Don’t Sleep On the Bed
—“Each bed has an owner”—
Prolog
SEGALANYA SAMA SAJA.
Pernahkah kau berpikir bahwa seharusnya kelebihan itu bisa
menjadi bencana? Bagiku itu memang sudah seharusnya. Suatu kelebihan bisa
menjadi suatu berkah tapi juga bisa menjadi suatu bencana bagi seseorang. Sama
sepertiku yang nampaknya nggak akan pernah ingin memiliki kelebihan ini.
Kelebihan ini menakutkan, pada awalnya. Aku bahkan nggak bisa tidur barang sedetik pun hanya
karena kelebihanku yang kumiliki. Aku nggak mau menyebutnya kelebihan. Mungkin
bisa disebut sebagai semacam kutukan atau apa?
Segala sesuatu itu sama saja bagiku. Kapan pun aku
berpindah, tempat itu memang selalu ada. Itu semua membuatku ingin segera
pergi, mengepak barang dan pindah lagi. Umurku baru sepuluh tahun tapi aku
sudah berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu daerah ke
daerah yang lain, bahkan dari satu provinsi ke provinsi yang lain aku juga
sudah pernah melakukannya. Awalnya aku tinggal di sebuah komplek perumahan di
Jakarta Selatan, tapi aku hanya bertahan selama dua bulan di sana sebelum
akhirnya pindah. Ketika itu umurku adalah lima tahun saat pertama kali aku
menyadari kelebihan yang kumiliki ini.
Sebelumnya aku akan memperkenalkan siapa diriku. Namaku
Bianca Larasati dan seperti yang disebutkan di atas umurku sepuluh tahun. Aku
tinggal hanya berdua dengan Ibuku sedangkan Ayahku meninggal ketika aku berumur
tiga tahun. Aku nggak terlalu ingat sebenarnya karena apa Ayah meninggal karena
ketika itu aku masih sangat kecil. Seingatku Ibu dan keluargaku yang lain
mengatakan Ayah meninggal karena kecelakaan. Dan seperti yang aku bilang di
atas tadi, aku dan Ibuku suka berpindah-pindah. Ini dimulai dari ketika aku
menyadari kelebihan yang kupunya. Awalnya, aku menganggap itu menyenangkan,
tapi sekarang ini mulai mengangguku.
Karena aku sering berpindah-pindah, secara langsung aku juga
sering berpindah-pindah sekolah. Aku nggak pernah bertahan di suatu sekolah
selama lebih dari dua bulan, makanya aku nggak pernah punya niat untuk
mendapatkan teman. Lagian aku juga berpikir, kenapa harus punya teman jikalau
hanya untuk dikenal selama dua bulan saja? Sekarang aku bersekolah di sebuah SD
yang dekat dengan komplek perumahanku yang baru di daerah Cengkareng, Jakarta
Barat. Sebelum di sini aku bersekolah di Jawa Timur. Aku merasa benar-benar
nggak betah di sana, dan akhirnya Ibu memutuskan untuk kembali lagi ke Jakarta.
Bila dihitung-hitung, aku sudah dua puluh lima kali pindah
rumah dan sekolah. Bayangkan! Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan Ibu
untuk sewa rumah dan bayar biaya masuk sekolahku selama itu? Ibu sendiri
awalnya nggak mempercayai kelebihan yang kumiliki, namun sekarang dia
perlahan-lahan mulai sadar walaupun dia berusaha untuk menutup-nutupinya dan
mengatakan bahwa itu semua nggak masuk akal. Tapi sekarang, aku nggak mau
pindah lagi. Aku nggak akan pindah hanya karena kelebihan yang lebih mirip
kutukan ini menghalang-halangiku, membuatku takut dan gelisah setiap saat. Aku
nggak akan lari lagi, mungkin beginilah cara mereka berkomunikasi denganku dan
aku nggak akan terus-menerus menghindari mereka lagi. Mereka ada dimana-mana,
nggak dapat untuk dihindari.
Aku merasakan mereka, mengerti penderitaan mereka, dan
berkomunikasi dengan mereka di satu tempat. Kamarku, lebih tepatnya tempat
tidurku. Bagiku semua tempat tidur itu nggak nyaman, berapapun mahalnya harga
mereka. Seperti saat ini, aku sedang berada di atas tempat tidur baruku yang
dalam penglihatanku, merupakan semua tempat tidur lusuh dengan beberapa bercak
darah di seprainya. Padahal, tempat tidur ini seprainya baru saja diganti baru,
namun tetap saja bekas-bekas pemilik lamanya masih tetap membekas dan nggak
akan mau hilang.
Bab 1
IBU MEMBELI SEBUAH RUMAH YANG LUAR BIASA BESAR.
Rumah ini seperti sebuah villa berhantu. Keadaannya begitu
sangat nggak terurus dan catnya sudah jelek. Walaupun memang Ibu membeli rumah
ini dengan harga yang sepadan, entah berapa yang jelas harganya murah. Penjaga
rumah ini, Pak Kasim, tapi aku lebih suka memanggilnya Paman Bibir Tebal karena
memang bibirnya tebal, dan tentu saja aku nggak akan langsung mengatakan hal
itu terus terang kepada Pak Kasim ataupun Ibu kalau nggak mau dipukul dan
dikurung di kamar seharian.
Aku benar-benar nggak mengerti apa istimewanya dari rumah
ini, namun memang rumah ini sangat besar. Ada banyak lukisan di setiap
dindingnya, membuatku sedikit merinding juga. Lukisan-lukisan itu bentuknya
besar-besar dan aneh-aneh, tapi aku suka salah satu lukisan abstrak yang
digantung di ruang makan. Paman Bibir Tebal bilang bahwa pemilik terdahulu dari
rumah ini memang seorang kolektor lukisan dan sebagian dari koleksinya sudah
dijual dan sebagian lagi masih bertahan di rumah ini. Kebanyakan dari lukisan
itu sudah bersemayam di dalam gudang.
Kamarku terletak di lantai dua, berdekatan dengan kamar Ibu.
Itu memang sudah menjadi tradisi kayaknya, karena itu pulalah Ibu selalu
berusaha untuk mendapatkan rumah dengan dua kamar yang saling berdekatan.
Malahan Ibu berniat memintaku untuk tidur satu kamar dengannya, jelas-jelas
kutolak dengan alasan aku mau tidur sendirian. Hal pertama yang kurasakan ketika
memasuki kamarku adalah mual dan bersin-bersin. Kamar ini benar-benar pengap
dan berdebu. Meja belajar di ujung sana nampaknya sudah ditutupi debu setebal
tiga senti dan bau aneh dan nggak enak menusuk indera penciumanku. Bau apa sih
ini?
“Ini dulunya kamar Nona Claudia. Dia seumuran denganmu pada
waktu itu dan dia sangat pintar melukis,” ujar Paman Bibir Tebal ceria, “dia
sering memenangkan perlombaan melukis.”
“Itu sekitar tahun berapa ya?” tanyaku ingin tahu.
“Sekitar tahun 1988, 23 tahun yang lalu. Nona Claudia, dia
meninggal di usia yang masih sangat muda, 12 tahun.” Paman Bibir Tebal
menundukkan kepalanya. “Ketika itu saya baru bekerja di rumah ini selama 6
bulan, tapi tetap saja kematian Nona Claudia membawa kesedihan keseluruh
keluarga.”
“Kasihan sekali anak itu.” Ibuku menggeleng-gelengkan
kepala. “Apa sebabnya dia meninggal?”
“Kematian mendadak,” jelas Paman Bibir Tebal, kemudian dia
terlihat merenung sejenak, “maksud saya, dia ditemukan sudah meninggal pagi
harinya di atas tempat tidurnya. Padahal malam sebelumnya dia masih baik-baik
saja. Kami semua menyebutnya kematian mendadak.”
“Benar-benar kasihan.” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya
lagi.
“Seenggaknya kematiannya nggak menyusahkan orang-orang,”
kataku asal saja yang membuat Ibu melotot kepadaku, namun aku nggak peduli dan
berkata lagi, “dia mati dengan tenang.”
“Mari kita lihat kamar Anda, Bu.” Paman Bibir Tebal dan Ibu
pergi ke kamar di sebelah kamarku, sedangkan aku masih terpaku di dalam kamar
pengap ini. Tempat tidur di sini kecil, hanya cukup untuk satu orang dan
diletakkan di dekat jendela, sehingga memungkinkan untuk melihat pemandangan di
luar. Nampaknya, sejauh ini baik-baik saja. Nggak ada bisikan-bisikan aneh,
angin dingin yang tiba-tiba berhembus, bayangan-bayangan yang datang tiba-tiba,
atau malah penampakkan hantu-hantu penunggu. Aku berjalan pelan-pelan dan
hati-hati menuju tempat tidur itu seakan-akan lantai ini dipenuhi ranjau dan
akan sangat berbahaya apabila sampai salah melangkah. Aku menaiki tempat tidur
itu dan memandangi pemandangan di luar melalui jendela berdebu. Ternyata
jendela ini mengarahkanku ke taman belakang rumah yang terdapat sebuah pohon
besar dengan daunnya yang berserakan dimana-mana.
Aku segera turun dari tempat tidur dan menghampiri Ibu dan
Paman Bibir Tebal di kamar sebelah. Kamar yang akan ditempati Ibu berukuran
lebih besar dari kamarku dengan tempat tidur berukuran besar. Aku memandangi
tempat tidur itu cukup lama, sampai aku melihat sebentuk bayangan, entahlah,
seperti bayangan seorang wanita yang mungkin berumur 35 tahunan dalam balutan
gaun tidur warna biru muda yang agak transparan. Aku ingin mengucapkan ‘hai’
pada hantu pertama yang aku jumpai di rumah ini, tapi teringat bahwa Ibu dan
Paman Bibir Tebal masih ada di kamar ini. Hantu wanita itu melihatku dan
melambaikan tangannya, seakan-akan mengisyaratkan selamat datang. Sepertinya
dia hantu yang baik.
“Nah, kami akan kembali ke sini tiga hari lagi,” ujar Ibu
sambil mengamit lenganku dan kami pun berjalan keluar kamar.
“Ya, saya yakin rumah ini akan bersih dan tertata rapi lagi
setelah Anda kembali kemari.” Paman Bibir Tebal tersenyum. “Kami juga akan
mengganti catnya sesuai keinginan Anda, Bu.”
Ibuku mengangguk dan tersenyum.
Setelah kami meninggalkan rumah itu, di sepanjang perjalanan
menuju penginapan tempat kami menginap selama hampir seminggu ini, aku memulai
percakapan dengan Ibu, “Eh, Ibu tahu nggak kalau penunggu tempat tidur Ibu itu
adalah seorang wanita sebaya Ibu yang nampaknya baik hati. Mungkin dia akan menyilahkan
Ibu untuk tidur tenang di tempat tidurnya. Nggak seperti penunggu tempat tidur
Ibu sebelum-sebelumnya yang membuat Ibu nggak pernah tidur dengan nyaman.”
“Jangan mulai lagi deh!” kata Ibuku dengan nada cukup tinggi
sambil terus berkosentrasi menyetir. “Ibu bukannya nggak bisa tidur tenang
karena hantu-hantu yang kau bicarakan itu! Sama sekali nggak masuk akal!”
“Tapi bagaimana Ibu bisa menjelaskan tentang telapak kaki
Ibu yang serasa digelitik-gelitik? Atau rumah kita sebelumnya ketika Ibu bilang
bahwa setiap pagi punggung Ibu terasa sakit dan nyeri? Itu semua karena hantu
penunggu tempat tidur Ibu adalah hantu pelit yang nggak mau membagi tempat
mereka kepada orang lain!” ujarku berapi-api walau pun sudah sangat jelas Ibu
tetap nggak akan percaya.
“Kan Ibu sudah pernah bilang kepadamu bahwa karena Ibu
kelelahan bekerja!”
“Tapi pekerjaan Ibu kan bukan menjadi kuli angkut! Pekerjaan
Ibu itu di ruangan ber-AC dan duduk-duduk terus sambil menandatangani berbagai
macam kertas nggak jelas yang jelas-jelas nggak ada hubungannya dengan sakit
pinggang!” kataku masih tetap ngotot.
“Sudahlah! Capek ngomong ama kamu.” Ibu membanting setirnya
ke kanan. “Bisa nggak menceritakan hal yang lain?”
Aku ingin protes lagi, tapi segera menutup mulutku kalau
nggak mau dikirim ke psikiater oleh Ibu. Seterusnya perjalanan ke penginapan
diisi dengan diam.
TBC...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar