Bab 6
AKHIRNYA KETIKA AKU BERSIAP HENDAK TIDUR, CLARA MENJUMPAIKU.
Dia terlihat
masih marah namun nggak semarah tadi siang. Kami diam-diaman selama beberapa
menit dan akhirnya karena merasa jengah dengan keheningan ini akhirnya aku
bertanya, “Darimana saja Clara?”
Clara
menelengkan kepalanya, lalu berkata dengan suara yang masih mengandung nada
kemarahan, “Aku melakukan sesuatu yang bagus untukmu.”
Aku menatapnya
terheran-heran. “Memangnya apa yang kau lakukan untukku?”
Sekarang
wajahnya menjadi cerah dan tampak puas. Hal yang biasa terjadi kalau dia
mendapatkan sesuatu yang berguna. Dia duduk di tepi tempat tidur dan aku duduk
bersila di karpet di depannya. Clara mulai bercerita, “Ketika pulang, aku
memperhatikan seorang lelaki berjaket hitam memperhatikanmu ketika kau keluar
dari gerbang sekolah. Awalnya aku nggak curiga dengannya tapi aku mencium bau
bangkai dari mobilnya. Karena penasaran aku melihat isi mobilnya dan kaget
melihat banyak sekali bangkai buruk gagak di dalam sebuah kotak kardus di
bangku belakangnya. Selain itu masih ada beberapa gagak hidup namun sudah
diberi suntikan obat tidur. Karena semakin penasaran, aku mengikuti lelaki itu
pergi dengan mobilnya. Kami tiba di sebuah gudang tua, aku nggak tahu dimana,
yang jelas daerah itu kumuh. Dia membawa semua burung gagak itu ke dalam
gudang. Di sana sudah ada seseorang yang memakai jubah hitam dan dia bertopeng.
Dia seorang wanita yang nampaknya berumur pertengahan limapuluhan karena hampir
semua rambutnya sudah putih. Dia menyuruh lelaki itu menaruh semua gagak itu ke
ruangan penyimpanan dan kemudian mereka mulai membicarakan tentang ritual kuno
yang akan mereka bangkitkan lagi dan kau tahu apa? Ternyata lelaki inilah yang
mencuri lembaran sakramen itu karena aku melihat benda itu dipegang oleh
mereka. Mereka mengatakan akan segera menjalankan rencana mereka.” Clara
berhenti untuk menarik napas. Matanya yang cuma sebelah itu tampak
berbinar-binar senang.
Aku
mendengarkan dengan perhatian penuh setiap omongan Clara. Ceritanya membuka
satu lagi keping misteri dari rumah ini. Puzzle ini mulai tersusun dengan
sempurna. “Terus apa lagi?”
Clara
mengangkat bahu. “Entahlah, nampaknya si wanita bertopeng itu bisa merasakan
kehadiranku, jadi aku cepat-cepat pergi dari gudang tua itu.”
Aku
mengangguk, merasa cukup puas dengan informasi ini. Aku pun menceritakan cerita
hantu Ibu Rahayu tadi dan setelah selesai bercerita aku meminta pendapat Clara
seperti biasanya. “Misteri ini mulai jelas kelihatannya,” gumamnya terlihat
senang akan perkembangan ini. “Kita tahu pasti bahwa ritual itu dilakukan oleh
istri kedua Alfred. Bisa saja dia mengorbankan salah satu dari anak kembar itu
atau mungkin anaknya sendiri. Dia membunuh Alfred karena menurut pendapatku
Alfred tahu tentang ritual itu. Sedangkan si Angela nampaknya bunuh diri bukan
karena frustasi anaknya Claudia meninggal, namun dia merasa selalu ditekan oleh
Marsita sehingga dia mengambil jalan singkat tapi mungkin bisa juga Marsita
yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Sekarang, ada komplotan orang yang ingin
membangkitkan ritual itu lagi, bisa saja orang-orang ini masih ada sangkut
pautnya dengan Marsita, atau malahan…” Clara terdiam sebentar tapi kemudian
sebuah senyum mengembang di bibirnya yang pecah-pecah. “Bisa saja Marsita masih
hidup dan dia sekarang ingin kembali membangkitkan ritual kuno itu. Kau bilang
sendiri kan sampai sekarang polisi nggak bisa melacak jejaknya?”
Aku
membetulkan ucapan Clara. Sejauh ini kami punya pikiran dan pendapat yang sama.
“Sekarang yang harus kita cari adalah informasi siapa yang menjadi tumbal
ritual itu.”
“Mungkin kita
bisa tahu dari tempat tidur di ruangan bawah tanah itu,” usul Clara.
Aku bergidik.
“Aku nggak mau ke sana lagi! Di bawah situ sangat dingin seperti berada di
kutub utara. Kenapa nggak kau saja ke sana?”
“Aku nggak
bisa ke sana Bianca. Ada sesuatu yang lebih kuat dariku di sana dan aku nggak
berani melawannya.”
“Ya, kau
pernah bilang seperti itu padaku. Tapi yang jelas, memang ada semacam hawa aneh
di sana dan suara yang sudah dua kali terdengar di kamarku…,”
“Dua kali?”
Clara mengangkat bagian atas matanya yang seharusnya tempat alis berada. Tapi
dia kan sudah nggak punya alis.
“Ya, ketika
kau mengantar tamu-tamu hantumu pulang,
suara itu terdengar lagi,” jawabku. Aku membaringkan tubuhku di atas karpet dan
baru menyadari betapa tipisnya karpet ini karena aku masih bisa merasakan sakit
pada punggungku sama seperti ketika aku membaringkan diriku di lantai keramik.
Aku menguap. “Aku ngantuk dan besok, mungkin akan ada pengumuman ulang tahun
sekolah dibatalkan gara-gara kejadian meninggalnya dua pengusir hantu di
sekolah.”
Clara diam
saja ketika aku menyinggung soal itu. “Tidurlah di atas tempat tidur,” ujarnya
seperti seorang ibu. Aku menurut dan langsung pindah ke atas tempat tidur.
Clara memperhatikanku sampai akhirnya aku tertidur lelap. Samar-samar aku
melihat kalau dia tersenyum atau mungkin menyeringai? Entahlah, karena apapun
itu aku sangat ngantuk.
Keesokan
harinya aku datang ke sekolah dengan perasaan campur aduk antara penasaran
dengan apa yang akan terjadi setelah kematian dua pengusir hantu itu dan takut
jikalau seandainya aku lebih dicurigai lagi karena berteman dengan hantu, atau
yang lebih parahnya lagi, aku yang menyuruh hantu temanku alias Clara untuk
mencakar dan mendorong dua orang tersebut. Sial! Apa yang harus kukatakan untuk
pembelaan nantinya?
Baru saja aku
melangkah masuk gerbang, anak-anak sudah ribut membicarakan kejadian kemarin.
Bukan hanya anak-anak, tetapi juga guru-guru, satpam sekolah bahkan penjaga
kantin dan masyarakat sekitar sekolah sudah ribut membicarakannya. Memang tadi
pagi ada berita mengenai kematian si Supradi dan Jalil. Yang mengherankan
polisi adalah adanya luka cakaran yang sangat parah di tubuh mereka seperti
layaknya dicakar binatang buas. Apa benar bahwa mereka dicakar oleh hantu
penunggu kelas kami, para polisi belum memberikan informasi tentang hal itu.
“Hei lihat,
itu kan Bianca? Bukankah dia berada di kelas kemarin bersama dengan pengusir
hantu itu padahal semua anak lain berada di luar.” Seorang anak perempuan
sengaja bersuara keras-keras kepada teman-temannya ketika aku lewat. Terang
sekali kalau dia bermaksud menyindirku, tapi aku pura-pura nggak mendengarnya
dan terus berjalan.
Aku menjumpai
Georgia yang berdiri di dekat kelas satu. Segera saja aku menyapanya. Dia
terlihat tegang ketika aku mendekatinya, tapi dia langsung menguasai dirinya
lagi dan balas menyapaku, “Hi Bianca.” Dia menunjuk-nunjuk ke atas dan ngomong,
“We can’t go to the upstairs.” Dia membuat tanda silang dengan tangannya.
“Dilarang.”
Ya aku
mengerti maksudnya. Polisi masih menutup jalan ke lantai atas, jadi kami yang
punya kelas di lantai atas yaitu kelas empat, lima, dan enam nggak bisa pergi
ke kelas kami. Aku menghela napas, nggak tahu apa reaksi Trio Truk Gandeng yang
sementara waktu ini menjadi Duo Truk Gandeng karena Si Gendut No.1 masih
dirawat di rumah sakit. Apa mereka akan marah padaku? Tapi inikan bukan
sepenuhnya salahku!
“Tiara will be
very angry with you,” Georgia berkata lagi. Dia memandang sekeliling seperti
mencari sesuatu.
“Nggak
mungkin!” kataku tapi sambil mengigit bibir. “Memangnya dia punya hak untuk
memarahiku?”
“She is headmaster’s
daughter,” Georgia menekankan setiap kalimatnya walau yang aku tahu artinya
cuma kata ‘headmaster’ yaitu kepala sekolah.
Aku menghela
napas lagi. Aku lupa kalau Tiara mungkin anak pengadu dan dia akan mengadu ke
ayahnya kalau aku berteman dengan hantu walau aku nggak yakin ayahnya akan
percaya. Namun entahlah aku nggak peduli apa pun yang akan terjadi. Kalau
memang harus pindah sekolah lagi, maka aku akan pindah. Bel berbunyi dan
terdengar suara dari pengeras suara yang memerintahkan kami untuk berkumpul di
lapangan. Uh, pasti untuk membicarakan tentang masalah kemarin.
Semua anak
tersedot ke lapangan yang biasa kami pakai untuk upacara bendera tiap hari
Senin. Aku berbaris di barisan kelasku dan mendapat tatapan beracun dari semua
teman-temanku, jadi aku memilih barisan paling belakang. Setelah membutuhkan
waktu beberapa menit untuk mengatur barisan, kepala sekolah kami naik ke atas
podium. Dia mirip Tiara dalam hampir segala segi, mulai dari badannya yang
ceking, kulitnya yang coklat mutung, sorot mata sinis sampai lidah
nasionalisnya. Setiap dia menjadi pemimpin upacara, dia selalu salah mengutip
suatu kata mutiara berbahasa Inggris karena dia membaca kalimat berbahasa
Inggris layaknya membaca kalimat berbahasa Indonesia.
Pak kepala
sekolah, Pak Surya berdehem sebelum memulai, “Selamat pagi, anak-anak!”
Kami menjawab
dengan sangat nggak bersemangat.
“Saya tahu
bahwa kemarin telah terjadi peristiwa tidak terduga di sekolah kita. Dua orang
lelaki jatuh dari tangga dan akhirnya meninggal. Di tubuh mereka terdapat
banyak luka cakaran yang parah. Dua orang laki-laki ini adalah pengusir hantu
dan mereka bermaksud datang ke salah satu kelas di sekolah ini untuk mengusir
hantu yang katanya menjahili murid-murid di kelas tersebut.”
Aku menatap
Clara yang berdiri di sebelahku sementara Pak Surya terus berbicara. Clara
hanya nyengir sambil membuat tanda ‘peace’ dan menunjukkan ekspresi ‘aku baru
tahu ada kejadian seperti itu’ di wajahnya yang melepuh. Setelah acara ini
selesai (yang memakan waktu hampir sejam), kelas empat, lima, dan enam akan
dipindahkan ke gedung B, gedung yang baru saja diresmikan beberapa bulan lalu.
Di dalam kelas baru sementara kami, aku memilih untuk duduk sendirian di
belakang. Sudah cukup mereka semua mengacuhkan aku dan memandangku dengan
tatapan nggak menyenangkan itu. Georgia nggak bisa berbuat apa-apa dan lebih
memilih mengikuti arus. Tiara tampaknya menunjukkan wajah puas, tapi aku nggak
peduli apa yang sedang dipikirkannya sekarang.
Waktu di
sekolah terasa berjalan dengan sangat lambat. Bau ruangan kelas kami ini masih
terasa seperti bau cat basah walau aku akui kelas sementara kami di gedung B
ini lebih bagus daripada kelas kami dulu. Wali kelas kami masuk ke dalam kelas
dan memberitahukan bahwa perayaan hari ulang tahun sekolah nggak akan
dibatalkan namun akan diundurkan hingga bulan depan sampai semuanya jadi lebih
baik. Semua anak mengeluh atas berita ini, terutama Clara yang benar-benar
merasa kecewa dengan pengunduran jadwal perayaan tersebut. Padahal dia sudah
bersemangat sekali untuk tampil di acara itu walau nggak akan ada satupun orang
kecuali aku yang bakal melihatnya.
Setelah bel
pulang sekolah berbunyi, aku segera berlari menuju gerbang dan menyadari
seseorang sedang memperhatikanku ketika aku menunggu mobil jemputan Ibuku. Aku
melirik ke arah kananku dan di sana ada seorang laki-laki berjaket hitam dan
wajahnya agak tersembunyi di balik topi bisbol yang dia kenakan. Lelaki itu
bersender di badan mobilnya. Apa ini laki-laki misterius yang dibuntuti Clara
kemarin?
“Dia datang
lagi,” ujar Clara mengagetkanku. “Aku yakin dia berniat nggak baik.”
“Aku rasa juga
begitu,” aku menyetujui ucapan Clara. “Dia terlihat sangat mencurigakan. Apa
dia lelaki yang kau buntuti kemarin?”
“Tidak salah
lagi.” Clara terus memandangi lelaki itu dengan mata kanannya. “Mungkin ada
baiknya aku buntuti dia lagi.”
Ide Clara
terdengar bagus di telingaku. Mungkin dia bisa mendapatkan informasi lagi
mengenai pencurian sakramen itu. Aku mengangguk ke arahnya dan melihat mobil
Ibu datang. Masih sempat-sempatnya aku melihat lelaki itu masuk ke dalam mobil
dan mengendarai mobilnya ke arah lain, padahal kupikir dia akan membuntuti
mobil Ibu. Tapi setelah kupikir-pikir lagi apa gunanya dia membuntuti mobil Ibu
padahal dia sudah tahu dimana rumah kami berada. Clara pun sudah menghilang
untuk mengikuti lelaki misterius itu.
Sesampainya di
rumah, Ibuku mengatakan kalau dia mungkin akan pulang malam. Kalau misalnya
Paman Bibir Tebal datang ke rumah untuk acara minum teh sore, maka aku harus
menyampaikan pesannya bahwa Ibuku nggak berada di rumah. Aku mengangguk dan
masuk ke rumah tanpa lupa mengunci pintu. Aku benar-benar sendirian sekarang di
rumah besar ini dan aku harap Ibu Angela datang dan aku bisa meminta penjelasan
lebih, juga hantu Alfred. Aku benar-benar berharap mereka datang menemuiku.
Aku sedang
mengerjakan PRku di meja belajar, ketika sesuatu yang aneh terjadi. Tempat
tidurku mulai bergeser dengan sendirinya! Awalnya benda itu hanya berpindah
sedikit sekali, jadi aku mengabaikannya. Namun lama-kelamaan tempat tidurku
semakin bergeser dan bergeser dan akhirnya menampakkan lubang rahasia yang
sudah ditutupi papan oleh Clara. Aku memperhatikan dengan mulut menganga ketika
papan itu bergeser dan sebuah tangan pucat menyembul keluar dari lubang. Aku
berpengangan kuat dengan gagang kursiku dan berdoa dalam hati, semoga yang
keluar bukan hantu yang lebih menyeramkan dari Clara.
Sosok hantu
penunggu tempat tidur di ruangan ritual itu akhirnya mulai menampakkan
wujudnya. Dan anehnya, wajahnya tertutup dengan topeng, topeng yang sama yang
aku lihat dalam mimpiku di ruangan bawah tanah itu. Dia berjalan dengan sedikit
membungkuk pada awalnya, tetapi dia menegakkan kembali badannya dan sekarang
dia mulai berjalan normal. Dia berjalan ke arahku dan aku langsung menutup mataku
rapat-rapat, takut kalau-kalau dia membuka topengnya dan kemudian menunjukkan
wajah yang menyeramkan.
Tetapi
ternyata nggak. Setelah aku menutup mataku untuk beberapa saat dan nggak
terjadi apa-apa, hanya hembusan angin dingin, angin yang sama yang membuatku
kedinginan ketika berada di ruang bawah tanah beberapa hari lalu, yang sedari
tadi terus menerpa wajahku. Sedikit demi sedikit aku membuka mataku dan melihat
bahwa hantu itu sama sekali nggak melepas topengnya. Dia hanya tegak di depanku
tanpa berkata apa-apa. Aku bingung dan akhirnya memutuskan untuk bertanya,
namun dua jempol hantu itu menekan dengan keras kedua mataku dan bisa kurasakan
rasa perih yang menyakitkan di kedua mataku.
Kemudian
sesuatu terjadi. Rasanya aku seperti menekan tombol previous di remote DVD, dan
gambar-gambar mulai berjalan mundur di dalam otakku. Gambar-gambar itu mulai
terangkai satu demi satu membentuk suatu kejadian, kejadian yang merupakan
titik awal misteri di rumah ini. Maka di sanalah aku melihat semuanya. Aku
melihat istri kedua Alfred, Marsita, untuk pertama kalinya. Di usianya yang
ke-30, dia masih nampak cantik. Dia menikah dengan Alfred, pindah ke rumahnya
dan berkenalan dengan Ibu Angela dan anak kembar mereka Claudia dan Clarissa.
Entah kenapa rupa anak kembar itu mengingatkanku akan wajah seseorang, lebih
tepatnya sesosok hantu.
Gambar beralih
lagi, kali ini sikap nggak sukanya Claudia kepada Marsita terlihat sangat
jelas. Ibu Angela nggak terlalu banyak berkomentar atas istri kedua suaminya,
namun Clarissa nampaknya bisa menerima Marsita dengan baik. “Mereka sulit untuk
dibedakan,” kata Marsita kepada Alfred. “Ya, aku dan istriku pun terkadang
tidak bisa membedakan mereka.”
Claudia tetap
nggak menyukai Marsita dan pada suatu hari dia tanpa sengaja melihat Marsita
membaca lembaran sakramen itu dan dia langsung melaporkannya pada Alfred.
Terjadi sedikit pertengkaran pada waktu itu dan Marsita pergi ke kamarnya dan
di sana dia bertemu dengan Clarissa. “Kau tidak seperti saudara kembarmu.”
Marsita tersenyum ke arahnya dan Clarissa membalas. “Aku tidak menyukai saudara
kembarku. Dia lebih dikenal orang daripada aku,” adu Clarissa waktu itu. “Kalau
begitu mari kita buat jebakan untuknya,” usul Marsita.
Rencana itu
sebenarnya sederhana. Buku catatan Marsita yang juga merupakan buku yang sama
yang kutemukan di kardus, dia menyuruh Clarissa menulis nama Claudia berikut
tanggal kelahirannya di buku tersebut. Clarissa punya gaya tulisan yang hampir
sama seperti saudara kembarnya sehingga sulit dibedakan. Clarissa menulis apa
saja yang diperintahkan Marsita ke dalam buku itu, menggambar apa yang mesti
dia gambar (gambar burung gagak yang tergantung, orang yang diletakkan di atas
pentagram dan lain-lain). Kemudian Marsita menaruh lembaran sakramennya di laci
meja belajar Claudia beserta buku catatan dan belati dengan hiasan bulu burung
gagak itu. Malam itu Marsita mengadu kepada Alfred bahwa lembaran sakramen yang
dia baca beberapa hari lalu adalah punya Claudia dan anak itu berusaha untuk
memfitnahnya. Dia juga mengatakan bahwa Clarissa menemukan benda-benda aneh di
laci Claudia dan meminta Alfred memeriksanya. Alangkah terkejut Alfred melihat
benda-benda aneh itu dan menyangka yang bukan-bukan bahwa otak anaknya sudah
dipengaruhi, padahal semua benda itu adalah kepunyaan Marsita. Ibu Angela yang
tahu betul sifat anaknya berteriak marah dan malah menuduh Marsita berbohong.
Tapi Alfred terlanjur marah dan menghukum Claudia.
Rencana
Marsita bukan hanya sampai di situ. Untuk menjadi pengikut ritual kuno yang
selama ini dijalaninya, dia harus mempersembahkan korban. Dan dia sudah tahu
siapa yang akan dijadikannya korban, Claudia. Dari awal dia memang sudah
membenci anak itu dan menjadikannya korban ritual sepertinya menyenangkan.
Namun sebuah surat dari pemimpin kelompok itu mengagetkannya. Surat lusuh yang
aku temukan juga di dalam kardus itu berisi suatu hal tentang perubahan
rencana. Namun naasnya, Claudia meninggal sebelum ritual itu dilaksanakan. Pagi
itu dia meninggal dengan tenang sama seperti yang diceritakan oleh Paman Bibir
Tebal. Tapi karena Ibu Angela yang terlanjur menaruh curiga kepada Marsita
memfitnahnya bahwa anaknya telah diracun oleh perempuan itu, namun hasil dari
pemeriksaan tak ditemukan adanya fakta bahwa Claudia diracun. Dia meninggal
karena memang sudah waktunya dia meninggal.
Marsita
akhirnya memboyong anak kandungnya yang selama ini tinggal di Singapura ke
rumahnya. Dan Ibu Angela yang masih menaruh curiga dan membenci Marsita,
membawa kabur anak kembarnya yang satu lagi, Clarissa, setelah tahu bahwa
selama ini Marsita telah terlalu banyak mempengaruhi pikiran anaknya itu dan
Ibu Angela tak suka dengan kedekatan yang terjadi di antara Marsita dan
Clarissa. Hal itu sama sekali tak diketahui Alfred yang pada waktu itu sedang
berada di luar kota. Kesempatan yang sangat baik ini dimanfaatkan oleh Marsita
untuk memulai ritual di ruang bawah tanah yang sebenarnya dulu merupakan gudang
juga, namun disulap Marsita menjadi ruang ritual. Jalan menuju ke ruangan bawah
tanah itu ada dua, yang satu melalui gudang tua di belakang rumah yang mana di
salah satu lantainya sudah terdapat sebuah panel pintu yang dapat menghubungkan
jalan menuju ke ruang ritual, dan yang satu lagi adalah lewat jalan di bawah
tempat tidur Claudia.
Ritual yang
kulihat sekarang agak berbeda dengan ritual yang pernah kulihat dari mimpi yang
kudapat di ruang bawah tanah itu. Marsita yang waktu itu memakai jubah dan
topeng datang mendekat ke arah anaknya yang berkata memohon, “Ibu, Ibu, kenapa
kau melakukan ini?” Marsita sebenarnya nggak tega anaknya dijadikan korban
ritual, tetapi dia tak punya pilihan lain. Aku melihatnya sekarang, dengan
sangat jelas proses ritual itu. Belati dengan hiasan bulu gagak itu ditusukkan
ke dada anak itu, namun yang berbeda sekarang adalah ada dua belati yang
ditancapkan ke dada anak itu, bukan hanya satu seperti yang kulihat di mimpiku.
Setelah itu Marsita membuka topeng anaknya dan mencungkil bola mata kirinya,
mencukur habis alisnya dan membuat luka di sepanjang tubuh anak itu. Darah yang
keluar ditampung dalam sebuah wadah dan satu orang lagi yang berada di dekat
Marsita, menciduk darah yang berada di wadah dengan gelas layaknya itu air
biasa dan memberikannya kepada Marsita. Wanita itu tampak mengernyit
menerimanya tapi diminumnya juga dalam sekali teguk.
Orang yang
tadi memberi gelas kepada Marsita mengambil sebuah gelas yang lain, kali ini
terbuat dari plastik dan aku bisa melihat asap mengepul dari gelas itu, dan
orang itu menyiramkan air di dalam gelas ke muka si anak yang sudah tak
ditutupi topeng lagi. Air itu air mendidih. “Nah, selesailah sudah ritual kita
untuk kali ini,” si orang yang menyiram muka anak itu berkata dengan nada puas.
“Memang harus ada yang dikorbankan demi kedamaian dunia.” Semua orang yang
berada di situ bersorak girang.
Marsita keluar
dari ruang ritual itu dan melihat mobil Alfred parkir di halaman. Dia langsung
membuka jubah dan topengnya lalu menenteng jubahnya yang dia gunakan untuk
menyembunyikan belati dan pergi menghampiri Alfred di luar. Alfred menanyakan
tentang Ibu Angela namun Marsita hanya tersenyum saja dan mengatakan bahwa
istri pertamanya belum pulang. Alfred terlihat sedih dan kemudian dia berbalik
menuju ke arah tangga. Di saat itulah Marsita menusuknya dari belakang. Alfred
langsung roboh ke lantai, namun dia masih sempat menengok ke arah Marsita yang
tampak begitu dingin di matanya. Alfred bertanya dan memohon kepada istri
keduanya untuk tidak membunuhnya, namun Marsita tak mendengarnya dan menusuk
Alfred berkali-kali hingga lelaki itu menemui ajalnya.
Sialnya, Ibu
Angela ternyata sudah pulang ke rumah dan dia melihat Marsita membunuh
suaminya. Ibu Angela marah dan menyerang Marsita, tetapi Marsita lebih kuat.
Dia mendorong dengan keras Ibu Angela hingga kepalanya membentur dinding dan
dia pun langsung roboh ke lantai dengan darah bercucuran dari kepalanya. Tidak
sampai di situ Marsita segera memukul kepala Ibu Angela dengan guci keramik dan
kabur dari rumah setelah membunuh suami istri itu.
Gambar-gambar
di dalam kepalaku itu kembali berhamburan menjadi keping-kepingan puzzle yang
tersusun pada tempatnya, namun ada satu keping puzzle yang hilang. Dimanakah
Ibu Angela membawa kabur Clarissa? Setelah itu aku kembali dibawa ke dunia
nyata. Di sana masih berdiri hantu bertopeng itu. Aku memandanginya dan menelan
ludah sebelum bertanya, “Clau, Claudia?”
Hantu itu
terlihat mengangguk dan membuka topengnya. Nampaklah wajah yang benar-benar
sangat familiar bagiku. “Apakah hanya manusia saja yang bisa berbohong Bianca?
Apa kau pikir semua hantu yang kau temui berkata jujur?” setelah dia menanyai
dua hal itu dia berbalik pergi dan kembali berjalan membungkuk ke arah lubang
menuju ruang bawah tanah tersebut. Papan pun kembali menutup dan tempat tidur
pun kembali ke tempatnya. Keadaan sama seperti semula namun ini merupakan
langkah awal dari teka-teki ini. Misteri ini sudah mencapai titik terang dan
sekarang aku tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan nenek di mimpiku itu.
TBC...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar