Rabu, 24 Februari 2016

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 4

Terdengar bunyi ketukan pintu di luar. Kuletakkan cangkir kopiku di meja dan setengah berlari dari dapur ke depan untuk membukakan pintu. Tampak Tuan Kensington berdiri di depan rumah. Aku menyilakan pria setengah baya itu masuk dan dia langsung duduk di sofa ruang tamu. “Anda membuat semua hal yang ada di rumah ini jadi berbeda,” ujarnya sembari melihat sekeliling ruang tamu. “Perabotan-perabotan ini terlihat bekas, Anda mengambilnya kembali dari dalam gudang?”
“Ya, begitulah.” Aku duduk di depannya, “Selama masih bisa dipakai, kenapa tidak?”
Tuan Kensington mengangguk-ngangguk dan memberitahukan maksud kedatangannya ke sini. “Saya sudah berbicara dengan Tuan Worthtington. Dia mengatakan bahwa nama keluargamu terdengar tidak asing baginya.”
“Tentu saja, banyak orang yang mempunyai nama belakang Harriot,” jawabku mencoba terdengar biasa saja. Aku tidak tahu apakah Tuan Worthtington akhirnya menyadari bahwa aku dulunya pemilik rumah ini yang asli.
Pria di depanku tersenyum kecil mendengarnya. “Maksud saya pemilik rumah sebelum dia juga mempunyai nama keluarga Harriot. Tuan Jonathan Harriot. Dia beserta keluarganya pindah ke Cardiff empat belas tahun lalu, tetapi istrinya lebih memilih untuk pindah ke London. Sepengetahuan Tuan Worthtington, keluarga itu memang tidak pernah akur. Tuan dan Nyonya Harriot berperilaku tidak seperti sepasang suami istri. Seharusnya mereka bercerai saja sedari dulu, tetapi mereka masih memikirkan tentang kepentingan anak-anak. Tuan Worhtington juga mendengar bahwa pasangan itu mempunyai tiga anak, dan dia mendengar lagi bahwa salah satu dari anak mereka ikut Nyonya Harriot ke London. Sayangnya wanita itu meninggal enam tahun yang lalu, dan tidak ada sama sekali informasi mengenai anak yang dibawanya ke London itu.”
Semua yang diceritakan oleh Tuan Kensington membuatku terdiam. Bisa kurasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat dan otakku bisa meledak kapan saja. Informasi ini terlalu banyak. Jadi begitukah yang terjadi? Benarkah bahwa aku terpisah dari Erick, saudara kembarku? Sekarang dia berada di Cardiff, tetapi apakah dia juga ingat kepadaku? Cuma ingatan tentang Erick dan rumah masa laluku yang benar-benar masih melekat kuat dalam ingatanku. Lily tidak pernah mengatakan bahwa ibuku sudah meninggal. kalau dia mengatakan lebih awal, mungkin aku bisa mengucapkan sepatah dua kata pada kuburannya.
“Nona Charlotte, apakah Anda baik-baik saja?” suara khawatir Tuan Kensington menyadarkanku bahwa sedari tadi aku hanya diam sambil menunduk dalam-dalam.
Aku mengangguk dan merasakan air mataku akan jatuh. Hei, kenapa aku menangis? Apa yang harus kutangiskan? Dengan susah payah kutahan air mataku supaya Tuan Kensington tidak melihatnya. “A, aku baik-baik saja Tuan Kensington. Apakah Anda tahu nama anak-anak mereka?”
Dia menggeleng. “Sayangnya tidak. Mr. Worthtington juga tidak tahu. Kenapa kau ingin tahu tentang mereka?”
“Ah, tidak. Hanya ingin tahu saja,” jawabku berbohong. Kupaksakan senyum dihadapan Tuan Kensington dan dia membalas senyumku walau di matanya masih tampak keheranan.
Kami berbincang-bincang untuk setengah jam ke depan tentang Langley Green. Aku bermaksud untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris di kantor pengacara setempat, Smith & Bailey, dan Tuan Bailey telah menjadwalkan interview besok pagi pukul sembilan di kantornya. Akhirnya Tuan Kensington pamit pulang dan mengatakan semoga berhasil untuk interviewku besok.
Suara bunyi telepon menganggu sarapanku. Aku berdecak kesal karena acara makan pagiku sudah dua kali terganggu, tetapi aku beranjak juga ke ruang tengah untuk mengangkat telepon. “Halo,” sapaku, berusaha terdengar kesal kepada siapa pun yang menelepon.
“Halo Charlotte!” suara ceria Lily menggema di kupingku, “Suaramu tidak biasa pagi ini. Oh, apakah aku terlalu pagi untuk menelepon?”
Aku tertawa mendengar suara khawatir Lily yang dibuat-buat. Sejujurnya jam sembilan pagi sudah cukup siang bagiku. “Maafkan aku Lily. Ya, kau terlalu pagi. Buat orang sepertimu jam sembilan  memang terlalu pagi.”
“Jadi kau berpikir bahwa aku adalah tipe orang yang menghabiskan waktu untuk tidur sampai siang?” dia bertanya dengan nada marah yang tidak serius.
Suara marah palsu Lily membuatku tertawa lagi. “Oke, oke, aku hanya bercanda. Tetapi sekarang serius, kenapa kau meneleponku sepagi ini?”
“Masa kau lupa? Aku mengirim pesan kepadamu kemarin malam. Akhir pekan ini aku akan datang ke Langley Green. Aku sudah dapat cuti dari atasanku dan aku akan berada di sana Sabtu pagi, mungkin sekitar jam sembilan atau sepuluh. Akan kulihat bagaimana kehidupanmu di sana dan apa yang membuatmu benar-benar ngotot untuk pindah ke sana.” Lily menaikkan suaranya pada kalimat terakhir, dan entah kenapa aku merasa dia memelototkan matanya ketika mengucapkan kalimat terakhir itu.
“Oh, baiklah Lily. Sampai ketemu Sabtu nanti!” kataku dan menutup telepon. Aku kembali lagi ke meja sarapan dan berharap tidak ada yang menganggu lagi makan pagiku kali ini. Sambil memakan serealku, aku memikirkan tentang membuat sesuatu yang agak berbeda ketika Lily datang nanti. Biasanya aku sarapan dengan roti bagel atau sereal dan sandwich. Mungkin aku bisa membuat English Muffin untuk Sabtu nanti. Kalau tidak salah aku menemukan resep itu kemarin ketika membereskan lemari dapur bekas.

Tuan Bailey bisa dibilang sebagai orang yang paling bosan tinggal di Langley Green. Dia sudah menghabiskan 26 tahun hidupnya dengan membuka praktek pengacara di sini, meneruskan pekerjaan ayahnya, Smith yang meninggal karena kanker otak. Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini selain mengurusi perceraian, pembagian harta warisan yang tidak seberapa dan tetek bengek kecil lainnya. Sekretaris lamanya, Nona Emma, pulang ke kampung halamannya beberapa hari lalu, jadi terpaksalah Tuan Bailey membuka lowongan untuk mencari sekretaris baru.
Dari pertama melihatku, bisa kusimpulkan bahwa dia tidak terlalu suka padaku. Tetapi kelihatannya Tuan Bailey memang tidak suka dengan  semua orang. Dia terperangkap di sini, tinggal berdua saja bersama istrinya yang invalid, menghabiskan waktu di kantor kecil dan mengurusi hal yang menurutnya melecehkan gelar hukumnya. Sudah jelaslah bahwa dia berangan-angan untuk pindah dari sini, ke kota besar, dia bisa mulai di Crawley atau kota lainnya. Membuka praktek pengacara di sana, berusaha sedikit demi sedikit untuk mendapat dana yang cukup untuk menyewa gedung yang lebih besar di kota yang lebih besar juga, London mungkin? Yang jelas, kenyataan membawanya masih tetap berada di Langley Green.
Kata Pak Tua itu, aku sudah bisa bekerja mulai Senin depan. Pekerjaannya juga tidak terlalu repot, hanya mengetik surat-surat dan dokumen-dokumen, menyusun jadwal pertemuan, mengangkat telepon, serta melayani para tamu yang datang ke sini dengan ramah. Tuan Bailey tidak bisa memberi gaji tinggi, mengingat ini hanyalah sebuah biro hukum kecil. Namun uang tidak sepenuhnya menjadi masalah buatku. Aku datang ke Langley Green untuk mengorek informasi mengenai masa laluku dan juga saudara kembarku. Setelah aku memikirkan hal itu dengan lebih mendalam, aku baru sadar aku belum melakukan apa-apa untuk semua itu.
Mimpi-mimpi aneh yang kudapatkan, sekarang sudah tidak pernah kudapatkan lagi semenjak aku menginjakkan kaki di Langley Green. Kuhempaskan badanku ke sofa butut di ruang tengah, dan segera menyadari bahwa aku bisa saja merusak sofa ini kalau aku melakukan hal itu lebih dari sekali. Kembali aku memikirkan tentang mimpi-mimpiku dan juga saudara kembarku, Erick. Barulah aku teringat dengan perkataan Tuan Kensington, bahwa pemilik rumah sebelum Tuan Worthington alias ayahku, memboyong seorang anak lelaki ke Cardiff. Bisa saja itu Erick! Ayah membawa Erick dan kakak perempuanku ke kota pelabuhan itu, sedangkan aku harus menjalani hidup yang tidak menyenangkan di London bersama ibu. Itu kendengaran sangat tidak adil.
Apakah aku harus pergi ke Cardiff untuk mencari Erick? Tapi Cardiff kota besar dan jaraknya jauh dari Langley Green. Aku tidak mungkin akan langsung menemukan Erick di sana, selain itu aku sama sekali tidak tahu bagaimana tampang Erick sekarang. Selama ini yang kulihat di mimpiku adalah tampang Erick ketika dia masih kecil. Dan kemungkinan lain yang tambah menyurutkan keinginanku untuk pergi ke Cardiff adalah mungkin saja Erick telah pindah dari sana. Siapa tahu saja ada sesuatu yang membuatnya pindah dan aku tidak tahu kemana. Aku benar-benar tidak punya sedikit pun petunjuk untuk mencari keberadaan saudara kembarku itu, satu-satunya keluargaku yang masih kuingat sampai sekarang.

Jumat pagi itu kuputuskan untuk berbelanja ke pasar terdekat. Setelah mendapatkan semua yang kubutuhkan, aku memutuskan mampir ke toko bunga untuk membeli bunga yang akan kuberikan pada Nenek Loretta sebagai ucapan terima kasih karena telah mengundangku makan malam dua hari lalu. Aku dengar dari Holly bahwa Nenek Loretta sangat menyukai bunga Daisy, bunga yang melambangkan bulan kelahirannya, April. Kubawa semua belanjaanku dan kumasukkan ke bagasi mobil. Buket bunga daisy itu kutaruh di bangku penumpang dan akan segera kuberikan kepada Nenek Loretta. Perjalanan dari rumah ke pasar sebenarnya bisa ditempuh dengan 20 menit jalan kaki, namun aku sedang tidak niat untuk berjalan-jalan sendiri.
Mobilku kujalankan dengan santai menyusuri jalan utama Langley Green. Sesuatu berkelebat dengan cepat, dan itu membuatku terpaksa mengerem mendadak, membuat buket bunga daisyku jatuh dan kepalaku hampir menabrak setir seandainya aku tidak pakai sabuk pengaman. Kulihat dari kaca mobil, wanita berjubah hitam yang sama seperti yang kulihat dua malam lalu.  
Shit!” umpatku keras-keras, merasa benar-benar jengkel dengan wanita sok misterius dan aneh yang berdiri dengan enteng di depan mobilku. Dengan cepat aku keluar dari mobil dan menghampiri wanita itu. Anehnya, dia tersenyum kepadaku, bukan senyum yang ramah, tetapi lebih mirip sebuah seringaian licik. “Kau,” aku menunjuk ke arahnya dengan geram, “Kau hampir saja tertabrak tahu! Apa yang kau lakukan tiba-tiba datang menghalangi jalan!?”
Dia tersenyum licik lagi sebelum menjawab, “Aku datang karena aku ingin melihatmu. Kau yang akan jadi berikutnya.”
Aku mengernyitkan keningku merasa sangat aneh dengan perkataannya. Mungkinkah wanita ini gila? Atau dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur? Dari tampangnya dia memang terlihat sangat cantik, wanita tercantik yang pernah kulihat. Dia bisa jadi model atau bintang film atau apa saja, tetapi aku merasakan bahwa ada aura jahat yang mengelilingi wanita di depanku ini, dan aku tidak suka itu. “Aku tidak mau ambil pusing dengan perkataanmu. Tolong segera menyingkir dari tengah jalan supaya aku dapat mengendarai mobil dengan tenang!” perintahku kepadanya dengan kasar. Sudah kubilang kan aku tidak suka wanita ini.
“Kau akan menyesal berkata begitu!” ujarnya dan dia berjalan ke pinggir. Wanita itu masih menatap ke arahku walau aku sudah berada di dalam mobil. Kujalankan mobilku dengan pelan dan aku sempat melirik sebentar wanita itu dari kaca penumpang. Benar-benar wanita yang aneh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar