Senin, 24 September 2012

Rights For Vina


Rights for Vina

Pada waktu itu hujan turun dengan derasnya mengguyur komplek perumahanku. Semua warga mendekam di rumah mereka masing-masing bagaikan tikus-tikus yang bersembunyi di lubang mereka. Dan aku hanya duduk terdiam saja di dekat jendela memperhatikan jarum-jarum air dengan dahsyatnya jatuh dari langit, membuat suara berdengung aneh di telingaku. Kututup mata, lalu pikiranku melayang kepada kejadian yang sudah hampir sepuluh tahun yang lalu.
Ketukan di pintu menghancurkan lamunanku, memaksaku menoleh kepada siapa pun yang sekarang masuk ke kamarku. Tiba-tiba dadaku merasa sesak, tenggorokanku tercekat, dan mataku rasanya bisa keluar dari rongganya. Ini tidak mungkin, tetapi semuanya terasa begitu nyata!
“Kau terkejut bukan, Leira? Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa berada di sini? Aku masih punya tuntutan yang masih harus kutuntut darimu,” ujar orang yang berdiri di depanku.
Aku tidak tahu harus berbicara apa. Semua halusinasi ini benar-benar menyiksa!
“Kau pikir kau sedang berhalusinasi, Leira? Memangnya kau tidak lihat betapa nyatanya aku!” orang itu melotot marah sebelum menyeringai licik.
“Tapi kupikir...!” aku menelan ludah, merasa susah untuk mengatakan hal selanjutnya, “Kupikir kau sudah mati, Vira!”
“Namun aku hidup lagi untuk menuntut apa yang jadi hakku, Leira,” jawab Vina atau arwah Vina atau siapa pun dia.
Kebingungan akhirnya menggantikan rasa ketakutanku. Hak apa yang akan dituntut oleh Vina dariku?
“Sepertinya kau bingung, Leira. Marilah sekarang kita berjalan mundur ke sepuluh tahun yang lalu. Di saat semua ini terjadi, dan ingatanmu akan segar kembali sehingga kau bisa mengingat dengan jelas apa yang seharusnya menjadi hakku.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi yang kulihat sekarang adalah kami berdua, aku dan Vina, sepuluh tahun yang lalu, ketika kami masih kelas satu SMA dan baru saja selesai mengikuti MOS. Aku mengenal Vina karena kami satu grup ketika masa orientasi dan juga pernah dihukum oleh panitia MOS karena lupa membawa barang yang diminta untuk MOS hari pertama. Mulai dari sejak itulah kami berteman.
Kami sekelas dan kami pun duduk satu bangku. Kemana-mana kami selalu bersama. Aku menyukai Vina karena dia anaknya memang ramah dan pandai bergaul. Dia juga baik hati dan mau menolong siapapun. Tapi yang paling kusukai adalah dia itu tidak sombong, padahal dia adalah anak dari salah satu penyumbang terbesar untuk sekolah ini. Ayahnya memang seorang pengusaha yang sukses dan sekolah ini pun memang ditujukan kepada anak-anak kalangan atas. Aku memang tidak sekaya anak-anak yang lainnya, jadi aku sangat beruntung bisa menjadi teman baik Vina, karena aku sama sekali tidak menyukai sebagian besar anak lain yang selalu menyombong-nyombongkan kekayaan mereka seakan-akan itu benar-benar milik mereka! Padahal mereka semua masih minta kepada kedua orang tua mereka, yang menunjukkan bahwa kekayaan yang mereka sombongkan itu sepenuhnya masih milik orang tua mereka.
Ketika itu adalah hari Senin, 11 November 2002, waktu itu aku dan Vina berjalan bersama di sepanjang trotoar menuju rumahku. Rumahku memang lumayan dekat, sehingga aku hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di sekolah. Biasanya Vina yang mengajakku untuk ke rumahnya yang luar biasa besar, tetapi entah kenapa Senin ini sepulang sekolah, dia ingin sekali berkunjung ke rumahku. Memang selama kami berteman, dia hanya satu kali mengunjungi rumahku, di awal-awal kami berteman untuk mengerjakan PR Matematika, karena aku lumayan cemerlang di bidang itu. Namun setelah itu, baru kali inilah dia meminta untuk datang ke rumahku.
“Rasanya sudah bertahun-tahun aku tidak ke sana,” ujarnya sambil tersenyum, “Sepertinya kau tidak suka kalau aku datang ke rumahmu.”
“Bukan begitu,” kataku. “Hanya saja banyak masalah di rumah.”
Senyuman hilang dari wajah Vina digantikan dengan wajah yang menunjukkan rasa simpati. “Aku bukan mau ikut campur, tetapi kenapa kau tak pernah menceritakannya?”
“Itu bukan urusanmu,” jawabku, dan segera merasa menyesal mengatakan hal itu. “Maksudku, semua orang punya urusan pribadi masing-masing dan tidak enak rasanya menceritakan hal-hal pribadi tersebut.”
Vina mengangguk. Wajahnya tampak kecewa dan ia berusaha untuk menutupinya sebaik mungkin dengan senyumannya yang manis. “Baiklah, aku tidak akan bertanya-tanya lagi. Namun kalau kau merasa ingin menceritakan masalahmu, aku akan dengan sabar mendengarkannya kok.”
Aku ikut tersenyum dan berterima kasih padanya. Tentu saja aku tidak akan pernah punya keberanian untuk menceritakan masalah berat yang sedang menimpa keluargaku pada beberapa bulan ini. Ayah dan Ibuku akan bercerai, sementara kakakku masuk panti rehabilitasi karena narkoba. Itu terlalu memalukan untuk diceritakan, dan rahasia semacam itu harus kusimpan baik-baik untuk diriku sendiri.

Tidak terasa bahwa kami sekarang sudah tamat SMA. Tiga tahun yang telah kami jalani bersama rasanya baru seperti tiga hari. Roda waktu terus berputar cepat, tidak peduli apakah manusia suka atau tidak, karena kita semua harus terus berjalan menyongsong masa depan dengan jalan kita masing-masing. Tapi aku dan Vina terus bertekad bahwa kami akan selalu menjadi sahabat. Jadi kami mendaftar di universitas yang sama tapi dengan pilihan jurusan sesuai selera kami masing-masing. Aku mengambil fakultas hukum, karena aku bercita-cita jadi pengacara kondang, walau sepertinya itu agak mustahil. Aku memang orang yang selalu pesimis duluan tentang segala hal. Sementara itu Vina mengambil jurusan sastra Bahasa Inggris, yang membuatku menggeleng-geleng heran karena memang bahasa Inggrisku memang sangat pas-pasan.
Kami masih sama seperti dulu, walau sekarang beda fakultas. Aku punya teman-teman dari fakultasku sendiri, dan Vina pun juga begitu. Tapi hubungan kami masih sekuat saat kami SMA dulu. Sampai sekarang aku masih belum menceritakan kepada Vina bahwa orang tuaku sudah bercerai, dan aku yang lebih memilih untuk tinggal di rumah Paman, daripada harus memilih harus tinggal bersama ayah atau ibuku karena mereka berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Dan syukurlah Vina tidak terlalu banyak menanyakan tentang keluargaku.
Pada suatu hari, musibah itu datang.
Ketika itu aku dan Vina sedang berjalan-jalan di trotoar sembari bersendau gurau tentang segala hal. Pada waktu itu hari memang telah malam dan jalanan menuju rumah Vina memang cukup sepi. Hal ini menyebabkan kami lebih leluasa untuk tertawa lepas tanpa harus mendapat tatapan aneh dari orang yang berlalu lalang. Namun ada yang aneh pada malam itu. Vina seperti memikirkan sesuatu. Aku bisa menangkap itu dari sorot matanya yang memancarkan kecemasan. Hal itu membuatku gelisah, sendau gurau kami seketika berhenti digantikan dengan kebisuan yang sangat tidak nyaman.
“Leir,” panggilnya dengan suara yang lain daripada biasa, “Aku tahu ini aneh. Tapi aku punya hak untuk tahu.”
“Tahu tentang apa?” tanyaku penasaran. Sejak kapan Vina suka beraneh-aneh begini?
Dia terdiam sebentar sebelum melanjutkan, “Kita sudah bersahabat sejak lama. Sebelum aku bertemu denganmu, aku tidak pernah punya sahabat. Mungkin aku punya beberapa teman, tetapi mereka tidak pernah ada yang sampai ke tahap sebagai sahabat yang sesungguhnya. Mereka berteman denganku hanya karena aku kaya jadi mereka bisa memanfaatkanku. Namun kau berbeda. Kau memang bukan orang kaya, tetapi kau tidak pernah memanfaatkanku. Coba pikir, kapan kau pernah pinjam uang atau minta dibelikan sesuatu olehku? Rasanya tidak pernah kan? Selain itu kau pengertian walau agak misterius karena nampaknya kau menutup-nutupi sesuatu tentang keluargamu. Aku tidak akan menanyakan hal itu karena kau tidak pernah nyaman membicarakan tentang keluargamu. Tetapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
Vina memandangku sebentar dan mengalihkan pandangannya ke depan, “Ini tentang diriku dan keluargaku. Aku ini sebenarnya bukanlah anak kandung orang tuaku. Aku ini anak yatim piatu yang mereka ambil dari panti asuhan saat umurku tujuh tahun dan menganggapku sebagai anak mereka. Mereka memang sayang kepadaku, tetapi entah kenapa dalam hatiku ada sesuatu yang mengatakan bahwa ini salah. Aku bukan anak kandung mereka, tetapi aku menikmati apa saja yang diberikan mereka. Itu bukan berarti aku tidak berterima kasih kepada mereka. Percayalah aku sangat menghargai dan menyanyangi mereka, tetapi aku kesepian. Mereka itu adalah keluarga tertutup dan mau tidak mau aku harus mengikuti gaya hidup mereka. Dan harus kuakui, itu sangat menjengkelkan! Aku dulu tinggal di panti asuhan, aku suka bergaul dengan anak-anak yang lain, dan aku tidak suka berdiam diri di rumah seharian. Ayah dan Ibu tiriku melarangku mempunyai banyak teman, jadi aku merasa sangat bosan sekali. Kau tahu tidak, bahwa baru kau yang kuajak ke rumahku, itupun kulakukan secara diam-diam. Mungkin kau tidak sadar, tetapi kau pasti berpikir juga kenapa setiap ke rumahku kita harus lewat pintu belakang. Karena orang tua tiriku berada di ruang depan, dan mereka mungkin tidak akan membiarkanku untuk membawa teman ke rumah. Dengan sedikit bantuan dari para pelayan, dan voila! Ayah dan Ibuku tidak akan tahu bahwa kau datang.”
Dia berhenti lagi, untuk mengatur napasnya. Memang selama dia menceritakan kisahnya, dia terlihat begitu emosional dan menggebu-ngebu. Kemudian dia melanjutkan lagi, “Aku tidak pernah tahu apa alasan mereka untuk mengurungku dari dunia luar, dan nampaknya aku tidak akan pernah tahu. Kemudian aku mulai berpikir, mungkinkah hidupku akan sesepi ini terus? Apa mungkin nanti ketika aku mati, tidak ada satupun orang yang benar-benar peduli padaku menangisi kematianku? Kita semua punya hak untuk memilih teman, sahabat, pacar, suami, atau apa saja, tapi kemanakah hakku? Kau tahu Leira, hidupku bagaikan dikurung. Di luar mungkin kau melihat bahwa aku baik-baik saja, tapi ternyata tidak begitu. Aku kehilangan hakku. Aku kehilangan hakku untuk memilih sahabat ataupun pacar, bahkan jodohkupun sudah ditentukan oleh orang tuaku! Padahal setahuku jodoh itu ada di tangan Tuhan, namun coba kau bayangkan Leira, aku akan menikah, sehabis wisuda nanti, padahal aku masih punya mimpi-mimpi yang mau kuwujudkan. Dan calon suami yang dipilihkan oleh kedua orang tuaku, malah sama sifatnya dengan orang tuaku. Dia juga pasti akan mengurungku, menjadikanku tawanannya. Aku tidak akan boleh keluar rumah, tidak boleh berhubungan dengan orang lain lagi, benar-benar calon suami yang kejam ya?” dia tertawa lirih. Tawa yang hampa, hanya sekedar ekspresi dari hatinya yang telah disakiti. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menghentikan tawanya yang sudah seperti orang gila itu, jadi aku mengelus-ngelus pundaknya dengan lembut.
Dia berhenti tertawa, dan air mata mulai membasahi pipinya, tetapi dia kembali melanjutkan, “Hanya kau yang peduli dengan hidupku. Kau mungkin satu-satunya orang yang tepat yang bakal menangisiku ketika aku mati, karena air matamu murni. Bukan seperti air mata palsu keluargaku yang picik dan egois itu. Bolehkah aku menuntut sesuatu padamu Leira? Sesuatu hak, untukku. Hak bagiku, untuk yang terakhir.”
Perkataannya membuatku terkejut. Pembicaraan macam apa ini? Kataku dalam hati. Ini seperti semua pesan kematian darinya, tidak mungkin kan kalau dia...

Bayangan masa lalu tiba-tiba memudar dari hadapanku. Aku dikembalikan lagi ke dunia sekarang, di mana arwah Vina berdiri di depanku. Sekarang baru kuingat, aku telah berjanji untuk memberikan Vina hak terakhirnya. Dan janji itu sudah kulanggar. Kejadian itu sudah lama, Vina meninggal, dia bunuh diri dengan menggantung diri di kamarnya. Dia tidak tahan lagi dengan segala peraturan ketat yang mengekang dirinya. Dia tidak mau dijodohkan dengan lelaki yang malah hanya menambah jerat disekelilingnya sehingga bahkan untuk melangkah pun rasanya susah sekali. Dia sudah mengatakan bahwa hanya akulah yang benar-benar ditunggunya untuk datang pada acara pemakamannya, namun aku malah tidak datang.
Itu sebenarnya bukan sepenuhnya salahku. Aku baru saja mendapatkan berita kematiannya sehari setelah acara pemakamannya, karena pada waktu itu aku punya praktek dokter di daerah pedalaman dan komunikasi di sana sangatlah terbatas. Setelah menerima berita itu, aku langsung meninggalkan pekerjaanku dan berangkah menuju tempat di mana Vina dimakamkan. Aku tahu aku tidak bisa memenuhi haknya, aku tidak hadir di acara pemakamannya dan menangis untuknya di sana. Tetapi ketika aku melihat kuburannya, aku tahu bahwa aku benar-benar menangis. Aku menangis untukmu Vina.
“Tapi itu belum cukup,” ujar arwah Vina. “Kau tidak datang. Selama pemakaman berlangsung aku sendirian, walaupun aku sudah jadi mayat, tapi aku melihat dari atas sana, bahwa aku hanya dikelilingi oleh keluarga-keluarga yang bukan merupakan keluargaku yang sebenarnya, bahwa kau tidak ada di sana.”
“Kalau begitu, bagaimana bisa aku memperbaikinya?” tanyaku lirih dan kurasakan bahwa badanku gemetaran.
Dia tersenyum, senyum yang menakutkan. “Oh, kau bisa memperbaikinya, namun tidak sekarang. Bukan waktumu untuk memperbaikinya sekarang Leira. Jalanilah hidupmu, aku hanya datang sekedar untuk mengingatkanmu bahwa aku selalu akan menagih janji. Teruslah hidup dan ketika ajalmu mendekat, aku yang akan berperan sebagai malaikat kematianmu, dan dari situlah kau bisa memperbaiki semuanya.” Setelah mengucapkan kalimat itu, dia menghilang bagai disapu angin.
Apa ini hanya mimpi? Tidak, terlalu nyata untuk jadi mimpi. Aku terdiam dengan tubuh yang masih gemetaran sambil berpikir apa maksud dari perkataan arwah Vina barusan.
End...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar