Rights
for Vina
Pada waktu itu hujan
turun dengan derasnya mengguyur komplek perumahanku. Semua warga mendekam di
rumah mereka masing-masing bagaikan tikus-tikus yang bersembunyi di lubang
mereka. Dan aku hanya duduk terdiam saja di dekat jendela memperhatikan
jarum-jarum air dengan dahsyatnya jatuh dari langit, membuat suara berdengung
aneh di telingaku. Kututup mata, lalu pikiranku melayang kepada kejadian yang
sudah hampir sepuluh tahun yang lalu.
Ketukan di pintu
menghancurkan lamunanku, memaksaku menoleh kepada siapa pun yang sekarang masuk
ke kamarku. Tiba-tiba dadaku merasa sesak, tenggorokanku tercekat, dan mataku
rasanya bisa keluar dari rongganya. Ini tidak mungkin, tetapi semuanya terasa
begitu nyata!
“Kau terkejut bukan,
Leira? Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa berada di sini? Aku masih punya
tuntutan yang masih harus kutuntut darimu,” ujar orang yang berdiri di depanku.
Aku tidak tahu harus
berbicara apa. Semua halusinasi ini benar-benar menyiksa!
“Kau pikir kau sedang
berhalusinasi, Leira? Memangnya kau tidak lihat betapa nyatanya aku!” orang itu
melotot marah sebelum menyeringai licik.
“Tapi kupikir...!” aku
menelan ludah, merasa susah untuk mengatakan hal selanjutnya, “Kupikir kau
sudah mati, Vira!”
“Namun aku hidup lagi
untuk menuntut apa yang jadi hakku, Leira,” jawab Vina atau arwah Vina atau
siapa pun dia.
Kebingungan akhirnya
menggantikan rasa ketakutanku. Hak apa yang akan dituntut oleh Vina dariku?
“Sepertinya kau
bingung, Leira. Marilah sekarang kita berjalan mundur ke sepuluh tahun yang
lalu. Di saat semua ini terjadi, dan ingatanmu akan segar kembali sehingga kau
bisa mengingat dengan jelas apa yang seharusnya menjadi hakku.”
Aku tidak tahu apa yang
terjadi, tetapi yang kulihat sekarang adalah kami berdua, aku dan Vina, sepuluh
tahun yang lalu, ketika kami masih kelas satu SMA dan baru saja selesai
mengikuti MOS. Aku mengenal Vina karena kami satu grup ketika masa orientasi
dan juga pernah dihukum oleh panitia MOS karena lupa membawa barang yang
diminta untuk MOS hari pertama. Mulai dari sejak itulah kami berteman.
Kami sekelas dan kami
pun duduk satu bangku. Kemana-mana kami selalu bersama. Aku menyukai Vina
karena dia anaknya memang ramah dan pandai bergaul. Dia juga baik hati dan mau
menolong siapapun. Tapi yang paling kusukai adalah dia itu tidak sombong,
padahal dia adalah anak dari salah satu penyumbang terbesar untuk sekolah ini.
Ayahnya memang seorang pengusaha yang sukses dan sekolah ini pun memang
ditujukan kepada anak-anak kalangan atas. Aku memang tidak sekaya anak-anak
yang lainnya, jadi aku sangat beruntung bisa menjadi teman baik Vina, karena
aku sama sekali tidak menyukai sebagian besar anak lain yang selalu
menyombong-nyombongkan kekayaan mereka seakan-akan itu benar-benar milik
mereka! Padahal mereka semua masih minta kepada kedua orang tua mereka, yang
menunjukkan bahwa kekayaan yang mereka sombongkan itu sepenuhnya masih milik
orang tua mereka.
Ketika itu adalah hari
Senin, 11 November 2002, waktu itu aku dan Vina berjalan bersama di sepanjang
trotoar menuju rumahku. Rumahku memang lumayan dekat, sehingga aku hanya
memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di sekolah. Biasanya Vina yang
mengajakku untuk ke rumahnya yang luar biasa besar, tetapi entah kenapa Senin
ini sepulang sekolah, dia ingin sekali berkunjung ke rumahku. Memang selama
kami berteman, dia hanya satu kali mengunjungi rumahku, di awal-awal kami
berteman untuk mengerjakan PR Matematika, karena aku lumayan cemerlang di
bidang itu. Namun setelah itu, baru kali inilah dia meminta untuk datang ke
rumahku.
“Rasanya sudah
bertahun-tahun aku tidak ke sana,” ujarnya sambil tersenyum, “Sepertinya kau
tidak suka kalau aku datang ke rumahmu.”
“Bukan begitu,” kataku.
“Hanya saja banyak masalah di rumah.”
Senyuman hilang dari
wajah Vina digantikan dengan wajah yang menunjukkan rasa simpati. “Aku bukan
mau ikut campur, tetapi kenapa kau tak pernah menceritakannya?”
“Itu bukan urusanmu,”
jawabku, dan segera merasa menyesal mengatakan hal itu. “Maksudku, semua orang
punya urusan pribadi masing-masing dan tidak enak rasanya menceritakan hal-hal
pribadi tersebut.”
Vina mengangguk.
Wajahnya tampak kecewa dan ia berusaha untuk menutupinya sebaik mungkin dengan
senyumannya yang manis. “Baiklah, aku tidak akan bertanya-tanya lagi. Namun
kalau kau merasa ingin menceritakan masalahmu, aku akan dengan sabar
mendengarkannya kok.”
Aku ikut tersenyum dan
berterima kasih padanya. Tentu saja aku tidak akan pernah punya keberanian
untuk menceritakan masalah berat yang sedang menimpa keluargaku pada beberapa
bulan ini. Ayah dan Ibuku akan bercerai, sementara kakakku masuk panti
rehabilitasi karena narkoba. Itu terlalu memalukan untuk diceritakan, dan
rahasia semacam itu harus kusimpan baik-baik untuk diriku sendiri.
Tidak terasa bahwa kami
sekarang sudah tamat SMA. Tiga tahun yang telah kami jalani bersama rasanya
baru seperti tiga hari. Roda waktu terus berputar cepat, tidak peduli apakah
manusia suka atau tidak, karena kita semua harus terus berjalan menyongsong
masa depan dengan jalan kita masing-masing. Tapi aku dan Vina terus bertekad bahwa
kami akan selalu menjadi sahabat. Jadi kami mendaftar di universitas yang sama
tapi dengan pilihan jurusan sesuai selera kami masing-masing. Aku mengambil
fakultas hukum, karena aku bercita-cita jadi pengacara kondang, walau
sepertinya itu agak mustahil. Aku memang orang yang selalu pesimis duluan
tentang segala hal. Sementara itu Vina mengambil jurusan sastra Bahasa Inggris,
yang membuatku menggeleng-geleng heran karena memang bahasa Inggrisku memang
sangat pas-pasan.
Kami masih sama seperti
dulu, walau sekarang beda fakultas. Aku punya teman-teman dari fakultasku
sendiri, dan Vina pun juga begitu. Tapi hubungan kami masih sekuat saat kami
SMA dulu. Sampai sekarang aku masih belum menceritakan kepada Vina bahwa orang
tuaku sudah bercerai, dan aku yang lebih memilih untuk tinggal di rumah Paman,
daripada harus memilih harus tinggal bersama ayah atau ibuku karena mereka
berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Dan syukurlah Vina tidak
terlalu banyak menanyakan tentang keluargaku.
Pada suatu hari, musibah
itu datang.
Ketika itu aku dan Vina
sedang berjalan-jalan di trotoar sembari bersendau gurau tentang segala hal.
Pada waktu itu hari memang telah malam dan jalanan menuju rumah Vina memang
cukup sepi. Hal ini menyebabkan kami lebih leluasa untuk tertawa lepas tanpa
harus mendapat tatapan aneh dari orang yang berlalu lalang. Namun ada yang aneh
pada malam itu. Vina seperti memikirkan sesuatu. Aku bisa menangkap itu dari
sorot matanya yang memancarkan kecemasan. Hal itu membuatku gelisah, sendau
gurau kami seketika berhenti digantikan dengan kebisuan yang sangat tidak
nyaman.
“Leir,” panggilnya
dengan suara yang lain daripada biasa, “Aku tahu ini aneh. Tapi aku punya hak
untuk tahu.”
“Tahu tentang apa?”
tanyaku penasaran. Sejak kapan Vina suka beraneh-aneh begini?
Dia terdiam sebentar
sebelum melanjutkan, “Kita sudah bersahabat sejak lama. Sebelum aku bertemu
denganmu, aku tidak pernah punya sahabat. Mungkin aku punya beberapa teman,
tetapi mereka tidak pernah ada yang sampai ke tahap sebagai sahabat yang
sesungguhnya. Mereka berteman denganku hanya karena aku kaya jadi mereka bisa
memanfaatkanku. Namun kau berbeda. Kau memang bukan orang kaya, tetapi kau
tidak pernah memanfaatkanku. Coba pikir, kapan kau pernah pinjam uang atau
minta dibelikan sesuatu olehku? Rasanya tidak pernah kan? Selain itu kau
pengertian walau agak misterius karena nampaknya kau menutup-nutupi sesuatu
tentang keluargamu. Aku tidak akan menanyakan hal itu karena kau tidak pernah
nyaman membicarakan tentang keluargamu. Tetapi aku ingin mengatakan sesuatu
kepadamu.”
Vina memandangku
sebentar dan mengalihkan pandangannya ke depan, “Ini tentang diriku dan
keluargaku. Aku ini sebenarnya bukanlah anak kandung orang tuaku. Aku ini anak
yatim piatu yang mereka ambil dari panti asuhan saat umurku tujuh tahun dan
menganggapku sebagai anak mereka. Mereka memang sayang kepadaku, tetapi entah
kenapa dalam hatiku ada sesuatu yang mengatakan bahwa ini salah. Aku bukan anak
kandung mereka, tetapi aku menikmati apa saja yang diberikan mereka. Itu bukan
berarti aku tidak berterima kasih kepada mereka. Percayalah aku sangat
menghargai dan menyanyangi mereka, tetapi aku kesepian. Mereka itu adalah
keluarga tertutup dan mau tidak mau aku harus mengikuti gaya hidup mereka. Dan
harus kuakui, itu sangat menjengkelkan! Aku dulu tinggal di panti asuhan, aku
suka bergaul dengan anak-anak yang lain, dan aku tidak suka berdiam diri di
rumah seharian. Ayah dan Ibu tiriku melarangku mempunyai banyak teman, jadi aku
merasa sangat bosan sekali. Kau tahu tidak, bahwa baru kau yang kuajak ke
rumahku, itupun kulakukan secara diam-diam. Mungkin kau tidak sadar, tetapi kau
pasti berpikir juga kenapa setiap ke rumahku kita harus lewat pintu belakang.
Karena orang tua tiriku berada di ruang depan, dan mereka mungkin tidak akan
membiarkanku untuk membawa teman ke rumah. Dengan sedikit bantuan dari para
pelayan, dan voila! Ayah dan Ibuku
tidak akan tahu bahwa kau datang.”
Dia berhenti lagi,
untuk mengatur napasnya. Memang selama dia menceritakan kisahnya, dia terlihat
begitu emosional dan menggebu-ngebu. Kemudian dia melanjutkan lagi, “Aku tidak
pernah tahu apa alasan mereka untuk mengurungku dari dunia luar, dan nampaknya
aku tidak akan pernah tahu. Kemudian aku mulai berpikir, mungkinkah hidupku
akan sesepi ini terus? Apa mungkin nanti ketika aku mati, tidak ada satupun
orang yang benar-benar peduli padaku menangisi kematianku? Kita semua punya hak
untuk memilih teman, sahabat, pacar, suami, atau apa saja, tapi kemanakah
hakku? Kau tahu Leira, hidupku bagaikan dikurung. Di luar mungkin kau melihat
bahwa aku baik-baik saja, tapi ternyata tidak begitu. Aku kehilangan hakku. Aku
kehilangan hakku untuk memilih sahabat ataupun pacar, bahkan jodohkupun sudah
ditentukan oleh orang tuaku! Padahal setahuku jodoh itu ada di tangan Tuhan,
namun coba kau bayangkan Leira, aku akan menikah, sehabis wisuda nanti, padahal
aku masih punya mimpi-mimpi yang mau kuwujudkan. Dan calon suami yang
dipilihkan oleh kedua orang tuaku, malah sama sifatnya dengan orang tuaku. Dia
juga pasti akan mengurungku, menjadikanku tawanannya. Aku tidak akan boleh
keluar rumah, tidak boleh berhubungan dengan orang lain lagi, benar-benar calon
suami yang kejam ya?” dia tertawa lirih. Tawa yang hampa, hanya sekedar ekspresi
dari hatinya yang telah disakiti. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk
menghentikan tawanya yang sudah seperti orang gila itu, jadi aku
mengelus-ngelus pundaknya dengan lembut.
Dia berhenti tertawa,
dan air mata mulai membasahi pipinya, tetapi dia kembali melanjutkan, “Hanya
kau yang peduli dengan hidupku. Kau mungkin satu-satunya orang yang tepat yang
bakal menangisiku ketika aku mati, karena air matamu murni. Bukan seperti air
mata palsu keluargaku yang picik dan egois itu. Bolehkah aku menuntut sesuatu
padamu Leira? Sesuatu hak, untukku. Hak bagiku, untuk yang terakhir.”
Perkataannya membuatku
terkejut. Pembicaraan macam apa ini? Kataku dalam hati. Ini seperti semua pesan
kematian darinya, tidak mungkin kan kalau dia...
Bayangan masa lalu
tiba-tiba memudar dari hadapanku. Aku dikembalikan lagi ke dunia sekarang, di
mana arwah Vina berdiri di depanku. Sekarang baru kuingat, aku telah berjanji
untuk memberikan Vina hak terakhirnya. Dan janji itu sudah kulanggar. Kejadian
itu sudah lama, Vina meninggal, dia bunuh diri dengan menggantung diri di
kamarnya. Dia tidak tahan lagi dengan segala peraturan ketat yang mengekang
dirinya. Dia tidak mau dijodohkan dengan lelaki yang malah hanya menambah jerat
disekelilingnya sehingga bahkan untuk melangkah pun rasanya susah sekali. Dia
sudah mengatakan bahwa hanya akulah yang benar-benar ditunggunya untuk datang
pada acara pemakamannya, namun aku malah tidak datang.
Itu sebenarnya bukan
sepenuhnya salahku. Aku baru saja mendapatkan berita kematiannya sehari setelah
acara pemakamannya, karena pada waktu itu aku punya praktek dokter di daerah
pedalaman dan komunikasi di sana sangatlah terbatas. Setelah menerima berita
itu, aku langsung meninggalkan pekerjaanku dan berangkah menuju tempat di mana
Vina dimakamkan. Aku tahu aku tidak bisa memenuhi haknya, aku tidak hadir di
acara pemakamannya dan menangis untuknya di sana. Tetapi ketika aku melihat
kuburannya, aku tahu bahwa aku benar-benar menangis. Aku menangis untukmu Vina.
“Tapi itu belum cukup,”
ujar arwah Vina. “Kau tidak datang. Selama pemakaman berlangsung aku sendirian,
walaupun aku sudah jadi mayat, tapi aku melihat dari atas sana, bahwa aku hanya
dikelilingi oleh keluarga-keluarga yang bukan merupakan keluargaku yang
sebenarnya, bahwa kau tidak ada di sana.”
“Kalau begitu,
bagaimana bisa aku memperbaikinya?” tanyaku lirih dan kurasakan bahwa badanku
gemetaran.
Dia tersenyum, senyum
yang menakutkan. “Oh, kau bisa memperbaikinya, namun tidak sekarang. Bukan
waktumu untuk memperbaikinya sekarang Leira. Jalanilah hidupmu, aku hanya
datang sekedar untuk mengingatkanmu bahwa aku selalu akan menagih janji.
Teruslah hidup dan ketika ajalmu mendekat, aku yang akan berperan sebagai
malaikat kematianmu, dan dari situlah kau bisa memperbaiki semuanya.” Setelah
mengucapkan kalimat itu, dia menghilang bagai disapu angin.
Apa ini hanya mimpi?
Tidak, terlalu nyata untuk jadi mimpi. Aku terdiam dengan tubuh yang masih
gemetaran sambil berpikir apa maksud dari perkataan arwah Vina barusan.
End...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar