Jumat, 29 April 2016

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 6

 Lily sudah pulang pada hari Senin pagi. Dia mengatakan akan mengunjungiku lagi apabila dia bisa merayu bos kami untuk kesekian kalinya agar mendapat cuti, dan ini sudah ketiga kalinya dia mengambil cuti selama enam bulan ini yang membuatnya tidak yakin bahwa Graham tersayang akan memberinya kesempatan untuk cuti lagi. Setelah Lily pulang, aku bergegas untuk memulai kerja pertamaku di kantor Tuan Smith. Aku rasa aku akan terlambat di hari kerja pertamaku.
Tuan Smith sudah menunggu sambil membaca koran dan minum segelas kopi. Belum ada klien yang datang pada jam sembilan lewat lima belas menit pagi ini. Aku menyapa Tuan Smith yang bermuka masam. “Apa kabar pagi ini, Tuan Smith?”
“Kau terlambat,” ujarnya singkat sebelum kembali menekuni koran lokal Langley Green.
Aku menggumamkan kata maaf dan keluar dari kantornya untuk menuju mejaku. Tidak ada yang bisa dikerjakan pagi ini selain mengurusi dokumen-dokumen dan beberapa surat yang masuk. Aku mengecek jadwal untuk Tuan Smith hari ini dan menyadari sama sekali tidak ada jadwal acara untuknya. Hal ini membuatku menghela napas. Pekerjaan seperti ini pasti akan sangat menyenangkan.
Pada jam setengah satu, Tuan Smith mengajakku untuk makan siang di luar. Ada sebuah cafe kecil tidak jauh dari kantor pengacaranya dan dia kenal dengan yang punya cafe. Kami mendapatkan meja yang cukup strategis, letaknya bersebelahan dengan kaca jendela besar yang memungkinkan kami menatap pemandangan di luar. Dengan bantuan Tuan Brawley, teman sekaligus pemilik cafe kecil yang bernama D’ Amaranthos. Amaranthos? Amaranth? Menarik sekali.
“Ini adalah sekretarisku yang baru, Charlotte Harriot. Dia juga baru pindah ke kota ini,” Tuan Smith memperkenalkanku kepada Tuan Brawley yang langsung menyalamiku dengan ramah.
“Apa kabar, apa kabar, Charlotte! Senang rasanya mempunyai satu lagi pelanggan baru!” ujarnya ceria sembari masih memegang erat tanganku. Itu membuatku agak sedikit meringis.
“Terima kasih Tuan Brawley. Senang juga berkenalan dengan Anda,” balasku dengan mengernyit. Tuan Brawley bertangan lebar dan besar, tentu saja genggamannya akan membuat bekas merah pada tanganku.
Akhirnya pria itu melepaskan genggaman tangannya dan menepuk bahuku lembut, tetapi cukup membuatku hampir terdorong jatuh dari kursi. “Bagaimana rasanya steak di sini, Dear Charlotte?”
“Enak sekali Tuan Brawley. Mungkin saya akan sering-sering datang ke sini.” Aku mengiris steak sapi dengan pisau dan memakannya. Harus kuakui bahwa steak sapinya memang benar-benar enak. Tidak salah kenapa Tuan Smith membawaku ke sini dan kenapa di sini begitu ramai.
Tuan Brawley tertawa mendengarnya. “Aku suka dengan sekretarismu yang baru ini, Smith. Kenapa tidak dari dulu-dulu saja dia menggantikan Jen yang malang?” Emma Jennington adalah sekretaris lama Tuan Smith dan dia dipanggil Jen disekitar sini.
“Jen bekerja bagus.” Ketika Tuan Smith mengatakan ini, dia melirik ke arahku seakan-akan menandakan bahwa aku harus bisa sebagus Jen. “Dia sangat cekatan, memang dia sedikit cerewet dan ngomong terlalu apa adanya, sampai-sampai tidak sadar bahwa perkataannya menyakiti perasaan orang lain.”
“Ya, dan dia bilang steakku seperti daging sapi busuk di depan mukaku sendiri! Aku tahu dia mengucapkan tanpa ada maksud apa-apa, tetapi tetap saja, sialan sekali wanita itu!” umpat Tuan Brawley yang mencengkram lap tangannya kuat-kuat. Aku bahkan bisa melihat buku-buku jarinya yang memutih.
“Tidak usah mengumpat seperti itu. Lagipula Jen sudah tidak ada. Dia pindah ke kampung halamannya. Dan kuharap Charlotte dapat bekerja lebih rajin dari Jen.” Tuan Smith kembali melirikku sebelum menatap daging steak dihadapannya.
“Dan aku yakin dia tidaklah bermulut lebar seperti Jen. Dia tidak akan terlalu blak-blakkan tentang segala sesuatu,” tambah Tuan Brawley yang memberikan senyum kebapakkan kepadaku. “Hei, Smith, mungkin kalau kan punya anak, dia pasti sudah sebesar Charlotte.”
“Hentikan segala omong kosong ini Brawley. Kau bisa kembali ke dapurmu sekarang.” Aku baru tahu apapun yang menyangkut tentang memiliki anak selalu menjadi topik yang dihindari oleh lelaki tua dihadapanku ini.
Setelah Tuan Brawley pergi, meja kami diliputi dengan keheningan. Orang-orang disekitar masih sibuk terus mengoceh dan mengoceh, orang-orang datang dan pergi, sementara rasanya waktu berhenti di antara aku dan Tuan Smith. Aku mengiris steakku dengan kikuk, tidak tahu bagaimana caranya untuk memecah keheningan yang menjadi dinding diantara kami berdua. Tuan Smith bukanlah orang yang banyak bicara, dia adalah seorang yang sangat pembosan. Dia juga bukan tipe orang yang nyaman untuk diajak bicara dalam banyak hal, aku tidak akan pernah tahu apa yang dipikirkannya. Bagaimana bisa aku menjadi sekretaris orang seperti ini?
“Kau sama sekali tidak punya jadwal acara untuk hari ini,” mulaiku dengan perasaan gugup luar biasa dan merasa perkataanku sama sekali tidak sopan.
“Lucu, kupikir kau akan memanggilku Sir, atau apa.” Dia tersenyum sedikit ke arahku. “Aku juga tidak begitu suka dipanggil Sir. Jen memanggilku seperti itu, padahal aku sudah sering memperingatkannya untuk tidak memanggilku dengan panggilan Sir.
Aku tidak tahu kenapa sekarang dia suka menghubung-hubungkanku dengan Jen. Tetapi aku sekarang adalah sekretarisnya, dan siapapun dulu yang pernah jadi sekretarisnya adalah sebuah kenangan. Jujur, aku tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain. “Jam berapa biasanya klien Anda datang?” aku berusaha untuk mempersopan kalimatku, dan kurasa itu cukup berhasil. Hei, dia setidaknya 30 tahun di atasku!
Tuan Smith mengerutkan kening tidak suka dengan pertanyaan itu. “Entahlah,” jawabnya singkat. Dia kembali memakan steaknya, namun dia menambahkan, “Sekitar jam sepuluh mungkin. Tergantung, dan biasanya persoalan tentang perceraian. Aku sudah bosan menangani kasus-kasus seperti itu.”
Karena tidak tahu harus memberi tanggapan apa, aku hanya mengangguk. Keheningan kembali menghampiri kami berdua.

Pada malam harinya setelah aku pulang bekerja, Holly datang dengan seorang pria yang tak kukenal. Ternyata dia adalah tetangga baru yang diceritakan Holly beberapa waktu lalu. Deskripsi Holly tentangnya tidaklah terlalu berlebihan, dia memang tampan, jangkung dan seorang dokter hewan. Pekerjaannya tidak begitu menarik untuk kota seperti Langley Green. Tidak ada yang terlalu peduli dengan kesehatan hewan-hewan peliharaan mereka di sini.
Kami bertiga duduk di ruang tamu dan Holly membuka pembicaraan, “Nah, ini adalah Charlotte yang baru pindah dari London, sama sepertimu.”
Steve, nama pria itu, atau lebih tepatnya, Steve Johnson Marshall, tersenyum ke arahku dan berkata, “Holly selalu bercerita tentangmu selama beberapa hari ini. Aku tidak tahu kenapa dia melakukannya. Tapi senang berkenalan denganmu.”
“Aku rasa dia sudah terlalu banyak bercerita tentangku,” aku melirik Holly sebelum melanjutkan, “senang juga berkenalan denganmu.”
“Jadi, kau bekerja untuk Tuan Smith?” tanya Steve yang duduk di sebelah Holly. “Aku pernah bertemu sekali dengannya ketika berada di apotik, dan kupikir orangnya sama sekali tidak ramah.”
“Memang begitu,” aku membenarkan, “Namun tidaklah terlalu buruk. Dia hanya pembosan. Seorang pengacara tua dengan istrinya yang invalid tanpa anak pula, membuatnya menjadi orang yang pemarah dan tidak terlalu menyukai pergaulan sosial.”
“Aku tidak pernah menyukai Tuan Smith.” Holly menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Dia pernah menabrakku di jalan ketika aku sedang membawa banyak barang belanjaan. Semua barang belanjaanku berjatuhan kemana-mana dan dia mengatakan kepadaku bahwa aku harus lebih berhati-hati lagi, kemudian dia melenggang pergi tanpa minta maaf, padahal dia yang salah! Dia yang menabrakku!”
“Kurasa tidak ada orang yang menyukai Tuan Smith di kota ini,” ucapku merasa kasihan juga dengan lelaki tua itu.
“Tidak ada, bahkan temannya pemilik cafe yang keturunan orang Kanada itu juga tidak terlalu menyukainya,” tambah Holly dan dia terlihat menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
“Sejauh ini aku menyukai Langley Green,” Steve mengalihkan topik pembicaraan. “Hidup saling bertetangga itu menyenangkan, dan aku mendapatkan tetangga-tetangga yang baik. Seumur hidup aku tinggal di apartemen di London.”
“Kenapa kau memilih untuk pindah ke sini, Steve?” tanyaku yang benar-benar penasaran. Tidak ada orang yang benar-benar mau tinggal di kota kecil.
Dia mengangkat bahu dan menjawab, “Aku merasa mendapat panggilan.”
“Alasan yang lucu sekali,” sindir Holly. “Apakah kau juga sudah mulai bosan dengan kehidupan kota London?”
“Kira-kira begitulah.”
“Entah kenapa alasanmu sama dengan Charlotte. Apakah kota London benar-benar membosankan?” Holly menatap kami berdua secara bergantian. Di matanya terpancar rasa keingintahuan yang besar. Oh well, aku lupa bahwa Holly selalu bermimpi untuk bisa mengunjungi London.
Aku berpikir sebentar sebelum menjawab, tetapi Steve sudah keburu memotong, “Tidak juga, hanya saja kehidupan kota besar itu selalu dimulai dengan rutinitas yang sama. Selain itu udaranya sudah terlalu menyesakkan, begitu pula dengan orang-orangnya yang individual. Kau akan merasakannya apabila kau sudah tinggal di sana seumur hidupmu.”
Holly menelengkan kepalanya dan tersenyum. “Aku rasa aku bisa berbangga diri menjadi gadis pedesaan.”
Kami tertawa mendengar pernyataannya itu. Sejam berikutnya kami habiskan berbincang-bincang tentang segala hal. Harus kuakui bahwa Steve memang menarik, dia mampu membawa diri dan pengetahuannya luas. Entah kenapa aku merasa senang mengobrol lama-lama dengannya seakan-akan aku sudah mengenalnya jauh sebelum ini. Kami bahkan mengucapkan beberapa kata yang sama dalam waktu yang bersamaan seperti sepasang anak kembar. Itu menurutku cukup aneh karena kami baru saja bertemu.
Setelah Holly dan Steve pamit pulang, aku segera merebahkan diri di ranjangku. Pikiran-pikiran aneh mulai timbul di kepalaku. Memang ada yang aneh, aku sama sekali tidak lagi bermimpi tentang Erick atau tentang kenangan masa kecilku padahal aku sangat membutuhkannya. Aku benar-benar merasa yakin bahwa apabila aku pindah ke Langley Green dan membeli rumah masa kecilku, aku akan semakin dekat dengan petunjuk untuk mengetahui keberadaan saudara kembarku, tapi sekarang, aku malah merasa terjebak di sini. Tidak ada sama sekali petunjuk berarti, malah sekarang aku tidaklah lagi bermimpi. Ini semua membuatku semakin jauh dari kebenaran. Apa artinya aku pindah ke sini? Sendirian, menjadi sekretaris pengacara tua yang pembosan, dan terkukung dengan kebosanan kota kecil. Aku meninggalkan teman-teman dan pekerjaanku yang berharga. Aku bahkan tidak sempat untuk pamit kepada Almarhumah Ibuku. Sekarang yang ada hanya terus berharap dan menunggu.
Sebuah pemikiran lain yang juga aneh tiba-tiba muncul. Aku mulai memikirkan tentang wanita misterius yang sudah tiga kali ini menampakkan dirinya kepadaku. Aku sama sekali tidak mengenalnya, dari caranya berpakaian yang seakan-akan tiap harinya adalah Halloween, juga perkataannya yang aneh dan misterius. Siapa sih sebenarnya dia itu?
Lalu pesan dari Nenek Loretta yang menyuruhku untuk pergi dari Langley Green. Apa yang membuatnya begitu takut dan mengusirku seenaknya? Apakah ada hubungannya dengan wanita berjubah hitam misterius itu? Waktu kuceritakan tentang wanita tersebut, memang wajah Nenek Loretta langsung berubah. Dia terlihat terkejut dan takut dalam waktu bersamaan. Apa dia mengetahui sesuatu tentang si wanita misterius?
Semua hal yang terjadi hanya menambah beban di kepalaku.

Rutinitas di kantor Smith & Bailey masih tetap tidak ada perubahan. Pagi itu ada sepasang suami istri yang akan melakukan perceraian, kasus ini sudah terlalu sering ditangani oleh Tuan Smith. Semua klien yang datang ke sini tidaklah berduit banyak yang malah tambah membuat Tuan Smith uring-uringan. Yang kutahu dia mengusir pasangan suami istri itu karena mereka berdua malah sibuk adu mulut di dalam kantornya.
Kami makan siang di cafe yang sama. Mungkin ini akan menjadi rutinitasku selama bekerja dengan Tuan Smith. Apakah Jen juga melakukan ini hampir setiap harinya? Menemani Tuan Smith makan siang, adalah mendengarkan percakapan bisu di antara kami berdua. Lelaki itu tidak banyak bicara dan aku tidak tahu harus membicarakan apa. Apakah Jen juga melakukan ini hampir setiap harinya? Tunggu, kenapa aku sendiri yang malah membanding-bandingkan diriku dengan Jen?
Tuan Brawley menemani kami lagi kali ini. Dia lebih banyak berbicara denganku daripada dengan temannya sendiri. Sepertinya kata Holly benar, tidak ada yang terlalu menyukai Tuan Smith di kota ini. “Nah, aku akan buka cabang juga di London suatu hari nanti,” kata Tuan Brawley ceria dan nampaknya terlalu berharap.
“Yang benar saja.” Tuan Smith mendengus meremehkan.
“Ya, aku akan buka cabang di sana suatu hari nanti,” ujar Tuan Brawley keras kepala. “Aku punya ambisi kuat dan tekad untuk mengwujudkannya. Aku punya keturunan, Smithee.”
“Sekarang kau ingin menghinaku karena aku tidak punya keturunan? Oh, ayolah, sampai berapa tahun lagi kita harus membicarakan ini? Anakmu tidak bisa diharapkan. Dia mungkin akan jadi bujangan selamanya.” Tuan Smith tersenyum, sebuah senyum yang sama sekali tidak manis. Sekarang giliran Tuan Brawley yang mendengus.
Aku sama sekali tidak ingin terlibat dengan percakapan mereka yang saling menyindir satu sama lain. Bagiku mereka sama sekali bukan teman. Tuan Brawley mengalihkan perhatian kepadaku lagi dan kembali menceritakan tentang bagaimana bentuk kafenya nanti apabila dia sudah buka cabang di London.
Keluar dari kafe, Tuan Smith langsung mengomel kepadaku, “Lain kali kau jangan terlalu meladeni semua omong kosongnya.”
“Bagiku itu bukan sebuah omong kosong, tetapi hanya sebuah pembicaraan tentang mimpi yang sepertinya tidak akan pernah terwujud.”
Tuan Smith menjentikkan jarinya. “Itulah maksudku. Dia pikir bisnisnya akan berjalan lancar? Dia sudah tua, sama sepertiku. Anaknya George, pemuda berandalan. Sudah pernah melakukan tindakan kriminal, dan sekarang sedang menjalani perawatan di panti rehabilitasi. Menurutnya dia akan pulang tiga atau empat bulan lagi, tapi aku tidak yakin anak itu dapat mengambil alih bisnis ayahnya.”
Aku lumayan terkejut juga mendengar cerita Tuan Smith tentang keluarga Tuan Brawley. Kupikir dia adalah seorang pria tanpa beban dengan keluarga sederhana. Yah, sebagian orang bisa dengan mudah menutup-nutupi segala macam permasalahan yang mereka hadapi dan tetap tegar dalam menjalani hidup seolah-olah tidak ada sama sekali beban yang menghinggapi pundaknya, namun di sisi lain ada orang-orang yang tidak bisa dan menunjukkan muka murung setiap saat seolah-olah mereka memikul beban sebesar dunia.
“Aku akan berada di kantorku seharian ini.” Perkataan Tuan Smith membuyarkan lamunanku. “Bisa kau telepon kembali pasangan yang tadi pagi kutendang keluar dari kantor? Walau aku tidak suka mereka, mereka sejauh ini mampu membayar dengan harga yang lebih tinggi.”
Aku mengangguk dan mengerjakan apa yang harus kukerjakan.

Pada malam harinya, aku menelepon Lily. Kami berbincang-bincang sebentar dan seperti yang Lily sudah ramalkan, bos tidak memberikannya izin cuti lagi. Aku tertawa mendengar keluhan Lily dan mengatakan bahwa dia tidaklah perlu mengunjungiku setiap akhir pekan. Lily menanyakan juga tentang Holly dan Nenek Loretta walau dengan nada kesal. Aku tidak mengerti kenapa dia benar-benar merasa marah hanya karena pesan Nenek Loretta yang menyuruhku pindah dari Langley Green. Itu bukanlah sama sekali urusannya, bukan? Padahal ketika aku menyatakan niatku untuk pindah ke kota ini, dia malah tidak mau aku pergi. Sekarang, kenapa berubah?
Pertanyaan itu kusampaikan pada Lily, tetapi ternyata dia sudah menutup teleponnya. Kuletakkan gagang telepon sambil menghela napas, terlalu lelah untuk berpikir bahwa aku mulai merasakan keanehan di sini. Aku mulai merasa tidak aman tinggal di Langley Green. Bukan karena di sini aku tinggal sendirian atau mendapat pekerjaan dengan gaji rendah, tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang berbahaya akan segera datang. Kenapa tiba-tiba aku mendapat firasat seperti ini? Apakah ini suatu pertanda?

Akhirnya, datang juga akhir pekan. Hari Sabtu pagi itu kuhabiskan hanya untuk duduk-duduk di beranda belakang rumah seperti yang sering kulakukan bersama saudara kembarku belasan tahun lalu. Tapi sayangnya walaupun pohon maple itu masih ada, aku belum merasakan betul-betul suasana seperti yang sering digambarkan di mimpi-mimpiku. Sekarang adalah musim panas dan aku sudah tidak sabar untuk hidup di musim gugur. Menurutku itu aneh karena kebanyakan orang suka dengan musim panas.
Tepat pada setengah sembilan pagi, Holly datang ke rumahku dan membuatku tersadar bahwa aku ada janji dengannya untuk menemaninya jalan-jalan bersama anak-anak Wargrave. Sebenarnya hari ini aku sedang tidak ingin tetapi karena aku sudah janji, aku sama sekali tidak bisa menolak.
Anak-anak Wargrave, Billy dan Jhonny, adalah saudara kembar yang berusia tujuh tahun. Mereka adalah anak-anak yang tidak mau diam dan terlalu energik sehingga aku terheran-heran bagaimana bisa Holly tetap sabar menghadapi mereka tanpa harus dipukul terlebih dahulu. Selain itu mereka juga banyak sekali bertanya.
“Jadi bagaimana rasanya tinggal di Langley Green?” Jhonny bertanya ketika kami berada dalam bus untuk menuju Crawley.
“Hm, disini cukup menyenangkan,” jawabku tidak terlalu antusias. Sebelum aku melanjutkan, Billy sudah keburu memotong.
“Apakah London adalah kota yang besar?”
“Kenapa kau pindah ke sini?”
“Kau lebih suka tinggal di London atau di sini?”
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak bisa kujawab karena mereka selalu memotong perkataanku. Aku yakin, perjalanan ini pasti tidak akan berakhir menyenangkan, setidaknya di pihakku.
Tidak banyak yang kami lakukan selain pergi ke sebuah taman bermain di Crawley. Holly bilang dia dimarahi oleh Tuan Wargrave minggu lalu karena membawa anak-anaknya bermain terlalu jauh, makanya hari ini dia hanya membawa mereka ke taman bermain ini. Aku bertanya apakah dia senang mengasuh mereka.
“Mau bagaimana lagi, Charlotte? Kuakui anak-anak ini menyebalkan dan mereka susah diatur. Mereka tidak pernah mendengar perkataanku untuk tidak berbicara dengan orang asing, maka daripada itu aku harus selalu pasang mata sebaik-baiknya terhadap mereka. Tuan Wargrave mengatakan bahwa anak-anak suka padaku walau aku tidak merasakan itu dari mereka, tetapi apa saja akan kulakukan untuk mendapat uang bagi hidupku dan juga Nenek Lorretta.” Dia menghela napas panjang sambil memperhatikan Billy dan Jhonny sibuk berkejaran ke sana kemari.
“Kudengar kau tidak meneruskan kuliahmu lagi?” tanyaku berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya. Yang menceritakan itu adalah Tuan Brawley ketika sesi acara makan siangku bersama Tuan Smith.
Holly memangdangku dengan tatapan bingung sebentar sebelum menjawab, “Nenek Loretta memintaku untuk berhenti.”
“Kenapa dia memintamu seperti itu?”
“Dia tidak mau ditinggal jauh olehku. Dia merasa kesepian, dan bla bla bla, omong kosong semacam itu. Nenek Loretta selalu mengatakannya lagi dan lagi. Aku benci untuk berhenti kuliah, tetapi orang tuaku juga menyetujuinya dan menyuruhku untuk mengurus nenek saja. Heran kan, kenapa ada orang tua seperti mereka? Biar kukatakan sekarang, tidak ada yang peduli padaku. Sama seperti Nenek Loretta yang juga tidak dipedulikan. Seharusnya dia dimasukkan ke panti jompo, tetapi aku melarangnya. Kami punya banyak kesamaan, sama-sama tidak diperdulikan.” Mata Holly menerawang jauh ke langit, sebelum mengalihkan lagi perhatiannya kepada anak-anak Wargrave.
Aku terdiam tidak tahu harus berbicara apa. Ingin rasanya juga bercerita tentang keluarga, tentang masa kecilku, serpihan-serpihan kenangan yang masih melekat di otakku. Ada waktu-waktu tertentu aku mengingat mereka, tetapi semuanya tentang memori masa kecil, aku sama sekali tidak ingat apa pun tentang masa-masa yang lainnya. Aku juga ingin berbicara tentang saudara kembarku, Erick, yang terpisah dariku belasan tahun lalu dan sampai sekarang aku belum tahu dimana dia berada. Holly mungkin orang yang tepat untukku membeberkan semua cerita yang selama ini masih kutahan untuk diriku sendiri. Tidak banyak yang tahu, bahkan Lily, tidak tahu semua ceritaku.
Jam tiga sore kami sudah kembali ke Langley Green. Setelah mengantar anak-anak Wargrave pulang, aku dan Holly kembali ke rumah masing-masing. Sesampainya di depan pintu, aku menyadari bahwa pintuku tidak terkunci! Sial! Aku sangat yakin aku sudah menguncinya tadi! Dengan perasaan panik aku segera masuk rumah, takut-takut kalau benda-benda berharga dalam rumahku dicuri. Di ruang tengah baru aku sadari, tidak ada barang-barang berharga di rumahku. Hampir semuanya adalah barang bekas yang masih layak pakai. Dan kusadari juga bahwa memang tidak ada yang hilang.
Setelah benar-benar memastikan tidak ada yang hilang dan semua benda berada di tepatnya yang tepat, aku duduk di sofa ruang tengah sambil berpikir. Mungkin aku sendiri yang lupa mengunci pintunya, atau memang tadi ada yang masuk ke dalam, tetapi karena tidak ada barang berharga yang dapat diambil, si pencuri ini pergi begitu saja. Tetapi semuanya berada di tempatnya yang tepat. Kalau seandainya ada pencuri yang masuk ke sini, pasti dia menggeledah semua ruangan untuk mencari benda berharga dan yang kutemukan di sini adalah, tidak ada yang tidak berada di tempatnya. Semuanya rapi sama seperti terakhir kali kutinggalkan.
Di tengah kebingungan itulah, aku melihat sebuah buku bersampul coklat usang yang agak tebal tergeletak di meja kecil di sebelah sofa yang kududuki. Dengan rasa penasaran, kuambil buku tersebut dan memperhatikan sampulnya yang usang. Sepertinya buku ini sudah berumur ratusan tahun. Ketika kubuka, sebuah kertas yang terselip jatuh di pangkuanku. Ada yang tertulis di situ:
Dear Charlotte,
Kami harap kau menyukai pemberian kami. Persiapkan dirimu! Perburuan ini akan segera dimulai.
Hanya itu yang tertulis yang tentu saja membuatku tambah bingung. Orang gila macam apa ini yang menulis beginian? Dan pertanyaan yang paling penting, kenapa ada orang yang mengirim ini kepadaku? Apakah ada seseorang yang ingin mengancamku? Cara seperti ini memang benar-benar payah dan memalukan! Kuremas-remas kertas tersebut dan membuangnya di tong sampah dapur.
 Awalnya aku ingin tidak memperdulikan buku bersampul coklat usang yang diberikan oleh orang aneh yang juga menulis surat aneh itu. Namun rasa penasaranku mengalahkan rasa ketidakpedulianku dan akhirnya kulihat juga isi buku itu. Halaman depannya kosong, begitu juga halaman-halaman seterusnya. Oke, ini benar-benar membuatku kesal. Tapi tunggu! Di halaman paling terakhir, terdapat tulisan, sebuah artikel mengenai sesuatu yang akhir-akhir ini banyak kudengar.
Amaranth,
Sejarah dan Cerita Rakyat
Amaranth berasal dari kata Amaranthos, yang berarti ‘unwithering’ karena bunga ini mempertahankan bentuk dan warnanya saat dikeringkan.
Amaranth merupakan sumber pokok untuk diet bagi bangsa pra-Columbus Aztek, yang percaya bahwa Amaranth memiliki kekuatan gaib dan dimasukkan dalam upacara keagamaan mereka. Sebelum penaklukan Spanyol tahun 1519, Amaranth  dikaitkan dengan pengorbanan manusia dan perempuan-perempuan Aztek membuat sebuah campuran dari biji Amaranth, madu atau darah manusia yang akan dimakan pada saat upacara penyembahan berhala.
Atribut Sihir
Salah satunya adalah bahwa Amaranth dihubung-hubungkan dengan keabadian, dan digunakan sebagai hiasan dewa dan dewi sama halnya juga terdapat dalam upacara pemakaman kaum Pagan.
Keabadian? Well, you know it. So you BETTER WATCH IT!
Untuk sesaat aku tertegun sebelum akhirnya aku merobek artikel yang ditulis tangan itu dan merobeknya lagi menjadi beberapa bagian dan membuangnya ke tong sampah dapur. Aku benci apabila ada orang yang mengancam dengan cara aneh seperti ini. Apa sebaiknya aku lapor polisi? Tidak, polisi tidak akan memperdulikannya dan menganggap itu hanya kerjaan orang iseng. Aku duduk lagi di sofa yang sama dan mencoba menenangkan diriku. Andai saja aku tahu siapa yang mengirimnya, sudah kujejalkan sobekan-sobekan kertas itu ke dalam mulutnya!
Tapi ketika aku mulai merasa tenang, aku pun mulai untuk berpikir. Nenek Loretta mengatakan (atau menuliskan) bahwa bau seorang perawan seperti bunga Amaranth, dan dia menyuruhku pergi dari Langley Green. Sekarang sebuah artikel tidak jelas memberitahuku Amaranth dihubungkan dengan keabadian. Jadi, apa maksudnya semua ini? Si penulis misterius ini menyuruhku untuk berhati-hati. Mungkinkah ada seseorang yang menggunakan darah perawan sebagai syarat agar hidup abadi? Pikiran itu begitu fantastis sehingga sulit untuk mempercayainya. Aku bahkan merasa pikiran itu konyol dan sejenak membuatku tersenyum kepada udara kosong. Semua ini sulit dipercaya, benar-benar sulit bagiku untuk terus melanjutkan pencarianku mengenai saudara kembarku di kota kelahiran kami ini.

Aku memikirkan keputusanku untuk mengikuti saran Nenek Loretta, untuk segera pergi dari kota ini. Mungkin ke Cardiff atau kembali ke London. Tetapi aku belum mau meninggalkan Langley Green. Aku merasa pada akhirnya aku akan menemukan apa yang kucari selama ini di kota ini. Dan aku yakin dengan firasatku itu.

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 5

Pada pagi hari Sabtu itu, aku sibuk di dapur dengan beberapa bahan untuk membuat English Muffin. Buku resep masakan lama yang kutemukan terpampang dihadapanku. Aku tidak tahu apakah aku akan mampu membuat English Muffin yang enak, tapi tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru daripada setiap pagi harus makan sereal dan sandwich. Bahan-bahannya sudah tersedia di atas meja dapurku yang terdiri dari susu, ragi kering, gula pasir, garam, dan lemak babi. Cara membuatnya adalah dengan menuang 225 mil susu dan 55 mil air ke dalam panci dan panaskan perlahan. Setelah panas, tuang ke dalam sebuah baskom kecil dan masukkan gula serta ragi. Aduk dan tinggalkan di tempat yang hangat selama 15 menit. Setelah itu...,
Pintu depanku diketuk seseorang. Terpaksa aku menghentikan pekerjaan memasakku, membuka celemek, dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Ternyata Holly yang mengetuk tadi. Dia menggunakan sweter merah jambu dan celana jins biasa serta sebuah sepatu sneaker usang. Hm..., mungkin dia baru akan berangkat untuk menjaga anak-anak keluarga Wargrave. “Hallo,” sapanya ceria, “Hari ini aku akan mengantar anak-anak Wargrave jalan-jalan naik kereta api. Kami akan naik bus ke Crawley dan menaiki kereta api ke kota terdekat. Mungkin akan menyenangkan bagi anak-anak itu apabila kami pergi ke suatu tempat yang baru. Apakah kau mau ikut?”
Sebenarnya aku ingin sekali menerima tawaran Holly, namun Lily akan datang sebentar lagi ke sini. “Maaf,” ujarku berusaha untuk terdengar benar-benar menyesal, “Tapi aku sudah ada janji dengan temanku dan dia akan datang ke sini sebentar lagi. Aku benar-benar tidak bisa ikut denganmu.”
“Oh,” Holly kelihatan betul-betul kecewa, “Tidak apa-apa. Bagaimana kalau minggu depan?”
Aku memikirkan tawaran itu untuk sesaat. “Baiklah. Mungkin aku bisa kalau minggu depan.”
Senyum terukir lagi di wajahnya. “Oke, lebih baik aku pergi sekarang. Namun sebelum aku pergi, aku ada satu berita untukmu. Kita punya tetangga baru lagi. Dia tinggal dua rumah dari rumahku. Namanya Steve, dan kukira dia seumuran denganmu. Selain itu dia lumayan ganteng.” Holly mengedipkan sebelah matanya kearahku. Entah untuk apa dia melakukan hal itu. Setelah mendeskripsikan lagi beberapa ciri fisik dari si tetangga baru, Holly pun pergi.
Aku menghela napas dan merasa geli sendiri karena merasa bahwa Holly ingin menjodohkanku dengan tetangga baru yang bernama Steve itu. Kulangkahkan lagi kakiku ke arah dapur dan memulai untuk memulai membuat English Muffin lagi.

Lily datang tepat seperti yang dikatakannya di telepon. Kami berpelukan dan aku merasa sudah lama sekali aku meninggalkan Lily di London, padahal aku baru saja berada di Langley Green selama delapan hari. Kami duduk-duduk di ruang tamu dan menceritakan kisah masing-masing. Lily menanyakan bagaimanakah rasanya tinggal di kota seperti Langley Green dan apakah aku sudah mendapatkan pekerjaan. Dia terlihat terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku menjadi seorang sekretaris di sebuah biro hukum kecil dengan seorang pengacara tua. Tetapi dia sama sekali tidak terkejut ketika kusebutkan berapa gaji yang kudapat dari pekerjaan itu, seakan-akan dia sudah bisa menebak sebelumnya.
“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang sebenarnya kau cari di kota ini, Charlotte?” tanya Lily pada akhirnya. Aku tahu pertanyaan ini bakalan keluar juga dari mulutnya.
English Muffin yang terletak di tengah meja sama sekali tidak kami makan. Aku sudah dapat menebak bahwa rasanya mengerikan, karena well, English Muffinku mutung. Sudah kuduga bahwa aku memang tidak berbakat dalam memasak. Kurasakan bahwa Lily mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke permukaan meja, tidak sabar menunggu jawaban. Dengan satu tarikan napas aku menjawab, “Sebenarnya aku sedang menggali masa laluku di sini.”
Lily mengangkat sebelah alisnya tanda tidak mengerti. “Apa maksudmu dengan menggali masa lalu? Tunggu! Apa jangan-jangan kau teringat sesuatu yang penting?”
Aku mengangguk dan berkata,”Aku mendapatkan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat aneh menurutku. Di dalam mimpi itu, aku selalu terbayang-bayang dengan kehidupanku ketika aku masih kecil dan tentang saudara kembarku, Erick. Yang jelas, mimpi itu seperti memperingatkanku kembali untuk mencari Erick dan buku harian masa kecilku yang kutemukan tambah memperjelas semuanya. Dari buku itu aku mendapatkan alamat rumahku yang dulu, yaitu di sini, di Langley Green. Dan disini jugalah aku mendapatkan cukup informasi mengenai keluargaku. Tetapi walau merasa sudah mendapat informasi, aku masih seperti mencari di dalam gelap, belum tahu apa sebenarnya yang kucari. Aku masih belum dapat menemui saudara kembarku.” Kupandangi wajah Lily yang merupakan campuran antara terkejut dan penasaran.
Keheningan merasuki percakapan kami. Tangan Lily bergerak untuk mengambil cangkir kopinya dan meminum cairan kental itu seteguk. “Aku tidak tahu harus bicara apa,” ujarnya pada akhirnya, “Apa saja yang telah kau kumpulkan mengenai saudara kembarmu itu?”
Aku membutuhkan waktu beberapa detik untuk menjawab, “Tidak banyak. Dia pindah ke Cardiff bersama ayah dan kakak perempuanku. Tetapi kemungkinan dia masih ada di sana sangatlah kecil.”
“Memangnya kau bisa mengenali saudara kembarmu lagi setelah belasan tahun tidak bertemu?”
“Entahlah, di dalam mimpiku aku sama sekali tidak melihat adanya kemiripan di antara kami, ya memang kami berbeda jenis kelamin, namun, damn! Ya, aku bakalan tidak akan mengenalinya lagi.” Itu memang benar. Tidak semua kembar harus memiliki wajah yang sama atau penampilan yang sama.
Lily mengangguk paham. Kemudian dia mengalihkan topik tentang sesuatu yang menurutku cukup aneh untuk didiskusikan. “Kau tahu tidak, bahwa ada suatu mitos yang mengatakan bahwa seorang perawan berbau seperti mawar?”
Topik ini benar-benar membuat dahiku berkerut tidak mengerti. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Kedengarannya aneh sekali. Lagian kenapa sih orang-orang suka sekali dengan mitos tidak jelas begitu? Memangnya siapa yang bilang bahwa perawan berbau seperti mawar?”
“Kau kan seorang perawan, Charlotte,” sindir Lily dengan kedipan mata jahil. Aku tidak ingat bagaimana kehidupan percintaanku sebelumnya, tetapi Lily bilang aku tidak pernah sampai ke tahap serius dan dengan blak-blakkan dia mengatakan bahwa aku masih perawan. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan hal ini, karena bagiku sekarang aku sedang berada dalam tahap pencarian yang lebih penting. Aku harus kembali mengetahui apa saja yang terjadi di masa laluku.
“Jadi kenapa?” aku berpura-pura kesal kepadanya, “Menjadi perawan bukanlah suatu dosa. Bukankah lebih bagus apabila kau benar-benar perawan sampai kau menikah?”
“Ya, ya, terserahlah,” Lily terkikik-kikik. “Maksudku, hati-hati saja. Ada sebuah cerita terkenal di Langley Green tentang seorang wanita yang dibakar hidup-hidup oleh suaminya sendiri karena ternyata dia adalah seorang tukang sihir. Kau tahu, dia banyak menculik gadis-gadis perawan untuk diambil darahnya supaya dia selalu tampak awet muda dan hidup lebih lama. Wanita tukang sihir dapat mengetahui seorang gadis itu masih perawan atau bukan melalui baunya. Seperti yang kukatakan tadi, para perawan berbau seperti mawar dan bau yang paling kuat adalah ketika seorang perawan sudah menginjak usia antara 25 sampai 30, darah para perawan berumur diantara itu adalah yang terbaik.”
Aku terbengong selama beberapa saat, berusaha mencerna semua perkataan Lily. Sampai akhirnya kesadaran menghantamku, “Itukan hanya mitos,” kataku percaya diri sekali. “Rasanya kisah itu juga pernah diceritakan oleh tetanggaku. Tapi dia tidak pernah menceritakan kisah mengenai mengambil darah gadis-gadis perawan itu.”
Lily hanya mengangkat bahu. “Ya sudah, aku tidak memaksamu untuk percaya. Sedikit cerita horor di hari yang sudah mulai siang ini. Ngomong-ngomong, kue muffinmu sama sekali tidak enak!” ejeknya sembari menunjuk kue muffin yang masih tidak tersentuh.
“Hei, aku membuatnya dengan susah payah tahu!” teriakku ke arah Lily yang berjalan ke arah dapur, lalu mengikutinya ke dapur juga.

Hari Minggu itu kuhabiskan dengan Lily dan kami menonton film dari pagi sampai sore disertai dengan bermangkuk-mangkuk es krim. Memang bukanlah suatu hal yang produktif, tetapi ini adalah hari malas dan kami bebas untuk mengekspresikan rasa malas kami. Lily telah melihat buku harian masa kecilku, merasa terharu dengan catatan-catatan masa laluku yang memang menyedihkan. Ketika dia menutup buku itu dia mengatakan, “Sebisa mungkin aku juga akan membantumu mencari Erick.”
Aku tersenyum kepadanya dan merasa amat sangat beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Lily.
Barulah pada malam harinya aku memperkenalkan Lily kepada Holly dan Nenek Loretta. Tak lupa buket bunga daisy yang telah kubeli baru kutujukan kepada Nenek Loretta. Holly mengundang kami berdua makan malam di rumahnya, tentu saja kami tidak bisa menolak ajakan itu. Aku berbisik kepada Lily bahwa Nenek Loretta itu bisu serta tidak bisa berbahasa isyarat. Kukatakan itu kepadanya hanya seperti merupakan suatu keharusan. Aku tidak mau dia menyinggung-nyinggung kenapa Nenek Loretta tidak berbicara sedari tadi di depan Holly. Gadis muda itu bisa sakit hati nanti, walau dia tidaklah memperlihatkannya.
Di meja makan, kami mulai untuk membangun percakapan. Awalnya terasa agak kikuk, karena Nenek Loretta terus saja memandangi aku dan Lily. Holly menanyakan kepada Lily bagaimana rasanya tinggal di London seumur hidupnya, dan Lily dengan senang hati menjawab pertanyaannya bahwa dia betah tinggal di ibukota kerajaan Inggris ini. Bahkan dia meminta Holly untuk ikut bersamanya melihat-lihat kota London. Holly dengan senang hati menerima tawaran itu dan mereka menetapkan kapan mereka bisa melaksanakan tur wisata mereka.
“Kalian berdua adalah gadis kota besar. Kalian berdua seumur hidup tinggal di London!” ketika Holly mengatakan ini, Lily memandang ke arahku, merasa kebingungan. Aku hanya mengangkat bahu dan menanyai Holly tentang mitos yang diceritakan oleh Lily tadi pagi.
“Benarkah wanita tukang sihir itu menculik para perawan untuk diambil darahnya sebagai obat awet muda dan umur panjang?” tanyaku kepada Holly yang membuat gadis itu mengerutkan kening.
“Aku tidak pernah diceritakan tentang bagian itu. Lily, darimana kau tahu cerita itu?” tanyanya balik ke arah Lily.
Lily tersenyum sekilas dan menampakkan sikap seorang guru yang sedang menjelaskan suatu pelajaran kepada muridnya. “Begini, saudari Holly. Dari buku kita bisa mendapat informasi yang berguna walau hanya sekedar mitos kota kecil. Namun, mempelajari mitos juga tidaklah salah. Mengenai bagian itu, memang tertulis di buku dan aku sudah membacanya, saudari Holly. Tukang sihir itu membedakan gadis perawan dan yang sudah atau tidak perawan lagi berdasarkan baunya. Para perawan berbau seperti mawar.”
Ketika Lily mengatakan kalimat terakhir, kulihat perubahan ekspresi di wajah Nenek Loretta. Senyumnya hilang sementara dahinya semakin berkerut. Dia mengambil secarik kertas dan pena dari saku, lalu mulai menulis sesuatu. Kami bertiga memperhatikan apa yang ditulis oleh Nenek Loretta. Setelah selesai, wanita tua itu memberikannya kepada Holly yang sekarang juga mengerutkan dahi.
“Ada apa Holly?” tanyaku, merasa tidak enak karena perubahan suasana yang terjadi.
“Tidak, hanya saja Lily salah menyebutkan sesuatu.” Holly mengalihkan pandangannya kepada Lily, “Para perawan tidak berbau seperti mawar, tetapi mereka berbau seperti bunga amaranth.”
“Jenis bunga apa itu?” tanyaku dan Lily dalam waktu yang bersamaan.
“Aku tidak begitu tahu,” jawab Holly sambil melirik Nenek Loretta. “Tetapi bagi para penyihir, bunga amaranth dianggap sebagai bunga keabadian. Mereka mengambil darah perawan-perawan untuk keabadian.”
“Di buku yang kubaca tertulis bunga mawar!” bantah Lily namun kemudian dia terlihat berpikir. “Mungkin kau ada benarnya. Sepertinya aku saja yang salah membaca.” Dia tersenyum kaku dan memandang ke arahku.
Aku tidak tahu apa maksud Lily, tapi pembicaraan ini sama sekali tidak penting. Maksudnya, untuk apa membicarakan apakah perawan berbau mawar atau amaranth? Itu semua hanya mitos, mitos yang masih berkembang di masyarakat. Aku berusaha untuk mengalihkan topik, “Bagaimana dengan tetangga barumu itu Holly?”
Ditanya begitu, muka Lily berubah lebih ceria. “Heh, kupikir kau sudah lupa dengan hal itu. Habisnya ketika aku menceritakannya tadi pagi kau kelihatan tidak begitu antusias. Kau masih ingat namanya?”
Sesungguhnya aku sama sekali tidak ingat.
“Namanya Steve, Steve Peddleton. Pindahan dari Essex. Aku rasa dia seorang dokter hewan, entahlah, aku belum berkenalan dengannya,” jawab Holly yang sepertinya bisa tahu bahwa aku sama sekali tidak ingat apa-apa.
“Seperti apa orangnya?” Lily ikut nimbrung, “Aku suka seorang dokter. Bagaimana kalau kita mengunjunginya besok Charlotte?”
“Aku pikir kau akan pulang ke London,” ujarku mengingatkan. Lily sendiri yang mengatakan bahwa dia akan pulang pagi-pagi sekali ke London. Pekerjaannya menumpuk di kantor dan semenjak aku berhenti, bos kami tidak berhenti marah-marah.
“Sebentar saja. Kau berkata begitu seperti kau ingin mengusirku saja!” sindir Lily dan kembali berbincang-bincang dengan Holly mengenai lelaki bernama Steve itu.
Aku menghela napas dan melirik ke arah Nenek Loretta yang tersenyum kepadaku. Senyuman Nenek Loretta bukanlah senyum yang manis, karena kulitnya yang sudah kendur itu membuatku serasa ingin menariknya. Kubalas senyum Nenek Loretta dan kembali mengalihkan perhatian kepada percakapan Holly dan Lily.
“Kau tahu, sudah berapa lama aku tidak melihat lelaki seganteng itu di sini? Di Langley Green semuanya dipenuhi dengan orang tua dan anak-anak bandel!” Holly terkikik-kikik bersama Lily. “Dan juga perempuannya? Aku pikir tidak ada yang menarik! Semuanya tidak menarik!”
Perempuan? Aku jadi teringat sesuatu. Aku menginterupsi pembicaraan mereka. “Heh, aku ingin menanyakan sesuatu,” mulaiku, “Ini tentang seorang perempuan. Seorang perempuan misterius yang memakai jubah hitam. Sepertinya baru awal tiga puluhan dan dia sangat cantik. Aku sudah dua kali didatangi olehnya, pertama ketika aku pulang dari rumahmu, Holly, dan yang kedua dia secara tiba-tiba muncul di tengah jalan. Aku hampir saja menabraknnya!”
Holly dan Lily terbengong mendengar perkataanku. Sementara itu Nenek Loretta nampak terkejut. Dia kembali menulis di atas kertas. Setelah selesai, dia memberikannya kepada Holly. Gadis itu mengambilnya dan mengangkat alis kepada neneknya seakan tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Nenek Loretta.
“Apa yang nenekmu tulis, Holly?” tanyaku tidak sabar. Apakah Nenek Loretta mengetahui sesuatu? Kalau tidak, pastilah ekspresinya tidak akan terlihat terkejut seperti itu.
Holly menatapku sebentar sebelum membaca apa yang ditulis neneknya. “Well, Nenek Loretta bilang bahwa kau harus menjauhi perempuan itu. Kau harus segera pergi dari Langley Green.”
“Kau bercanda!” yang mengucapkan ini dan membuat kami semua terkejut adalah Lily. “Kenapa tiba-tiba mengusir seperti ini!?”
“Kami tidak bermaksud mengusir!” ujar Holly yang merasa agak tersinggung. “Dengarkan dulu sampai aku selesai berbicara!”
Lily kembali tenang tapi wajahnya menunjukkan sikap permusuhan kepada Holly. Aku tidak tahu dengan perubahan suasana secepat ini karena rasanya baru beberapa menit lalu mereka berdua terlihat akrab. Sekarang aku merasa bahwa keakraban sebelumnya itu tidak pernah terjadi. “Oke, aku akan mendengarkan.”
Holly terlihat menggumamkan sesuatu sebentar sebelum memulai berkata lagi, “Nenekku tidak bermaksud mengusirmu, dia hanya memberikan nasihat. Akan ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang sangat buruk akan terjadi padamu Charlotte. Ada baiknya kau pergi dari sini, sebelum sesuatu yang buruk itu menimpamu.”
“Omong kosong,” gumam Lily, tapi masih cukup keras untuk didengar.
“Ini bukan omonganku, tetapi omongan Nenek Loretta.” Holly kembali menyantap makanannya. Dia memotong-motong daging untuk neneknya tersayang yang nampaknya masih memasang wajah aneh ke arahku.
Lily mencondongkan tubuhnya kepadaku dan berbisik, “Lebih baik kau tidak terlalu dekat dengan tetanggamu ini.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”

Dia mengangkat bahu dan kembali melanjutkan makan.

Rabu, 24 Februari 2016

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 4

Terdengar bunyi ketukan pintu di luar. Kuletakkan cangkir kopiku di meja dan setengah berlari dari dapur ke depan untuk membukakan pintu. Tampak Tuan Kensington berdiri di depan rumah. Aku menyilakan pria setengah baya itu masuk dan dia langsung duduk di sofa ruang tamu. “Anda membuat semua hal yang ada di rumah ini jadi berbeda,” ujarnya sembari melihat sekeliling ruang tamu. “Perabotan-perabotan ini terlihat bekas, Anda mengambilnya kembali dari dalam gudang?”
“Ya, begitulah.” Aku duduk di depannya, “Selama masih bisa dipakai, kenapa tidak?”
Tuan Kensington mengangguk-ngangguk dan memberitahukan maksud kedatangannya ke sini. “Saya sudah berbicara dengan Tuan Worthtington. Dia mengatakan bahwa nama keluargamu terdengar tidak asing baginya.”
“Tentu saja, banyak orang yang mempunyai nama belakang Harriot,” jawabku mencoba terdengar biasa saja. Aku tidak tahu apakah Tuan Worthtington akhirnya menyadari bahwa aku dulunya pemilik rumah ini yang asli.
Pria di depanku tersenyum kecil mendengarnya. “Maksud saya pemilik rumah sebelum dia juga mempunyai nama keluarga Harriot. Tuan Jonathan Harriot. Dia beserta keluarganya pindah ke Cardiff empat belas tahun lalu, tetapi istrinya lebih memilih untuk pindah ke London. Sepengetahuan Tuan Worthtington, keluarga itu memang tidak pernah akur. Tuan dan Nyonya Harriot berperilaku tidak seperti sepasang suami istri. Seharusnya mereka bercerai saja sedari dulu, tetapi mereka masih memikirkan tentang kepentingan anak-anak. Tuan Worhtington juga mendengar bahwa pasangan itu mempunyai tiga anak, dan dia mendengar lagi bahwa salah satu dari anak mereka ikut Nyonya Harriot ke London. Sayangnya wanita itu meninggal enam tahun yang lalu, dan tidak ada sama sekali informasi mengenai anak yang dibawanya ke London itu.”
Semua yang diceritakan oleh Tuan Kensington membuatku terdiam. Bisa kurasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat dan otakku bisa meledak kapan saja. Informasi ini terlalu banyak. Jadi begitukah yang terjadi? Benarkah bahwa aku terpisah dari Erick, saudara kembarku? Sekarang dia berada di Cardiff, tetapi apakah dia juga ingat kepadaku? Cuma ingatan tentang Erick dan rumah masa laluku yang benar-benar masih melekat kuat dalam ingatanku. Lily tidak pernah mengatakan bahwa ibuku sudah meninggal. kalau dia mengatakan lebih awal, mungkin aku bisa mengucapkan sepatah dua kata pada kuburannya.
“Nona Charlotte, apakah Anda baik-baik saja?” suara khawatir Tuan Kensington menyadarkanku bahwa sedari tadi aku hanya diam sambil menunduk dalam-dalam.
Aku mengangguk dan merasakan air mataku akan jatuh. Hei, kenapa aku menangis? Apa yang harus kutangiskan? Dengan susah payah kutahan air mataku supaya Tuan Kensington tidak melihatnya. “A, aku baik-baik saja Tuan Kensington. Apakah Anda tahu nama anak-anak mereka?”
Dia menggeleng. “Sayangnya tidak. Mr. Worthtington juga tidak tahu. Kenapa kau ingin tahu tentang mereka?”
“Ah, tidak. Hanya ingin tahu saja,” jawabku berbohong. Kupaksakan senyum dihadapan Tuan Kensington dan dia membalas senyumku walau di matanya masih tampak keheranan.
Kami berbincang-bincang untuk setengah jam ke depan tentang Langley Green. Aku bermaksud untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris di kantor pengacara setempat, Smith & Bailey, dan Tuan Bailey telah menjadwalkan interview besok pagi pukul sembilan di kantornya. Akhirnya Tuan Kensington pamit pulang dan mengatakan semoga berhasil untuk interviewku besok.
Suara bunyi telepon menganggu sarapanku. Aku berdecak kesal karena acara makan pagiku sudah dua kali terganggu, tetapi aku beranjak juga ke ruang tengah untuk mengangkat telepon. “Halo,” sapaku, berusaha terdengar kesal kepada siapa pun yang menelepon.
“Halo Charlotte!” suara ceria Lily menggema di kupingku, “Suaramu tidak biasa pagi ini. Oh, apakah aku terlalu pagi untuk menelepon?”
Aku tertawa mendengar suara khawatir Lily yang dibuat-buat. Sejujurnya jam sembilan pagi sudah cukup siang bagiku. “Maafkan aku Lily. Ya, kau terlalu pagi. Buat orang sepertimu jam sembilan  memang terlalu pagi.”
“Jadi kau berpikir bahwa aku adalah tipe orang yang menghabiskan waktu untuk tidur sampai siang?” dia bertanya dengan nada marah yang tidak serius.
Suara marah palsu Lily membuatku tertawa lagi. “Oke, oke, aku hanya bercanda. Tetapi sekarang serius, kenapa kau meneleponku sepagi ini?”
“Masa kau lupa? Aku mengirim pesan kepadamu kemarin malam. Akhir pekan ini aku akan datang ke Langley Green. Aku sudah dapat cuti dari atasanku dan aku akan berada di sana Sabtu pagi, mungkin sekitar jam sembilan atau sepuluh. Akan kulihat bagaimana kehidupanmu di sana dan apa yang membuatmu benar-benar ngotot untuk pindah ke sana.” Lily menaikkan suaranya pada kalimat terakhir, dan entah kenapa aku merasa dia memelototkan matanya ketika mengucapkan kalimat terakhir itu.
“Oh, baiklah Lily. Sampai ketemu Sabtu nanti!” kataku dan menutup telepon. Aku kembali lagi ke meja sarapan dan berharap tidak ada yang menganggu lagi makan pagiku kali ini. Sambil memakan serealku, aku memikirkan tentang membuat sesuatu yang agak berbeda ketika Lily datang nanti. Biasanya aku sarapan dengan roti bagel atau sereal dan sandwich. Mungkin aku bisa membuat English Muffin untuk Sabtu nanti. Kalau tidak salah aku menemukan resep itu kemarin ketika membereskan lemari dapur bekas.

Tuan Bailey bisa dibilang sebagai orang yang paling bosan tinggal di Langley Green. Dia sudah menghabiskan 26 tahun hidupnya dengan membuka praktek pengacara di sini, meneruskan pekerjaan ayahnya, Smith yang meninggal karena kanker otak. Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini selain mengurusi perceraian, pembagian harta warisan yang tidak seberapa dan tetek bengek kecil lainnya. Sekretaris lamanya, Nona Emma, pulang ke kampung halamannya beberapa hari lalu, jadi terpaksalah Tuan Bailey membuka lowongan untuk mencari sekretaris baru.
Dari pertama melihatku, bisa kusimpulkan bahwa dia tidak terlalu suka padaku. Tetapi kelihatannya Tuan Bailey memang tidak suka dengan  semua orang. Dia terperangkap di sini, tinggal berdua saja bersama istrinya yang invalid, menghabiskan waktu di kantor kecil dan mengurusi hal yang menurutnya melecehkan gelar hukumnya. Sudah jelaslah bahwa dia berangan-angan untuk pindah dari sini, ke kota besar, dia bisa mulai di Crawley atau kota lainnya. Membuka praktek pengacara di sana, berusaha sedikit demi sedikit untuk mendapat dana yang cukup untuk menyewa gedung yang lebih besar di kota yang lebih besar juga, London mungkin? Yang jelas, kenyataan membawanya masih tetap berada di Langley Green.
Kata Pak Tua itu, aku sudah bisa bekerja mulai Senin depan. Pekerjaannya juga tidak terlalu repot, hanya mengetik surat-surat dan dokumen-dokumen, menyusun jadwal pertemuan, mengangkat telepon, serta melayani para tamu yang datang ke sini dengan ramah. Tuan Bailey tidak bisa memberi gaji tinggi, mengingat ini hanyalah sebuah biro hukum kecil. Namun uang tidak sepenuhnya menjadi masalah buatku. Aku datang ke Langley Green untuk mengorek informasi mengenai masa laluku dan juga saudara kembarku. Setelah aku memikirkan hal itu dengan lebih mendalam, aku baru sadar aku belum melakukan apa-apa untuk semua itu.
Mimpi-mimpi aneh yang kudapatkan, sekarang sudah tidak pernah kudapatkan lagi semenjak aku menginjakkan kaki di Langley Green. Kuhempaskan badanku ke sofa butut di ruang tengah, dan segera menyadari bahwa aku bisa saja merusak sofa ini kalau aku melakukan hal itu lebih dari sekali. Kembali aku memikirkan tentang mimpi-mimpiku dan juga saudara kembarku, Erick. Barulah aku teringat dengan perkataan Tuan Kensington, bahwa pemilik rumah sebelum Tuan Worthington alias ayahku, memboyong seorang anak lelaki ke Cardiff. Bisa saja itu Erick! Ayah membawa Erick dan kakak perempuanku ke kota pelabuhan itu, sedangkan aku harus menjalani hidup yang tidak menyenangkan di London bersama ibu. Itu kendengaran sangat tidak adil.
Apakah aku harus pergi ke Cardiff untuk mencari Erick? Tapi Cardiff kota besar dan jaraknya jauh dari Langley Green. Aku tidak mungkin akan langsung menemukan Erick di sana, selain itu aku sama sekali tidak tahu bagaimana tampang Erick sekarang. Selama ini yang kulihat di mimpiku adalah tampang Erick ketika dia masih kecil. Dan kemungkinan lain yang tambah menyurutkan keinginanku untuk pergi ke Cardiff adalah mungkin saja Erick telah pindah dari sana. Siapa tahu saja ada sesuatu yang membuatnya pindah dan aku tidak tahu kemana. Aku benar-benar tidak punya sedikit pun petunjuk untuk mencari keberadaan saudara kembarku itu, satu-satunya keluargaku yang masih kuingat sampai sekarang.

Jumat pagi itu kuputuskan untuk berbelanja ke pasar terdekat. Setelah mendapatkan semua yang kubutuhkan, aku memutuskan mampir ke toko bunga untuk membeli bunga yang akan kuberikan pada Nenek Loretta sebagai ucapan terima kasih karena telah mengundangku makan malam dua hari lalu. Aku dengar dari Holly bahwa Nenek Loretta sangat menyukai bunga Daisy, bunga yang melambangkan bulan kelahirannya, April. Kubawa semua belanjaanku dan kumasukkan ke bagasi mobil. Buket bunga daisy itu kutaruh di bangku penumpang dan akan segera kuberikan kepada Nenek Loretta. Perjalanan dari rumah ke pasar sebenarnya bisa ditempuh dengan 20 menit jalan kaki, namun aku sedang tidak niat untuk berjalan-jalan sendiri.
Mobilku kujalankan dengan santai menyusuri jalan utama Langley Green. Sesuatu berkelebat dengan cepat, dan itu membuatku terpaksa mengerem mendadak, membuat buket bunga daisyku jatuh dan kepalaku hampir menabrak setir seandainya aku tidak pakai sabuk pengaman. Kulihat dari kaca mobil, wanita berjubah hitam yang sama seperti yang kulihat dua malam lalu.  
Shit!” umpatku keras-keras, merasa benar-benar jengkel dengan wanita sok misterius dan aneh yang berdiri dengan enteng di depan mobilku. Dengan cepat aku keluar dari mobil dan menghampiri wanita itu. Anehnya, dia tersenyum kepadaku, bukan senyum yang ramah, tetapi lebih mirip sebuah seringaian licik. “Kau,” aku menunjuk ke arahnya dengan geram, “Kau hampir saja tertabrak tahu! Apa yang kau lakukan tiba-tiba datang menghalangi jalan!?”
Dia tersenyum licik lagi sebelum menjawab, “Aku datang karena aku ingin melihatmu. Kau yang akan jadi berikutnya.”
Aku mengernyitkan keningku merasa sangat aneh dengan perkataannya. Mungkinkah wanita ini gila? Atau dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur? Dari tampangnya dia memang terlihat sangat cantik, wanita tercantik yang pernah kulihat. Dia bisa jadi model atau bintang film atau apa saja, tetapi aku merasakan bahwa ada aura jahat yang mengelilingi wanita di depanku ini, dan aku tidak suka itu. “Aku tidak mau ambil pusing dengan perkataanmu. Tolong segera menyingkir dari tengah jalan supaya aku dapat mengendarai mobil dengan tenang!” perintahku kepadanya dengan kasar. Sudah kubilang kan aku tidak suka wanita ini.
“Kau akan menyesal berkata begitu!” ujarnya dan dia berjalan ke pinggir. Wanita itu masih menatap ke arahku walau aku sudah berada di dalam mobil. Kujalankan mobilku dengan pelan dan aku sempat melirik sebentar wanita itu dari kaca penumpang. Benar-benar wanita yang aneh!

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 3

Pagi telah menjelang.
Aku tahu bahwa aku hampir-hampir tidak tidur semalamam. Aku berhenti sekali-sekali untuk istirahat sebentar di dalam mobil. Namun tidak sampai setengah jam, aku terbangun lagi. Sekitar jam tiga pagi, aku menemukan sebuah bar 24 jam dan memutuskan untuk masuk ke dalam sana. Bar itu tampak sepi, tidak ada seorang pun kecuali si penjaga counter yang merupakan seorang lelaki jangkung yang tertidur pulas.  Keadaan bar itu tidaklah terlalu buruk bagiku, tetapi aku merasa sedikit ragu untuk membangunkan lelaki jangkung itu. Aku mengambil tempat duduk di depan sang penjaga counter dan tanpa disangka-sangka lelaki itu terbangun.
“Oh, ya ampun, maaf. Aku tidak bermaksud menganggu tidurmu,” ujarku sopan kepada lelaki jangkung yang sedang mengucek-ngucek matanya.
“Eh, tidak apa-apa Nona.” Dari suaranya terdengar sekali bahwa dia masih sangat mengantuk. “Pelanggan terakhirku baru saja pergi 15 menit yang lalu dan dia sepenuhnya mabuk. Aku tidak yakin dia bakalan bisa mengemudi mobil truknya itu dengan selamat. Apa yang bisa kubuatkan untukmu Nona?” si lelaki jangkung tersenyum ramah. Sepertinya dia tidaklah seburuk penampilannya terkesan seperti gelandangan.
Sudah jam tiga pagi dan aku tidak mau untuk meminum minuman beralkohol saat ini. Sejujurnya aku sendiri pun bingung kenapa aku  masuk ke dalam bar ini. Aku seharusnya berada di dalam mobil sekarang, mengemudi secepatnya untuk sampai ke Langley Green. Dan aku sudah menghabiskan enam botol air putih dan tiga kaleng soda di sepanjang perjalanan.
“Mungkin kau bisa istirahat sebentar di sini, sampai pagi menjelang.” Si lelaki jangkung berkata tiba-tiba. “Kau membangunkanku ketika aku baru saja akan tertidur pulas dan aku benar-benar masih sangat mengantuk Nona. Pekerjaan 24 jam itu menyebalkan, tapi tidak ada yang lain yang bisa kulakukan. Bar ini sebenarnya tidak buka selama 24 jam, ketika kurasakan bahwa tidak akan ada lagi pelanggan yang datang, aku akan menutupnya. Aku biasa menutupnya sekitar pukul setengah empat pagi, tapi Nona aku sama sekali tidak keberatan apabila kau mau menghabiskan waktumu sampai pagi di sini. Bangunkan saja aku kalau kau perlu apa-apa.”
Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa dia boleh tidur kembali. Kuputuskan untuk berpindah tempat ke salah satu meja dan mengeluarkan buku harian masa kecilku. Entah kenapa aku merasa sangat tertarik dengan semua kejadian yang telah terjadi di waktuku kecil. Ini seperti kembali mengeluarkan memori yang sudah tersimpan lama, dan kudapati bahwa tidak ada buruknya juga aku menguatkan niatku untuk kembali ke Langley Green.
Paginya, sekitar pukul tujuh, aku berpamitan kepada Mark, si lelaki jangkung penjaga counter itu, dan memberinya tip karena sudah memperbolehkan aku menghabiskan waktu sampai pagi di barnya. Awalnya dia menolak karena aku sama sekali tidak memesan apa-apa, tetapi aku memaksanya untuk mau menerima tip yang kuberikan sebagai ucapan terima kasih.
Langley Green sudah hampir dekat. Aku bisa merasakannya dan mulai mengenali setiap inci jalan yang kulalui. Tidak salah lagi, aku kenal dengan lingkungan ini. Ini lingkungan rumahku. Aku mungkin amnesia, tetapi kenangan akan rumah masa kecilku masih sesegar seperti aku baru saja meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Tidak ada yang berbeda kecuali papan yang bertuliskan ‘dijual’ tertancap di halaman depan. Ada seorang pria setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sebelah papan itu sedang memperhatikan keseluruhan bentuk depan rumah. Segera ku keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Maaf,” sapaku kepada lelaki bertubuh gemuk tersebut. Dia membalikkan badannya dengan cepat dan memandangku heran.
“Ya?” katanya, “Ada perlu apa Anda ke sini?”
“Betulkah rumah ini dijual?” aku menunjuk ke papan di sebelahnya. “Kenapa rumah ini dijual? Siapa pemiliknya terdahulu?”
“Benar sekali Nona, rumah ini akan dijual oleh pemiliknya. Pemilik terdahulunya adalah Mr. Worthtington. Dia baru saja pindah tadi pagi beserta keluarganya ke Brighton dan aku ditugaskan untuk menjual rumah ini. Bagaimanakah Nona? Apa Anda tertarik untuk membelinya? Sesungguhnya saya akan mendapat untung lebih apabila saya dapat menjualnya secepat mungkin.”
Aku melihat ke arah lelaki paruh baya itu sebentar sebelum perhatianku kembali tertuju kepada rumah masa kecilku. Aku akan menemukan sesuatu di sini, aku yakin. “Ya, aku berminat membelinya. Aku bahkan sudah berniat untuk pindah sekarang ke sini. Berapa harga yang kau tawarkan?”
Pria itu tampak terkejut dengan perkataanku yang tidak terduga ini. “Tetapi apa Anda yakin? Maksud saya Anda bisa melihat dulu isi dalam rumah. Anda tidak mau membeli rumah hanya dari bentuk luarnya saja kan? Apalagi Anda memutuskan untuk segera pindah ke sini. Bagaimana bisa? Memang masih ada beberapa perabotan lama yang tertinggal di rumah ini. Selebihnya Andalah yang harus mengisinya Nona!”
“Bicara apa kau ini? Cepat sebutkan saja berapa harganya!”
Setelah menyelesaikan urusan pembelian rumah, aku akhirnya ditetapkan sebagai pemilik rumah ini yang baru. Kuletakkan tas-tas dan koper berisi segala perlengkapanku ke dalam rumah dan merasakan hembusan kuat memori lama yang tiba-tiba menerpa otakku. Aku senang dengan sensasi ini, kuteliti semua sudut rumah, merasakan betul bagaimana letak semua benda-benda di dalam rumah ini ketika aku masih kecil. Memang rumah ini terlihat lenggang dan lebih luas karena minimnya perabot, tapi itu bisa dipikirkan nanti. Aku segera naik ke lantai atas, tempat dimana kamarku berada. Kubuka pintu dan sensasi memori lama itu benar-benar mengetarkanku. Aku terdiam sebentar dan akhirnya memperlihatkan senyum lebarku. Dalam ingatanku, aku bisa membayangkan beginilah kamarku ketika aku masih kecil dulu. Ada papan pengingat tergantung di dinding, karakter-karakter kartun Disney yang juga meramaikan dinding kamarku. Serta gambar-gambar yang kubuat sendiri ditempel di berbagai perabotan seperti lemari dan meja belajar. Tapi itu semua hanyalah dalam khayalanku saja. Kamar ini hanyalah sebuah kamar kosong dengan sebuah tempat tidur dan cermin berbentuk oval tergantung di salah satu dinding.   
Aku kembali memeriksa kamar-kamar yang lain. Kamar di sebelahku, entah darimana aku tahu, tapi firasatku mengatakan bahwa ini dulunya adalah kamar Erick. Memang tidak ada satu benda pun yang dapat menggambarkan bahwa ini kamar Erick, tapi aku tahu bahwa ini pernah menjadi kamarnya. Kutinggalkan kamar Erick dan aku kembali ke ruang depan di mana tas-tas dan koperku kuletakkan. Tidak ada furniture di ruangan ini, jadi aku memutuskan untuk memeriksa ke belakang rumah. Aku masih ingat betul dengan beranda yang kerap kali menemani mimpiku ketika aku berada di rumah sakit. Dan sekarang di sinilah aku berada, terima kasih sekali kepada Mr. Worthtington dan keluarganya yang sama sekali tidak merusak pemandangan belakang rumahku. Yap, pohon-pohon maple itu masih ada di sana.
Sayang sekali sekarang bukanlah musim gugur. Aku ingin melihat pohon-pohon maple mengugurkan daunnya. Kuingat sekali lagi bagaimana mimpi-mimpiku itu. Dua orang anak, berdiri di beranda rumah, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Aku benar-benar yakin bahwa dua anak itu adalah aku dan Erick. Tidak salah lagi, ini adalah rumah kami dan yang perlu kutahu sekarang, apa yang sampai menyebabkan Erick pergi meninggalkanku.

Seperti yang sering sekali dibilang oleh orang-orang, waktu cepat berlalu. Apalagi kalau kau sedang melakukan atau sedang berada di suatu tempat yang menurutmu sangat menyenangkan. Dan begitulah keadaanku sekarang. Aku benar-benar senang bisa kembali lagi ke rumah yang penuh dengan kenangan ini. Kemarin aku sudah berhasil mengangkut beberapa perabotan lama dari gudang. Aku merasa nyaman dengan semua perabotan usang ini. Ada beberapa remaja yang sedang menikmati liburan musim panas mereka, jadi aku membayar mereka untuk membantuku membawa semua perabotan dari gudang, membersihkannya, dan menatanya ulang kembali.
Seharian kami mengerjakan pekerjaan yang melelahkan itu, dan aku sangat menyukai anak-anak yang membantuku karena mereka tidak banyak mengeluh. Sekarang aku berada di ruang tengah sembari membaca koran lokal. Sofa yang kududuki terasa keras dan aku yakin aku tidak mau duduk terlalu lama di atasnya. Mungkin aku perlu membeli televisi, atau mengambil televisiku di rumahku yang lama. Setelah tidak menemukan berita menarik di koran, aku mengambil telepon selularku dan menelepon Lily.
“Coba tebak,” kataku ceria ketika dia mengangkat telepon.
“Aku sama sekali tidak punya ide,” jawabnya cepat.
“Cepat sekali kau menyerah,” ejekku sembari menjulurkan lidah walau kutahu Lily tidak akan mungkin bisa melihatnya.
“Hmmm...,” Lily terdengar sedang berpikir sebelum akhirnya menghela napas menyerah.
“Begini,” aku menahan napas dan menghitung sampai tiga, “aku sudah pindah ke rumah masa kecilku.”
Awalnya Lily tidak merespon, tapi kemudian terdengar suara teriakan, “Jadi kau benar-benar pindah ke sana!?”
Nada tinggi antara marah dan terkejut yang keluar dari mulut Lily membuatku tertawa geli. “Berhentilah berteriak begitu. Aku tidak meninggalkan Inggris raya yang tercinta ini. Aku hanya pindah ke kota yang agak jauh dari London.”
“Tapi tetap saja kau pergi meninggalkan semua teman dan pekerjaanmu di sini.” Suara Lily mulai tenang kembali. “Bagaimana bisa kau melakukan semua ini? Kau baru saja keluar dari rumah sakit dan kau berhenti bekerja. Bagaimana kau bisa bertahan hidup di kota kecil seperti Langley Green?”
“Aku kan bisa mencari pekerjaan. Jadi kasir misalnya? Atau mungkin pelayan kafe?” jawabku walau dalam hati aku tidak begitu yakin gaji yang akan kuterima bakalan sebesar gajiku dulu.
Hening sebentar sebelum Lily mulai berteriak lagi, “Hah!? Kau bercanda ya!? Kau meninggalkan pekerjaanmu sebagai kepala editor majalah dan menggantikannya sebagai kasir? Yang benar saja!”
“Eh, ya, yang benar saja!” aku mengikuti nada suaranya. “Memang gajiku tidak akan sebesar dulu, tetapi hei! Ini kota kecil! Apa yang kau harapkan?”
Lily hanya terdiam saja dan akhirnya menutup telepon secara sepihak. Aku tidak tahu kenapa dia melakukannya, mungkin hanya karena kesal kepadaku. Kuletakkan kembali gagang telepon dan berjalan ke dapur untuk sarapan. Baru saja aku mengoleskan selai ke atas rotiku, terdengar bunyi pintu diketok oleh seseorang. Kuletakkan dulu rotiku dan bergegas ke depan untuk menyambut tamu pertamaku di kota ini.
“Hallo,” sapa seorang wanita muda bertubuh kerdil dengan ramahnya.
“Well, hallo,” sapaku balik dan mengerutkan kening, “Aku rasa aku sama sekali tidak mengenali Anda. Siapa Anda?”
“Ya ampun, maaf!” wanita muda itu membungkukkan badan sedikit. “Namaku Holly. Aku tinggal di sebelah rumahmu. Kudengar dari Tuan Kensington bahwa Andalah pemilik baru dari rumah ini.”
Kensington adalah lelaki paruh baya yang menjual rumah ini kepadaku. “Betul sekali, Nona Holly. Nama saya Charlotte.”
Dia tersenyum kembali dengan ramahnya. “Aku tahu siapa namamu. Tuan Kensington memberitahuku kemarin. Dan aku beserta nenekku sangat senang dengan adanya tetangga baru. Maka daripada itu nenekku meminta kesediaan Anda agar dapat makan malam bersama kami di rumah kami malam ini.”
Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan menampilkan senyum ramah juga. “Tentu saja. Aku akan sangat senang sekali.”
“Terima kasih.” Holly membungkukkan badannya lagi dan berjalan pergi.
Setelah kututup pintu, aku kembali ke dapur untuk menikmati sarapan rotiku. Aku merasa cukup senang karena mendapat tetangga yang baik dan bahkan mereka mengundangku makan malam. Sepertinya wanita bernama Holly itu umurnya tidak terlalu jauh dariku, mungkin saja kami bisa jadi teman akrab.

Malam harinya, aku memenuhi janjiku untuk pergi ke rumah tetanggaku. Sesampainya di sana, aku disambut oleh Holly sendiri dan dia mempersilahkanku masuk. Dia kemudian menggiringku langsung ke ruang makan yang mana telah menunggu neneknya Holly. Wanita tua itu sedang duduk di kursi rodanya, memandangku sambil tersenyum. Kulit wajahnya telah mengendur dan terdapat bercak-bercak kecoklatan. Kuperkirakan umurnya sudah mendekati 80 tahunan.
“Ini nenekku. Namanya Loretta,” ujar Holly sambil mengelus pundak neneknya pelan. “Nek, ini adalah tetangga baru kita, namanya Charlotte.”
Nenek Loretta hanya tersenyum saja, membuatku agak sedikit bingung. Holly nampaknya menyadari itu dan dia menggiringku ke ruang tengah. “Ada apa?” tanyaku yang merasa heran dengan sikapnya.
“Maafkan aku karena tidak memberitahukan hal ini terlebih dahulu.” Dari air mukanya dia terlihat benar-benar menyesal. “Nenekku itu..., dia bisu, sejak lahir. Dan dia sama sekali tidak bisa berbahasa isyarat. Semua keinginannya selalu dia tulis di kertas.”
“Oh...,” aku tidak tahu harus berkata apa. “Ya, aneh juga kenapa dia tidak berbicara sedari tadi.”
“Ya begitulah.” Holly menggiringku lagi ke ruang makan. Dan kami pun mulai makan malam bersama.
Nenek Loretta sepanjang makan malam menatapku terus sambil tersenyum. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan hal itu. Bukan berarti aku tidak menyukai wanita tua malang tersebut, tetapi melihat dia tersenyum terus kepadaku hampir tiap menit, membuatku merasa sedikit ngeri juga. Melihat situasi makan malam yang kurang nyaman ini, Holly mencoba membuka pembicaraan denganku. “Jadi, kau pindah dari London?”
Aku mengangguk dan dalam hati bersyukur juga dengan dimulainya pembicaraan ini. “Ya, begitulah,” jawabku pendek.
“Kenapa kau pindah ke sini? Ini kota kecil, tidak banyak yang bisa dilakukan,” kata Holly yang sepertinya penasaran sekali.
Aku terdiam sejenak sembari meletakkan sendok dan garpu di piring. Haruskah kukatakan bahwa aku ke sini karena ingin sekali mengetahui tentang apa saja yang terjadi ketika ku masih kecil? Aku bahkan tidak yakin bahwa Holly tahu bahwa sebelum Mr. Worthtington keluargakulah yang menempati rumah itu. Setelah sadar bahwa aku terlalu lama berpikir, akhirnya aku menjawab, “Tidak ada yang khusus sebenarnya. Aku sudah mulai bosan dengan suasana London dan berpikir mungkin tinggal di kota kecil seperti Langley Green akan menyenangkan. Aku tinggal di London seumur hidupku.” Oke, itu semua adalah satu kebohongan besar.
Holly kelihatan lebih tertarik lagi ketika aku mengatakan tentang London. “Benarkah? Dari dulu aku ingin sekali bisa mengunjungi London. Dulu aku tinggal di Portsmouth, tetapi aku lahir di sini, di Langley Green. Aku merasa nyaman di sini, jadi ketika aku lulus SMA, aku memutuskan untuk pindah ke sini bersama Nenek Loretta. Kasihan nenek, tidak ada yang mengurusnya di sini.”
“Wow, kau gadis yang sangat baik hati. Apakah orang tuamu masih tinggal di Portsmouth?” sekarang giliranku yang bertanya kepadanya.
“Yap, mereka punya pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan di sana. Tapi mereka akan berkunjung ke sini tiap Natal.”
Kemudian keheningan mulai menyergap lagi. Baik aku, Holly dan Nenek Loretta telah selesai makan malam. Holly mengatakan bahwa dia akan mengantar neneknya dulu ke atas sebelum membereskan meja makan. Sementara aku masih terduduk di kursiku sambil mengambil telepon genggam dari saku dan mendapati pesan singkat dari Lily.
Hei, mungkin akhir pekan ini aku bisa menemuimu di Langley Green.
Aku mengerutkan kening. Heh, Lily akan mengunjungiku di Langley Green? Kupikir dia marah kepadaku karena aku memutuskan untuk pindah ke sini. Aku membalas pesan Lily dan melihat Holly menuruni tangga lalu mulai membereskan piring-piring dan gelas makan malam kami. Merasa ikut bertanggung jawab, aku pun membantunya mengangkut peralatan makan kotor itu ke bak cucian. Setelah selesai membereskan meja, Holly mengajakku ke ruang tengah.
“Hei, berapa umurmu? Rasanya kita tidak terlalu jauh berbeda ya?” mulainya ketika kami sudah duduk di ruang tengah dengan TV yang menyala.
“Tiga bulan lagi aku akan berumur 26 tahun,” jawabku dan melemparkan pertanyaan yang sama kepadanya.
“Bulan lalu aku baru masuk 21 tahun,” jawabnya ceria. “Mungkin kita bisa jadi teman. Tidak banyak yang bisa dijadikan teman di sini. Terkadang hidup di sini bisa sangat membosankan. Tapi aku akan terus bertahan untuk nenek.”
Aku memandangnya lekat-lekat. Merasa sangat tertarik dengan Holly. Dia sangat baik dan sopan. Jarang sekali ada gadis muda seperti dia di jaman sekarang ini. “Kau benar-benar sayang dengan nenekmu ya? Apakah itu semua karena dia, bisu dan lumpuh?” aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan cukup pelan dan bernada simpati.
Wajah Holly seketika berubah suram. Hal itu membuatku jadi merasa bersalah karena berkata yang tidak-tidak tentangnya. “Mungkin sebagian,” ujar Holly yang membuatku menaikkan sebelah alis mataku. “Mungkin sebagian dariku memang merasa kasihan. Selama tiga tahun di sini, nenek hampir tidak bisa apa-apa. Wanita yang dulu bekerja untuk merawat nenek sangat tidak telaten dan dia meninggalkan nenek begitu saja. Maka daripada itulah aku yang merawat nenek karena aku tahu tidak akan ada yang mau bersusah-susah untuk merawat orang tua. Kau tinggal memasukkannya ke panti jompo dan akan mengambilnya kembali ketika dia sudah meninggal. Hell yeah, terdengar kejam bukan? Aku menyanyangi nenek karena ku masih ingat sewaktu ku kecil, neneklah yang benar-benar memperhatikanku. Sekarang, giliranku yang memperhatikannya. Bisa dibilang ini hubungan timbal balik, tetapi kami saling menyanyangi, dan itu sudah cukup untuk terus membuatku bertahan di sini. Kau tahu tidak? Aku hampir-hampir tidak punya waktu istirahat. Aku bekerja sebagai pengurus anak-anak keluarga Wargrave untuk biaya hidup kami sehari-hari dan di rumah aku harus mengurus nenek lagi. Benar-benar melelahkan sekali.” Wajah Holly terlihat berseri-seri sekali karena pada akhirnya ada juga yang mau mendengarkan ceritanya.
“Apa kau...,” aku berhenti sejenak, untuk mencari kata-kata yang cocok. “Pernah menginginkan nenekmu kembali kepada Sang Pencipta?” sudah benarkah perkataanku? Rasanya segalanya serba salah apabila aku ingin mengomentari suatu hal yang pribadi pada diri seseorang.
Wajah berseri-seri Holly langsung hilang bagai disapu angin. Dia tertunduk namun cepat-cepat mengangkat mukanya lagi. “Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin kau ada benarnya. Mengurus seseorang yang cacat memang tidak mudah. Umur nenekku sebentar lagi 80 tahun, dan terkadang jauh di lubuk hatiku aku berharap kepada Tuhan, kenapa Kau belum memanggilnya? Tapi aku selalu cepat-cepat menepis semua itu. Tuhan memberinya umur panjang, dan itu bagus kan?” dia terlihat tidak yakin dengan perkataannya yang terakhir.
“Tetapi hidup lama hanya untuk menyusahkan orang?” aku langsung menutup mulutku dengan tangan ketika menyadari betapa kurang ajarnya aku mengatakan itu. “Maksudku, aku, aku tidak bermaksud...,”
“Sudahlah, aku mengerti. Memang kesabaran orang ada batasnya, dan seperti yang kukatakan tadi, aku terkadang berharap dia segera dipanggil oleh Tuhan, jadi aku bisa bebas dan pergi dari Langley Green. Dia bisa dikuburkan dengan layak di kota kelahirannya ini, tetapi setiap kupikirkan ulang, itu kedengaran jahat sekali! Mendoakan nenekmu sendiri untuk mati, itu sungguh tidak berprikemanusiaan! Maka daripada itu aku terus bersabar dalam merawat nenek.” Jawabannya terdengar mantap sekali, membuatku terkagum-kagum dalam hati.
Merasa bahwa membicarakan tentang Nenek Loretta terus tidak akan berjalan baik, maka aku mengganti topik. “Adakah mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Langley Green?”
Holly terlihat bingung sesaat  tapi dia menjawab juga, “Setiap kota punya mitos sendiri-sendiri. Kenapa kau ingin tahu?”
“Tidak ada. Rasanya senang saja bisa mengetahui bahwa semodern apapun suatu kota atau negara, yang namanya mitos tidak akan pernah hilang dari kebudayaan masyarakatnya.”
“Ya, kau benar. Ada satu, dan ini kudengar dari Mr. Wargrave ketika aku baru pertama kali bekerja di rumahnya. Dia menceritakan sebuah kisah tentang seorang bangsawan bernama Duke Mayhem yang mempunyai seorang istri bernama Camille. Jarak umur mereka terpaut hampir 25 tahun, tetapi rumah tangga mereka berjalan harmonis karena Duke Mayhem sangat menyanyangi istrinya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa istrinya adalah seorang penyihir yang jahat yang memanfaatkan kekuasaan suaminya untuk mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan korban supaya dia bisa berumur panjang dan tidak bertambah tua. Namun, pada suatu hari di bulan Oktober, semua rahasia Camille terungkap oleh Duke Mayhem sendiri dan akhirnya Camille dibakar hidup-hidup oleh para warga. Konon sebelum dia dibakar hidup-hidup, dia sempat berkata bahwa dia akan menuntut balas dan akan terus menghantui kota dan para warganya.” Holly menghela napas sebelum melanjutkan kembali, “Begitulah ceritanya. Masih ada orang yang percaya dengan cerita ini sampai sekarang, namun sebagian besar orang hanya menganggapnya mitos belaka.”
“Hmmm,” gumamku tidak jelas sambil mengangguk-ngangguk mendengar cerita Holly.
“Oh iya Charlotte,” sahut Holly tiba-tiba, “Kau orang Perancis ya? Namamu kedengaran seperti orang Perancis.”
“Tidak juga.” Aku bingung harus menjawab apa. Tidak ada satupun tentang keluargaku yang kuingat mempunyai darah Perancis. Akhirnya aku mengarang cerita saja kepada Holly bahwa nenekku masih keturunan Perancis dan melihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Aku pamit pulang kepada Holly dan gadis itu mengantarku sampai di beranda depan.
Di depan rumah, aku melihat seseorang berdiri membelakangiku. Dia memakai jubah hitam panjang, dan ketika aku menghampirinya, dengan cepat dia berbalik. sosok berjubah ini adalah seorang wanita cantik berumur awal tiga puluhan. Dia tersenyum sekilas kepadaku  sebelum wajahnya berubah dingin. “Ini rumahmu?” tanyanya dengan suara yang sama dinginnya dengan wajahnya.
Aku mengerutkan kening dan mengangguk. Perasaan tidak suka terhadap wanita ini mulai menjalariku. Untuk apa coba dia datang malam-malam begini dengan jubah hitam bagaikan seorang nenek sihir?
“Jadi kau adalah pemilik baru rumah ini.” Dia berhenti dan memandangku dari atas sampai bawah dan tersenyum sekilas lagi. Perbuatannya itu benar-benar tambah membuatku jengkel. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, wanita misterius tersebut langsung pergi.

Kutatap punggungnya yang semakin menjauh sampai dia hilang ditelan kegelapan malam. Apa-apaan dia? Datang ke sini hanya untuk menanyakan itu? Dan caranya memandangku dari atas ke bawah itu, sepertinya dia mempunyai maksud tertentu melihatku. Siapa si wanita aneh itu? Hm, mungkin besok kutanyakan saja pada Holly. Dengan perasaan masih kesal, aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.