Fourteen
Years Later...
Kecelakaan itu
membuatku amnesia. Aku tidak ingat satu pun, aku lupa namaku, aku lupa dengan
nama teman-temanku, aku benar-benar merasa kosong. Setelah hampir sebulan
menginap di rumah sakit, aku akhirnya dapat pulang ke rumah. Hanya saja
sekarang banyak yang berbeda. Lily, yang mengaku sebagai teman akrabku di
kantor, bilang bahwa rumah sederhana berperabotan banyak ini adalah rumahku.
Tetapi entah kenapa yang ada di dalam ingatanku adalah sebuah rumah besar di
sebuah komplek perumahan yang jauh dari keramaian kota, bukan di sebuah
apartemen sempit seperti ini. Kujelaskan pada Lily bahwa dia telah salah
mengantarku pulang, tapi dia hanya tersenyum tipis dan menepuk bahuku pelan.
“Kau baru pulang dari
rumah sakit sayangku. Otakmu masih kacau. Nah, sekarang istirahatlah di
kamarmu.” Lily menuntunku menuju kamarku yang kecil. Tidak ada yang berarti di
situ, semuanya terlihat sangat membosankan.
“Aku rasa dulu aku
punya semacam papan pengingat di kamar ini. Aku akan mencatat segala kegiatanku
dengan spidol warna-warni dan menempelnya di papan itu. Aku juga merias
lemariku dengan potongan-potongan gambar yang kubuat sendiri. Dan seingatku ada
gambar-gambar karakter Disney yang menghiasi dinding kamarku. Kenapa sekarang
begitu berbeda?” tanyaku kepada Lily yang mengerutkan kening disebelahku.
Dia pasti berpikir
bahwa aku bicara melantur, bisa dilihat dari ekspresi mukanya yang memandangku
aneh. Namun dia berusaha menutupinya dengan senyuman. “Well, Charlotte, ini adalah kamarmu yang sekarang. Mungkin kau
membicarakan kamarmu ketika kau masih kecil. Nah, sekarang istirahatlah. Sudah
kubilang otakmu masih kacau.”
Aku memandangi lagi
setiap jengkal kamarku sebelum mengangguk kepada Lily. “Mungkin kau benar.
Entah kenapa semenjak keluar dari rumah sakit aku terus-menerus mendapat
bayang-bayang masa kecil berkelebat di otakku. Ini aneh sekali.” Aku
membaringkan diriku dan menarik selimut, lalu tersenyum pada Lily. “Kau baik
sekali. Menyesal bahwa aku sama sekali
tidak ingat apa-apa.”
“Tidak apa-apa
Charlotte. Nanti kau juga akan ingat, istirahatlah. “Lily memperingatkan untuk
ketiga kalinya. Dengan satu anggukan kepala, aku mencoba tidur dan terbawa
hanyut ke alam mimpi.
Malam harinya, aku
mendapati sebuah buku cukup tebal setelah mengobrak-abrik lemari. Entah kenapa
buku yang bersampul warna-warni ini begitu familiar di ingatanku. Aku pernah
merasa memiliki buku ini entah pada waktu yang mana. Yang jelas, aku tidak
begitu ingat. Apa ini buku harianku? Karena penasaran kubuka satu persatu
halaman dari buku tersebut. Di halaman pertama kudapatkan :
16
Oktober 1994
Erick
menyuruhku untuk mencatat apa saja yang kujalani setiap harinya dalam sebuah
buku. Menurutnya kebiasaan menulis apa saja yang kita jalani itu adalah sebuah
hal yang bagus, selain itu bisa dijadikan sebuah dokumentasi untuk anak dan
cucu kita nanti. Saudaraku itu memang selalu berpikiran jauh ke depan!
Tapi
menurutku, aku tidak bisa melihat apa bagusnya menulis di buku harian. Hidupku
membosankan, hanya Ericklah yang bisa membuatnya lebih berwarna. Aku benci anggota
keluargaku yang lain, mereka tidak pernah memperhatikanku dan Erick.
Kuharap
Erick benar. Dengan mencatat semua kegiatan dalam sebuah buku bisa membuatku
tidak lagi mengeluh dan melihat hidup ini dengan banyak sisi positifnya.
Aku mengedipkan mataku
beberapa kali, tidak menyangka dengan apa yang tertulis di sini. Ini
benar-benar buku harianku. Buku harian masa kecilku. Erick, rasanya aku memang
mengenal nama itu. Walau pun aku menderita lupa ingatan karena kecelakaan itu,
tetapi aku ingat ada satu nama yang terus terngiang-ngiang di mana pun aku
berada, bahkan ketika berada di rumah sakit dalam keadaan tidak sadar. Dan nama
itu tidak salah lagi, nama itu Erick. Erick! Aku ingat sekarang! Dia saudara
kembarku!
Kubalik buku itu dan
kubaca halaman terakhir. Tertera di sana tanggal 21 November 1995. Tanggal ini,
aku mulai ingat. Sekelebat bayangan melintas di benakku. Waktu itu, begitu
menyedihkan. Bayangan pohon maple di belakang rumahku dulu masih tidak jelas,
kabur dan bergoyang-goyang. Ada dua orang anak berdiri di beranda, muka mereka
berdua sama tidak jelasnya dengan keadaan sekitar situ. Aku sama sekali tidak
dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Bayangan dua orang anak itu mengabur
dan bisa kudengar bunyi tinggi yang memekakkan telinga, dan kemudian semuanya
benar-benar hilang. Hal terakhir yang kulihat sebelum semuanya hilang, adalah
salah satu dari anak tersebut pergi meninggalkan anak yang satu lagi.
Sendirian.
Bunyi bedebum benda
jatuh menyadarkanku. Kepalaku langsung sakit entah karena apa. Kupungut buku
harianku yang terjatuh dan sambil memengangi kepalaku, kupaksakan diri untuk
berjalan menuju kamar. Mataku berkunang-kunang karena sakit kepala yang
tiba-tiba ini. Namun ketika aku membaringkan diri ke tempat tidur, rasa sakit
kepala yang menghantam langsung hilang dengan tiba-tiba juga. Aku langsung
terduduk di tepi tempat tidur, merasa aneh dengan semua hal yang terjadi hari
ini. Kuambil lagi buku harian masa kecilku dan kubolak-balik terus
halaman-halamannya sampai suatu kertas terlipat terjatuh di pangkuanku. Kuambil
kertas itu dan dengan penasaran kubuka lipatannya.
Isi yang tertulis di
sana awalnya membuatku bingung. Kubaca lagi dengan seksama tulisan tersebut,
dan sebuah ketidakmengertian masih menghantam pikiranku. Ini adalah sebuah karangan
yang aneh sekali. Tetapi aku merasa sangat familiar. Aku merasa sangat familiar
dengan semua yang sudah terjadi hari ini. Aku harus mencari tahu apa yang
terjadi dengan Erick. Aku akan berusaha mencari tahu di mana keberadaan Erick
lagi. Dan aku memang harus kembali ke awal ini semua bermula.
Pagi itu Lily
meneleponku ketika aku sedang membaca buku harian masa kecilku. Kuangkat gagang
telepon dan telingaku langsung disambut oleh sapaan Lily yang lembut dan ceria.
“Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah otakmu sudah tidak kacau lagi setelah
istirahat yang cukup?” tanyanya langsung masih dengan suara lembutnya.
“Ya, kupikir aku merasa
lebih segar pagi ini,” jawabku agak sedikit berbohong. Aku tidak tidur
semalaman. Aku sudah membuat keputusan dan aku akan melakukannya. “Kebetulan
sekali kau menelepon,” aku memotong sebelum Lily sempat berkata apa-apa lagi,
“aku akan meninggalkan London hari ini.”
Kudengar pekik tertahan
dari Lily. Dia pasti terkejut sekali. “Kau hanya bercanda kan? Maksudku,
ayolah, Mr. Regan menanyaimu terus kapan kau bisa kembali bekerja di kantor.
Dan sekarang kau mengatakan padaku kau akan meninggalkan London. Itu berarti
kau juga akan meninggalkan pekerjaanmu di sini! Apa yang akan kukatakan kepada
Mr. Regan?”
“Bilang saja kepadanya,
aku berhenti.” Kututup sambungan telepon sebelum mendengar apa jawaban Lily.
Keputusanku sudah bulat, tidak ada yang bisa mencegahku. Aku merasa London
bukanlah tempat yang tepat sebagai awal permulaan mencari Erick. Aku akan pergi
ke sebuah desa kecil di sebelah barat Sussex, tempat dimana seharusnya aku bisa
menemukan petunjuk. Tempat dimana aku akan mengumpulkan kembali
ingatan-ingatanku yang hilang dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya.
Semua barang yang
kubutuhkan telah kumasukkan ke dalam bagasi mobil. Aku akan pergi jauh dari
London menuju Sussex hanya dengan mengandalkan mobil BMW tua tahun 80-an ini.
Aku tidak tahu bagaimana aku akan mencapai desa masa kecilku, tetapi aku yakin
angin akan memanduku menuju ke sana. Ke sana, ke Langley Green.
Langley Green berada
dalam lingkungan kota Crawley, di sebelah barat Sussex. Cukup jauh juga untuk
mencapai ke sana, tapi seperti kataku aku tidak peduli. Kuperhatikan sekali
lagi peta menuju Langley Green dan bisa kurasakan bahwa aku tidak akan tersesat.
Di sepanjang perjalanan, aku benar-benar merasakannya. Setiap embusan angin
yang menerpa, suara gemerisik pepohonan, bahkan bunyi mesin mobil pun menjadi
sebuah pertanda bagiku. Seakan-akan semuanya sudah jelas terpampang di depan
mataku. Yang sekarang benar-benar kubutuhkan adalah sebuah tekad. Sebuah tekad
bahwa aku memang akan mencapai rumah masa kecilku yang sekarang samar-samar
kembali terekam di otakku.
Kuputuskan untuk
berhenti dulu di gas station untuk mengisi bahan bakar mobil. Aku sebenarnya tidak
mau membuang waktu untuk menghabiskan malam di sebuah penginapan kecil di
sebelah gas station, tetapi hari memang sudah sangat larut dan aku juga butuh
istirahat karena mengemudi dari sejak pagi. Ketika kutanyakan apakah masih ada
kamar yang kosong, si wanita penjaga counter menggeleng ringan dan mengatakan
bahwa semua kamar telah penuh.
“Banyak sekali
orang-orang yang menginap untuk semalam di sini,” ujarnya dengan nada
bersimpati. “Aku rasa karena sebentar lagi mendekati liburan musim panas, jadi
banyak orang-orang yang berpergian jauh ke luar kota.”
“Aku rasa juga begitu,”
kataku membenarkan sambil mengangkat bahu. Kuletakkan beberapa uang untuk
membayar bensin dan beberapa cemilan yang kubeli.
“Kalau tidak salah
masih ada satu penginapan lagi 500 meter dari sini,” si wanita penjaga counter
berkata lagi. “Tapi, ah, mereka memberikan pelayanan buruk! Kamarnya sempit dan
berantakan serta bau pesing! Itu bukanlah sebuah penginapan yang bagus!”
“Kenapa kau berkata
seperti itu?” tanyaku sekedar ingin tahu. Wanita itu mengerutkan dahinya.
“Salah satu saudaraku
pernah menginap di sana dalam perjalanan pulang dari Sussex, dan mobilnya
mogok. Dia tidak menemukan satupun bengkel dan akhirnya dia berjalan menuju ke
penginapan itu untuk meminjam telepon karena telepon selularnya mati sekalian
untuk menginap semalam. Harga satu kamarnya memang sangat murah, tetapi harga
murah itu memang sebanding dengan kamarnya yang sangat brengsek! Saudaraku
bahkan hampir tidak bisa tidur karena suara tikus yang mendecit-decit sepanjang
waktu. Aku heran kenapa penginapan itu masih berdiri sampai sekarang. Aku
rasa....” wanita itu berhenti tiba-tiba dan merasa bahwa dia berbicara terlalu
banyak.
“Sebaiknya aku pergi,”
kataku dan mengucapkan terima kasih kepada wanita itu. Kuhela napas panjang dan
lelah sebelum mengendarai mobilku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar