Rabu, 24 Februari 2016

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 3

Pagi telah menjelang.
Aku tahu bahwa aku hampir-hampir tidak tidur semalamam. Aku berhenti sekali-sekali untuk istirahat sebentar di dalam mobil. Namun tidak sampai setengah jam, aku terbangun lagi. Sekitar jam tiga pagi, aku menemukan sebuah bar 24 jam dan memutuskan untuk masuk ke dalam sana. Bar itu tampak sepi, tidak ada seorang pun kecuali si penjaga counter yang merupakan seorang lelaki jangkung yang tertidur pulas.  Keadaan bar itu tidaklah terlalu buruk bagiku, tetapi aku merasa sedikit ragu untuk membangunkan lelaki jangkung itu. Aku mengambil tempat duduk di depan sang penjaga counter dan tanpa disangka-sangka lelaki itu terbangun.
“Oh, ya ampun, maaf. Aku tidak bermaksud menganggu tidurmu,” ujarku sopan kepada lelaki jangkung yang sedang mengucek-ngucek matanya.
“Eh, tidak apa-apa Nona.” Dari suaranya terdengar sekali bahwa dia masih sangat mengantuk. “Pelanggan terakhirku baru saja pergi 15 menit yang lalu dan dia sepenuhnya mabuk. Aku tidak yakin dia bakalan bisa mengemudi mobil truknya itu dengan selamat. Apa yang bisa kubuatkan untukmu Nona?” si lelaki jangkung tersenyum ramah. Sepertinya dia tidaklah seburuk penampilannya terkesan seperti gelandangan.
Sudah jam tiga pagi dan aku tidak mau untuk meminum minuman beralkohol saat ini. Sejujurnya aku sendiri pun bingung kenapa aku  masuk ke dalam bar ini. Aku seharusnya berada di dalam mobil sekarang, mengemudi secepatnya untuk sampai ke Langley Green. Dan aku sudah menghabiskan enam botol air putih dan tiga kaleng soda di sepanjang perjalanan.
“Mungkin kau bisa istirahat sebentar di sini, sampai pagi menjelang.” Si lelaki jangkung berkata tiba-tiba. “Kau membangunkanku ketika aku baru saja akan tertidur pulas dan aku benar-benar masih sangat mengantuk Nona. Pekerjaan 24 jam itu menyebalkan, tapi tidak ada yang lain yang bisa kulakukan. Bar ini sebenarnya tidak buka selama 24 jam, ketika kurasakan bahwa tidak akan ada lagi pelanggan yang datang, aku akan menutupnya. Aku biasa menutupnya sekitar pukul setengah empat pagi, tapi Nona aku sama sekali tidak keberatan apabila kau mau menghabiskan waktumu sampai pagi di sini. Bangunkan saja aku kalau kau perlu apa-apa.”
Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa dia boleh tidur kembali. Kuputuskan untuk berpindah tempat ke salah satu meja dan mengeluarkan buku harian masa kecilku. Entah kenapa aku merasa sangat tertarik dengan semua kejadian yang telah terjadi di waktuku kecil. Ini seperti kembali mengeluarkan memori yang sudah tersimpan lama, dan kudapati bahwa tidak ada buruknya juga aku menguatkan niatku untuk kembali ke Langley Green.
Paginya, sekitar pukul tujuh, aku berpamitan kepada Mark, si lelaki jangkung penjaga counter itu, dan memberinya tip karena sudah memperbolehkan aku menghabiskan waktu sampai pagi di barnya. Awalnya dia menolak karena aku sama sekali tidak memesan apa-apa, tetapi aku memaksanya untuk mau menerima tip yang kuberikan sebagai ucapan terima kasih.
Langley Green sudah hampir dekat. Aku bisa merasakannya dan mulai mengenali setiap inci jalan yang kulalui. Tidak salah lagi, aku kenal dengan lingkungan ini. Ini lingkungan rumahku. Aku mungkin amnesia, tetapi kenangan akan rumah masa kecilku masih sesegar seperti aku baru saja meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Tidak ada yang berbeda kecuali papan yang bertuliskan ‘dijual’ tertancap di halaman depan. Ada seorang pria setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sebelah papan itu sedang memperhatikan keseluruhan bentuk depan rumah. Segera ku keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Maaf,” sapaku kepada lelaki bertubuh gemuk tersebut. Dia membalikkan badannya dengan cepat dan memandangku heran.
“Ya?” katanya, “Ada perlu apa Anda ke sini?”
“Betulkah rumah ini dijual?” aku menunjuk ke papan di sebelahnya. “Kenapa rumah ini dijual? Siapa pemiliknya terdahulu?”
“Benar sekali Nona, rumah ini akan dijual oleh pemiliknya. Pemilik terdahulunya adalah Mr. Worthtington. Dia baru saja pindah tadi pagi beserta keluarganya ke Brighton dan aku ditugaskan untuk menjual rumah ini. Bagaimanakah Nona? Apa Anda tertarik untuk membelinya? Sesungguhnya saya akan mendapat untung lebih apabila saya dapat menjualnya secepat mungkin.”
Aku melihat ke arah lelaki paruh baya itu sebentar sebelum perhatianku kembali tertuju kepada rumah masa kecilku. Aku akan menemukan sesuatu di sini, aku yakin. “Ya, aku berminat membelinya. Aku bahkan sudah berniat untuk pindah sekarang ke sini. Berapa harga yang kau tawarkan?”
Pria itu tampak terkejut dengan perkataanku yang tidak terduga ini. “Tetapi apa Anda yakin? Maksud saya Anda bisa melihat dulu isi dalam rumah. Anda tidak mau membeli rumah hanya dari bentuk luarnya saja kan? Apalagi Anda memutuskan untuk segera pindah ke sini. Bagaimana bisa? Memang masih ada beberapa perabotan lama yang tertinggal di rumah ini. Selebihnya Andalah yang harus mengisinya Nona!”
“Bicara apa kau ini? Cepat sebutkan saja berapa harganya!”
Setelah menyelesaikan urusan pembelian rumah, aku akhirnya ditetapkan sebagai pemilik rumah ini yang baru. Kuletakkan tas-tas dan koper berisi segala perlengkapanku ke dalam rumah dan merasakan hembusan kuat memori lama yang tiba-tiba menerpa otakku. Aku senang dengan sensasi ini, kuteliti semua sudut rumah, merasakan betul bagaimana letak semua benda-benda di dalam rumah ini ketika aku masih kecil. Memang rumah ini terlihat lenggang dan lebih luas karena minimnya perabot, tapi itu bisa dipikirkan nanti. Aku segera naik ke lantai atas, tempat dimana kamarku berada. Kubuka pintu dan sensasi memori lama itu benar-benar mengetarkanku. Aku terdiam sebentar dan akhirnya memperlihatkan senyum lebarku. Dalam ingatanku, aku bisa membayangkan beginilah kamarku ketika aku masih kecil dulu. Ada papan pengingat tergantung di dinding, karakter-karakter kartun Disney yang juga meramaikan dinding kamarku. Serta gambar-gambar yang kubuat sendiri ditempel di berbagai perabotan seperti lemari dan meja belajar. Tapi itu semua hanyalah dalam khayalanku saja. Kamar ini hanyalah sebuah kamar kosong dengan sebuah tempat tidur dan cermin berbentuk oval tergantung di salah satu dinding.   
Aku kembali memeriksa kamar-kamar yang lain. Kamar di sebelahku, entah darimana aku tahu, tapi firasatku mengatakan bahwa ini dulunya adalah kamar Erick. Memang tidak ada satu benda pun yang dapat menggambarkan bahwa ini kamar Erick, tapi aku tahu bahwa ini pernah menjadi kamarnya. Kutinggalkan kamar Erick dan aku kembali ke ruang depan di mana tas-tas dan koperku kuletakkan. Tidak ada furniture di ruangan ini, jadi aku memutuskan untuk memeriksa ke belakang rumah. Aku masih ingat betul dengan beranda yang kerap kali menemani mimpiku ketika aku berada di rumah sakit. Dan sekarang di sinilah aku berada, terima kasih sekali kepada Mr. Worthtington dan keluarganya yang sama sekali tidak merusak pemandangan belakang rumahku. Yap, pohon-pohon maple itu masih ada di sana.
Sayang sekali sekarang bukanlah musim gugur. Aku ingin melihat pohon-pohon maple mengugurkan daunnya. Kuingat sekali lagi bagaimana mimpi-mimpiku itu. Dua orang anak, berdiri di beranda rumah, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Aku benar-benar yakin bahwa dua anak itu adalah aku dan Erick. Tidak salah lagi, ini adalah rumah kami dan yang perlu kutahu sekarang, apa yang sampai menyebabkan Erick pergi meninggalkanku.

Seperti yang sering sekali dibilang oleh orang-orang, waktu cepat berlalu. Apalagi kalau kau sedang melakukan atau sedang berada di suatu tempat yang menurutmu sangat menyenangkan. Dan begitulah keadaanku sekarang. Aku benar-benar senang bisa kembali lagi ke rumah yang penuh dengan kenangan ini. Kemarin aku sudah berhasil mengangkut beberapa perabotan lama dari gudang. Aku merasa nyaman dengan semua perabotan usang ini. Ada beberapa remaja yang sedang menikmati liburan musim panas mereka, jadi aku membayar mereka untuk membantuku membawa semua perabotan dari gudang, membersihkannya, dan menatanya ulang kembali.
Seharian kami mengerjakan pekerjaan yang melelahkan itu, dan aku sangat menyukai anak-anak yang membantuku karena mereka tidak banyak mengeluh. Sekarang aku berada di ruang tengah sembari membaca koran lokal. Sofa yang kududuki terasa keras dan aku yakin aku tidak mau duduk terlalu lama di atasnya. Mungkin aku perlu membeli televisi, atau mengambil televisiku di rumahku yang lama. Setelah tidak menemukan berita menarik di koran, aku mengambil telepon selularku dan menelepon Lily.
“Coba tebak,” kataku ceria ketika dia mengangkat telepon.
“Aku sama sekali tidak punya ide,” jawabnya cepat.
“Cepat sekali kau menyerah,” ejekku sembari menjulurkan lidah walau kutahu Lily tidak akan mungkin bisa melihatnya.
“Hmmm...,” Lily terdengar sedang berpikir sebelum akhirnya menghela napas menyerah.
“Begini,” aku menahan napas dan menghitung sampai tiga, “aku sudah pindah ke rumah masa kecilku.”
Awalnya Lily tidak merespon, tapi kemudian terdengar suara teriakan, “Jadi kau benar-benar pindah ke sana!?”
Nada tinggi antara marah dan terkejut yang keluar dari mulut Lily membuatku tertawa geli. “Berhentilah berteriak begitu. Aku tidak meninggalkan Inggris raya yang tercinta ini. Aku hanya pindah ke kota yang agak jauh dari London.”
“Tapi tetap saja kau pergi meninggalkan semua teman dan pekerjaanmu di sini.” Suara Lily mulai tenang kembali. “Bagaimana bisa kau melakukan semua ini? Kau baru saja keluar dari rumah sakit dan kau berhenti bekerja. Bagaimana kau bisa bertahan hidup di kota kecil seperti Langley Green?”
“Aku kan bisa mencari pekerjaan. Jadi kasir misalnya? Atau mungkin pelayan kafe?” jawabku walau dalam hati aku tidak begitu yakin gaji yang akan kuterima bakalan sebesar gajiku dulu.
Hening sebentar sebelum Lily mulai berteriak lagi, “Hah!? Kau bercanda ya!? Kau meninggalkan pekerjaanmu sebagai kepala editor majalah dan menggantikannya sebagai kasir? Yang benar saja!”
“Eh, ya, yang benar saja!” aku mengikuti nada suaranya. “Memang gajiku tidak akan sebesar dulu, tetapi hei! Ini kota kecil! Apa yang kau harapkan?”
Lily hanya terdiam saja dan akhirnya menutup telepon secara sepihak. Aku tidak tahu kenapa dia melakukannya, mungkin hanya karena kesal kepadaku. Kuletakkan kembali gagang telepon dan berjalan ke dapur untuk sarapan. Baru saja aku mengoleskan selai ke atas rotiku, terdengar bunyi pintu diketok oleh seseorang. Kuletakkan dulu rotiku dan bergegas ke depan untuk menyambut tamu pertamaku di kota ini.
“Hallo,” sapa seorang wanita muda bertubuh kerdil dengan ramahnya.
“Well, hallo,” sapaku balik dan mengerutkan kening, “Aku rasa aku sama sekali tidak mengenali Anda. Siapa Anda?”
“Ya ampun, maaf!” wanita muda itu membungkukkan badan sedikit. “Namaku Holly. Aku tinggal di sebelah rumahmu. Kudengar dari Tuan Kensington bahwa Andalah pemilik baru dari rumah ini.”
Kensington adalah lelaki paruh baya yang menjual rumah ini kepadaku. “Betul sekali, Nona Holly. Nama saya Charlotte.”
Dia tersenyum kembali dengan ramahnya. “Aku tahu siapa namamu. Tuan Kensington memberitahuku kemarin. Dan aku beserta nenekku sangat senang dengan adanya tetangga baru. Maka daripada itu nenekku meminta kesediaan Anda agar dapat makan malam bersama kami di rumah kami malam ini.”
Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan menampilkan senyum ramah juga. “Tentu saja. Aku akan sangat senang sekali.”
“Terima kasih.” Holly membungkukkan badannya lagi dan berjalan pergi.
Setelah kututup pintu, aku kembali ke dapur untuk menikmati sarapan rotiku. Aku merasa cukup senang karena mendapat tetangga yang baik dan bahkan mereka mengundangku makan malam. Sepertinya wanita bernama Holly itu umurnya tidak terlalu jauh dariku, mungkin saja kami bisa jadi teman akrab.

Malam harinya, aku memenuhi janjiku untuk pergi ke rumah tetanggaku. Sesampainya di sana, aku disambut oleh Holly sendiri dan dia mempersilahkanku masuk. Dia kemudian menggiringku langsung ke ruang makan yang mana telah menunggu neneknya Holly. Wanita tua itu sedang duduk di kursi rodanya, memandangku sambil tersenyum. Kulit wajahnya telah mengendur dan terdapat bercak-bercak kecoklatan. Kuperkirakan umurnya sudah mendekati 80 tahunan.
“Ini nenekku. Namanya Loretta,” ujar Holly sambil mengelus pundak neneknya pelan. “Nek, ini adalah tetangga baru kita, namanya Charlotte.”
Nenek Loretta hanya tersenyum saja, membuatku agak sedikit bingung. Holly nampaknya menyadari itu dan dia menggiringku ke ruang tengah. “Ada apa?” tanyaku yang merasa heran dengan sikapnya.
“Maafkan aku karena tidak memberitahukan hal ini terlebih dahulu.” Dari air mukanya dia terlihat benar-benar menyesal. “Nenekku itu..., dia bisu, sejak lahir. Dan dia sama sekali tidak bisa berbahasa isyarat. Semua keinginannya selalu dia tulis di kertas.”
“Oh...,” aku tidak tahu harus berkata apa. “Ya, aneh juga kenapa dia tidak berbicara sedari tadi.”
“Ya begitulah.” Holly menggiringku lagi ke ruang makan. Dan kami pun mulai makan malam bersama.
Nenek Loretta sepanjang makan malam menatapku terus sambil tersenyum. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan hal itu. Bukan berarti aku tidak menyukai wanita tua malang tersebut, tetapi melihat dia tersenyum terus kepadaku hampir tiap menit, membuatku merasa sedikit ngeri juga. Melihat situasi makan malam yang kurang nyaman ini, Holly mencoba membuka pembicaraan denganku. “Jadi, kau pindah dari London?”
Aku mengangguk dan dalam hati bersyukur juga dengan dimulainya pembicaraan ini. “Ya, begitulah,” jawabku pendek.
“Kenapa kau pindah ke sini? Ini kota kecil, tidak banyak yang bisa dilakukan,” kata Holly yang sepertinya penasaran sekali.
Aku terdiam sejenak sembari meletakkan sendok dan garpu di piring. Haruskah kukatakan bahwa aku ke sini karena ingin sekali mengetahui tentang apa saja yang terjadi ketika ku masih kecil? Aku bahkan tidak yakin bahwa Holly tahu bahwa sebelum Mr. Worthtington keluargakulah yang menempati rumah itu. Setelah sadar bahwa aku terlalu lama berpikir, akhirnya aku menjawab, “Tidak ada yang khusus sebenarnya. Aku sudah mulai bosan dengan suasana London dan berpikir mungkin tinggal di kota kecil seperti Langley Green akan menyenangkan. Aku tinggal di London seumur hidupku.” Oke, itu semua adalah satu kebohongan besar.
Holly kelihatan lebih tertarik lagi ketika aku mengatakan tentang London. “Benarkah? Dari dulu aku ingin sekali bisa mengunjungi London. Dulu aku tinggal di Portsmouth, tetapi aku lahir di sini, di Langley Green. Aku merasa nyaman di sini, jadi ketika aku lulus SMA, aku memutuskan untuk pindah ke sini bersama Nenek Loretta. Kasihan nenek, tidak ada yang mengurusnya di sini.”
“Wow, kau gadis yang sangat baik hati. Apakah orang tuamu masih tinggal di Portsmouth?” sekarang giliranku yang bertanya kepadanya.
“Yap, mereka punya pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan di sana. Tapi mereka akan berkunjung ke sini tiap Natal.”
Kemudian keheningan mulai menyergap lagi. Baik aku, Holly dan Nenek Loretta telah selesai makan malam. Holly mengatakan bahwa dia akan mengantar neneknya dulu ke atas sebelum membereskan meja makan. Sementara aku masih terduduk di kursiku sambil mengambil telepon genggam dari saku dan mendapati pesan singkat dari Lily.
Hei, mungkin akhir pekan ini aku bisa menemuimu di Langley Green.
Aku mengerutkan kening. Heh, Lily akan mengunjungiku di Langley Green? Kupikir dia marah kepadaku karena aku memutuskan untuk pindah ke sini. Aku membalas pesan Lily dan melihat Holly menuruni tangga lalu mulai membereskan piring-piring dan gelas makan malam kami. Merasa ikut bertanggung jawab, aku pun membantunya mengangkut peralatan makan kotor itu ke bak cucian. Setelah selesai membereskan meja, Holly mengajakku ke ruang tengah.
“Hei, berapa umurmu? Rasanya kita tidak terlalu jauh berbeda ya?” mulainya ketika kami sudah duduk di ruang tengah dengan TV yang menyala.
“Tiga bulan lagi aku akan berumur 26 tahun,” jawabku dan melemparkan pertanyaan yang sama kepadanya.
“Bulan lalu aku baru masuk 21 tahun,” jawabnya ceria. “Mungkin kita bisa jadi teman. Tidak banyak yang bisa dijadikan teman di sini. Terkadang hidup di sini bisa sangat membosankan. Tapi aku akan terus bertahan untuk nenek.”
Aku memandangnya lekat-lekat. Merasa sangat tertarik dengan Holly. Dia sangat baik dan sopan. Jarang sekali ada gadis muda seperti dia di jaman sekarang ini. “Kau benar-benar sayang dengan nenekmu ya? Apakah itu semua karena dia, bisu dan lumpuh?” aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan cukup pelan dan bernada simpati.
Wajah Holly seketika berubah suram. Hal itu membuatku jadi merasa bersalah karena berkata yang tidak-tidak tentangnya. “Mungkin sebagian,” ujar Holly yang membuatku menaikkan sebelah alis mataku. “Mungkin sebagian dariku memang merasa kasihan. Selama tiga tahun di sini, nenek hampir tidak bisa apa-apa. Wanita yang dulu bekerja untuk merawat nenek sangat tidak telaten dan dia meninggalkan nenek begitu saja. Maka daripada itulah aku yang merawat nenek karena aku tahu tidak akan ada yang mau bersusah-susah untuk merawat orang tua. Kau tinggal memasukkannya ke panti jompo dan akan mengambilnya kembali ketika dia sudah meninggal. Hell yeah, terdengar kejam bukan? Aku menyanyangi nenek karena ku masih ingat sewaktu ku kecil, neneklah yang benar-benar memperhatikanku. Sekarang, giliranku yang memperhatikannya. Bisa dibilang ini hubungan timbal balik, tetapi kami saling menyanyangi, dan itu sudah cukup untuk terus membuatku bertahan di sini. Kau tahu tidak? Aku hampir-hampir tidak punya waktu istirahat. Aku bekerja sebagai pengurus anak-anak keluarga Wargrave untuk biaya hidup kami sehari-hari dan di rumah aku harus mengurus nenek lagi. Benar-benar melelahkan sekali.” Wajah Holly terlihat berseri-seri sekali karena pada akhirnya ada juga yang mau mendengarkan ceritanya.
“Apa kau...,” aku berhenti sejenak, untuk mencari kata-kata yang cocok. “Pernah menginginkan nenekmu kembali kepada Sang Pencipta?” sudah benarkah perkataanku? Rasanya segalanya serba salah apabila aku ingin mengomentari suatu hal yang pribadi pada diri seseorang.
Wajah berseri-seri Holly langsung hilang bagai disapu angin. Dia tertunduk namun cepat-cepat mengangkat mukanya lagi. “Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin kau ada benarnya. Mengurus seseorang yang cacat memang tidak mudah. Umur nenekku sebentar lagi 80 tahun, dan terkadang jauh di lubuk hatiku aku berharap kepada Tuhan, kenapa Kau belum memanggilnya? Tapi aku selalu cepat-cepat menepis semua itu. Tuhan memberinya umur panjang, dan itu bagus kan?” dia terlihat tidak yakin dengan perkataannya yang terakhir.
“Tetapi hidup lama hanya untuk menyusahkan orang?” aku langsung menutup mulutku dengan tangan ketika menyadari betapa kurang ajarnya aku mengatakan itu. “Maksudku, aku, aku tidak bermaksud...,”
“Sudahlah, aku mengerti. Memang kesabaran orang ada batasnya, dan seperti yang kukatakan tadi, aku terkadang berharap dia segera dipanggil oleh Tuhan, jadi aku bisa bebas dan pergi dari Langley Green. Dia bisa dikuburkan dengan layak di kota kelahirannya ini, tetapi setiap kupikirkan ulang, itu kedengaran jahat sekali! Mendoakan nenekmu sendiri untuk mati, itu sungguh tidak berprikemanusiaan! Maka daripada itu aku terus bersabar dalam merawat nenek.” Jawabannya terdengar mantap sekali, membuatku terkagum-kagum dalam hati.
Merasa bahwa membicarakan tentang Nenek Loretta terus tidak akan berjalan baik, maka aku mengganti topik. “Adakah mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Langley Green?”
Holly terlihat bingung sesaat  tapi dia menjawab juga, “Setiap kota punya mitos sendiri-sendiri. Kenapa kau ingin tahu?”
“Tidak ada. Rasanya senang saja bisa mengetahui bahwa semodern apapun suatu kota atau negara, yang namanya mitos tidak akan pernah hilang dari kebudayaan masyarakatnya.”
“Ya, kau benar. Ada satu, dan ini kudengar dari Mr. Wargrave ketika aku baru pertama kali bekerja di rumahnya. Dia menceritakan sebuah kisah tentang seorang bangsawan bernama Duke Mayhem yang mempunyai seorang istri bernama Camille. Jarak umur mereka terpaut hampir 25 tahun, tetapi rumah tangga mereka berjalan harmonis karena Duke Mayhem sangat menyanyangi istrinya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa istrinya adalah seorang penyihir yang jahat yang memanfaatkan kekuasaan suaminya untuk mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan korban supaya dia bisa berumur panjang dan tidak bertambah tua. Namun, pada suatu hari di bulan Oktober, semua rahasia Camille terungkap oleh Duke Mayhem sendiri dan akhirnya Camille dibakar hidup-hidup oleh para warga. Konon sebelum dia dibakar hidup-hidup, dia sempat berkata bahwa dia akan menuntut balas dan akan terus menghantui kota dan para warganya.” Holly menghela napas sebelum melanjutkan kembali, “Begitulah ceritanya. Masih ada orang yang percaya dengan cerita ini sampai sekarang, namun sebagian besar orang hanya menganggapnya mitos belaka.”
“Hmmm,” gumamku tidak jelas sambil mengangguk-ngangguk mendengar cerita Holly.
“Oh iya Charlotte,” sahut Holly tiba-tiba, “Kau orang Perancis ya? Namamu kedengaran seperti orang Perancis.”
“Tidak juga.” Aku bingung harus menjawab apa. Tidak ada satupun tentang keluargaku yang kuingat mempunyai darah Perancis. Akhirnya aku mengarang cerita saja kepada Holly bahwa nenekku masih keturunan Perancis dan melihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Aku pamit pulang kepada Holly dan gadis itu mengantarku sampai di beranda depan.
Di depan rumah, aku melihat seseorang berdiri membelakangiku. Dia memakai jubah hitam panjang, dan ketika aku menghampirinya, dengan cepat dia berbalik. sosok berjubah ini adalah seorang wanita cantik berumur awal tiga puluhan. Dia tersenyum sekilas kepadaku  sebelum wajahnya berubah dingin. “Ini rumahmu?” tanyanya dengan suara yang sama dinginnya dengan wajahnya.
Aku mengerutkan kening dan mengangguk. Perasaan tidak suka terhadap wanita ini mulai menjalariku. Untuk apa coba dia datang malam-malam begini dengan jubah hitam bagaikan seorang nenek sihir?
“Jadi kau adalah pemilik baru rumah ini.” Dia berhenti dan memandangku dari atas sampai bawah dan tersenyum sekilas lagi. Perbuatannya itu benar-benar tambah membuatku jengkel. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, wanita misterius tersebut langsung pergi.

Kutatap punggungnya yang semakin menjauh sampai dia hilang ditelan kegelapan malam. Apa-apaan dia? Datang ke sini hanya untuk menanyakan itu? Dan caranya memandangku dari atas ke bawah itu, sepertinya dia mempunyai maksud tertentu melihatku. Siapa si wanita aneh itu? Hm, mungkin besok kutanyakan saja pada Holly. Dengan perasaan masih kesal, aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar