Rabu, 24 Februari 2016

Don’t Bury Me In My Own Grave Bab I

Kami terkadang menghabiskan waktu dengan melihat pohon maple mengugurkan daunnya. Kami juga terkadang menghabiskan waktu dengan melihat ayah bekerja siang malam di ruang kerjanya atau melihat ibu yang terus menerus mempercantik dirinya di depan cermin. Kami juga melihat Linda, kakak perempuan kami, pergi pagi dan pulang malam. Dia sering bertengkar dengan ayah, dan kami juga berada di sana, menjadi penonton yang setia. Satu pertanyaan yang mengganjal, kapan mereka semua yang melihat kami? Kami lahir dan tumbuh besar, selalu menjadi mata ketiga, mata yang selalu melihat keadaan dan orang-orang di sekitarnya.
Aku suka berdua dengan saudara kembarku. Dia adalah penyemangat utamaku, mendorong diriku untuk terus bertahan di tengah-tengah samudra ketidakpedulian keluarga kami. Saudara kembarku sangat menyukai musik dan aku membulatkan tekad juga harus menyukai musik. Saudara kembarku pandai menyanyi dan mengarang lagu, dan aku setengah mati menyakinkan diriku bahwa aku juga harus bisa seperti itu. Saudaraku mengajariku bermain gitar dan kami sering bernyanyi bersama di beranda belakang rumah setelah bosan melihat daun-daun maple berjatuhan pada musim gugur. Kami juga bernyanyi setelah melihat ayah di ruang kerjanya, Ibu dengan muka penuh kosmetik di depan cermin dan Linda yang pulang pergi sesuka hati. Saudara kembarku mengarang lagu untuk mereka semua dan kami akan menyanyikannya bersama-sama. Itu adalah saat-saat paling menyenangkan dalam hidupku ketika aku tidak memikirkan nasib kami yang tidak diperhatikan oleh keluarga kami sendiri.
Pada suatu hari yang berangin di musim gugur tahun 1995, ketika kami berumur dua belas tahun, saudara kembarku mengarang sebuah lagu yang sangat aneh. Lagu itu sangat pendek, hanya beberapa bait seperti lagu anak-anak yang pernah diajari guru kami sewaktu kami masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dengan gitar pemberian paman untuk ulang tahun kami yang kedelapan, saudaraku menjadi sangat giat belajar untuk menguasai instrumen musik itu, sementara aku hanya mempelajarinya dengan setengah hati, itu pun hanya karena ingin bisa seperti dirinya. Dia mulai memetik senarnya dan suaranya mengalun indah membuatku merasa seakan berada di surga bersama seorang malaikat. Aku heran, darimana dia dapat bernyanyi seindah ini.
“One thing, I want one thing
One thing, I want something
Just one thing, I want ask no more
I have one thing, just one thing
I want you to bury me, in someone else’s grave...”
Setelah selesai, dia menoleh kepadaku dan tersenyum, “Charlotte, bagaimana pendapatmu?”
Aku membalas senyumnya sebelum berkata, “Well, Erick, apa maksudnya itu? Kenapa kau ingin dikuburkan di kuburan orang lain?”
Erick, saudara kembarku, meletakkan gitar di sampingnya dan memberikanku senyuman yang sama. “Lagu itu kupersembahkan padamu. Bukan aku yang meminta dikuburkan di kuburan orang lain, tetapi kau yang akan memintanya.”
Perkataan Erick membuatku terdiam. Aku berusaha mencerna kata-katanya tapi bagaimana bisa hal seperti itu terjadi? Semua itu hanyalah lirik dalam sebuah lagu kan? Tidak akan mungkin terjadi di alam nyata. “Kenapa kau berpikir seperti itu Erick? Kenapa aku yang meminta dikuburkan di kuburan orang lain?”
Pertanyaanku menggantung di udara untuk beberapa saat. Erick memejamkan matanya, merasakan embusan angin menerpa wajahnya. Aku bisa mendengarkan suara daun-daun maple berjatuhan yang bergesek dengan permukaan aspal di depanku. Aku juga bisa mendengar suara mesin mobil tua tetangga kami yang meraung-raung di pagi hari mendung. Aku juga tahu Erick mendengar semua itu, dan dia pun membuka matanya, memandangku sekilas sebelum dia kembali mengambil gitar dan memainkannya. Satu lagu pendek lagi yang tidak pernah kuketahui dan tak kumengerti mengalun dari mulutnya.
“When someday, when we realize
We can’t remember those faces
Forget about the dim light
Forget about someone who shared the same womb
Forget about someone that we used to know...”
Erick kembali memandangku dan dia berkata. Perkataannya bagiku terasa sangat menyedihkan. “Suatu hari kau akan melupakanku, dan aku juga akan melupakanmu. Dan pada saat itulah kau akan meminta dikuburkan di kuburan orang lain.”
“Tapi...,” aku merasa tenggorokanku tercekat.
“Dengar Charlotte,” kali ini Erick berubah serius. “Aku mendapatkan sebuah penglihatan aneh. Dan oh, aku tidak mau membicarakannya denganmu. Tapi suatu saat kita akan terpisah, kita tidak akan pernah bertemu. Kau ada dalam bahaya, aku tidak berada di sana karena aku sudah mati. Kau harus mencari jalanmu sendiri, Charlotte.”
“Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu Erick?” aku merasa air mataku meleleh, tidak pernah ada yang membuatku menangis seperti ini kecuali perkataan Erick barusan. “Itu adalah hal yang paling kejam yang pernah kau katakan padaku. Bukankah kita akan selalu bersama?” tidak adakah yang bisa menghapus air mata ini? Aku benci sekali menangis! Aku harus bisa sekuat dan setegar Erick!
Saudara kembarku menggeleng sedih. Dia tidak berusaha menghapus air mataku yang telah jatuh, dia lebih memilih untuk memeluk gitarnya. Semua hal ini hanya membuatku sakit. Langit mendung dan angin yang menerpa kuat pun hanya menambah buruk suasana. “Kau harus mengerti!” Erick memeluk gitarnya semakin erat. “Kita tidak bisa terus bersama. Dari lahir takdir telah menentukan nasib kita. Kita selama ini mengikuti perjalanan yang lurus dan terjal bersama-sama. Namun di tengah perjalanan itu, persimpangan telah menunggu untuk memisahkan jalan lurus yang telah kita lewati. Kedua jalan itu sama-sama terjalnya. Tidak ada gunanya untuk memilih bersama dalam satu jalan. Saatnya menjadi pribadi yang mandiri dan mengambil jalan sesuai dengan keinginan masing-masing. Karena pada akhirnya jalan itu membawa kita pada satu tujuan, yaitu kematian.”
Tidak ada yang bisa kukatakan. Otak dua belas tahunku tidak dapat mencerna semua ini dengan cepat. Aku ingin memutar waktu, memperbaiki semua kesalahan, tidak terus-menerus menjadi mata ketiga, keempat, atau berapa pun. Aku dan Erick akan menjadi yang diperhatikan, bukan lagi yang harus memperhatikan. Namun, itu semua hanya khayalan kosong yang membuang waktu. Apakah Erick tidak ingin terus bersamaku? Bukankah kami saudara kembar?
Forget about someone who shared the same womb
Forget about someone that we used to know
Erick, apakah kita akan benar-benar berpisah? Apa yang bisa memisahkan kita? Hidup di luar begitu sulit dan aku merasa tidak akan sanggup menjalaninya tanpamu, Erick. Aku selalu berusaha untuk jadi seperti kau, tapi kau tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa jadi sepertimu. Aku adalah yang lemah! Seorang saudara yang hanya bisa menggantungkan hidupnya di pundak saudaranya yang lain. Aku yakin sekali jikalau tidak ada kau di sini mungkin aku sudah memutuskan untuk bunuh diri. Karena hanya engkaulah Erick, saudara kembarku, orang satu-satunya di keluarga ini yang selalu ada untukku. Selalu mau menjadi penonton bersamaku, terdiam membisu menyaksikan apapun kejadian di sekitar kita. Ingin sekali kuteriakkan semua kalimat itu kepada Erick, namun sampai saat ini semuanya masih kusimpan di dalam hati saja, walau ku harap Erick mengerti. Dia pasti tahu apa yang kurasakan.
Mata saudara kembarku menatap jauh ke depan. Tidak, dia tidak memandang ke arah pohon maple, pandangannya lebih jauh dari itu seakan-akan dia melihat masa depan kami terbentang dihadapannya. Suatu hal, apa pun itu mengagetkannya, bisa kulihat dia agak sedikit tersentak dan menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. “Charlotte, dengarlah suara angin, dengarlah burung-burung bernyanyi di pagi hari musim semi, dengarlah rintik hujan yang jatuh membasahi bumi, dengarlah apa yang disampaikan alam kepadamu. Aku menitipkan pesan-pesanku dan kau akan mendengarnya melalui desau angin, air beriak, dan dentingan hujan, karena kita tidak akan bersama lagi. Waktu kita semakin sempit.”
Aku tahu ini tidak masuk akal! Ini hanya sebuah ilusi jahat yang diciptakan oleh pikiranku! Erick tidak mungkin berkata seperti itu. Ini bukan Erick yang kukenal, dia sudah menjadi orang lain yang berbeda sama sekali.
I want you to bury me, in someone else’s grave
Jadi begitukah? Apakah pada akhirnya saudaraku sendiri akan menjadi orang lain? Tahun-tahun berikutnya akankah aku tidak mengingatnya lagi? Aku menatap Erick, dia pun melakukan hal yang sama. Mulut kami terkatup rapat, kami tahu pikiran kami masing-masing. Dan walau aku tidak percaya, sesungguhnya aku takut. Takut kalau apa yang dikatakan Erick benar-benar terjadi. Dengan satu helaan napas, Erick meninggalkanku sendirian. Sendirian. Betapa menyakitkan sekali kata itu kedengarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar