Rabu, 05 September 2012

Cerbung : The Library Bab 1


The Library

Bab I

May, 20-2005
M
r. Lawrence menepuk-nepuk kepala bocah lelaki yang berada di sampingnya. Bocah lelaki itu merapatkan mantelnya dan melihat ke depan. Dia memandang Mr. Lawrence dengan bingung, lalu kembali melihat rumah di depannya. Rumah itu tidak besar. Bertingkat dua, dengan banyak jendela dan satu pintu yang terbuat dari kayu jati. Rumah ini berdinding bata yang sudah berlumut dan ditumbuhi tumbuhan menjalar. Pekarangan rumahnya cukup luas dengan banyak bebatuan yang bertebaran di sana-sini. Sebuah pohon besar berdiri kokoh di sana. Akarnya menjalar kemana-kemana dan sulur-sulurnya mencapai tanah. Intinya rumah ini sudah bertahun-tahun ditinggal penghuninya.
Bocah itu kembali memandangi Mr. Lawrence seperti meminta sebuah penjelasan, tapi Mr. Lawrence hanya tersenyum. Dia mengajak bocah itu masuk ke dalam. “Bagaimana pendapatmu?” Tanya Mr. Lawrence sambil meletakkan mantelnya di gantungan di dekat pintu.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Dia malah sibuk memperhatikan seisi rumah itu. Dindingnya berwarna abu-abu dan penuh dengan coret-coretan tidak jelas, lantainya seperti papan catur, perabotan di sana sudah usang dan berdebu, tangga untuk menuju ke lantai dua juga terlihat lapuk. “Menurutmu apa pendapatku?” anak itu malah bertanya balik.
Well, cukup baik.” Mr. Lawrence ikut memperhatikan seisi rumah tersebut.
‘Cukup baik katanya?’ anak itu berdecak kesal dalam hati. Dia mendekati sebuah grand piano yang terletak di sudut ruangan. Piano itu ditutupi debu dan sarang laba-laba. Anak itu mencoba untuk menekan tuts-tutsnya. Suara yang keluar dari piano itu masih terdengar jernih walaupun anak itu yakin piano ini sudah lama bertengger di sini.
“Ayo, Matthew, kutunjukkan kamarmu,” ujar Mr. Lawrence sambil melambaikan tangannya ke arah Matthew yang masih sibuk dengan piano itu.
Matthew hanya mengangguk dan mengikuti Mr. Lawrence menaiki tangga. Anak-anak tangga itu berdenyit ketika dipijak, membuat Matthew mengernyitkan dahinya. Mereka akhirnya sampai di kamar Matthew. “Nah, ini kamarmu.” Mr. Lawrence membuka pintu dan terlihatlah ruangan yang sangat sederhana tapi setidaknya lebih bersih daripada ruangan di bawah tadi. Kamarnya memang tidak sebesar kamarnya yang dulu, di kamar ini hanya ada tempat tidur single, satu lemari pakaian, dan satu meja belajar. Matthew membuka tirai yang menutupi jendela dan melihat pemandangan di luar. Entah ini perasaan Matthew saja atau memang pekarangan rumah ini jadi lebih besar dari sebelumnya.
“Bagaimana dengan kamar barumu, Matthew? Semoga kau betah ya.” Mr. Lawrence mengelus-ngelus rambut coklat Matthew. “Oh ya, kamar mandinya ada di ujung lantai dua ini. Kau bisa turun ke bawah untuk mengambil makanan, oke?” Mr. Lawrence melepaskan tangannya dari puncak kepala Matthew. “Aku mau pergi dulu.” Dia berjalan keluar dari kamar Matthew.
Setelah Mr. Lawrence pergi, Matthew mengambil kopernya dan mengeluarkan semua bajunya. Dia membuka lemari dan langsung bersin-bersin karena debu yang bertumpuk di sana. Matthew benar-benar heran kenapa Mr. Lawrence membawanya ke sini, kenapa tidak ke panti asuhan saja? Matthew menutup lagi lemari itu dan menjatuhkan dirinya di kasur.
“Awww!” Matthew mengeluh sakit karena kasur itu begitu keras seakan dia terjatuh di atas tumpukkan besi. “Kenapa kasurnya keras sekali? Ini sama saja dengan tidur di atas dipan!” dia turun dari kasur itu dan berjalan keluar kamar. Setelah membuka pintu, Matthew langsung terpeleset.
“Uh-oh! Apa lagi ini?” Matthew memperhatikan cairan bening yang membasahi lantai. “Sial! Siapa yang menumpahkan air putih disini?”
“Itu aku!” suara seorang anak lelaki bergema di sepanjang koridor. “Makanya kau jangan ceroboh!” sambungnya lagi.
“Si, siapa kau?” Tanya Matthew sembari berdiri, “kenapa aku cuma bisa mendengar suaramu?”
Sesaat Matthew berpikir bahwa dia pasti mengigau, tapi suara itu terdengar lagi, “Tentu saja. Aku tidak kelihatan oleh mata manusia biasa!”
Matthew mendadak menjadi takut. “Kau, kau hantu ya?”
“Bukan!” suara itu kembali bergema, lebih keras daripada sebelumnya. “Aku dulu tinggal di sini, dan pada suatu malam aku menghilang begitu saja. Aku tidak bisa melihat tubuhku sendiri begitu pula orang tidak dapat melihatku, tapi aku bisa melihatmu dan pemandangan di sekitarku. Aku masih bisa menyentuh benda-benda, tapi aku tidak bisa makan dan juga minum!”
“Sudah berapa lama kau di sini?”
“Aku sudah berada di sini semenjak tahun 1920!”
Mata Matthew terbelalak sempurna mendengar jawaban anak tidak kelihatan itu. “Sembilan belas dua puluh? Kau tidak bercanda kan? Berarti kau sudah lama sekali berada di sini!”
Suara itu hilang lagi untuk beberapa saat sehingga Matthew berpikir bahwa mungkin anak tidak kelihatan tersebut sudah pergi, namun suaranya kembali bergema. Kali ini dengan nada sedih, “Ironis sekali ya? Ngomong-ngomong sekarang tahun berapa?”
Matthew jadi tidak enak untuk menyebut sekarang tahun berapa. Pasti kesedihan anak itu akan semakin mendalam kalau dia tahu bahwa dia benar-benar sudah lama menjadi manusia tidak kelihatan seperti itu. Dan yang mengganjal pikiran Matthew adalah, kenapa anak itu belum meninggal? Walau mungkin dia ditakdirkan untuk berumur panjang, tapi pasti dia sekarang sudah sangat tua. Jelas sekali bahwa suara yang didengar Matthew adalah suara anak-anak yang mungkin sebaya dengannya. Aneh, benar-benar aneh.
“Kenapa kau tidak menjawab?” suara itu bertanya dan terdengar kesal.
“Maaf, tapi sekarang sudah tahun 2005. Apa kau yakin kau berada di sini sejak tahun 1920?”
Koridor kembali hening kemudian disusul teriakan. “Matilah aku! Matilah aku!” anak itu benar-benar terdengar panik sekarang, “Aku sangat kesepian di sini! Kau adalah orang yang pertama kali aku ajak bicara. Waktu itu terlalu cepat berjalan!”
“Aku sebenarnya kasihan padamu, tapi ada satu yang mengganjal.” Matthew terdiam sebentar. “Kau sebenarnya manusia biasa kan? Tapi kau hidup begitu lama dan dari suaramu sepertinya kau masih sebaya denganku. Itu kedengarannya tidak mungkin!”
“Aku tanpa sengaja memakan Buah Keabadian. Jadi karena buah itu aku tidak akan pernah bertambah tua dan tidak akan pernah mati. Tapi itu juga tidak ada gunanya kan? Aku toh, tidak kelihatan dan kesepian.” Suara itu semakin memelan dan pelan kemudian terdengar suara yang lain dari ujung koridor. Seperti suara pintu dibanting dan langkah-langkah yang terburu-buru.
Anak itu nampaknya sudah pergi.

Malam harinya, Mr. Lawrence pulang dengan membawa dua kotak pizza. Matthew tidak makan banyak malam itu dan Mr. Lawrence nampaknya juga tidak mempermasalahkannya. Setelah makan, mereka berdua duduk-duduk di depan televisi mencari siaran bagus tapi tak menemukan satu pun. Matthew ingin sekali menanyakan perihal apakah Mr. Lawrence pernah mendengar suara-suara aneh di rumah ini, tapi segera mengurungkan niatnya ketika melihat wajah lelah lelaki itu.
“Jam berapakah kau biasanya tidur, Sir Law?” Matthew memberikan panggilan itu beberapa menit setelah mereka menyelesaikan makan malam mereka.
Mr. Lawrence mengalihkan perhatiannya dari layar TV. “Apa itu sebuah pertanyaan penting? Orang dewasa bisa tidur kapan saja mereka mau.”
“Tapi kalian para orang dewasa selalu tidur di atas jam dua belas malam,” ujar Matthew tertawa geli sendiri mendengar perkataannya. “Bolehkan sekali-sekali aku tidur di atas jam dua belas?”
Pertanyaan itu membuat Mr. Lawrence terdiam sebentar. “Boleh saja, namun anak-anak itu seperti sudah diatur jam tidurnya. Mereka tidak akan bisa tidak tidur di atas jam sepuluh.”
“Bisa saja,” tantang Matthew. “Aku akan tidur di atas jam dua belas!”
Mr. Lawrence hanya tertawa kecil saja menanggapinya. “Memangnya ada apa sih? Aku tidak mau besok kau bangun terlambat. Besok ada obral baju anak-anak di sebuah toko dan itu dilaksanakan pagi-pagi sekali. Kalau kita tidak datang cepat-cepat, bisa-bisa tidak dapat baju yang murah.”
Matthew mengangguk-ngangguk seperti burung pelatuk yang mematuk-matuk batang pohon. “Aku akan bangun jam enam pagi!”
“Nggak usah sepagi itu,” ujar Mr. Lawrence sambil tersenyum. “Obralnya dimulai jam sembilan kok.”
“Kalau begitu aku bangun jam setengah delapan saja,” ujar Matthew asal kemudian dia bangkit dari sofa. “Mau ke kamar, selamat malam Sir Law!”
“Selamat malam Matthew!”
Dengan langkah kaki yang lincah, Matthew menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Sesampainya di kamar, dia mengambil sebuah buku dari balik bantalnya dan menulis sesuatu di situ:

20 Mei 2005
Hari ini aku pindah ke rumah Mr. Lawrence dan rumah ini sangat aneh dan juga berkesan angker. Kata Mr. Law ketika kami makan malam, pemilik awal rumah ini adalah seorang konglomerat dari abad ke-19, namanya George Martino. Rumah besar ini dibangun pada tahun 1823 dan kemudian diwariskan kepada buyut Sir Law, Martin Hookman. Tapi rumah ini pernah disewakan kepada seorang bankir sebagai tempat untuk menikmati musim panas mereka sekitar tahun 1920-an.
Ngomong-ngomong soal tahun itu, tadi siang aku mendengar suara seorang anak. Anak itu tidak kelihatan dan dia juga tidak bertambah tua dan bisa hidup abadi karena memakan Buah Keabadian. Aku lupa menanyakan siapa nama anak itu, karena anak itu terlalu cepat menghilang. Menurut pengakuannya, dia sudah berada di rumah ini sejak tahun 1920. Apa dia anak bankir itu?
Aku belum sempat menjelajahi seluruh ruangan dari rumah berlantai tiga ini. Rumah ini sangat besar dan memiliki banyak kamar. Siapa tahu aku bisa menemukan sebuah rahasia atau mungkin harta karun? Hehehehe….
Oh ya, aku bertanya-tanya, apa bisa aku ketemu sama anak tidak kelihatan itu lagi?
Matthew

Matthew menutup buku catatannya, dan kembali menyelipkan buku itu di bawah bantal dan bersiap hendak tidur, ketika bunyi berderit dari pintu tua kamarnya yang menandakan ada seseorang yang membukanya.
  “Sir Law?” secara otomatis Matthew memanggil orang tua itu karena mereka memang hanya tinggal berdua di rumah itu.
 Tidak ada jawaban dari balik pintu dan pintu itu menutup dengan sendirinya. Lalu terdengar langkah kaki yang berjalan mendekati Matthew. Anak itu langsung menyembunyikan dirinya di dalam selimut. Dia bisa merasakan sesuatu itu semakin dekat dan sekarang sudah berada di sampingnya. Bunyi suara napas yang teratur memasuki indera pendengarannya.
“Hei!” selimut Matthew disentakkan keras-keras dan rambutnya serasa ditarik kebelakang oleh sesuatu yang tidak tampak.
Matthew menjerit kesakitan dan terjatuh dari tempat tidur. Selimutnya melayang sendiri dan memerangkap Matthew, membuat anak itu meronta-ronta sendiri. Selimut itu terlepas dan dengan cepat Matthew menginjak-nginjaknya. Setelah yakin bahwa selimut itu tidak bergerak lagi, dia mengambil selimut itu dan melipatnya kemudian ditaruh di samping tempat tidurnya.
“Selimut hantu!” ujarnya kepada selimut itu.
“Tidak, tidak, itu bukan selimut hantu!” sebuah suara muncul entah darimana disusul dengan serangkaian tawa khas anak kecil.
Matthew sepertinya mengenal suara ini. Ini kan suara anak kecil itu. Anak kecil yang tidak kelihatan itu! “Kau kan yang tadi!” pekiknya tapi langsung menutup mulut ketika teringat bahwa Sir Law mungkin bisa mendengar pekikannya.
“Ya! Aku senang sekali akhirnya aku punya teman yang bisa untuk dijahili!” dia tertawa keras lagi.
“Sssttt!!!” Matthew memperingatkan, “suaramu bisa kedengaran oleh Sir Law!”
“Tidak, dia tidak akan mendengar suaraku. Hanya anak-anak yang dapat mendengar suaraku,” ujarnya sambil menahan tawa. “Lagian Matthew…,”
“Darimana kau tahu namaku?” potong Matthew.
“Kau kan tadi sudah memberitahukan namamu,” jawabnya.
“Oh ya, ngomong-ngomong soal nama, kau belum memperkenalkan dirimu. Kau tadi keburu histeris jadi aku belum sempat menanyakannya.”
“Benar juga.” Tempat tidur Matthew berderik pelan. Mungkin anak tidak kelihatan ini sedang duduk di sana. “Namaku Lucas Harryfield. Pada tahun 1920, aku dan orang tuaku menginap di rumah ini selama musim panas.”
“Eh, jangan-jangan kamu adalah anak bankir itu ya?”
“Benar, darimana kamu tahu?”
“Sir Law yang memberitahukanku. Rumah ini adalah milik kakek buyutnya, tapi awalnya pemilik rumah ini adalah seorang konglomerat bernama George Martino.” Matthew duduk di tepi kasurnya. Dia merasa aneh karena berbicara dengan sesuatu yang tak tampak. Bagaimana kalau Sir Law masuk dan menemukannya berbicara sendiri? Dia pasti langsung dikirim ke psikiater.
“Ya, ayahku juga pernah menceritakannya. Matthew, aku sangat sedih sekali ternyata aku telah tak tampak begitu lama. Sudah 85 tahun aku terkurung di rumah ini tanpa ada satupun orang yang bisa kuajak bercakap-cakap. Lelaki bernama Sir Law itu sangat jarang datang kemari dan dia masih bujangan, tidak punya istri dan anak. Lagian ini hanyalah sebuah rumah tua yang besar, yang menyimpan begitu banyak kamar rahasia.”
Ketika mendengar kamar rahasia disebutkan, telinga Matthew langsung tegak. “Kau bilang banyak kamar rahasia?”
“Memangnya kenapa kalau di rumah ini banyak kamar rahasia?”
Senyum Matthew terkembang begitu lebar di wajahnya. “Aku punya banyak waktu untuk menjelajah rumah ini! Aku suka kamar rahasia!”
Sebuah suara helaan napas, dan Lucas kembali berbicara, “Kau tidak akan menemukannya!”
“Eh, kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Matthew antara penasaran dan jengkel karena merasa direndahkan.
“Karena mereka tersembunyi! Tidak perlu buang-buang waktu hanya untuk mencari kamar rahasia!” jawab Lucas. “Lagian, kau tidak akan senang dengan apa yang akan kau temukan!”
Matthew mengerutkan kening, tetapi dia yakin pasti ada sesuatu tersembunyi di rumah ini. Kalau tidak, kenapa Lucas terlihat sedikit gelisah dan gugup ketika dia berkata seperti itu tadi. Benar! Pasti ada sesuatu! “Aku tidak peduli apa katamu! Kau kan tidak bisa melarangku!”
Terdengar suara helaan napas lagi. “Dengar ya, anak bandel!” suara Lucas meninggi dan Matthew meringis sakit karena anak yang tak tampak itu menjewer telinganya. “Aku sudah memperingatkanmu! Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu!”
“Memangnya, apa sih yang kau coba sembunyikan?” tanya Matthew sambil mengusap-ngusap kupingnya yang terasa perih.
“Tidak ada yang kusembunyikan. Tetapi berhentilah bersikap sok ingin tahu semua hal!” Lucas lagi-lagi menghela napas, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kemudian kamar Matthew berubah menjadi hening, sepertinya Lucas pergi meninggalkannya.
Matthew berbaring di tempat tidurnya dan tersenyum senang. kamar rahasia, aku datang! Ternyata dia masih tetap pada pendiriannya untuk mencari apa pun yang menjadi rahasia di rumah barunya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar