyandar di tempat tidur dan mendengarkan suara-suara. Hanya suara TV yang terdengar dari bawah. Sekarang rasanya ada yang lain, ada sesuatu yang mendekat, dekat dan dekat. Kemudian entah darimana kamarku berubah menjadi gelap seperti mati lampu, padahal jelas-jelas suara TV masih terdengar. Kegelapan ini hanya meliputi seputaran kamarku. Aku pernah mengalami ini, ketika umurku enam tahun. Ini disebut hawa kebencian. Hawa kebencian para hantu mengakibatkan kegelapan datang. Melihat seberapa  gelap ruangan kamarku sekarang, hawa kebencian hantu itu pasti sangat dalam.
Aku bisa mendengar angin berhembus. ‘Pasti dari AC,’ Pikirku. Namun, aku lupa bahwa aku nggak menghidupkan AC kamar seharian ini. Bahuku menegang, dan aku merasakan jantungku ingin meloncat dari dadaku. Belum pernah seumur hidupku, semenjak aku bisa melihat hantu, aku merasakan ketakutan seperti ini. Hantu ini sepertinya benar-benar jahat. Oh, jangan-jangan ini hantu Claudia pemilik kamar ini? Aku pun baru sadar, bahwa aku bersender ke ranjang tempat tidur. Apa hantu ini akan datang dan marah karena aku mengambil tempat tidurnya tanpa izin? Tapi dia sendiri kan yang nggak menampakkan wujudnya?
Lalu di suatu tempat dalam kegelapan di kamarku, sebuah suara mengerikan terdengar.
TBC...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar