Sabtu, 08 September 2012

Cerbung : Don't Sleep on the Bed Bab 6


Bab 6

AKHIRNYA KETIKA AKU BERSIAP HENDAK TIDUR, CLARA MENJUMPAIKU.
Dia terlihat masih marah namun nggak semarah tadi siang. Kami diam-diaman selama beberapa menit dan akhirnya karena merasa jengah dengan keheningan ini akhirnya aku bertanya, “Darimana saja Clara?”
Clara menelengkan kepalanya, lalu berkata dengan suara yang masih mengandung nada kemarahan, “Aku melakukan sesuatu yang bagus untukmu.”
Aku menatapnya terheran-heran. “Memangnya apa yang kau lakukan untukku?”
Sekarang wajahnya menjadi cerah dan tampak puas. Hal yang biasa terjadi kalau dia mendapatkan sesuatu yang berguna. Dia duduk di tepi tempat tidur dan aku duduk bersila di karpet di depannya. Clara mulai bercerita, “Ketika pulang, aku memperhatikan seorang lelaki berjaket hitam memperhatikanmu ketika kau keluar dari gerbang sekolah. Awalnya aku nggak curiga dengannya tapi aku mencium bau bangkai dari mobilnya. Karena penasaran aku melihat isi mobilnya dan kaget melihat banyak sekali bangkai buruk gagak di dalam sebuah kotak kardus di bangku belakangnya. Selain itu masih ada beberapa gagak hidup namun sudah diberi suntikan obat tidur. Karena semakin penasaran, aku mengikuti lelaki itu pergi dengan mobilnya. Kami tiba di sebuah gudang tua, aku nggak tahu dimana, yang jelas daerah itu kumuh. Dia membawa semua burung gagak itu ke dalam gudang. Di sana sudah ada seseorang yang memakai jubah hitam dan dia bertopeng. Dia seorang wanita yang nampaknya berumur pertengahan limapuluhan karena hampir semua rambutnya sudah putih. Dia menyuruh lelaki itu menaruh semua gagak itu ke ruangan penyimpanan dan kemudian mereka mulai membicarakan tentang ritual kuno yang akan mereka bangkitkan lagi dan kau tahu apa? Ternyata lelaki inilah yang mencuri lembaran sakramen itu karena aku melihat benda itu dipegang oleh mereka. Mereka mengatakan akan segera menjalankan rencana mereka.” Clara berhenti untuk menarik napas. Matanya yang cuma sebelah itu tampak berbinar-binar senang.
Aku mendengarkan dengan perhatian penuh setiap omongan Clara. Ceritanya membuka satu lagi keping misteri dari rumah ini. Puzzle ini mulai tersusun dengan sempurna. “Terus apa lagi?”
Clara mengangkat bahu. “Entahlah, nampaknya si wanita bertopeng itu bisa merasakan kehadiranku, jadi aku cepat-cepat pergi dari gudang tua itu.”
Aku mengangguk, merasa cukup puas dengan informasi ini. Aku pun menceritakan cerita hantu Ibu Rahayu tadi dan setelah selesai bercerita aku meminta pendapat Clara seperti biasanya. “Misteri ini mulai jelas kelihatannya,” gumamnya terlihat senang akan perkembangan ini. “Kita tahu pasti bahwa ritual itu dilakukan oleh istri kedua Alfred. Bisa saja dia mengorbankan salah satu dari anak kembar itu atau mungkin anaknya sendiri. Dia membunuh Alfred karena menurut pendapatku Alfred tahu tentang ritual itu. Sedangkan si Angela nampaknya bunuh diri bukan karena frustasi anaknya Claudia meninggal, namun dia merasa selalu ditekan oleh Marsita sehingga dia mengambil jalan singkat tapi mungkin bisa juga Marsita yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Sekarang, ada komplotan orang yang ingin membangkitkan ritual itu lagi, bisa saja orang-orang ini masih ada sangkut pautnya dengan Marsita, atau malahan…” Clara terdiam sebentar tapi kemudian sebuah senyum mengembang di bibirnya yang pecah-pecah. “Bisa saja Marsita masih hidup dan dia sekarang ingin kembali membangkitkan ritual kuno itu. Kau bilang sendiri kan sampai sekarang polisi nggak bisa melacak jejaknya?”
Aku membetulkan ucapan Clara. Sejauh ini kami punya pikiran dan pendapat yang sama. “Sekarang yang harus kita cari adalah informasi siapa yang menjadi tumbal ritual itu.”
“Mungkin kita bisa tahu dari tempat tidur di ruangan bawah tanah itu,” usul Clara.
Aku bergidik. “Aku nggak mau ke sana lagi! Di bawah situ sangat dingin seperti berada di kutub utara. Kenapa nggak kau saja ke sana?”
“Aku nggak bisa ke sana Bianca. Ada sesuatu yang lebih kuat dariku di sana dan aku nggak berani melawannya.”
“Ya, kau pernah bilang seperti itu padaku. Tapi yang jelas, memang ada semacam hawa aneh di sana dan suara yang sudah dua kali terdengar di kamarku…,”
“Dua kali?” Clara mengangkat bagian atas matanya yang seharusnya tempat alis berada. Tapi dia kan sudah nggak punya alis.
“Ya, ketika kau mengantar  tamu-tamu hantumu pulang, suara itu terdengar lagi,” jawabku. Aku membaringkan tubuhku di atas karpet dan baru menyadari betapa tipisnya karpet ini karena aku masih bisa merasakan sakit pada punggungku sama seperti ketika aku membaringkan diriku di lantai keramik. Aku menguap. “Aku ngantuk dan besok, mungkin akan ada pengumuman ulang tahun sekolah dibatalkan gara-gara kejadian meninggalnya dua pengusir hantu di sekolah.”
Clara diam saja ketika aku menyinggung soal itu. “Tidurlah di atas tempat tidur,” ujarnya seperti seorang ibu. Aku menurut dan langsung pindah ke atas tempat tidur. Clara memperhatikanku sampai akhirnya aku tertidur lelap. Samar-samar aku melihat kalau dia tersenyum atau mungkin menyeringai? Entahlah, karena apapun itu aku sangat ngantuk.

Keesokan harinya aku datang ke sekolah dengan perasaan campur aduk antara penasaran dengan apa yang akan terjadi setelah kematian dua pengusir hantu itu dan takut jikalau seandainya aku lebih dicurigai lagi karena berteman dengan hantu, atau yang lebih parahnya lagi, aku yang menyuruh hantu temanku alias Clara untuk mencakar dan mendorong dua orang tersebut. Sial! Apa yang harus kukatakan untuk pembelaan nantinya?
Baru saja aku melangkah masuk gerbang, anak-anak sudah ribut membicarakan kejadian kemarin. Bukan hanya anak-anak, tetapi juga guru-guru, satpam sekolah bahkan penjaga kantin dan masyarakat sekitar sekolah sudah ribut membicarakannya. Memang tadi pagi ada berita mengenai kematian si Supradi dan Jalil. Yang mengherankan polisi adalah adanya luka cakaran yang sangat parah di tubuh mereka seperti layaknya dicakar binatang buas. Apa benar bahwa mereka dicakar oleh hantu penunggu kelas kami, para polisi belum memberikan informasi tentang hal itu.
“Hei lihat, itu kan Bianca? Bukankah dia berada di kelas kemarin bersama dengan pengusir hantu itu padahal semua anak lain berada di luar.” Seorang anak perempuan sengaja bersuara keras-keras kepada teman-temannya ketika aku lewat. Terang sekali kalau dia bermaksud menyindirku, tapi aku pura-pura nggak mendengarnya dan terus berjalan.
Aku menjumpai Georgia yang berdiri di dekat kelas satu. Segera saja aku menyapanya. Dia terlihat tegang ketika aku mendekatinya, tapi dia langsung menguasai dirinya lagi dan balas menyapaku, “Hi Bianca.” Dia menunjuk-nunjuk ke atas dan ngomong, “We can’t go to the upstairs.” Dia membuat tanda silang dengan tangannya. “Dilarang.”
Ya aku mengerti maksudnya. Polisi masih menutup jalan ke lantai atas, jadi kami yang punya kelas di lantai atas yaitu kelas empat, lima, dan enam nggak bisa pergi ke kelas kami. Aku menghela napas, nggak tahu apa reaksi Trio Truk Gandeng yang sementara waktu ini menjadi Duo Truk Gandeng karena Si Gendut No.1 masih dirawat di rumah sakit. Apa mereka akan marah padaku? Tapi inikan bukan sepenuhnya salahku!
“Tiara will be very angry with you,” Georgia berkata lagi. Dia memandang sekeliling seperti mencari sesuatu.
“Nggak mungkin!” kataku tapi sambil mengigit bibir. “Memangnya dia punya hak untuk memarahiku?”
“She is headmaster’s daughter,” Georgia menekankan setiap kalimatnya walau yang aku tahu artinya cuma kata ‘headmaster’ yaitu kepala sekolah.
Aku menghela napas lagi. Aku lupa kalau Tiara mungkin anak pengadu dan dia akan mengadu ke ayahnya kalau aku berteman dengan hantu walau aku nggak yakin ayahnya akan percaya. Namun entahlah aku nggak peduli apa pun yang akan terjadi. Kalau memang harus pindah sekolah lagi, maka aku akan pindah. Bel berbunyi dan terdengar suara dari pengeras suara yang memerintahkan kami untuk berkumpul di lapangan. Uh, pasti untuk membicarakan tentang masalah kemarin.
Semua anak tersedot ke lapangan yang biasa kami pakai untuk upacara bendera tiap hari Senin. Aku berbaris di barisan kelasku dan mendapat tatapan beracun dari semua teman-temanku, jadi aku memilih barisan paling belakang. Setelah membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengatur barisan, kepala sekolah kami naik ke atas podium. Dia mirip Tiara dalam hampir segala segi, mulai dari badannya yang ceking, kulitnya yang coklat mutung, sorot mata sinis sampai lidah nasionalisnya. Setiap dia menjadi pemimpin upacara, dia selalu salah mengutip suatu kata mutiara berbahasa Inggris karena dia membaca kalimat berbahasa Inggris layaknya membaca kalimat berbahasa Indonesia.
Pak kepala sekolah, Pak Surya berdehem sebelum memulai, “Selamat pagi, anak-anak!”
Kami menjawab dengan sangat nggak bersemangat.
“Saya tahu bahwa kemarin telah terjadi peristiwa tidak terduga di sekolah kita. Dua orang lelaki jatuh dari tangga dan akhirnya meninggal. Di tubuh mereka terdapat banyak luka cakaran yang parah. Dua orang laki-laki ini adalah pengusir hantu dan mereka bermaksud datang ke salah satu kelas di sekolah ini untuk mengusir hantu yang katanya menjahili murid-murid di kelas tersebut.”
Aku menatap Clara yang berdiri di sebelahku sementara Pak Surya terus berbicara. Clara hanya nyengir sambil membuat tanda ‘peace’ dan menunjukkan ekspresi ‘aku baru tahu ada kejadian seperti itu’ di wajahnya yang melepuh. Setelah acara ini selesai (yang memakan waktu hampir sejam), kelas empat, lima, dan enam akan dipindahkan ke gedung B, gedung yang baru saja diresmikan beberapa bulan lalu. Di dalam kelas baru sementara kami, aku memilih untuk duduk sendirian di belakang. Sudah cukup mereka semua mengacuhkan aku dan memandangku dengan tatapan nggak menyenangkan itu. Georgia nggak bisa berbuat apa-apa dan lebih memilih mengikuti arus. Tiara tampaknya menunjukkan wajah puas, tapi aku nggak peduli apa yang sedang dipikirkannya sekarang.
Waktu di sekolah terasa berjalan dengan sangat lambat. Bau ruangan kelas kami ini masih terasa seperti bau cat basah walau aku akui kelas sementara kami di gedung B ini lebih bagus daripada kelas kami dulu. Wali kelas kami masuk ke dalam kelas dan memberitahukan bahwa perayaan hari ulang tahun sekolah nggak akan dibatalkan namun akan diundurkan hingga bulan depan sampai semuanya jadi lebih baik. Semua anak mengeluh atas berita ini, terutama Clara yang benar-benar merasa kecewa dengan pengunduran jadwal perayaan tersebut. Padahal dia sudah bersemangat sekali untuk tampil di acara itu walau nggak akan ada satupun orang kecuali aku yang bakal melihatnya.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku segera berlari menuju gerbang dan menyadari seseorang sedang memperhatikanku ketika aku menunggu mobil jemputan Ibuku. Aku melirik ke arah kananku dan di sana ada seorang laki-laki berjaket hitam dan wajahnya agak tersembunyi di balik topi bisbol yang dia kenakan. Lelaki itu bersender di badan mobilnya. Apa ini laki-laki misterius yang dibuntuti Clara kemarin?
“Dia datang lagi,” ujar Clara mengagetkanku. “Aku yakin dia berniat nggak baik.”
“Aku rasa juga begitu,” aku menyetujui ucapan Clara. “Dia terlihat sangat mencurigakan. Apa dia lelaki yang kau buntuti kemarin?”
“Tidak salah lagi.” Clara terus memandangi lelaki itu dengan mata kanannya. “Mungkin ada baiknya aku buntuti dia lagi.”
Ide Clara terdengar bagus di telingaku. Mungkin dia bisa mendapatkan informasi lagi mengenai pencurian sakramen itu. Aku mengangguk ke arahnya dan melihat mobil Ibu datang. Masih sempat-sempatnya aku melihat lelaki itu masuk ke dalam mobil dan mengendarai mobilnya ke arah lain, padahal kupikir dia akan membuntuti mobil Ibu. Tapi setelah kupikir-pikir lagi apa gunanya dia membuntuti mobil Ibu padahal dia sudah tahu dimana rumah kami berada. Clara pun sudah menghilang untuk mengikuti lelaki misterius itu.
Sesampainya di rumah, Ibuku mengatakan kalau dia mungkin akan pulang malam. Kalau misalnya Paman Bibir Tebal datang ke rumah untuk acara minum teh sore, maka aku harus menyampaikan pesannya bahwa Ibuku nggak berada di rumah. Aku mengangguk dan masuk ke rumah tanpa lupa mengunci pintu. Aku benar-benar sendirian sekarang di rumah besar ini dan aku harap Ibu Angela datang dan aku bisa meminta penjelasan lebih, juga hantu Alfred. Aku benar-benar berharap mereka datang menemuiku.
Aku sedang mengerjakan PRku di meja belajar, ketika sesuatu yang aneh terjadi. Tempat tidurku mulai bergeser dengan sendirinya! Awalnya benda itu hanya berpindah sedikit sekali, jadi aku mengabaikannya. Namun lama-kelamaan tempat tidurku semakin bergeser dan bergeser dan akhirnya menampakkan lubang rahasia yang sudah ditutupi papan oleh Clara. Aku memperhatikan dengan mulut menganga ketika papan itu bergeser dan sebuah tangan pucat menyembul keluar dari lubang. Aku berpengangan kuat dengan gagang kursiku dan berdoa dalam hati, semoga yang keluar bukan hantu yang lebih menyeramkan dari Clara.
Sosok hantu penunggu tempat tidur di ruangan ritual itu akhirnya mulai menampakkan wujudnya. Dan anehnya, wajahnya tertutup dengan topeng, topeng yang sama yang aku lihat dalam mimpiku di ruangan bawah tanah itu. Dia berjalan dengan sedikit membungkuk pada awalnya, tetapi dia menegakkan kembali badannya dan sekarang dia mulai berjalan normal. Dia berjalan ke arahku dan aku langsung menutup mataku rapat-rapat, takut kalau-kalau dia membuka topengnya dan kemudian menunjukkan wajah yang menyeramkan.
Tetapi ternyata nggak. Setelah aku menutup mataku untuk beberapa saat dan nggak terjadi apa-apa, hanya hembusan angin dingin, angin yang sama yang membuatku kedinginan ketika berada di ruang bawah tanah beberapa hari lalu, yang sedari tadi terus menerpa wajahku. Sedikit demi sedikit aku membuka mataku dan melihat bahwa hantu itu sama sekali nggak melepas topengnya. Dia hanya tegak di depanku tanpa berkata apa-apa. Aku bingung dan akhirnya memutuskan untuk bertanya, namun dua jempol hantu itu menekan dengan keras kedua mataku dan bisa kurasakan rasa perih yang menyakitkan di kedua mataku.
Kemudian sesuatu terjadi. Rasanya aku seperti menekan tombol previous di remote DVD, dan gambar-gambar mulai berjalan mundur di dalam otakku. Gambar-gambar itu mulai terangkai satu demi satu membentuk suatu kejadian, kejadian yang merupakan titik awal misteri di rumah ini. Maka di sanalah aku melihat semuanya. Aku melihat istri kedua Alfred, Marsita, untuk pertama kalinya. Di usianya yang ke-30, dia masih nampak cantik. Dia menikah dengan Alfred, pindah ke rumahnya dan berkenalan dengan Ibu Angela dan anak kembar mereka Claudia dan Clarissa. Entah kenapa rupa anak kembar itu mengingatkanku akan wajah seseorang, lebih tepatnya sesosok hantu.
Gambar beralih lagi, kali ini sikap nggak sukanya Claudia kepada Marsita terlihat sangat jelas. Ibu Angela nggak terlalu banyak berkomentar atas istri kedua suaminya, namun Clarissa nampaknya bisa menerima Marsita dengan baik. “Mereka sulit untuk dibedakan,” kata Marsita kepada Alfred. “Ya, aku dan istriku pun terkadang tidak bisa membedakan mereka.”
Claudia tetap nggak menyukai Marsita dan pada suatu hari dia tanpa sengaja melihat Marsita membaca lembaran sakramen itu dan dia langsung melaporkannya pada Alfred. Terjadi sedikit pertengkaran pada waktu itu dan Marsita pergi ke kamarnya dan di sana dia bertemu dengan Clarissa. “Kau tidak seperti saudara kembarmu.” Marsita tersenyum ke arahnya dan Clarissa membalas. “Aku tidak menyukai saudara kembarku. Dia lebih dikenal orang daripada aku,” adu Clarissa waktu itu. “Kalau begitu mari kita buat jebakan untuknya,” usul Marsita.
Rencana itu sebenarnya sederhana. Buku catatan Marsita yang juga merupakan buku yang sama yang kutemukan di kardus, dia menyuruh Clarissa menulis nama Claudia berikut tanggal kelahirannya di buku tersebut. Clarissa punya gaya tulisan yang hampir sama seperti saudara kembarnya sehingga sulit dibedakan. Clarissa menulis apa saja yang diperintahkan Marsita ke dalam buku itu, menggambar apa yang mesti dia gambar (gambar burung gagak yang tergantung, orang yang diletakkan di atas pentagram dan lain-lain). Kemudian Marsita menaruh lembaran sakramennya di laci meja belajar Claudia beserta buku catatan dan belati dengan hiasan bulu burung gagak itu. Malam itu Marsita mengadu kepada Alfred bahwa lembaran sakramen yang dia baca beberapa hari lalu adalah punya Claudia dan anak itu berusaha untuk memfitnahnya. Dia juga mengatakan bahwa Clarissa menemukan benda-benda aneh di laci Claudia dan meminta Alfred memeriksanya. Alangkah terkejut Alfred melihat benda-benda aneh itu dan menyangka yang bukan-bukan bahwa otak anaknya sudah dipengaruhi, padahal semua benda itu adalah kepunyaan Marsita. Ibu Angela yang tahu betul sifat anaknya berteriak marah dan malah menuduh Marsita berbohong. Tapi Alfred terlanjur marah dan menghukum Claudia.
Rencana Marsita bukan hanya sampai di situ. Untuk menjadi pengikut ritual kuno yang selama ini dijalaninya, dia harus mempersembahkan korban. Dan dia sudah tahu siapa yang akan dijadikannya korban, Claudia. Dari awal dia memang sudah membenci anak itu dan menjadikannya korban ritual sepertinya menyenangkan. Namun sebuah surat dari pemimpin kelompok itu mengagetkannya. Surat lusuh yang aku temukan juga di dalam kardus itu berisi suatu hal tentang perubahan rencana. Namun naasnya, Claudia meninggal sebelum ritual itu dilaksanakan. Pagi itu dia meninggal dengan tenang sama seperti yang diceritakan oleh Paman Bibir Tebal. Tapi karena Ibu Angela yang terlanjur menaruh curiga kepada Marsita memfitnahnya bahwa anaknya telah diracun oleh perempuan itu, namun hasil dari pemeriksaan tak ditemukan adanya fakta bahwa Claudia diracun. Dia meninggal karena memang sudah waktunya dia meninggal.
Marsita akhirnya memboyong anak kandungnya yang selama ini tinggal di Singapura ke rumahnya. Dan Ibu Angela yang masih menaruh curiga dan membenci Marsita, membawa kabur anak kembarnya yang satu lagi, Clarissa, setelah tahu bahwa selama ini Marsita telah terlalu banyak mempengaruhi pikiran anaknya itu dan Ibu Angela tak suka dengan kedekatan yang terjadi di antara Marsita dan Clarissa. Hal itu sama sekali tak diketahui Alfred yang pada waktu itu sedang berada di luar kota. Kesempatan yang sangat baik ini dimanfaatkan oleh Marsita untuk memulai ritual di ruang bawah tanah yang sebenarnya dulu merupakan gudang juga, namun disulap Marsita menjadi ruang ritual. Jalan menuju ke ruangan bawah tanah itu ada dua, yang satu melalui gudang tua di belakang rumah yang mana di salah satu lantainya sudah terdapat sebuah panel pintu yang dapat menghubungkan jalan menuju ke ruang ritual, dan yang satu lagi adalah lewat jalan di bawah tempat tidur Claudia.
Ritual yang kulihat sekarang agak berbeda dengan ritual yang pernah kulihat dari mimpi yang kudapat di ruang bawah tanah itu. Marsita yang waktu itu memakai jubah dan topeng datang mendekat ke arah anaknya yang berkata memohon, “Ibu, Ibu, kenapa kau melakukan ini?” Marsita sebenarnya nggak tega anaknya dijadikan korban ritual, tetapi dia tak punya pilihan lain. Aku melihatnya sekarang, dengan sangat jelas proses ritual itu. Belati dengan hiasan bulu gagak itu ditusukkan ke dada anak itu, namun yang berbeda sekarang adalah ada dua belati yang ditancapkan ke dada anak itu, bukan hanya satu seperti yang kulihat di mimpiku. Setelah itu Marsita membuka topeng anaknya dan mencungkil bola mata kirinya, mencukur habis alisnya dan membuat luka di sepanjang tubuh anak itu. Darah yang keluar ditampung dalam sebuah wadah dan satu orang lagi yang berada di dekat Marsita, menciduk darah yang berada di wadah dengan gelas layaknya itu air biasa dan memberikannya kepada Marsita. Wanita itu tampak mengernyit menerimanya tapi diminumnya juga dalam sekali teguk.
Orang yang tadi memberi gelas kepada Marsita mengambil sebuah gelas yang lain, kali ini terbuat dari plastik dan aku bisa melihat asap mengepul dari gelas itu, dan orang itu menyiramkan air di dalam gelas ke muka si anak yang sudah tak ditutupi topeng lagi. Air itu air mendidih. “Nah, selesailah sudah ritual kita untuk kali ini,” si orang yang menyiram muka anak itu berkata dengan nada puas. “Memang harus ada yang dikorbankan demi kedamaian dunia.” Semua orang yang berada di situ bersorak girang.
Marsita keluar dari ruang ritual itu dan melihat mobil Alfred parkir di halaman. Dia langsung membuka jubah dan topengnya lalu menenteng jubahnya yang dia gunakan untuk menyembunyikan belati dan pergi menghampiri Alfred di luar. Alfred menanyakan tentang Ibu Angela namun Marsita hanya tersenyum saja dan mengatakan bahwa istri pertamanya belum pulang. Alfred terlihat sedih dan kemudian dia berbalik menuju ke arah tangga. Di saat itulah Marsita menusuknya dari belakang. Alfred langsung roboh ke lantai, namun dia masih sempat menengok ke arah Marsita yang tampak begitu dingin di matanya. Alfred bertanya dan memohon kepada istri keduanya untuk tidak membunuhnya, namun Marsita tak mendengarnya dan menusuk Alfred berkali-kali hingga lelaki itu menemui ajalnya.
Sialnya, Ibu Angela ternyata sudah pulang ke rumah dan dia melihat Marsita membunuh suaminya. Ibu Angela marah dan menyerang Marsita, tetapi Marsita lebih kuat. Dia mendorong dengan keras Ibu Angela hingga kepalanya membentur dinding dan dia pun langsung roboh ke lantai dengan darah bercucuran dari kepalanya. Tidak sampai di situ Marsita segera memukul kepala Ibu Angela dengan guci keramik dan kabur dari rumah setelah membunuh suami istri itu.
Gambar-gambar di dalam kepalaku itu kembali berhamburan menjadi keping-kepingan puzzle yang tersusun pada tempatnya, namun ada satu keping puzzle yang hilang. Dimanakah Ibu Angela membawa kabur Clarissa? Setelah itu aku kembali dibawa ke dunia nyata. Di sana masih berdiri hantu bertopeng itu. Aku memandanginya dan menelan ludah sebelum bertanya, “Clau, Claudia?”
Hantu itu terlihat mengangguk dan membuka topengnya. Nampaklah wajah yang benar-benar sangat familiar bagiku. “Apakah hanya manusia saja yang bisa berbohong Bianca? Apa kau pikir semua hantu yang kau temui berkata jujur?” setelah dia menanyai dua hal itu dia berbalik pergi dan kembali berjalan membungkuk ke arah lubang menuju ruang bawah tanah tersebut. Papan pun kembali menutup dan tempat tidur pun kembali ke tempatnya. Keadaan sama seperti semula namun ini merupakan langkah awal dari teka-teki ini. Misteri ini sudah mencapai titik terang dan sekarang aku tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan nenek di mimpiku itu.
TBC...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar