Rabu, 24 Februari 2016

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 2

Fourteen Years Later...
Kecelakaan itu membuatku amnesia. Aku tidak ingat satu pun, aku lupa namaku, aku lupa dengan nama teman-temanku, aku benar-benar merasa kosong. Setelah hampir sebulan menginap di rumah sakit, aku akhirnya dapat pulang ke rumah. Hanya saja sekarang banyak yang berbeda. Lily, yang mengaku sebagai teman akrabku di kantor, bilang bahwa rumah sederhana berperabotan banyak ini adalah rumahku. Tetapi entah kenapa yang ada di dalam ingatanku adalah sebuah rumah besar di sebuah komplek perumahan yang jauh dari keramaian kota, bukan di sebuah apartemen sempit seperti ini. Kujelaskan pada Lily bahwa dia telah salah mengantarku pulang, tapi dia hanya tersenyum tipis dan menepuk bahuku pelan.
“Kau baru pulang dari rumah sakit sayangku. Otakmu masih kacau. Nah, sekarang istirahatlah di kamarmu.” Lily menuntunku menuju kamarku yang kecil. Tidak ada yang berarti di situ, semuanya terlihat sangat membosankan.
“Aku rasa dulu aku punya semacam papan pengingat di kamar ini. Aku akan mencatat segala kegiatanku dengan spidol warna-warni dan menempelnya di papan itu. Aku juga merias lemariku dengan potongan-potongan gambar yang kubuat sendiri. Dan seingatku ada gambar-gambar karakter Disney yang menghiasi dinding kamarku. Kenapa sekarang begitu berbeda?” tanyaku kepada Lily yang mengerutkan kening disebelahku.
Dia pasti berpikir bahwa aku bicara melantur, bisa dilihat dari ekspresi mukanya yang memandangku aneh. Namun dia berusaha menutupinya dengan senyuman. “Well, Charlotte, ini adalah kamarmu yang sekarang. Mungkin kau membicarakan kamarmu ketika kau masih kecil. Nah, sekarang istirahatlah. Sudah kubilang otakmu masih kacau.”
Aku memandangi lagi setiap jengkal kamarku sebelum mengangguk kepada Lily. “Mungkin kau benar. Entah kenapa semenjak keluar dari rumah sakit aku terus-menerus mendapat bayang-bayang masa kecil berkelebat di otakku. Ini aneh sekali.” Aku membaringkan diriku dan menarik selimut, lalu tersenyum pada Lily. “Kau baik sekali. Menyesal bahwa  aku sama sekali tidak ingat apa-apa.”
“Tidak apa-apa Charlotte. Nanti kau juga akan ingat, istirahatlah. “Lily memperingatkan untuk ketiga kalinya. Dengan satu anggukan kepala, aku mencoba tidur dan terbawa hanyut ke alam mimpi.
Malam harinya, aku mendapati sebuah buku cukup tebal setelah mengobrak-abrik lemari. Entah kenapa buku yang bersampul warna-warni ini begitu familiar di ingatanku. Aku pernah merasa memiliki buku ini entah pada waktu yang mana. Yang jelas, aku tidak begitu ingat. Apa ini buku harianku? Karena penasaran kubuka satu persatu halaman dari buku tersebut. Di halaman pertama kudapatkan :
16 Oktober 1994
Erick menyuruhku untuk mencatat apa saja yang kujalani setiap harinya dalam sebuah buku. Menurutnya kebiasaan menulis apa saja yang kita jalani itu adalah sebuah hal yang bagus, selain itu bisa dijadikan sebuah dokumentasi untuk anak dan cucu kita nanti. Saudaraku itu memang selalu berpikiran jauh ke depan!
Tapi menurutku, aku tidak bisa melihat apa bagusnya menulis di buku harian. Hidupku membosankan, hanya Ericklah yang bisa membuatnya lebih berwarna. Aku benci anggota keluargaku yang lain, mereka tidak pernah memperhatikanku dan Erick.
Kuharap Erick benar. Dengan mencatat semua kegiatan dalam sebuah buku bisa membuatku tidak lagi mengeluh dan melihat hidup ini dengan banyak sisi positifnya.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali, tidak menyangka dengan apa yang tertulis di sini. Ini benar-benar buku harianku. Buku harian masa kecilku. Erick, rasanya aku memang mengenal nama itu. Walau pun aku menderita lupa ingatan karena kecelakaan itu, tetapi aku ingat ada satu nama yang terus terngiang-ngiang di mana pun aku berada, bahkan ketika berada di rumah sakit dalam keadaan tidak sadar. Dan nama itu tidak salah lagi, nama itu Erick. Erick! Aku ingat sekarang! Dia saudara kembarku!
Kubalik buku itu dan kubaca halaman terakhir. Tertera di sana tanggal 21 November 1995. Tanggal ini, aku mulai ingat. Sekelebat bayangan melintas di benakku. Waktu itu, begitu menyedihkan. Bayangan pohon maple di belakang rumahku dulu masih tidak jelas, kabur dan bergoyang-goyang. Ada dua orang anak berdiri di beranda, muka mereka berdua sama tidak jelasnya dengan keadaan sekitar situ. Aku sama sekali tidak dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Bayangan dua orang anak itu mengabur dan bisa kudengar bunyi tinggi yang memekakkan telinga, dan kemudian semuanya benar-benar hilang. Hal terakhir yang kulihat sebelum semuanya hilang, adalah salah satu dari anak tersebut pergi meninggalkan anak yang satu lagi. Sendirian.
Bunyi bedebum benda jatuh menyadarkanku. Kepalaku langsung sakit entah karena apa. Kupungut buku harianku yang terjatuh dan sambil memengangi kepalaku, kupaksakan diri untuk berjalan menuju kamar. Mataku berkunang-kunang karena sakit kepala yang tiba-tiba ini. Namun ketika aku membaringkan diri ke tempat tidur, rasa sakit kepala yang menghantam langsung hilang dengan tiba-tiba juga. Aku langsung terduduk di tepi tempat tidur, merasa aneh dengan semua hal yang terjadi hari ini. Kuambil lagi buku harian masa kecilku dan kubolak-balik terus halaman-halamannya sampai suatu kertas terlipat terjatuh di pangkuanku. Kuambil kertas itu dan dengan penasaran kubuka lipatannya.
Isi yang tertulis di sana awalnya membuatku bingung. Kubaca lagi dengan seksama tulisan tersebut, dan sebuah ketidakmengertian masih menghantam pikiranku. Ini adalah sebuah karangan yang aneh sekali. Tetapi aku merasa sangat familiar. Aku merasa sangat familiar dengan semua yang sudah terjadi hari ini. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi dengan Erick. Aku akan berusaha mencari tahu di mana keberadaan Erick lagi. Dan aku memang harus kembali ke awal ini semua bermula.

Pagi itu Lily meneleponku ketika aku sedang membaca buku harian masa kecilku. Kuangkat gagang telepon dan telingaku langsung disambut oleh sapaan Lily yang lembut dan ceria. “Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah otakmu sudah tidak kacau lagi setelah istirahat yang cukup?” tanyanya langsung masih dengan suara lembutnya.
“Ya, kupikir aku merasa lebih segar pagi ini,” jawabku agak sedikit berbohong. Aku tidak tidur semalaman. Aku sudah membuat keputusan dan aku akan melakukannya. “Kebetulan sekali kau menelepon,” aku memotong sebelum Lily sempat berkata apa-apa lagi, “aku akan meninggalkan London hari ini.”
Kudengar pekik tertahan dari Lily. Dia pasti terkejut sekali. “Kau hanya bercanda kan? Maksudku, ayolah, Mr. Regan menanyaimu terus kapan kau bisa kembali bekerja di kantor. Dan sekarang kau mengatakan padaku kau akan meninggalkan London. Itu berarti kau juga akan meninggalkan pekerjaanmu di sini! Apa yang akan kukatakan kepada Mr. Regan?”
“Bilang saja kepadanya, aku berhenti.” Kututup sambungan telepon sebelum mendengar apa jawaban Lily. Keputusanku sudah bulat, tidak ada yang bisa mencegahku. Aku merasa London bukanlah tempat yang tepat sebagai awal permulaan mencari Erick. Aku akan pergi ke sebuah desa kecil di sebelah barat Sussex, tempat dimana seharusnya aku bisa menemukan petunjuk. Tempat dimana aku akan mengumpulkan kembali ingatan-ingatanku yang hilang dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya.
Semua barang yang kubutuhkan telah kumasukkan ke dalam bagasi mobil. Aku akan pergi jauh dari London menuju Sussex hanya dengan mengandalkan mobil BMW tua tahun 80-an ini. Aku tidak tahu bagaimana aku akan mencapai desa masa kecilku, tetapi aku yakin angin akan memanduku menuju ke sana. Ke sana, ke Langley Green.
Langley Green berada dalam lingkungan kota Crawley, di sebelah barat Sussex. Cukup jauh juga untuk mencapai ke sana, tapi seperti kataku aku tidak peduli. Kuperhatikan sekali lagi peta menuju Langley Green dan bisa kurasakan bahwa aku tidak akan tersesat. Di sepanjang perjalanan, aku benar-benar merasakannya. Setiap embusan angin yang menerpa, suara gemerisik pepohonan, bahkan bunyi mesin mobil pun menjadi sebuah pertanda bagiku. Seakan-akan semuanya sudah jelas terpampang di depan mataku. Yang sekarang benar-benar kubutuhkan adalah sebuah tekad. Sebuah tekad bahwa aku memang akan mencapai rumah masa kecilku yang sekarang samar-samar kembali terekam di otakku.
Kuputuskan untuk berhenti dulu di gas station untuk mengisi bahan bakar mobil. Aku sebenarnya tidak mau membuang waktu untuk menghabiskan malam di sebuah penginapan kecil di sebelah gas station, tetapi hari memang sudah sangat larut dan aku juga butuh istirahat karena mengemudi dari sejak pagi. Ketika kutanyakan apakah masih ada kamar yang kosong, si wanita penjaga counter menggeleng ringan dan mengatakan bahwa semua kamar telah penuh.
“Banyak sekali orang-orang yang menginap untuk semalam di sini,” ujarnya dengan nada bersimpati. “Aku rasa karena sebentar lagi mendekati liburan musim panas, jadi banyak orang-orang yang berpergian jauh ke luar kota.”
“Aku rasa juga begitu,” kataku membenarkan sambil mengangkat bahu. Kuletakkan beberapa uang untuk membayar bensin dan beberapa cemilan yang kubeli.
“Kalau tidak salah masih ada satu penginapan lagi 500 meter dari sini,” si wanita penjaga counter berkata lagi. “Tapi, ah, mereka memberikan pelayanan buruk! Kamarnya sempit dan berantakan serta bau pesing! Itu bukanlah sebuah penginapan yang bagus!”
“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanyaku sekedar ingin tahu. Wanita itu mengerutkan dahinya.
“Salah satu saudaraku pernah menginap di sana dalam perjalanan pulang dari Sussex, dan mobilnya mogok. Dia tidak menemukan satupun bengkel dan akhirnya dia berjalan menuju ke penginapan itu untuk meminjam telepon karena telepon selularnya mati sekalian untuk menginap semalam. Harga satu kamarnya memang sangat murah, tetapi harga murah itu memang sebanding dengan kamarnya yang sangat brengsek! Saudaraku bahkan hampir tidak bisa tidur karena suara tikus yang mendecit-decit sepanjang waktu. Aku heran kenapa penginapan itu masih berdiri sampai sekarang. Aku rasa....” wanita itu berhenti tiba-tiba dan merasa bahwa dia berbicara terlalu banyak.

“Sebaiknya aku pergi,” kataku dan mengucapkan terima kasih kepada wanita itu. Kuhela napas panjang dan lelah sebelum mengendarai mobilku lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar