Kami terkadang menghabiskan
waktu dengan melihat pohon maple mengugurkan daunnya. Kami juga terkadang
menghabiskan waktu dengan melihat ayah bekerja siang malam di ruang kerjanya
atau melihat ibu yang terus menerus mempercantik dirinya di depan cermin. Kami
juga melihat Linda, kakak perempuan kami, pergi pagi dan pulang malam. Dia
sering bertengkar dengan ayah, dan kami juga berada di sana, menjadi penonton
yang setia. Satu pertanyaan yang mengganjal, kapan mereka semua yang melihat
kami? Kami lahir dan tumbuh besar, selalu menjadi mata ketiga, mata yang selalu
melihat keadaan dan orang-orang di sekitarnya.
Aku suka berdua dengan
saudara kembarku. Dia adalah penyemangat utamaku, mendorong diriku untuk terus
bertahan di tengah-tengah samudra ketidakpedulian keluarga kami. Saudara
kembarku sangat menyukai musik dan aku membulatkan tekad juga harus menyukai
musik. Saudara kembarku pandai menyanyi dan mengarang lagu, dan aku setengah
mati menyakinkan diriku bahwa aku juga harus bisa seperti itu. Saudaraku
mengajariku bermain gitar dan kami sering bernyanyi bersama di beranda belakang
rumah setelah bosan melihat daun-daun maple berjatuhan pada musim gugur. Kami
juga bernyanyi setelah melihat ayah di ruang kerjanya, Ibu dengan muka penuh
kosmetik di depan cermin dan Linda yang pulang pergi sesuka hati. Saudara
kembarku mengarang lagu untuk mereka semua dan kami akan menyanyikannya
bersama-sama. Itu adalah saat-saat paling menyenangkan dalam hidupku ketika aku
tidak memikirkan nasib kami yang tidak diperhatikan oleh keluarga kami sendiri.
Pada suatu hari yang
berangin di musim gugur tahun 1995, ketika kami berumur dua belas tahun,
saudara kembarku mengarang sebuah lagu yang sangat aneh. Lagu itu sangat
pendek, hanya beberapa bait seperti lagu anak-anak yang pernah diajari guru
kami sewaktu kami masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dengan gitar
pemberian paman untuk ulang tahun kami yang kedelapan, saudaraku menjadi sangat
giat belajar untuk menguasai instrumen musik itu, sementara aku hanya
mempelajarinya dengan setengah hati, itu pun hanya karena ingin bisa seperti
dirinya. Dia mulai memetik senarnya dan suaranya mengalun indah membuatku
merasa seakan berada di surga bersama seorang malaikat. Aku heran, darimana dia
dapat bernyanyi seindah ini.
“One
thing, I want one thing
One
thing, I want something
Just
one thing, I want ask no more
I
have one thing, just one thing
I
want you to bury me, in someone else’s grave...”
Setelah selesai, dia
menoleh kepadaku dan tersenyum, “Charlotte, bagaimana pendapatmu?”
Aku membalas senyumnya
sebelum berkata, “Well, Erick, apa
maksudnya itu? Kenapa kau ingin dikuburkan di kuburan orang lain?”
Erick, saudara
kembarku, meletakkan gitar di sampingnya dan memberikanku senyuman yang sama.
“Lagu itu kupersembahkan padamu. Bukan aku yang meminta dikuburkan di kuburan
orang lain, tetapi kau yang akan memintanya.”
Perkataan Erick
membuatku terdiam. Aku berusaha mencerna kata-katanya tapi bagaimana bisa hal
seperti itu terjadi? Semua itu hanyalah lirik dalam sebuah lagu kan? Tidak akan
mungkin terjadi di alam nyata. “Kenapa kau berpikir seperti itu Erick? Kenapa
aku yang meminta dikuburkan di kuburan orang lain?”
Pertanyaanku
menggantung di udara untuk beberapa saat. Erick memejamkan matanya, merasakan
embusan angin menerpa wajahnya. Aku bisa mendengarkan suara daun-daun maple
berjatuhan yang bergesek dengan permukaan aspal di depanku. Aku juga bisa
mendengar suara mesin mobil tua tetangga kami yang meraung-raung di pagi hari
mendung. Aku juga tahu Erick mendengar semua itu, dan dia pun membuka matanya,
memandangku sekilas sebelum dia kembali mengambil gitar dan memainkannya. Satu
lagu pendek lagi yang tidak pernah kuketahui dan tak kumengerti mengalun dari
mulutnya.
“When
someday, when we realize
We
can’t remember those faces
Forget
about the dim light
Forget
about someone who shared the same womb
Forget
about someone that we used to know...”
Erick kembali
memandangku dan dia berkata. Perkataannya bagiku terasa sangat menyedihkan.
“Suatu hari kau akan melupakanku, dan aku juga akan melupakanmu. Dan pada saat itulah
kau akan meminta dikuburkan di kuburan orang lain.”
“Tapi...,” aku merasa
tenggorokanku tercekat.
“Dengar Charlotte,”
kali ini Erick berubah serius. “Aku mendapatkan sebuah penglihatan aneh. Dan
oh, aku tidak mau membicarakannya denganmu. Tapi suatu saat kita akan terpisah,
kita tidak akan pernah bertemu. Kau ada dalam bahaya, aku tidak berada di sana
karena aku sudah mati. Kau harus mencari jalanmu sendiri, Charlotte.”
“Bagaimana bisa kau
mengatakan hal seperti itu Erick?” aku merasa air mataku meleleh, tidak pernah
ada yang membuatku menangis seperti ini kecuali perkataan Erick barusan. “Itu
adalah hal yang paling kejam yang pernah kau katakan padaku. Bukankah kita akan
selalu bersama?” tidak adakah yang bisa menghapus air mata ini? Aku benci sekali
menangis! Aku harus bisa sekuat dan setegar Erick!
Saudara kembarku
menggeleng sedih. Dia tidak berusaha menghapus air mataku yang telah jatuh, dia
lebih memilih untuk memeluk gitarnya. Semua hal ini hanya membuatku sakit.
Langit mendung dan angin yang menerpa kuat pun hanya menambah buruk suasana.
“Kau harus mengerti!” Erick memeluk gitarnya semakin erat. “Kita tidak bisa
terus bersama. Dari lahir takdir telah menentukan nasib kita. Kita selama ini
mengikuti perjalanan yang lurus dan terjal bersama-sama. Namun di tengah
perjalanan itu, persimpangan telah menunggu untuk memisahkan jalan lurus yang
telah kita lewati. Kedua jalan itu sama-sama terjalnya. Tidak ada gunanya untuk
memilih bersama dalam satu jalan. Saatnya menjadi pribadi yang mandiri dan
mengambil jalan sesuai dengan keinginan masing-masing. Karena pada akhirnya
jalan itu membawa kita pada satu tujuan, yaitu kematian.”
Tidak ada yang bisa
kukatakan. Otak dua belas tahunku tidak dapat mencerna semua ini dengan cepat.
Aku ingin memutar waktu, memperbaiki semua kesalahan, tidak terus-menerus
menjadi mata ketiga, keempat, atau berapa pun. Aku dan Erick akan menjadi yang
diperhatikan, bukan lagi yang harus memperhatikan. Namun, itu semua hanya
khayalan kosong yang membuang waktu. Apakah Erick tidak ingin terus bersamaku?
Bukankah kami saudara kembar?
Forget
about someone who shared the same womb
Forget
about someone that we used to know
Erick, apakah kita akan
benar-benar berpisah? Apa yang bisa memisahkan kita? Hidup di luar begitu sulit
dan aku merasa tidak akan sanggup menjalaninya tanpamu, Erick. Aku selalu
berusaha untuk jadi seperti kau, tapi kau tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa
jadi sepertimu. Aku adalah yang lemah! Seorang saudara yang hanya bisa
menggantungkan hidupnya di pundak saudaranya yang lain. Aku yakin sekali
jikalau tidak ada kau di sini mungkin aku sudah memutuskan untuk bunuh diri.
Karena hanya engkaulah Erick, saudara kembarku, orang satu-satunya di keluarga
ini yang selalu ada untukku. Selalu mau menjadi penonton bersamaku, terdiam
membisu menyaksikan apapun kejadian di sekitar kita. Ingin sekali kuteriakkan
semua kalimat itu kepada Erick, namun sampai saat ini semuanya masih kusimpan
di dalam hati saja, walau ku harap Erick mengerti. Dia pasti tahu apa yang
kurasakan.
Mata saudara kembarku
menatap jauh ke depan. Tidak, dia tidak memandang ke arah pohon maple,
pandangannya lebih jauh dari itu seakan-akan dia melihat masa depan kami
terbentang dihadapannya. Suatu hal, apa pun itu mengagetkannya, bisa kulihat
dia agak sedikit tersentak dan menggelengkan kepalanya karena tidak percaya.
“Charlotte, dengarlah suara angin, dengarlah burung-burung bernyanyi di pagi
hari musim semi, dengarlah rintik hujan yang jatuh membasahi bumi, dengarlah
apa yang disampaikan alam kepadamu. Aku menitipkan pesan-pesanku dan kau akan
mendengarnya melalui desau angin, air beriak, dan dentingan hujan, karena kita
tidak akan bersama lagi. Waktu kita semakin sempit.”
Aku tahu ini tidak
masuk akal! Ini hanya sebuah ilusi jahat yang diciptakan oleh pikiranku! Erick
tidak mungkin berkata seperti itu. Ini bukan Erick yang kukenal, dia sudah
menjadi orang lain yang berbeda sama sekali.
I
want you to bury me, in someone else’s grave
Jadi begitukah? Apakah
pada akhirnya saudaraku sendiri akan menjadi orang lain? Tahun-tahun berikutnya
akankah aku tidak mengingatnya lagi? Aku menatap Erick, dia pun melakukan hal
yang sama. Mulut kami terkatup rapat, kami tahu pikiran kami masing-masing. Dan
walau aku tidak percaya, sesungguhnya aku takut. Takut kalau apa yang dikatakan
Erick benar-benar terjadi. Dengan satu helaan napas, Erick meninggalkanku
sendirian. Sendirian. Betapa menyakitkan sekali kata itu kedengarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar