Bab 3
HANTU ITU MENGGANGUK DAN MENAMPAKKAN SENYUM MENGERIKAN.
“Siapa lagi?
Kau kan satu-satunya yang bisa melihatku di sini?”
“Ya, benar
juga.” Aku menggaruk bagian belakang kepalaku. “Baiklah kalau begitu.”
Hantu temanku
itu menyodorkan telapak tangannya dan aku dengan agak sedikit ragu
menyentuhnya. Ternyata benar! Tangannya bisa kusentuh! Ya, rasanya seperti
menyentuh udara kosong, tangan ini nggak mempunyai jiwa. Nggak ada aliran darah
yang mengalir dan sangat lembek seakan-akan apabila kutekan sedikit saja,
bentuknya akan hancur, dan tangan ini sedingin es. Aku sama sekali nggak tahu
apa yang dilakukannya, tapi setelah aku menyentuh telapak tangannya, keadaan di
sekitar seperti terdistorsi. Aku merasakan kepalaku pusing dan jantungku
berdenyut lebih cepat, rasanya tubuhku seakan terhisap ke suatu dimensi, entahlah,
yang jelas ketika aku membuka mata, aku sudah tiba di lobi penginapan.
Bapak penjaga
meja depan terbengong-bengong melihatku, aku pun sendiri juga nggak dapat
mengerti kenapa aku bisa ada di sini. Beberapa orang yang ada di lobi juga
bengong, namun aku segera tersadar. “Hai bapak penjaga meja depan!” sapaku yang
kubuat seceria mungkin.
“Oh, ya,
kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya dengan muka heran. “Aku pikir tadi kau
masih ada di kamarmu, istirahat.”
“Ya, aku ada
urusan mendadak. Bilang sama Ibu bahwa aku akan pergi bersama temanku. Dia
sudah menunggu di luar, jadi…,” aku bergegas keluar dari penginapan dan
berteriak dari luar, “aku pergi dulu!”
Aku masih
sempat mendengar Bapak penjaga meja depan berteriak ke arahku, “Tapi kupikir
kau masih sakit…” sehabis itu suaranya menghilang.
Oke, sekarang
aku harus meminta penjelasan dengan hantu yang telah membawaku keluar, eh, tapi
bukankah dia nggak bisa pergi keluar dari penginapan? Ah, sial! Kenapa aku baru
ingat sekarang! “Kau mau pergi ke mana?” sebuah suara yang nggak kuketahui
asalnya bertanya kepadaku. Aku segera melihat kanan-kiri, tapi nggak ada
seorang pun di dekatku. “Aku ada di dalam kepalamu,” suara itu berujar lagi.
Segera aku memegang kepalaku dan bertanya, “Memangnya ini siapa?”
“Masa kau
melupakan suaraku? Aku hantu teman baikmu. Aku yang membawamu keluar dari kamar
dan ternyata aku berhasil!” suara itu terdengar sangat senang.
“Bagaimana
bisa kau berbicara denganku? Aku pikir kau nggak bisa keluar dari penginapan?”
“Memang benar.
Tapi aku bisa berbicara denganmu karena aku berada di dalam tubuhmu, ya mungkin
untuk beberapa jam ke depan. Ini salah satu keistimewaan hantu tingkat tiga.”
Seorang Ibu
dan anaknya yang kebetulan lewat di depanku, memandangku aneh, karena jelas aku
kelihatan berbicara sendiri. Aku segera pergi dan terus berbicara, “Jadi
sekarang ini tubuhku telah dikuasai olehmu? Seperti kesurupan begitu?”
“Nggak. Kau
masih mengontrol tubuh dan pikiranmu. Aku hanya bersemayam sementara di dalam
tubuhmu dan nggak akan menguasai atau mengontrol pikiranmu, tapi kalau aku mau,
yah, aku bisa melakukannya.”
Aku
mengangguk-ngangguk kecil merasa bahwa orang-orang menatapku dengan pandangan
bertanya-tanya. Kebetulan aku selalu membawa dompetku kemana-mana. Uang di
dalamnya memang nggak banyak, hasil tabunganku dari menyisihkan sebagian uang
saku, tapi kupikir bisa untuk naik taksi. Aku nggak suka naik bajaj ataupun
angkot, karena aku nggak pernah naik kendaraan itu seumur hidupku dan rasanya
aku mau muntah bila berada dalam angkutan tersebut barang satu menit saja. Oke,
ejek saja aku anak manja, aku nggak peduli. Dan nggak ada pangkalan ojek sejauh
mata memandang, jadi kuputuskan untuk mencari taksi, walaupun aku tahu
bayarannya pasti akan mahal.
Ada sebuah
taksi yang baru saja menurunkan penumpangnya beberapa meter di depanku. Segera
aku mendekati taksi itu dan masuk ke dalamnya. Si supir memandangku aneh, tapi
aku memberitahukannya tempat yang akan kutuju dan tanpa bertanya lagi, dia
langsung menjalankan mobil. Hantu di dalam kepalaku terus bertanya kenapa aku
memutuskan untuk memilih tempat itu, tapi aku memilih untuk diam. Nggak mungkin
aku menjawab pertanyaan sementara si supir terus saja mengalihkan pandangannya
ke kaca spion. Kalau aku menjawab, maka dia akan membelokkan perjalanan ini ke
rumah sakit jiwa.
Setelah sampai
di tempat yang kutuju, aku membayar ongkos taksi dan mengira-ngira bahwa argo
taksi itu sudah disabotase si supir. Tempat yang kutuju inilah adalah sebuah
mall. Yak, aku nggak pernah pergi ke mall sendirian, karena umurku baru sepuluh
tahun dan sekarang aku ingin mencobanya. Ibuku selalu melarangku pergi ke mall
ataupun jalan-jalan ke mana pun sendirian, soalnya dia takut bakalan ada yang
mencopetku walaupun aku nggak tahu ada pencopet yang mau mencopet anak sepuluh
tahun. Lebih tepatnya lagi aku takut kalau-kalau aku diculik dan dijual ke luar
negeri. Itu kendengaran lebih masuk akal, tapi Ibuku nggak pernah menggubrisnya
seakan-akan dia lebih takut kepada pencopet daripada sindikat penculikan anak.
Aku merasa
seperti gembel masuk kota. Baju yang kukenakan sangat nggak pas untuk dibawa
pergi ke mall, karena aku hanya memakai kaus longgar dan celana pendek selutut
juga sandal jepit yang biasanya dipakai di dalam rumah. Seorang satpam
memperhatikanku dan mengeluarkan alat komunikasinya. Bagus, sepertinya dia
melaporkan bahwa ada orang gila masuk. Aku terus saja berjalan tanpa
memperdulikan tatapan beberapa orang yang memandangiku dari atas ke bawah.
Hantu temanku terus saja mengoceh, bahwa sudah sembilan tahun dia nggak pergi
ke mall dan pemandangan mall sekarang menakjubkannya.
Kami atau
lebih tepatnya aku, naik eskalator ke lantai dua dan melihat seorang ibu yang
menggendong anaknya sedang memilah-milih baju yang sangat nggak cocok untuknya
di salah satu butik ternama di mall ini. Sebenarnya aku nggak bermaksud untuk
membeli sesuatu di sini, karena merasa uangku nggak akan cukup dan hanya
melihat-lihat sepertinya menyenangkan. Aku nggak bisa membayangkan bahwa
tetanggaku dahulu adalah seorang wanita yang sangat gila belanja ke mall. Dia
selalu menghabiskan hampir setengah harinya untuk berbelanja ke mall. Bahkan
aku pun nggak akan heran bahwa dia pun membeli jarum pentul di mall.
Setelah puas
melihat lantai dua yang isinya sangat monoton (baju, sepatu, baju, sepatu, dan
toko mainan, dan oh, satu toko olahraga) aku menaiki eskalator lagi menuju
lantai tiga. Total keseluruhan mall ada lima lantai dan biasanya di lantai
kelima, kau hanya menemukan orang-orang yang menjual kain ataupun karpet dan
pintu di ujung biasanya menghubungkan ke tempat parkir. Di lantai tiga, ada
sebuah toko besar yang menjual furniture, yang artinya termasuk di dalamnya
adalah tempat tidur. Ada beberapa tempat tidur dalam berbagai ukuran di sana,
jadi aku bermaksud untuk melihat-melihat ke dalam. Sebenarnya ini bukan ideku,
tapi hantu di dalam tubuhku menginginkan aku masuk ke sana. Seorang petugas
toko itu mengernyit heran saat aku masuk. Sepertinya dia berpikir bahwa aku
adalah hama yang akan mengerecoki pembeli lainnya. Namun, aku terus melenggang
masuk ke dalam toko. Ada sebuah keluarga bahagia yang sedang menawar sebuah
tempat tidur berukuran besar dan pelayan toko itu dengan sumringah menyebutkan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki tokonya ini, termasuk potongan harga yang
cukup besar, walau aku sangsi kalau itu benar.
Namun,
pandanganku bukan tertuju kepada acara tawar-menawar itu, melainkan tempat
tidur itu. Tempat tidur itu begitu lusuh dan tua dan seorang wanita, penunggu
tempat tidur itu, berteriak-teriak marah ketika tempat tidurnya akan dijual.
Tentu saja nggak ada yang menggubrisnya. Wanita itu punya muka yang penuh
dengan luka cakaran, mungkin dia mati karena dicakar kucing atau binatang lain
yang punya kuku tajam, yang jelas aku melihat dia berteriak-teriak ke arahku,
seperti memohon agar aku membatalkan transaksi itu yang nggak akan mungkin
dilakukan. Mana mungkin aku bisa membatalkan transaksi itu dengan mengatakan,
‘eh, ngomong-ngomong tempat tidur ini ada penunggunya, lho!’ Itu rasanya sangat
mustahil untuk dilakukan. Aku menanyakan kepada hantu temanku apakah aku harus
menolong hantu itu, tapi kebetulan seorang pelayan toko lewat di depanku dan
walaupun dia nggak berkata apa-apa, aku yakin di dalam hati dia sudah membaca
doa-doa tolak bala.
Merasa tidak
diperhatikan, hantu perempuan itu dengan marah mencengkram kepala anak
laki-laki keluarga itu yang mungkin baru berusia lima tahun, menarik rambutnya
dan menyeretnya ke lemari terdekat. Kemudian hantu itu menghentakkan kepala
anak itu kuat-kuat ke lemari itu, membuat kepalanya mengeluarkan darah dan anak
itu segera menangis. Orang tuanya terkejut dan mereka lebih terkejut lagi
ketika melihat anaknya membanting kepalanya sendiri ke lemari (karena memang
itulah yang terlihat oleh mereka). Setelah tiga kali bantingan kepala, anak itu
roboh ke tanah dengan darah berlumuran membasahi baju dan lantai. Semua orang
di toko mengerubuti anak itu. Seseorang berteriak bahwa anak itu masih hidup,
dan ayah dari anak itu membopong anak itu keluar toko.
Aku melihat
semua kejadian itu dengan mata terbelalak. Hantu perempuan itu begitu
menakutkan dan ketika aku kembali memandanginya, dia menyeringai ke arahku dan
kembali meringkuk di tempat tidurnya.
Kejadian
kemarin nggak bisa kulupakan. Waktu aku cerita hal itu ke Ibu, dia terlihat
sedih sekali. “Anak itu pasti mengalami depresi berat!” ujarnya.
Aku nggak
yakin seorang anak lima tahun bisa mengalami depresi, tapi aku membiarkan Ibuku
dengan argumennya sendiri. Ini adalah hari dimana aku akan pindah ke rumah
baru. Aku benar-benar akan sangat merindukan teman hantuku, dan dia bilang dia
akan segera menyelesaikan pelajarannya sampai ke tingkat paling tertinggi
supaya bisa keluar dari penginapan dengan leluasa. Aku mengangguk saja, walau
aku nggak tahu akan makan waktu berapa tahun untuk itu.
Pagi itu,
sebelum berangkat ke sekolah, aku mengambil salah satu koran di meja depan
ketika bapak penjaga meja depan tengah pergi ke toilet. Setiap pagi dia selalu
memborong koran untuk dijualnya ke para penginap, tapi karena Ibuku nggak suka
baca koran, walau dia langganan empat jenis majalan bisnis, jadi aku mengambil
koran itu diam-diam dan memasukkannya ke dalam tas untuk kubaca nanti pada jam
istirahat sekolah.
Sekolah
berjalan seperti biasa, namun sayangnya hari ini Georgia nggak masuk jadi aku
duduk sendirian. Si jahat Tiara, tetap memandangku dengan pandangan jahatnya
entah karena apa, namun yang jelas dia satu-satunya murid di kelas ini yang tak
pernah kusapa. Pada jam istirahat, dengan lagi-lagi harus menghindari Trio Truk
Gandeng, aku pergi ke WC, dan masuk ke salah satu biliknya. Ada sebuah WC duduk
di bilik ini dan aku duduk di atasnya sambil membaca koran yang kuambil di
penginapan tadi pagi. Di sini bau, tapi karena sudah terbiasa, dan menurutku
semua WC sekolah itu bau, maka dengan tenang aku membaca koran. Aku ingin
melihat apakah kejadian di mall kemarin dimuat di dalam koran, aku ingin tahu
siapa nama anak itu dan bagaimana keadaannya sekarang. Namun setelah
kubolak-balik halaman demi halaman, meneliti setiap kolom, berita tentang anak
itu nggak ada. Koran-koran sekarang memang nggak bermutu.
Ibuku
nampaknya telah selesai mengepak barang-barang kami dan semuanya telah tertata
rapi di bagasi, jadi kami akan segera pergi ke rumah kami yang baru. Rumah yang
besar, seperti villa berhantu dan Paman Bibir Tebal yang menjaganya, membuatku
sebenarnya enggan untuk pindah. Terutama aku belum tahu hantu macam apa yang
menunggu tempat tidurku, apakah hantu yang pernah dibicarakan oleh teman
hantuku itu? Ketika aku melihat rumah baru kami untuk kedua kalinya, catnya
sudah diganti jadi warna krem. Paman Bibir Tebal sudah menanti di depan gerbang
dan aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang mengecat seluruh dinding rumah
ini dalam waktu tiga hari? Padahal rumah ini sangat besar. Lukisan-lukisan yang
dulunya memenuhi dinding ruangan, sudah diturunkan dan dipindahkan ke gudang.
Beberapa perabotan baru dan yang lama sudah ditata rapi. Aku lumayan kecewa
ketika lukisan abstrak yang kusukai di ruang makan itu juga dipindahkan ke
gudang, padahal aku berencana untuk menaruhnya di kamarku.
Aku melihat
kamarku lagi, semuanya masih nampak sama, bahkan catnya pun sama! Dasar Ibu
pelit! Kenapa hanya kamarku saja yang nggak dicat? Apa karena kamar ini catnya
masih bagus? Dan ada juga beberapa furniture tambahan. Tempat tidurnya masih
sama, namun seprainya berbau harum toko. Masih nggak ada tanda-tanda kemunculan
hantu di sini. Aku masih belum mendapatkan TV pribadi, padahal aku sudah
memintanya sebelum kami pindah ke sini. Aku naik ke tempat tidur dan menatap
melalui jendela, pohon itu masih ada, dan seorang hantu wanita yang kulihat di
kamar Ibuku berada di bawahnya. Tapi dia nggak sendirian, ada seorang lelaki,
sepertinya hantu juga, karena kulit dan bibirnya begitu pucat. Dia jelas seumuran
dengan hantu wanita itu, mungkin mereka sepasang suami-istri. Si hantu wanita
melambai kepadaku, sama seperti yang dia lakukan ketika kami pertama bertemu,
tetapi hantu lelaki itu hanya menatapku muram. Apa mereka adalah orang tua anak
yang mati 23 tahun silam itu?
Pandanganku
teralih ke sebuah suara yang memanggilku. Di ambang pintu berdiri Ibuku dan
Paman Bibir Tebal. Aku mengikuti mereka sampai ke ruang tamu dan Paman Bibir
Tebal menyerahkan kunci rumah ini kepada Ibu. Aku ingin meminta kunci duplikatnya,
tapi Ibu membekap mulutku. Jadi, setelah basa-basi sebentar, si Paman Bibir
Tebal pamit pergi. Jadi, disinilah kami, di rumah baru kami. Ibuku merasa
sangat senang dengan rumah besar tapi berharga murah ini. Aku menyampaikan
pendapatku bahwa rumah besar tapi berharga murah biasanya terdapat suatu
rahasia yang kelam. Yang aku terima setelah menyampaikan itu adalah jeweran di
telinga.
Malam harinya,
ketika aku bersiap hendak tidur pada jam setengah sepuluh malam atas perintah
Ibuku yang terpaksa kulakukan padahal ada film bagus di TV, aku mendengar
suara-suara erangan yang memilukan hati. Rasanya suara itu berasal di kamar
ini, namun nggak ada apa-apa di sini. Mungkin itu suara hantu penunggu, jadi
aku mengabaikannya karena sudah terbiasa dengan suara-suara semacam itu.
Biasanya para hantu itu bisa sangat jahil dan menggoda manusia dengan membuat
suara-suara gaib seperti itu. Aku menunggu dan menunggu dan memperhatikan
sekeliling, siapa tahu ada sesuatu yang muncul, namun suara erangan itu malah
mengecil dan hilang sama sekali. Kamarku kembali sunyi senyap. Suara TV di
lantai bawah tidak terdengar lagi, mungkin Ibuku mengecilkan volumenya, padahal
dia biasanya menonton dengan volume keras hingga tetangga sebelah marah-marah.
Setelah garuk-garuk kepala sebentar, aku pun akhirnya tertidur.
Pagi pertama di rumah baru biasanya Ibu
memasak sarapan istimewa. Kali ini dia membuatkanku bekal sandwich yang nggak
enak, karena sebenarnya Ibuku itu nggak pintar masak. Tadi pagi kami makan nasi
goreng sosis ditambah irisan telur, sayur dan bawang goreng yang kekurangan
garam. Sebenarnya Ibuku tahu kelemahan yang dia miliki dalam urusan
masak-memasak makanya dia selalu beli makanan di luar dan seingatku Ibuku
memang memasak untuk acara-acara penting, itupun jarang yang berhasil. Aku
melupakan sandwich buatan Ibuku ketika istirahat sekolah dan memilih makan
bakso di kantin sekolah. Harga makanan di kantin ini terlalu mahal, nggak
sesuai dengan kantong anak SD.
Georgia masih
belum masuk hari ini dan Tiara semakin menjadi-jadi. Cewek ceking dan jelek itu
nggak lagi menatapku dengan tatapan beracunnya, sekarang dia dan teman-temannya
menghampiriku ketika kami menunggu guru yang mengajar datang. Dengan gayanya
yang membuatku ingin muntah dia memulai percakapan dengan suara yang
dimanis-maniskan, “Hai Bianca!” dia menyebut namaku dengan ‘Bianca’ pada bahasa
Indonesia, maksudku ‘Bianca’ itu memang dibaca ‘Bianca’ bukan ‘Bianka’ seperti
orang-orang barat yang hobi mengubah bacaan huruf C menjadi K. Aku baru tahu bahwa Tiara adalah orang yang
sangat nasionalis. Dan salahkan Ibuku yang sok kebarat-baratan.
“Namaku
Bianca. C-nya diganti jadi K,” ujarku mengoreksi. ‘Tahu Bahasa Inggris nggak
sih?’ tambahku dalam hati.
“Maaf deh,”
ujarnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Teman-temannya cekikikan di
belakangnya. “Oke, jadi Bianca, kau sudah hampir dua minggu ya bersekolah di
sini, bagaimana menurutmu tentang sekolah ini?”
Apa-apaan dia?
Emang dia pikir dia wartawan sekolah? “Cukup baik.” Lalu dalam hati aku
menambahkan, ‘Tanpa kau pasti akan jauh lebih baik.’ Mungkin kalau Trio Truk
Gandeng juga nggak ada, maka sekolah ini pasti akan sangat baik.
Dia
mengangguk-ngangguk sok ngerti lalu berkata lagi, “Aku nggak suka ada murid
baru yang lebih pintar dariku.”
‘Emangnya kau
pintar?’ seingatku nggak pernah ada yang bilang bahwa Tiara anak pintar di
kelas. Beberapa guru memang memujiku karena nilai-nilai yang kuperoleh, padahal
aku belum lagi dua minggu di sini. Tapi seingatku mereka nggak pernah
menyebut-nyebut Tiara pintar. Anna-lah murid terpintar di sini, kata beberapa
anak, tapi dia sangat pemalu dan pendiam. Tiara hanya mengobral bualan saja.
Melihatku
nggak berkomentar dia terus saja berkata dengan nada sinis, “tapi kau kan baru
dua minggu ya, kau nggak mungkin mengalahkan Anna.”
Sekarang arah
pembicaraannya berubah lagi. Sekarang dia membanggakan orang lain?
“Tapi di sini
juga masih ada Dicky, dia lebih pintar dariku dan tentu saja darimu. Bahasa
Inggrisnya adalah yang paling terbaik,” dia mengoceh terus.
Please deh!
Dia ini ngomong apa sih?
Guru yang
mengajar memasuki kelas dan Tiara beserta teman-temannya duduk di bangku
masing-masing, bergerombol di satu deretan bangku. Aku nggak memperdulikan
ucapan cewek menyebalkan, jelek, ceking, sok pintar dan segala macam hal-hal
menjengkelkan lainnya yang pantas melekat padanya itu. Jelas-jelas dia hanya
menggertak, membuat semua anak baru tahu bahwa dia yang berkuasa.
Tapi dia bukan
siapa-siapa. Dia hanyalah anak kepala sekolah. Apa aku tadi bilang dia anak
kepala sekolah?
Hari Minggu
ini Paman Bibir Tebal mengunjungi rumah kami untuk numpang sarapan. Ibu
membuatkan kami roti selai strawberry dan puding jelly yang terlalu lembek.
Paman Bibir Tebal hanya makan roti selai strawberry sementara aku membuat
orkestra dari piring-piring dan gelas. Ibu mencubit pipiku dan menghabiskan
puding jellynya yang ketiga. Sepertinya hanya Ibuku yang memakan makanan itu.
Setelah
selesai makan pagi, Paman Bibir Tebal minum teh dengan Ibu di ruang tamu,
sedangkan aku pergi main keluar. Aku pergi ke bawah pohon besar yang selalu
kulihat dari jendela kamarku dan mendapati hantu wanita bergaun biru itu.
Sepertinya dia hantu tingkat enam, karena dia berhasil keluar dari tempatnya,
tanpa harus bersemayam di tubuh orang lain.
“Hai,” aku
menyapanya duluan dan dia hanya melambaikan tangan. “Siapa nama Anda?”
Dia terlihat
diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Namaku Angela. Aku berumur 38 tahun
ketika aku meninggal, menderita karena anakku.”
Aku nggak
ngerti apa yang dia bicarakan jadi aku bertanya, “Apa maksudmu? Aku sama sekali
nggak mengerti.”
“Anakku
meninggal dan aku yakin dia dibunuh, tapi polisi dan semua orang nggak percaya
denganku. Aku frustasi dan akhirnya bunuh diri.”
Dia bunuh diri?
Hantu bunuh diri adalah hantu yang paling rapuh karena mereka menantang takdir
Tuhan. Mereka bisa dimusnahkan dengan mudah oleh para dukun atau orang pintar
atau pengusir setan atau apapun itu namanya, dan mereka nggak akan dikirim ke
alam baka, mereka akan jadi abu yang bertebangan di langit. Sepertinya hantu ini menabrakkan kepalanya
sendiri ke dinding atau benda keras lainnya soalnya kepalanya berdarah-darah
begitu. “Anakmu ini, apakah yang mati pada tahun 1988 itu?” tanyaku hati-hati.
Inilah adalah topik paling sensitif untuk semua Ibu.
“Kau benar.
Itu anakku. Itu Claudia! Dia pasti dibunuh! Aku tahu ada seseorang yang
membunuhnya, mungkin dengan racun. Sianida, arsenik, strychnine! Apa pun yang
pernah ada di novel-novel detektif. Aku pikir ada seseorang yang nggak suka
melihatnya, atau sebenarnya dia ingin membunuhku, tapi jebakan itu malah
mengenai Claudia! Sungguh malang anakku!” dia mulai menangis, tangis yang
memilukan hati siapa pun yang mendengarnya.
Claudia? Dan
Ibunya pasti penggemar cerita detektif. Tapi kata Paman Bibir Tebal dia mati
mendadak. Dia mati pagi itu, dengan tenang. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi
hantu wanita itu sudah menghilang dari pandangan. Dia melayang-layang di udara,
sebelum akhirnya lenyap seutuhnya. Suara Ibu memanggilku dan aku kembali ke
dalam rumah. Di depan pintu, aku hampir bertabrakan dengan Paman Bibir Tebal.
Ibuku nampaknya benar-benar sumringah hari ini, dia menyanyi-nyanyi riang
seakan-akan ini perkemahan dengan api unggun dan dia melompat-lompat seperti anak
kecil. Dia berkata padaku bahwa dia akan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku
lupa mengatakan bahwa setiap awal bulan atau kapan pun Ibuku merasa perlu untuk
berbelanja kebutuhan sehari-hari, maka dia akan terlihat senang sekali. Itulah
satu-satunya alasan dia bisa pergi jalan-jalan kemanapun dia mau, sendirian,
dan bebas mengekspresikan apapun yang dia suka. Berkata seolah-olah, ‘aku ini
masih gadis lho!’ di depan semua orang. Di usianya yang sudah 33 tahun, Ibuku
memang masih kayak cewek umur 22 atau 23, yang jelas wajahnya nggak bertambah
tua. Entah dia keturunan bidadari seperti di legenda Sangkuriang, yang jelas
Ibuku selalu berdandan heboh kalau dia akan berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Dan satu yang
paling menyebalkan, aku nggak boleh ikut! Padahal aku ingin membeli pasta
instan kemasan yang ada di TV-TV itu dan mencoba membuatnya sendiri, soalnya
aku suka pasta. Ibuku nggak memperbolehkanku memasak, bahkan akupun nggak
diperbolehkan dekat-dekat kompor, jadi pertama kali aku memasak ketika umurku
delapan tahun di rumah temanku yang di Surabaya. Dan hasilnya, telur dadar
gosong tercipta. Air yang kumasak aja sampai kering saking kelamaan ditaruh di
atas api, jadi aku benar-benar nggak terlalu berharap bakalan jadi Ibu yang
baik juga suatu hari nanti. Ibuku bukankah dia juga nggak pandai masak? Mungkin
ini semacam kutukan yang diturunkan langsung dari Ibu ke anak perempuannya.
Ketika Ibu
sudah pergi, hal pertama yang kulakukan adalah menjelajahi rumah luas ini.
Sebenarnya sih, satu-satunya ruangan yang ingin kutuju adalah gudang, tempat
dimana barang-barang lama rumah ini disimpan. Gudang berada di luar rumah
tepatnya di taman belakang dan baunya sangat apek dan berdebu. Aku
terbatuk-batuk dan sedikit terjengkal ke belakang ketika seekor tikus besar lewat
di depanku. Gudang ini penuh dengan lukisan, nggak heran karena pemilik rumah
ini sebelumnya adalah kolektor lukisan dan anaknya pun adalah seorang pelukis.
Aku mengamati
lukisan abstrak yang menarik perhatianku ketika pertama kali aku datang ke
rumah ini. Warna-warnanya begitu indah, menyatu dengan sempurna, walau aku
nggak ngerti apa arti dari lukisan itu, yang jelas pasti artinya bagus. Aku
baru sadar bahwa ada semacam tanda-tangan pelukis di pojok kiri bawah lukisan
itu. Biasanya memang kebanyakan pelukis memberikan tanda tangan mereka pada
lukisan mereka. Tanda tangan itu membentuk sebuah nama yang nampaknya pernah
mampir ke telingaku.
Claudia, 12
Jan 1985
Claudia. Si
hantu wanita itu menyebutkan nama anaknya Claudia dan Paman Bibir Tebal
menyebutkan bahwa anak pemilik rumah ini dulu sangat pintar melukis. Dia mati
di kamar yang sekarang menjadi kamarku. Si hantu wanita menyebutkan bahwa dia
dibunuh dengan racun, tapi si Paman Bibir Tebal bilang dia mati mendadak.
Sebenarnya mana dari dua ucapan ini yang benar? Aku mulai mencari-cari lagi
lukisan-lukisan Claudia yang lain. Ada banyak di gudang itu, tinggal dipilih
mana yang mau dijual. Nggak, aku nggak bermaksud menjualnya kok, tapi untuk
anak umur 12 tahun, dia bisa menyaingi pelukis yang lebih senior.
Ada sebuah
kardus usang dan pinggirannya sudah digigitin tikus tergeletak dengan damainya
di pojok gudang. Kardus ini membuatku tertarik karena disitu tertempel kertas
yang bertuliskan, BARANG BUKTI, HARAP JANGAN SENTUH! Eh? Barang bukti apa yang
disimpan di gudang begitu lamanya? Tanpa ragu aku menarik kardus itu yang
ternyata cukup berat dan mengeluarkan isi-isinya. Hal pertama yang kukeluarkan
adalah sebuah foto seorang anak perempuan, namun wajahnya sudah ditutupi dengan
bercak darah kering, sehingga aku nggak bisa mengenalinya. Aku menemukan juga
sebuah buku sketsa dan melihat isinya. Isinya aneh, ada gambar orang mati
digeletakkan di altar, bangkai burung gagak digantungkan layaknya jemuran. Ada
sebuah kertas yang terjatuh dari buku sketsa, sebuah kertas yang telah
menguning dengan tulisan yang sudah hampir memudar. Mungkin isinya kira-kira
begini,
Satu perubahan
rencana! Penggunaan sakramen-sakramen harus dilakukan secepat mungkin. Sakramen
yang terakhir harus segera disempurnakan! Harus ada yang melakukannya, dan kau
bisa melakukannya. Anakmu sendiri yang harus menjalani semua ini, bukan orang
lain seperti rencana awal. Kami sudah mempengaruhi pikirannya, tidak mudah
untuk melakukan itu, tapi perdamaian di bumi harus ditegakkan. Satu penambahan khusus
dan inilah tugas-tugasmu :
(Bagian teks
ini sama sekali nggak bisa kubaca, karena tinta penanya sudah sangat luntur)
Surat aneh,
isinya pun aneh. Perubahan rencana? Sakramen? Perdamaian di bumi? Apa-apaan
semua ini? Aku memutuskan untuk mengambil surat itu dan mengeluarkan yang lain
dari dalam kardus, sebuah potongan artikel koran yang lusuh, judul beritanya
berbunyi, ‘SEORANG ISTRI MEMBUNUH SUAMINYA’. Di bawah judul yang ditulis
besar-besar itu ada tulisan lain lagi, ‘Diketahui bahwa sang istri mungkin mengalami gangguan kejiwaan, karena
setelah membunuh suaminya, dia juga membunuh istri pertama dari suaminya dan
sampai sekarang wanita itu menjadi buronan polisi. Harap bagi yang tahu atau
kenal dengan perempuan ini harap segera melaporkannya kepada polisi. Diketahui nama wanita itu (bagian di sini
dihapuskan dengan tip-ex)….’ Selebihnya aku nggak begitu tertarik namun tanggal
koran ini membuatku heran, 29 September 1988. Aku juga mengambil potongan koran
itu dan mengeluarkan segala macam hal yang ada di kardus. Sebuah buku catatan
yang nggak bisa dibuka, pensil yang kedua ujungnya sudah diruncingi, sebuah
pisau pemotong daging (yang membuatku bergidik) yang nampaknya masih bagus,
lembaran-lembaran kertas kuno yang berisi tulisan yang sama sekali nggak kumengerti,
ketika kusadari semuanya ternyata memakai bahasa inggris dan sebagian lagi
latin. Selain dari hal itu aku juga menemukan sebuah boneka beruang usang dan
sekantung permen yang sudah kadarluasa bertahun-tahun yang lalu.
Aku hanya
membawa buku catatan yang nggak bisa dibuka itu sementara yang lainnya
kutinggalkan di gudang. Di dalam sakuku aku masih menyimpan surat dan potongan
koran itu untuk diberitahukan kepada Ibu, atau Paman Bibir Tebal yang nama
aslinya pun sudah kulupakan. Aku kembali menuju ke kamarku dan perasaanku
langsung nggak enak. Arwah jahat sepertinya bergentanyangan di kamar ini, di
suatu tempat di kamar ini lebih tepatnya. Ya, ada sesuatu, sesuatu yang belum
menunjukkan bentuk aslinya, namun tengah merangkak keluar dan menunggu waktu
yang tepat. Nggak ada tanda-tanda hantu di sini, tapi aura ini benar-benar
menyesakkan. Karena yakin aku sekarang megap-megap, aku menaruh buku catatan
yang kutemukan di atas meja dan berlari keluar.
Sesampainya di
luar, aku merasa perasaanku sudah mulai membaik. Rumah ini jadi terlihat makin
angker. Seorang Ibu di usia awal 40-annya lewat di depan rumahku dan berhenti
sambil memandangi rumahku dari pintu gerbang. Nggak ada satpam di rumahku, jadi
keamanan rumah adalah tanggung jawab aku dan Ibuku. Ibu itu memakai daster
paling norak dan paling silau yang pernah kulihat, terlebih lagi dandanannya
yang terlalu berlebihan yang bahkan nggak sanggup menutupi keriput yang mulai
bermunculan.
Si Tante
Jelek, begitu aku menyebutnya. Aku memang selalu memberi julukan kepada
seseorang karena penampilan atau sifatnya, jadi terus terang saja itu memang
sifatku. Dia mengamatiku yang berdiri di balik pintu gerbang, membuatku
merinding seakan-akan aku baru disiram air dingin. Sepertinya dia melihat
sesuatu karena matanya terbelalak dan kemudian dia berteriak-teriak kayak orang
kesurupan. “Pergi kau! Pergi kau dari rumah ini! Rumah ini kutukan! Kutukan!”
setelah dia mengatakan hal itu dia langsung berlari pergi.
Aku sama
sekali nggak ngerti apa yang dia bicarakan, yang jelas dia mengusirku dari
rumahku sendiri. Mungkin dia orang gila di daerah sini, atau dia pasien rumah
sakit jiwa yang kabur. Dandanannya saja udah kayak badut sirkus. Tapi entah
kenapa kayaknya dia mengatakan kebenaran, atau dia tahu sesuatu mengenai masa lampau
rumah ini. Paman Bibir Tebal dia sudah bekerja di rumah ini ketika si Nona
Claudia ini meninggal, dan dia juga pasti tahu sesuatu, cuma supaya rumah ini
laku dijual dia menutup-nutupi kejelekan dari rumah ini.
Ngomong-ngomong
rumah Paman Bibir Tebal di mana ya?
Malam ini aku
makan pizza yang dipesan Ibu sore tadi. Paman Bibir Tebal tadi sore berkunjung
ke rumah dan dia minum teh bersama Ibu di beranda belakang. Aku nggak suka adat
minum teh tiap sore, tapi Ibu menyukainya. Itu mengingatkannya akan kenangan
masa kecilnya bersama kakeknya yang sekarang sudah meninggal. Ibu nggak pernah
lagi bertemu dengan orang tuanya, jadi terakhir kali aku bertemu dengan kakek
dan nenekku sekitar lima tahun lalu. Ada masalah, itu selalu yang Ibu ucapkan.
Nenekku pandai meramal, dia pernah meramal Ibuku bahwa dia akan menjadi
single-parent dan akan mati dalam keadaan mengenaskan. Semenjak itu Ibu sama
sekali nggak percaya sama ramalan tapi aku percaya ramalan nenek. Ketika aku
berumur lima tahun, nenek juga meramalku dengan melihat garis tanganku dan
mengatakan bahwa aku punya kelebihan istimewa dan aku akan menyelamatkan
seseorang. Aku percaya dengan ramalan nenek yang pertama, aku memang punya
kelebihan yang lebih bagus disebut kutukan, karena aku nggak pernah memintanya.
Tapi yang kedua, aku nggak begitu yakin orang apa yang akan aku selamatkan.
Lagi-lagi hawa
menyeramkan itu masih menyelubungi kamarku, namun aku berusaha untuk
mengabaikannya. Memang ada sesuatu, tapi aku nggak tahu dan nggak mau tahu
tentang hal itu sekarang. Hantu wanita penunggu tempat tidur Ibu datang
mengunjungiku malam ini dan kami mengadakan obrolan mengenai anaknya.
“Jadi Ibu
benar-benar yakin bahwa anak Ibu terbunuh bukan mati mendadak?” tanyaku
benar-benar penasaran.
Dia
menggeleng, rambutnya yang kusut menutupi keseluruhan mukanya. “Aku yakin bahwa
dia dibunuh. Dia diracun, dia minum sesuatu malam itu, dan paginya dia langsung
meninggal. Pasti karena minuman itu sudah dimasukkan racun.”
Kelihatannya
hantu ini terdengar yakin sekali. Bisa saja itu cuma takdir Tuhan kan? Ada
banyak orang yang terlihat baik-baik saja namun pagi kemudian dia meninggal.
“Bagaimana dengan pemeriksaan polisi? Hasil autopsi menunjukkan bahwa anak Ibu
diracun?”
Hantu itu
terdiam dan menggeleng, “Tidak, autopsinya menunjukkan bahwa dia memang
meninggal, tidak ada bukti bahwa dia diracun.”
Aku menghela
napas, “Berarti dia memang meninggal.”
Suara hantu
itu berubah menjadi tangisan miris, “Aku yakin bahwa dia dibunuh, kalau memang
bukan diracun, dia meninggal karena sakramen itu!” suara tangisannya
mengingatkanku pada suara tangisan kuntilanak di film-film.
Sakramen? Dia
bilang sakramen? Di kertas lusuh yang kutemukan juga menuliskan tentang
sakramen. Hantu itu pasti tahu tentang sakramen itu! “Sakramen apa yang kau
maksud?”
“Oh, sakramen
itu! Lembaran-lembaran dalam bahasa asing, Inggris dan Latin yang tidak pernah
bisa kupahami. Mereka semua iblis! Mereka membunuh Claudia!” dia menjadi tambah
histeris ketika menyebut nama anaknya.
Oke, aku akui
bahwa aku sama sekali nggak nangkap apa yang dia bicarakan. Tapi seingatku
memang ada beberapa lembaran dalam bahasa Inggris dan Latin di kardus yang
kutemukan di gudang tadi pagi. Aku baru teringat juga tentang buku catatan atau
buku diary? Pokoknya buku itu nggak bisa dibuka. Aku beranjak dari tempat tidur
dan mengambil buku tersebut kemudian menunjukkannya kepada hantu wanita di
depanku. “Buku ini, ini nggak bisa dibuka. Kira-kira siapa yang punya buku
ini?”
Rambut hantu
itu tersibak sedikit, dan matanya yang merah terlihat membelalak. “Ya ampun,
itu buku diary Claudia, buku itu tak pernah bisa dibuka karena hanya Claudia
yang punya kuncinya. Aku menaruh buku itu di dalam kardus dan meletakkannya di
sudut gudang. Semua barang-barang yang ada di dalam kardus itu adalah milik
Claudia.”
“Aku menemukan
lembaran sakramen yang Ibu bicarakan. Apa itu juga termasuk milik Claudia?”
“Ya, aku
menemukannya di laci meja belajarnya, seminggu setelah kematiannya. Awalnya aku
tidak tahu apa itu, jadi kusimpan saja bersama barangnya yang lain, tapi
setelah aku tahu apa itu, aku berniat membuangnya, namun lembaran-lembaran itu
telah menghilang, entah siapa yang mengambilnya.”
“Namun
nampaknya lembaran-lembaran itu kembali lagi, ada seseorang yang mengambilnya kemudian
mengembalikannya lagi.” Aku bertanya-tanya apa maksud dari orang tersebut.
“Kau harus
segera memusnahkan lembaran-lembaran itu!” hantu itu berkata dengan keras,
“lembaran-lembaran itu berbahaya, kau harus memusnahkannya sebelum orang itu
kembali mengambilnya!”
“Tunggu dulu!”
kataku cukup lantang, mungkin Ibu akan mendengar suaraku dari bawah, tapi
nampaknya dia lagi masang earphone untuk dengerin musik. Biasanya dia melakukan
itu kalau lagi bosan. “Memangnya apa yang menyebabkan lembaran itu berbahaya?”
Entah kenapa
aku bisa merasakan bahwa dia ketakutan. Eh, ternyata hantu bisa takut juga?
“Aku tidak bisa memberitahumu, nak. Kau harus mencari tahu sendiri.”
“Tapi kenapa?”
tanyaku mendesaknya, “kau pasti mencurigai seseorang kan? Kau pasti tahu sesuatu.”
Sesosok hantu
lain muncul di kamarku. Dia adalah hantu lelaki yang kulihat di bawah pohon
tadi pagi bersama hantu wanita ini. Dia berwajah sangat pucat dan suram, bahkan
kau pun bisa melihat mendung di atas kepalanya. Baru kusadari bahwa bola
matanya berwarna abu-abu dan banyak sekali luka tusukan di tubuhnya. Dia
nampaknya adalah seorang lelaki tampan
dulunya, namun aku nggak yakin apa yang menyebabkan badannya jadi terdapat
banyak tusukan begitu. Sepertinya dia dibunuh oleh seseorang. “Itu suamiku, ayah
Claudia,” ujar hantu wanita di sampingku. “Namanya Alfred. Dan, eh, kami harus
pergi.”
“Sebentar Ibu
Angela! Kau kan belum jawab pertanyaanku!” namun terlambat, dia dan suaminya
menghilang.
Ada sesuatu
yang salah di sini. Suami Ibu Angela alias ayah dari Claudia, sepertinya
mencurigakan. Wajahnya seperti menyimpan begitu banyak misteri dan bola mata
abu-abunya, sepertinya kontak lensa. Namun, adakah kontak lensa di tahun
1980-an? Entahlah, aku belum lahir pada saat itu. Hawa menyeramkan itu masih
menghantui ruangan kamarku, apa dua hantu tadi merasakannya? Dan
ngomong-ngomong aku nggak akan menuruti permintaan hantu itu. Enak saja! Aku
nggak akan melakukan sesuatu yang belum jelas asal-usulnya.
Nggak terasa
aku tinggal di rumah baruku ini sudah hampir dua minggu, itu berarti aku sudah
bersekolah selama hampir sebulan di sekolah menyebalkan dengan murid-murid
menyebalkan ini. Ibuku meminta pendapatku apakah aku betah tinggal di rumah
yang baru, aku menjawab lumayan. Masalahnya hawa menyeramkan itu masih
melingkupi kamarku, jadi aku nggak betah untuk terus tinggal di kamar. Hantu
wanita itu nggak muncul-muncul lagi setelah percakapan kami mengenai kematian
Claudia yang entah kenapa bisa dihubungkan dengan sakramen. Pagi hari Minggu
itu aku bertemu dengan Paman Bibir Tebal yang memang sudah sering ke sini untuk
numpang sarapan.
“Paman Bi…,”
aku langsung menutup mulutku. Aku lupa nama asli lelaki ini. “Maksudku Paman,
apa kau mengetahui sesuatu tentang kematian Nona Claudia?”
Dia hampir
saja menumpahkan kopi yang sedang dipegangnya. “Bu, bukankah saya sudah
mengatakannya? Kematian mendadak, dia meninggal di tempat tidurnya.”
“Bisa saja itu
cerita yang kau karang-karang sendiri!” ujarku mulai kurang ajar. Untung nggak
ada Ibu yang akan menghukumku.
Dia terlihat
gelagapan. Aha! Aku tahu dia nggak beres! “Mana mungkin. Aku sudah bekerja enam
bulan di rumah ini pada saat peristiwa kematian Nona Claudia terjadi. Dia
memang terlihat sehat di malam hari dan paginya dia meninggal begitu saja.”
“Tapi apa dia
minum sesuatu malamnya?”
Paman Bibir
Tebal membuka mulutnya namun menutupnya lagi, sepertinya dia memikirkan
perkataan apa yang cocok untuk dia keluarkan, “Rasanya dia hanya minum teh.
Tapi itu hanya teh biasa, saya yang membuatkannya. Keterangan polisi dan hasil
autopsi pun…”
“Menyatakan
dia meninggal, karena memang dia harus meninggal,” ujarku memotong kalimatnya.
“Lalu apa yang Paman ketahui mengenai sakramen?”
“Apa itu?”
tanyanya heran. Wajahnya menunjukkan keheranan yang benar-benar asli. Mungkin
dia memang nggak tahu apa-apa.
Aku menghela
napas jengkel. Nggak ada satu pun informasi yang kuperoleh. Aku kepingin
kembali ke penginapan, bertanya dengan teman hantuku di situ. Setelah aku
memikirkan hal itu pun, aku sampai sekarang belum tahu siapa namanya. Dia nggak
pernah memberitahuku, dan rasanya aneh aku nggak pernah mendesaknya untuk
memberitahukan namanya.
Jauh di lubuk
hatiku, satu kepingan dari semua teka-teki ini ada yang hilang.
Trio Truk
Gandeng berhasil menyergapku di toilet. Aku benci banget sama mereka. Ingin
rasanya menyeprotkan air toilet ke muka mereka yang lebar. Terutama yang
ditengah. Aku tahu namanya adalah Melanie, aku mengetahuinya dari Georgia, tapi
aku lebih senang menyebutnya Si Gendut No.1. Dan dua temannya yang lain, Silfa
dan Rika, aku panggil Si Gendut No. 2 dan Si Gendut No.3. Mereka pasti akan
marah besar kalau aku memanggil mereka begitu.
“Nah, akhirnya
kami berhasil menangkapmu juga, Tikus Got!” ujar Si Gendut No.1 sampai ludahnya
muncrat ke mukaku.
“Aku bukan
tikus got!” aku berusaha memberanikan diriku sendiri walau aku tahu aku nggak
bakalan menang ngelawan mereka.
“Ya, kau tikus
got! Sudah lama kami mencarimu dan kau bersembunyi di dalam toilet. Bersembunyi
saja di dalam parit sekalian!” dia tertawa keras-keras bersama teman-temannya.
Aku benci
mereka. Kenapa aku harus dapat musuh sebesar gajah seperti mereka? Kalau Tiara,
hah, cewek jelek dan ceking itu bisa kupatahkan tulangnya kalau dia berani
berkata begitu. Trio Truk Gandeng? Aku
nyerah deh.
“Kau kan belum
bayar uang keamanan!” bentak Si Gendut No.1 lebih keras daripada sebelumnya.
“Sekarang bayar atau kujeburkan mukamu ke dalam toilet!”
“Seharusnya
aku yang melakukan itu!” setelah mengatakan itu aku ingin menampar mulutku
sendiri.
Trio Truk
Gandeng terdiam sesaat, sebelum akhirnya meledak dalam tawa yang menggetarkan
toilet. Suara bel berbunyi walau nggak terlalu terdengar dari toilet karena
diredam oleh tawa setan Trio Truk Gandeng. Tawa mereka terhenti, tapi aku masih
melihat bahwa sebenarnya mereka ingin tertawa lagi. “Kau selamat untuk hari ini
Tikus Got! Kami ada ulangan dan yah, kami harus pergi.” Mereka pergi keluar
dari toilet dan tertawa lagi.
Di kelas,
pelajaran Bahasa Inggris. Di sekolah ini pelajaran Bahasa Inggrisnya sudah
dimulai sejak kelas satu. Di sekolahku dulu, sejak kelas tiga, dan di sekolahku
yang dulunya lagi malahan baru kelas enam yang belajar Bahasa Inggris, dan
sekolah yang dulu-dulunya lagi, aku nggak ingat. Aku sedikit terhibur melihat
Tiara dimarahi oleh Bu Tina karena nggak bisa menyebutkan kata ‘father’ dan
‘mother’ dengan benar. Dia dan lidah nasionalisnya….
Georgia nggak
perlu diragukan lagi. Sebagai anak yang menganggap Bahasa Inggris adalah bahasa
sejak bayi, dia terlihat acuh tak acuh saja. Bu Tina juga nggak pernah
menanyainya seingatku. Dan Dicky, orang yang dibilang Tiara pintar berbahasa
Inggris, ternyata dia memang lumayan. Tiara melotot ke arahku karena dia
menangkap basah aku yang sedang cekikikan ke arahnya.
Ibuku adalah
penyayang binatang. Dia membawa kembali kucing tetangga kami yang dibuang oleh
mereka kemarin dan dengan ikhlas menasehati mereka bahwa binatang itu jangan
disia-siakan. Aku pikir mereka nggak menginginkan kucing itu jadi mereka
membuangnya, lalu kenapa Ibuku yang sewot dan susah-susah membawa pulang kucing
itu? Setahuku para binatang punya ingatan tajam, jadi apabila seekor kucing
dibuang jauh-jauh, asalkan matanya nggak ditutup, suatu hari nanti dia pasti
akan kembali ke rumah pemiliknya. Tapi aku nggak begitu yakin mengenai teori
itu, soalnya tetanggaku yang di Bandung dulu sering kehilangan anjing mereka
dan binatang itu nggak pernah kembali.
Walau Ibu
adalah penyayang binatang, kami nggak memelihara binatang. Eh, ada sih, ikan
hias yang diletakkan di aquarium depan. Aku lumayan alergi dengan semua
binatang berbulu dan aku pernah menyarankan kepada Ibu agar kita memelihara
reptil yang langsung ditolaknya mentah-mentah. Baru saja aku berpikir tentang
Ibuku, orangnya sudah nongol di pintu depan. Wajahnya ditekuk, dan dia terlihat
marah. Pasti karena tetangga itu nggak menggubris perkataannya.
“Kenapa orang
sekarang membenci binatang?” gerutunya setelah dia duduk di sofa di sebelahku.
“Keluarga Bisono itu seharusnya memelihara kucing mereka dengan benar!”
“Mereka nggak
suka kucing,” kataku pelan-pelan, “lagipula itu urusan mereka, kenapa Ibu harus
turut campur?”
Ibuku melipat
tangannya di dada dan mendengus kesal. Lebih baik aku berlari masuk ke kamar
saja sebelum dia mengomeliku yang macam-macam. Aku bosan di kamar ini, hawa
menyeramkan itu terlihat ingin mengancam, namun kekuatannya belum cukup untuk
mengajukan ancaman besar. Pokoknya apapun itu, dia ada di sini, dan aku yakin
dia adalah penunggu kamar ini, cuma dia belum mau menampakkan wujudnya.
Ngomong-ngomong soal hantu, hantu wanita itu kemana sih? Aku belum mendapat
penjelasan nih tentang sakramen itu. Mengingat sakramen, membuatku ingin
kembali ke gudang dan mengambil lembaran-lembaran lusuh dari dalam kardus yang
juga sama lusuhnya.
Di gudang, aku
mencari lembaran itu di dalam kardus yang sama dan berhasil mendapatkannya.
Tapi rasanya ada yang aneh mengenai posisi kardus ini. Aku yakin kardus ini sudah
dipindahkan beberapa senti dari tempat semulanya. Ada seseorang yang tahu
tentang sakramen-sakramen itu, tepat seperti kata hantu Ibu Angela, dan lebih
anehnya, dia nggak mengambil apa-apa di dalam kardus ini. Aku sangat yakin isi
kardus ini sama seperti yang aku tinggalkan beberapa hari lalu. Kubawa
lembaran-lembaran berbahasa yang sama sekali nggak kumengerti itu ke ruang tamu
tempat dimana Ibuku sedang nonton sinetron pagi. Aku menyimpan yang berbahasa
latin dan menunjukkan ke Ibu yang berbahasa inggris, karena tuntutan
pekerjaannya yang selalu berhadapan dengan orang bule, Ibuku pintar berbahasa
inggris.
“Apa ini?”
tanyanya sambil mengerut melihat isi sakramen itu.
“Aku temukan
itu di dalam kardus yang berada di gudang. Kira-kira apa artinya?” aku menengok
wajah Ibuku yang nampaknya memancarkan sinar ketidakpercayaan.
“Isinya
menyeramkan,” kata Ibuku, “lebih baik kita buang saja.”
“Tunggu dulu!”
aku menahan lengan Ibu yang hendak berdiri, “aku kan belum tahu isinya!”
“Tidak bisa
Bianca! Ini bukan untuk anak umur sepuluh tahun!” Ibuku berusaha melepaskan
pengangan tanganku dari lengannya, tapi aku semakin memperkuat penganganku.
“Aku yang
menemukannya, jadi aku berhak tahu!” kataku keras kepala. Aku emang nggak
pernah bisa ngomong sopan di depan orang yang lebih tua, bahkan Ibuku sendiri.
“Kalau kau
benar-benar ingin tahu, ini tentang ritual,” ujar Ibuku kemudian dia duduk
kembali dan meletakkan lembaran-lembaran tersebut di atas meja.
Aku berhenti
memegang lengan Ibuku. “Ritual? Maksud Ibu seperti memberikan sesembahan
begitu?”
“Aku juga
nggak begitu mengerti,” aku Ibuku. “Namun di lembaran ini mengatakan bahwa
ritual itu mengharuskan adanya seorang anak perempuan sebagai korban. Seorang
anggota baru harus mengorbankan anak perempuannya sendiri untuk sesembahan dan
meminum darah anak itu.”
“Iih,
menjijikkan!” aku bergidik ngeri. “Masa’ mereka mau melakukan itu?”
Ibuku
mengangkat bahu. “Beberapa halaman kayaknya ada yang hilang. Tapi di halaman
terakhir mengatakan tentang sesuatu yang disebut sebagai kedamaian di atas
bumi.”
Aku mengingat
tentang kertas yang juga menyebutkan tentang membawa perdamaian ke atas bumi.
Orang macam apa sih yang menulis semua ini?
“Yang jelas
ini tidak masuk akal!” kata Ibuku mengagetkanku. “Aku tidak mengerti kenapa
barang-barang ini ada di rumah kita!”
“Itu dulunya
pasti punya pemilik rumah ini!”
“Jangan
menuduh dulu. Kita kan tidak tahu benar tentang mantan pemilik rumah ini.”
Pintu depan diketuk orang, jadi Ibuku pergi untuk membuka pintu. Aku langsung
menyambar lembaran-lembaran itu dan berlari ke belakang. Selintas aku bisa
melihat tamu Ibuku, Si Tante Jelek itu! Mau apa dia ke sini? Ah, biar nanti
saja aku tanyakan kepada Ibu. Aku ingin melakukan sesuatu sekarang.
Di dapur, aku
mengambil sebotol minyak tanah dan korek api. Aku membawa semua benda itu ke
taman belakang. Ada tumpukan daun di bawah pohon besar, pasti akan dibakar oleh
Paman Bibir Tebal. Mungkin aku bisa membantunya. Aku membuang lembaran-lembaran
yang kusimpan ke tumpukan itu, menyiram minyak tanah di atasnya, dan menyalakan
korek api. Aku melihat api yang menjalar, mulai menghanguskan daun-daun, namun
ada yang aneh.
Lembaran-lembaran
itu nggak terbakar!
Api itu
seolah-olah menjauh dari lembaran-lembaran itu. Si api aneh itu malah terlihat
menjauhi lembaran-lembaran tersebut dan malah membakar habis daun-daun di
bawahnya. Aku mengambil semua lembaran itu, bahkan lembaran itu sama sekali
nggak terasa panas. Aku menyalakan korek api lagi dan langsung membakar
lembaran-lembaran itu. Namun, setiap korek api mendekati ujung lembaran itu,
apinya langsung padam, seakan-akan ada yang meniupnya. Aku bisa bersumpah nggak
ada apa-apa di sekitarku dan angin sedang nggak bertiup. Kalau memang ada hantu
yang meniupnya, dia pasti nggak menampakkan wujudnya, dasar pengecut!
Karena nggak
berhasil membakar lembaran-lembaran sial itu, dengan langkah mengentak-ngentak
aku pergi masuk kembali ke dalam rumah.
Menyedihkan!
Itulah kata pertama yang bisa ditangkap pikiranku ketika selesai mendengar
cerita Ibu tentang si Tante Jelek. Ternyata namanya Rahayu, Ibu Rahayu, usia 45
tahun, tinggal di mana saja. Dia numpang dari satu rumah ke rumah yang lain.
Dia kabur dari rumahnya, karena suaminya yang kejam dan suka memukul-mukul. Dia
nggak punya anak, dan semua sanak familinya tinggal jauh dari sini. Dia sudah
seperti orang gila, kalau melihat dandanannya, tapi ternyata dia 100% waras
hanya saja agak sedikit depresi, begitu kata Ibuku. Apa pun namanya, dia tetap
si Tante Jelek dalam pikiranku.
Aku mengatakan
pada Ibu bahwa perempuan itu pernah nongkrong di depan gerbang rumah dan dia
mengatakan tentang kutukan. Ibu hanya menggeleng dan mengatakan bahwa dia
sedikit depresi makanya ngomongnya melantur. Aku bersikeras bahwa dia adalah orang
gila yang pscyho, namun Ibu juga bersikeras bahwa dia mengalami sedikit
depresi, aku pun juga tetap bersikeras bahwa dia kehilangan otaknya. Ibu
memarahiku atas kekurangajaranku, dan aku diam saja. Aku pun bingung kenapa aku
bisa mendapat tingkah laku kurang ajar seperti ini.
Siaran berita
aku tinggalkan karena aku merasa bosan dan akhirnya memutuskan masuk ke kamar.
Sebelum ke kamarku sendiri, aku ke kamar Ibuku siapa tahu aku bisa bertemu
dengan Ibu Angela, karena kamar Ibuku adalah bekas kamarnya. Ketika aku masuk,
dia nggak ada, tetapi hawa bahwa dia pernah ke sini masih terasa olehku. Aneh,
kenapa sekarang dia menghindar? Pasti karena hantu lelaki misterius bermata
abu-abu itu!
Hawa
menyeramkan itu benar-benar semakin terasa, tapi nggak terlalu mengancam, hanya
membuat bulu kuduk berdiri saja. Aku duduk sembari menyandar di tempat tidur
dan mendengarkan suara-suara. Hanya suara TV yang terdengar dari bawah.
Sekarang rasanya ada yang lain, ada sesuatu yang mendekat, dekat dan dekat.
Kemudian entah darimana kamarku berubah menjadi gelap seperti mati lampu,
padahal jelas-jelas suara TV masih terdengar. Kegelapan ini hanya meliputi
seputaran kamarku. Aku pernah mengalami ini, ketika umurku enam tahun. Ini
disebut hawa kebencian. Hawa kebencian para hantu mengakibatkan kegelapan
datang. Melihat seberapa gelap ruangan
kamarku sekarang, hawa kebencian hantu itu pasti sangat dalam.
Aku bisa
mendengar angin berhembus. ‘Pasti dari AC,’ Pikirku. Namun, aku lupa bahwa aku
nggak menghidupkan AC kamar seharian ini. Bahuku menegang, dan aku merasakan
jantungku ingin meloncat dari dadaku. Belum pernah seumur hidupku, semenjak aku
bisa melihat hantu, aku merasakan ketakutan seperti ini. Hantu ini sepertinya
benar-benar jahat. Oh, jangan-jangan ini hantu Claudia pemilik kamar ini? Aku
pun baru sadar, bahwa aku bersender ke ranjang tempat tidur. Apa hantu ini akan
datang dan marah karena aku mengambil tempat tidurnya tanpa izin? Tapi dia
sendiri kan yang nggak menampakkan wujudnya?
Lalu di suatu
tempat dalam kegelapan di kamarku, sebuah suara mengerikan terdengar.
TBC...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar