Terdengar bunyi ketukan
pintu di luar. Kuletakkan cangkir kopiku di meja dan setengah berlari dari
dapur ke depan untuk membukakan pintu. Tampak Tuan Kensington berdiri di depan
rumah. Aku menyilakan pria setengah baya itu masuk dan dia langsung duduk di sofa
ruang tamu. “Anda membuat semua hal yang ada di rumah ini jadi berbeda,”
ujarnya sembari melihat sekeliling ruang tamu. “Perabotan-perabotan ini
terlihat bekas, Anda mengambilnya kembali dari dalam gudang?”
“Ya, begitulah.” Aku
duduk di depannya, “Selama masih bisa dipakai, kenapa tidak?”
Tuan Kensington
mengangguk-ngangguk dan memberitahukan maksud kedatangannya ke sini. “Saya
sudah berbicara dengan Tuan Worthtington. Dia mengatakan bahwa nama keluargamu
terdengar tidak asing baginya.”
“Tentu saja, banyak
orang yang mempunyai nama belakang Harriot,” jawabku mencoba terdengar biasa
saja. Aku tidak tahu apakah Tuan Worthtington akhirnya menyadari bahwa aku
dulunya pemilik rumah ini yang asli.
Pria di depanku
tersenyum kecil mendengarnya. “Maksud saya pemilik rumah sebelum dia juga
mempunyai nama keluarga Harriot. Tuan Jonathan Harriot. Dia beserta keluarganya
pindah ke Cardiff empat belas tahun lalu, tetapi istrinya lebih memilih untuk
pindah ke London. Sepengetahuan Tuan Worthtington, keluarga itu memang tidak
pernah akur. Tuan dan Nyonya Harriot berperilaku tidak seperti sepasang suami
istri. Seharusnya mereka bercerai saja sedari dulu, tetapi mereka masih
memikirkan tentang kepentingan anak-anak. Tuan Worhtington juga mendengar bahwa
pasangan itu mempunyai tiga anak, dan dia mendengar lagi bahwa salah satu dari
anak mereka ikut Nyonya Harriot ke London. Sayangnya wanita itu meninggal enam
tahun yang lalu, dan tidak ada sama sekali informasi mengenai anak yang
dibawanya ke London itu.”
Semua yang diceritakan
oleh Tuan Kensington membuatku terdiam. Bisa kurasakan jantungku berdetak dua
kali lebih cepat dan otakku bisa meledak kapan saja. Informasi ini terlalu
banyak. Jadi begitukah yang terjadi? Benarkah bahwa aku terpisah dari Erick,
saudara kembarku? Sekarang dia berada di Cardiff, tetapi apakah dia juga ingat
kepadaku? Cuma ingatan tentang Erick dan rumah masa laluku yang benar-benar
masih melekat kuat dalam ingatanku. Lily tidak pernah mengatakan bahwa ibuku
sudah meninggal. kalau dia mengatakan lebih awal, mungkin aku bisa mengucapkan
sepatah dua kata pada kuburannya.
“Nona Charlotte, apakah
Anda baik-baik saja?” suara khawatir Tuan Kensington menyadarkanku bahwa sedari
tadi aku hanya diam sambil menunduk dalam-dalam.
Aku mengangguk dan
merasakan air mataku akan jatuh. Hei, kenapa aku menangis? Apa yang harus
kutangiskan? Dengan susah payah kutahan air mataku supaya Tuan Kensington tidak
melihatnya. “A, aku baik-baik saja Tuan Kensington. Apakah Anda tahu nama
anak-anak mereka?”
Dia menggeleng. “Sayangnya
tidak. Mr. Worthtington juga tidak tahu. Kenapa kau ingin tahu tentang mereka?”
“Ah, tidak. Hanya ingin
tahu saja,” jawabku berbohong. Kupaksakan senyum dihadapan Tuan Kensington dan
dia membalas senyumku walau di matanya masih tampak keheranan.
Kami berbincang-bincang
untuk setengah jam ke depan tentang Langley Green. Aku bermaksud untuk melamar
pekerjaan sebagai sekretaris di kantor pengacara setempat, Smith & Bailey,
dan Tuan Bailey telah menjadwalkan interview
besok pagi pukul sembilan di kantornya. Akhirnya Tuan Kensington pamit pulang
dan mengatakan semoga berhasil untuk interviewku
besok.
Suara bunyi telepon
menganggu sarapanku. Aku berdecak kesal karena acara makan pagiku sudah dua
kali terganggu, tetapi aku beranjak juga ke ruang tengah untuk mengangkat
telepon. “Halo,” sapaku, berusaha terdengar kesal kepada siapa pun yang
menelepon.
“Halo Charlotte!” suara
ceria Lily menggema di kupingku, “Suaramu tidak biasa pagi ini. Oh, apakah aku
terlalu pagi untuk menelepon?”
Aku tertawa mendengar
suara khawatir Lily yang dibuat-buat. Sejujurnya jam sembilan pagi sudah cukup
siang bagiku. “Maafkan aku Lily. Ya, kau terlalu pagi. Buat orang sepertimu jam
sembilan memang terlalu pagi.”
“Jadi kau berpikir
bahwa aku adalah tipe orang yang menghabiskan waktu untuk tidur sampai siang?”
dia bertanya dengan nada marah yang tidak serius.
Suara marah palsu Lily
membuatku tertawa lagi. “Oke, oke, aku hanya bercanda. Tetapi sekarang serius,
kenapa kau meneleponku sepagi ini?”
“Masa kau lupa? Aku
mengirim pesan kepadamu kemarin malam. Akhir pekan ini aku akan datang ke
Langley Green. Aku sudah dapat cuti dari atasanku dan aku akan berada di sana
Sabtu pagi, mungkin sekitar jam sembilan atau sepuluh. Akan kulihat bagaimana
kehidupanmu di sana dan apa yang membuatmu benar-benar ngotot untuk pindah ke
sana.” Lily menaikkan suaranya pada kalimat terakhir, dan entah kenapa aku
merasa dia memelototkan matanya ketika mengucapkan kalimat terakhir itu.
“Oh, baiklah Lily.
Sampai ketemu Sabtu nanti!” kataku dan menutup telepon. Aku kembali lagi ke
meja sarapan dan berharap tidak ada yang menganggu lagi makan pagiku kali ini.
Sambil memakan serealku, aku memikirkan tentang membuat sesuatu yang agak
berbeda ketika Lily datang nanti. Biasanya aku sarapan dengan roti bagel atau
sereal dan sandwich. Mungkin aku bisa membuat English Muffin untuk Sabtu nanti.
Kalau tidak salah aku menemukan resep itu kemarin ketika membereskan lemari
dapur bekas.
Tuan Bailey bisa
dibilang sebagai orang yang paling bosan tinggal di Langley Green. Dia sudah
menghabiskan 26 tahun hidupnya dengan membuka praktek pengacara di sini,
meneruskan pekerjaan ayahnya, Smith yang meninggal karena kanker otak. Tidak
banyak yang bisa dilakukan di sini selain mengurusi perceraian, pembagian harta
warisan yang tidak seberapa dan tetek bengek kecil lainnya. Sekretaris lamanya,
Nona Emma, pulang ke kampung halamannya beberapa hari lalu, jadi terpaksalah
Tuan Bailey membuka lowongan untuk mencari sekretaris baru.
Dari pertama melihatku,
bisa kusimpulkan bahwa dia tidak terlalu suka padaku. Tetapi kelihatannya Tuan
Bailey memang tidak suka dengan semua
orang. Dia terperangkap di sini, tinggal berdua saja bersama istrinya yang
invalid, menghabiskan waktu di kantor kecil dan mengurusi hal yang menurutnya
melecehkan gelar hukumnya. Sudah jelaslah bahwa dia berangan-angan untuk pindah
dari sini, ke kota besar, dia bisa mulai di Crawley atau kota lainnya. Membuka
praktek pengacara di sana, berusaha sedikit demi sedikit untuk mendapat dana
yang cukup untuk menyewa gedung yang lebih besar di kota yang lebih besar juga,
London mungkin? Yang jelas, kenyataan membawanya masih tetap berada di Langley
Green.
Kata Pak Tua itu, aku
sudah bisa bekerja mulai Senin depan. Pekerjaannya juga tidak terlalu repot,
hanya mengetik surat-surat dan dokumen-dokumen, menyusun jadwal pertemuan,
mengangkat telepon, serta melayani para tamu yang datang ke sini dengan ramah.
Tuan Bailey tidak bisa memberi gaji tinggi, mengingat ini hanyalah sebuah biro
hukum kecil. Namun uang tidak sepenuhnya menjadi masalah buatku. Aku datang ke
Langley Green untuk mengorek informasi mengenai masa laluku dan juga saudara
kembarku. Setelah aku memikirkan hal itu dengan lebih mendalam, aku baru sadar
aku belum melakukan apa-apa untuk semua itu.
Mimpi-mimpi aneh yang
kudapatkan, sekarang sudah tidak pernah kudapatkan lagi semenjak aku
menginjakkan kaki di Langley Green. Kuhempaskan badanku ke sofa butut di ruang
tengah, dan segera menyadari bahwa aku bisa saja merusak sofa ini kalau aku
melakukan hal itu lebih dari sekali. Kembali aku memikirkan tentang
mimpi-mimpiku dan juga saudara kembarku, Erick. Barulah aku teringat dengan
perkataan Tuan Kensington, bahwa pemilik rumah sebelum Tuan Worthington alias
ayahku, memboyong seorang anak lelaki ke Cardiff. Bisa saja itu Erick! Ayah membawa
Erick dan kakak perempuanku ke kota pelabuhan itu, sedangkan aku harus
menjalani hidup yang tidak menyenangkan di London bersama ibu. Itu kendengaran
sangat tidak adil.
Apakah aku harus pergi
ke Cardiff untuk mencari Erick? Tapi Cardiff kota besar dan jaraknya jauh dari
Langley Green. Aku tidak mungkin akan langsung menemukan Erick di sana, selain
itu aku sama sekali tidak tahu bagaimana tampang Erick sekarang. Selama ini
yang kulihat di mimpiku adalah tampang Erick ketika dia masih kecil. Dan kemungkinan
lain yang tambah menyurutkan keinginanku untuk pergi ke Cardiff adalah mungkin
saja Erick telah pindah dari sana. Siapa tahu saja ada sesuatu yang membuatnya
pindah dan aku tidak tahu kemana. Aku benar-benar tidak punya sedikit pun
petunjuk untuk mencari keberadaan saudara kembarku itu, satu-satunya keluargaku
yang masih kuingat sampai sekarang.
Jumat pagi itu
kuputuskan untuk berbelanja ke pasar terdekat. Setelah mendapatkan semua yang
kubutuhkan, aku memutuskan mampir ke toko bunga untuk membeli bunga yang akan
kuberikan pada Nenek Loretta sebagai ucapan terima kasih karena telah
mengundangku makan malam dua hari lalu. Aku dengar dari Holly bahwa Nenek Loretta
sangat menyukai bunga Daisy, bunga yang melambangkan bulan kelahirannya, April.
Kubawa semua belanjaanku dan kumasukkan ke bagasi mobil. Buket bunga daisy itu
kutaruh di bangku penumpang dan akan segera kuberikan kepada Nenek Loretta.
Perjalanan dari rumah ke pasar sebenarnya bisa ditempuh dengan 20 menit jalan
kaki, namun aku sedang tidak niat untuk berjalan-jalan sendiri.
Mobilku kujalankan
dengan santai menyusuri jalan utama Langley Green. Sesuatu berkelebat dengan
cepat, dan itu membuatku terpaksa mengerem mendadak, membuat buket bunga
daisyku jatuh dan kepalaku hampir menabrak setir seandainya aku tidak pakai
sabuk pengaman. Kulihat dari kaca mobil, wanita berjubah hitam yang sama
seperti yang kulihat dua malam lalu.
”Shit!” umpatku keras-keras, merasa benar-benar jengkel dengan
wanita sok misterius dan aneh yang berdiri dengan enteng di depan mobilku.
Dengan cepat aku keluar dari mobil dan menghampiri wanita itu. Anehnya, dia
tersenyum kepadaku, bukan senyum yang ramah, tetapi lebih mirip sebuah seringaian
licik. “Kau,” aku menunjuk ke arahnya dengan geram, “Kau hampir saja tertabrak
tahu! Apa yang kau lakukan tiba-tiba datang menghalangi jalan!?”
Dia tersenyum licik
lagi sebelum menjawab, “Aku datang karena aku ingin melihatmu. Kau yang akan
jadi berikutnya.”
Aku mengernyitkan
keningku merasa sangat aneh dengan perkataannya. Mungkinkah wanita ini gila?
Atau dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur? Dari tampangnya dia memang
terlihat sangat cantik, wanita tercantik yang pernah kulihat. Dia bisa jadi
model atau bintang film atau apa saja, tetapi aku merasakan bahwa ada aura
jahat yang mengelilingi wanita di depanku ini, dan aku tidak suka itu. “Aku
tidak mau ambil pusing dengan perkataanmu. Tolong segera menyingkir dari tengah
jalan supaya aku dapat mengendarai mobil dengan tenang!” perintahku kepadanya
dengan kasar. Sudah kubilang kan aku tidak suka wanita ini.
“Kau akan menyesal berkata begitu!” ujarnya dan
dia berjalan ke pinggir. Wanita itu masih menatap ke arahku walau aku sudah
berada di dalam mobil. Kujalankan mobilku dengan pelan dan aku sempat melirik
sebentar wanita itu dari kaca penumpang. Benar-benar wanita yang aneh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar