The Library
Bab I
May, 20-2005
M
|
r. Lawrence
menepuk-nepuk kepala bocah lelaki yang berada di sampingnya. Bocah lelaki itu
merapatkan mantelnya dan melihat ke depan. Dia memandang Mr. Lawrence dengan
bingung, lalu kembali melihat rumah di depannya. Rumah itu tidak besar. Bertingkat
dua, dengan banyak jendela dan satu pintu yang terbuat dari kayu jati. Rumah
ini berdinding bata yang sudah berlumut dan ditumbuhi tumbuhan menjalar.
Pekarangan rumahnya cukup luas dengan banyak bebatuan yang bertebaran di
sana-sini. Sebuah pohon besar berdiri kokoh di sana. Akarnya menjalar
kemana-kemana dan sulur-sulurnya mencapai tanah. Intinya rumah ini sudah
bertahun-tahun ditinggal penghuninya.
Bocah itu kembali memandangi Mr. Lawrence seperti meminta sebuah penjelasan,
tapi Mr. Lawrence hanya tersenyum. Dia mengajak bocah itu masuk ke dalam.
“Bagaimana pendapatmu?” Tanya Mr. Lawrence sambil meletakkan mantelnya di
gantungan di dekat pintu.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Dia malah sibuk memperhatikan seisi
rumah itu. Dindingnya berwarna abu-abu dan penuh dengan coret-coretan tidak
jelas, lantainya seperti papan catur, perabotan di sana sudah usang dan
berdebu, tangga untuk menuju ke lantai dua juga terlihat lapuk. “Menurutmu apa
pendapatku?” anak itu malah bertanya balik.
“Well, cukup baik.” Mr.
Lawrence ikut memperhatikan seisi rumah tersebut.
‘Cukup baik katanya?’ anak itu berdecak kesal dalam hati. Dia mendekati
sebuah grand piano yang terletak di
sudut ruangan. Piano itu ditutupi debu dan sarang laba-laba. Anak itu mencoba
untuk menekan tuts-tutsnya. Suara yang keluar dari piano itu masih terdengar
jernih walaupun anak itu yakin piano ini sudah lama bertengger di sini.
“Ayo, Matthew, kutunjukkan kamarmu,” ujar Mr. Lawrence sambil melambaikan
tangannya ke arah Matthew yang masih sibuk dengan piano itu.
Matthew hanya mengangguk dan mengikuti Mr. Lawrence menaiki tangga.
Anak-anak tangga itu berdenyit ketika dipijak, membuat Matthew mengernyitkan
dahinya. Mereka akhirnya sampai di kamar Matthew. “Nah, ini kamarmu.” Mr.
Lawrence membuka pintu dan terlihatlah ruangan yang sangat sederhana tapi
setidaknya lebih bersih daripada ruangan di bawah tadi. Kamarnya memang tidak
sebesar kamarnya yang dulu, di kamar ini hanya ada tempat tidur single, satu lemari pakaian, dan satu
meja belajar. Matthew membuka tirai yang menutupi jendela dan melihat
pemandangan di luar. Entah ini perasaan Matthew saja atau memang pekarangan
rumah ini jadi lebih besar dari sebelumnya.
“Bagaimana dengan kamar barumu, Matthew? Semoga kau betah ya.” Mr.
Lawrence mengelus-ngelus rambut coklat Matthew. “Oh ya, kamar mandinya ada di
ujung lantai dua ini. Kau bisa turun ke bawah untuk mengambil makanan, oke?”
Mr. Lawrence melepaskan tangannya dari puncak kepala Matthew. “Aku mau pergi
dulu.” Dia berjalan keluar dari kamar Matthew.
Setelah Mr. Lawrence pergi, Matthew mengambil kopernya dan mengeluarkan
semua bajunya. Dia membuka lemari dan langsung bersin-bersin karena debu yang
bertumpuk di sana. Matthew benar-benar heran kenapa Mr. Lawrence membawanya ke
sini, kenapa tidak ke panti asuhan saja? Matthew menutup lagi lemari itu dan
menjatuhkan dirinya di kasur.
“Awww!” Matthew mengeluh sakit karena kasur itu begitu keras seakan dia
terjatuh di atas tumpukkan besi. “Kenapa kasurnya keras sekali? Ini sama saja
dengan tidur di atas dipan!” dia turun dari kasur itu dan berjalan keluar
kamar. Setelah membuka pintu, Matthew langsung terpeleset.
“Uh-oh! Apa lagi ini?” Matthew memperhatikan cairan bening yang membasahi
lantai. “Sial! Siapa yang menumpahkan air putih disini?”
“Itu aku!” suara seorang anak lelaki bergema di sepanjang koridor.
“Makanya kau jangan ceroboh!” sambungnya lagi.
“Si, siapa kau?” Tanya Matthew sembari berdiri, “kenapa aku cuma bisa
mendengar suaramu?”
Sesaat Matthew berpikir bahwa dia pasti mengigau, tapi suara itu
terdengar lagi, “Tentu saja. Aku tidak kelihatan oleh mata manusia biasa!”
Matthew mendadak menjadi takut. “Kau, kau hantu ya?”
“Bukan!” suara itu kembali bergema, lebih keras daripada sebelumnya. “Aku
dulu tinggal di sini, dan pada suatu malam aku menghilang begitu saja. Aku
tidak bisa melihat tubuhku sendiri begitu pula orang tidak dapat melihatku,
tapi aku bisa melihatmu dan pemandangan di sekitarku. Aku masih bisa menyentuh
benda-benda, tapi aku tidak bisa makan dan juga minum!”
“Sudah berapa lama kau di sini?”
“Aku sudah berada di sini semenjak tahun 1920!”
Mata Matthew terbelalak sempurna mendengar jawaban anak tidak kelihatan
itu. “Sembilan belas dua puluh? Kau tidak bercanda kan? Berarti kau sudah lama
sekali berada di sini!”
Suara itu hilang lagi untuk beberapa saat sehingga Matthew berpikir bahwa
mungkin anak tidak kelihatan tersebut sudah pergi, namun suaranya kembali
bergema. Kali ini dengan nada sedih, “Ironis sekali ya? Ngomong-ngomong
sekarang tahun berapa?”
Matthew jadi tidak enak untuk menyebut sekarang tahun berapa. Pasti
kesedihan anak itu akan semakin mendalam kalau dia tahu bahwa dia benar-benar
sudah lama menjadi manusia tidak kelihatan seperti itu. Dan yang mengganjal
pikiran Matthew adalah, kenapa anak itu belum meninggal? Walau mungkin dia
ditakdirkan untuk berumur panjang, tapi pasti dia sekarang sudah sangat tua.
Jelas sekali bahwa suara yang didengar Matthew adalah suara anak-anak yang
mungkin sebaya dengannya. Aneh, benar-benar aneh.
“Kenapa kau tidak menjawab?” suara itu bertanya dan terdengar kesal.
“Maaf, tapi sekarang sudah tahun 2005. Apa kau yakin kau berada di sini
sejak tahun 1920?”
Koridor kembali hening kemudian disusul teriakan. “Matilah aku! Matilah
aku!” anak itu benar-benar terdengar panik sekarang, “Aku sangat kesepian di
sini! Kau adalah orang yang pertama kali aku ajak bicara. Waktu itu terlalu
cepat berjalan!”
“Aku sebenarnya kasihan padamu, tapi ada satu yang mengganjal.” Matthew
terdiam sebentar. “Kau sebenarnya manusia biasa kan? Tapi kau hidup begitu lama
dan dari suaramu sepertinya kau masih sebaya denganku. Itu kedengarannya tidak
mungkin!”
“Aku tanpa sengaja memakan Buah Keabadian. Jadi karena buah itu aku tidak
akan pernah bertambah tua dan tidak akan pernah mati. Tapi itu juga tidak ada
gunanya kan? Aku toh, tidak kelihatan dan kesepian.” Suara itu semakin memelan
dan pelan kemudian terdengar suara yang lain dari ujung koridor. Seperti suara
pintu dibanting dan langkah-langkah yang terburu-buru.
Anak itu nampaknya sudah pergi.
Malam harinya, Mr. Lawrence pulang dengan membawa dua kotak pizza.
Matthew tidak makan banyak malam itu dan Mr. Lawrence nampaknya juga tidak
mempermasalahkannya. Setelah makan, mereka berdua duduk-duduk di depan televisi
mencari siaran bagus tapi tak menemukan satu pun. Matthew ingin sekali
menanyakan perihal apakah Mr. Lawrence pernah mendengar suara-suara aneh di
rumah ini, tapi segera mengurungkan niatnya ketika melihat wajah lelah lelaki
itu.
“Jam berapakah kau biasanya tidur, Sir Law?” Matthew memberikan panggilan
itu beberapa menit setelah mereka menyelesaikan makan malam mereka.
Mr. Lawrence mengalihkan perhatiannya dari layar TV. “Apa itu sebuah
pertanyaan penting? Orang dewasa bisa tidur kapan saja mereka mau.”
“Tapi kalian para orang dewasa selalu tidur di atas jam dua belas malam,”
ujar Matthew tertawa geli sendiri mendengar perkataannya. “Bolehkan
sekali-sekali aku tidur di atas jam dua belas?”
Pertanyaan itu membuat Mr. Lawrence terdiam sebentar. “Boleh saja, namun
anak-anak itu seperti sudah diatur jam tidurnya. Mereka tidak akan bisa tidak
tidur di atas jam sepuluh.”
“Bisa saja,” tantang Matthew. “Aku akan tidur di atas jam dua belas!”
Mr. Lawrence hanya tertawa kecil saja menanggapinya. “Memangnya ada apa
sih? Aku tidak mau besok kau bangun terlambat. Besok ada obral baju anak-anak
di sebuah toko dan itu dilaksanakan pagi-pagi sekali. Kalau kita tidak datang
cepat-cepat, bisa-bisa tidak dapat baju yang murah.”
Matthew mengangguk-ngangguk seperti burung pelatuk yang mematuk-matuk
batang pohon. “Aku akan bangun jam enam pagi!”
“Nggak usah sepagi itu,” ujar Mr. Lawrence sambil tersenyum. “Obralnya
dimulai jam sembilan kok.”
“Kalau begitu aku bangun jam setengah delapan saja,” ujar Matthew asal
kemudian dia bangkit dari sofa. “Mau ke kamar, selamat malam Sir Law!”
“Selamat malam Matthew!”
Dengan langkah kaki yang lincah, Matthew menaiki tangga dan masuk ke
kamarnya. Sesampainya di kamar, dia mengambil sebuah buku dari balik bantalnya
dan menulis sesuatu di situ:
20 Mei 2005
Hari ini aku pindah ke rumah Mr. Lawrence dan rumah ini sangat aneh dan
juga berkesan angker. Kata Mr. Law ketika kami makan malam, pemilik awal rumah
ini adalah seorang konglomerat dari abad ke-19, namanya George Martino. Rumah
besar ini dibangun pada tahun 1823 dan kemudian diwariskan kepada buyut Sir
Law, Martin Hookman. Tapi rumah ini pernah disewakan kepada seorang bankir
sebagai tempat untuk menikmati musim panas mereka sekitar tahun 1920-an.
Ngomong-ngomong soal tahun itu, tadi siang aku mendengar suara seorang
anak. Anak itu tidak kelihatan dan dia juga tidak bertambah tua dan bisa hidup
abadi karena memakan Buah Keabadian. Aku lupa menanyakan siapa nama anak itu,
karena anak itu terlalu cepat menghilang. Menurut pengakuannya, dia sudah
berada di rumah ini sejak tahun 1920. Apa dia anak bankir itu?
Aku belum sempat menjelajahi seluruh ruangan dari rumah berlantai tiga
ini. Rumah ini sangat besar dan memiliki banyak kamar. Siapa tahu aku bisa
menemukan sebuah rahasia atau mungkin harta karun? Hehehehe….
Oh ya, aku bertanya-tanya, apa bisa aku ketemu sama anak tidak kelihatan
itu lagi?
Matthew
Matthew menutup buku catatannya, dan kembali menyelipkan buku itu di
bawah bantal dan bersiap hendak tidur, ketika bunyi berderit dari pintu tua
kamarnya yang menandakan ada seseorang yang membukanya.
“Sir Law?” secara otomatis Matthew memanggil
orang tua itu karena mereka memang hanya tinggal berdua di rumah itu.
Tidak ada jawaban dari balik pintu
dan pintu itu menutup dengan sendirinya. Lalu terdengar langkah kaki yang
berjalan mendekati Matthew. Anak itu langsung menyembunyikan dirinya di dalam
selimut. Dia bisa merasakan sesuatu itu semakin dekat dan sekarang sudah berada
di sampingnya. Bunyi suara napas yang teratur memasuki indera pendengarannya.
“Hei!” selimut Matthew disentakkan keras-keras dan rambutnya serasa
ditarik kebelakang oleh sesuatu yang tidak tampak.
Matthew menjerit kesakitan dan terjatuh dari tempat tidur. Selimutnya
melayang sendiri dan memerangkap Matthew, membuat anak itu meronta-ronta
sendiri. Selimut itu terlepas dan dengan cepat Matthew menginjak-nginjaknya.
Setelah yakin bahwa selimut itu tidak bergerak lagi, dia mengambil selimut itu
dan melipatnya kemudian ditaruh di samping tempat tidurnya.
“Selimut hantu!” ujarnya kepada selimut itu.
“Tidak, tidak, itu bukan selimut hantu!” sebuah suara muncul entah
darimana disusul dengan serangkaian tawa khas anak kecil.
Matthew sepertinya mengenal suara ini. Ini kan suara anak kecil itu. Anak
kecil yang tidak kelihatan itu! “Kau kan yang tadi!” pekiknya tapi langsung
menutup mulut ketika teringat bahwa Sir Law mungkin bisa mendengar pekikannya.
“Ya! Aku senang sekali akhirnya aku punya teman yang bisa untuk
dijahili!” dia tertawa keras lagi.
“Sssttt!!!” Matthew memperingatkan, “suaramu bisa kedengaran oleh Sir Law!”
“Tidak, dia tidak akan mendengar suaraku. Hanya anak-anak yang dapat
mendengar suaraku,” ujarnya sambil menahan tawa. “Lagian Matthew…,”
“Darimana kau tahu namaku?” potong Matthew.
“Kau kan tadi sudah memberitahukan namamu,” jawabnya.
“Oh ya, ngomong-ngomong soal nama, kau belum memperkenalkan dirimu. Kau
tadi keburu histeris jadi aku belum sempat menanyakannya.”
“Benar juga.” Tempat tidur Matthew berderik pelan. Mungkin anak tidak
kelihatan ini sedang duduk di sana. “Namaku Lucas Harryfield. Pada tahun 1920,
aku dan orang tuaku menginap di rumah ini selama musim panas.”
“Eh, jangan-jangan kamu adalah anak bankir itu ya?”
“Benar, darimana kamu tahu?”
“Sir Law yang memberitahukanku. Rumah ini adalah milik kakek buyutnya,
tapi awalnya pemilik rumah ini adalah seorang konglomerat bernama George
Martino.” Matthew duduk di tepi kasurnya. Dia merasa aneh karena berbicara
dengan sesuatu yang tak tampak. Bagaimana kalau Sir Law masuk dan menemukannya
berbicara sendiri? Dia pasti langsung dikirim ke psikiater.
“Ya, ayahku juga pernah menceritakannya. Matthew, aku sangat sedih sekali
ternyata aku telah tak tampak begitu lama. Sudah 85 tahun aku terkurung di
rumah ini tanpa ada satupun orang yang bisa kuajak bercakap-cakap. Lelaki
bernama Sir Law itu sangat jarang datang kemari dan dia masih bujangan, tidak
punya istri dan anak. Lagian ini hanyalah sebuah rumah tua yang besar, yang
menyimpan begitu banyak kamar rahasia.”
Ketika mendengar kamar rahasia disebutkan, telinga Matthew langsung
tegak. “Kau bilang banyak kamar rahasia?”
“Memangnya kenapa kalau di
rumah ini banyak kamar rahasia?”
Senyum Matthew terkembang
begitu lebar di wajahnya. “Aku punya banyak waktu untuk menjelajah rumah ini!
Aku suka kamar rahasia!”
Sebuah suara helaan napas, dan
Lucas kembali berbicara, “Kau tidak akan menemukannya!”
“Eh, kenapa kau berpikir
seperti itu?” tanya Matthew antara penasaran dan jengkel karena merasa
direndahkan.
“Karena mereka tersembunyi!
Tidak perlu buang-buang waktu hanya untuk mencari kamar rahasia!” jawab Lucas.
“Lagian, kau tidak akan senang dengan apa yang akan kau temukan!”
Matthew mengerutkan kening,
tetapi dia yakin pasti ada sesuatu tersembunyi di rumah ini. Kalau tidak,
kenapa Lucas terlihat sedikit gelisah dan gugup ketika dia berkata seperti itu
tadi. Benar! Pasti ada sesuatu! “Aku tidak peduli apa katamu! Kau kan tidak
bisa melarangku!”
Terdengar suara helaan napas
lagi. “Dengar ya, anak bandel!” suara Lucas meninggi dan Matthew meringis sakit
karena anak yang tak tampak itu menjewer telinganya. “Aku sudah memperingatkanmu!
Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu!”
“Memangnya, apa sih yang kau
coba sembunyikan?” tanya Matthew sambil mengusap-ngusap kupingnya yang terasa
perih.
“Tidak ada yang kusembunyikan.
Tetapi berhentilah bersikap sok ingin tahu semua hal!” Lucas lagi-lagi menghela
napas, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kemudian kamar Matthew berubah
menjadi hening, sepertinya Lucas pergi meninggalkannya.
Matthew berbaring di tempat
tidurnya dan tersenyum senang. kamar
rahasia, aku datang! Ternyata dia masih tetap pada pendiriannya untuk
mencari apa pun yang menjadi rahasia di rumah barunya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar