Pada
pagi hari Sabtu itu, aku sibuk di dapur dengan beberapa bahan untuk membuat
English Muffin. Buku resep masakan lama yang kutemukan terpampang dihadapanku.
Aku tidak tahu apakah aku akan mampu membuat English Muffin yang enak, tapi
tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru daripada setiap pagi harus makan
sereal dan sandwich. Bahan-bahannya sudah tersedia di atas meja dapurku yang
terdiri dari susu, ragi kering, gula pasir, garam, dan lemak babi. Cara
membuatnya adalah dengan menuang 225 mil susu dan 55 mil air ke dalam panci dan
panaskan perlahan. Setelah panas, tuang ke dalam sebuah baskom kecil dan
masukkan gula serta ragi. Aduk dan tinggalkan di tempat yang hangat selama 15
menit. Setelah itu...,
Pintu
depanku diketuk seseorang. Terpaksa aku menghentikan pekerjaan memasakku,
membuka celemek, dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Ternyata Holly
yang mengetuk tadi. Dia menggunakan sweter merah jambu dan celana jins biasa
serta sebuah sepatu sneaker usang. Hm..., mungkin dia baru akan berangkat untuk
menjaga anak-anak keluarga Wargrave. “Hallo,” sapanya ceria, “Hari ini aku akan
mengantar anak-anak Wargrave jalan-jalan naik kereta api. Kami akan naik bus ke
Crawley dan menaiki kereta api ke kota terdekat. Mungkin akan menyenangkan bagi
anak-anak itu apabila kami pergi ke suatu tempat yang baru. Apakah kau mau
ikut?”
Sebenarnya
aku ingin sekali menerima tawaran Holly, namun Lily akan datang sebentar lagi
ke sini. “Maaf,” ujarku berusaha untuk terdengar benar-benar menyesal, “Tapi
aku sudah ada janji dengan temanku dan dia akan datang ke sini sebentar lagi.
Aku benar-benar tidak bisa ikut denganmu.”
“Oh,”
Holly kelihatan betul-betul kecewa, “Tidak apa-apa. Bagaimana kalau minggu
depan?”
Aku
memikirkan tawaran itu untuk sesaat. “Baiklah. Mungkin aku bisa kalau minggu
depan.”
Senyum
terukir lagi di wajahnya. “Oke, lebih baik aku pergi sekarang. Namun sebelum aku
pergi, aku ada satu berita untukmu. Kita punya tetangga baru lagi. Dia tinggal
dua rumah dari rumahku. Namanya Steve, dan kukira dia seumuran denganmu. Selain
itu dia lumayan ganteng.” Holly mengedipkan sebelah matanya kearahku. Entah
untuk apa dia melakukan hal itu. Setelah mendeskripsikan lagi beberapa ciri
fisik dari si tetangga baru, Holly pun pergi.
Aku
menghela napas dan merasa geli sendiri karena merasa bahwa Holly ingin
menjodohkanku dengan tetangga baru yang bernama Steve itu. Kulangkahkan lagi kakiku
ke arah dapur dan memulai untuk memulai membuat English Muffin lagi.
Lily
datang tepat seperti yang dikatakannya di telepon. Kami berpelukan dan aku
merasa sudah lama sekali aku meninggalkan Lily di London, padahal aku baru saja
berada di Langley Green selama delapan hari. Kami duduk-duduk di ruang tamu dan
menceritakan kisah masing-masing. Lily menanyakan bagaimanakah rasanya tinggal
di kota seperti Langley Green dan apakah aku sudah mendapatkan pekerjaan. Dia
terlihat terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku menjadi seorang sekretaris di
sebuah biro hukum kecil dengan seorang pengacara tua. Tetapi dia sama sekali
tidak terkejut ketika kusebutkan berapa gaji yang kudapat dari pekerjaan itu,
seakan-akan dia sudah bisa menebak sebelumnya.
“Nah,
sekarang ceritakanlah apa yang sebenarnya kau cari di kota ini, Charlotte?”
tanya Lily pada akhirnya. Aku tahu pertanyaan ini bakalan keluar juga dari
mulutnya.
English
Muffin yang terletak di tengah meja sama sekali tidak kami makan. Aku sudah
dapat menebak bahwa rasanya mengerikan, karena well, English Muffinku mutung. Sudah kuduga bahwa aku memang tidak
berbakat dalam memasak. Kurasakan bahwa Lily mengetuk-ngetukkan jari
telunjuknya ke permukaan meja, tidak sabar menunggu jawaban. Dengan satu
tarikan napas aku menjawab, “Sebenarnya aku sedang menggali masa laluku di
sini.”
Lily
mengangkat sebelah alisnya tanda tidak mengerti. “Apa maksudmu dengan menggali
masa lalu? Tunggu! Apa jangan-jangan kau teringat sesuatu yang penting?”
Aku
mengangguk dan berkata,”Aku mendapatkan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat aneh
menurutku. Di dalam mimpi itu, aku selalu terbayang-bayang dengan kehidupanku
ketika aku masih kecil dan tentang saudara kembarku, Erick. Yang jelas, mimpi
itu seperti memperingatkanku kembali untuk mencari Erick dan buku harian masa
kecilku yang kutemukan tambah memperjelas semuanya. Dari buku itu aku
mendapatkan alamat rumahku yang dulu, yaitu di sini, di Langley Green. Dan
disini jugalah aku mendapatkan cukup informasi mengenai keluargaku. Tetapi
walau merasa sudah mendapat informasi, aku masih seperti mencari di dalam
gelap, belum tahu apa sebenarnya yang kucari. Aku masih belum dapat menemui
saudara kembarku.” Kupandangi wajah Lily yang merupakan campuran antara
terkejut dan penasaran.
Keheningan
merasuki percakapan kami. Tangan Lily bergerak untuk mengambil cangkir kopinya
dan meminum cairan kental itu seteguk. “Aku tidak tahu harus bicara apa,”
ujarnya pada akhirnya, “Apa saja yang telah kau kumpulkan mengenai saudara
kembarmu itu?”
Aku
membutuhkan waktu beberapa detik untuk menjawab, “Tidak banyak. Dia pindah ke
Cardiff bersama ayah dan kakak perempuanku. Tetapi kemungkinan dia masih ada di
sana sangatlah kecil.”
“Memangnya
kau bisa mengenali saudara kembarmu lagi setelah belasan tahun tidak bertemu?”
“Entahlah,
di dalam mimpiku aku sama sekali tidak melihat adanya kemiripan di antara kami,
ya memang kami berbeda jenis kelamin, namun, damn! Ya, aku bakalan tidak akan mengenalinya lagi.” Itu memang
benar. Tidak semua kembar harus memiliki wajah yang sama atau penampilan yang
sama.
Lily
mengangguk paham. Kemudian dia mengalihkan topik tentang sesuatu yang menurutku
cukup aneh untuk didiskusikan. “Kau tahu tidak, bahwa ada suatu mitos yang
mengatakan bahwa seorang perawan berbau seperti mawar?”
Topik
ini benar-benar membuat dahiku berkerut tidak mengerti. “Kenapa kau bertanya
seperti itu? Kedengarannya aneh sekali. Lagian kenapa sih orang-orang suka
sekali dengan mitos tidak jelas begitu? Memangnya siapa yang bilang bahwa
perawan berbau seperti mawar?”
“Kau
kan seorang perawan, Charlotte,” sindir Lily dengan kedipan mata jahil. Aku
tidak ingat bagaimana kehidupan percintaanku sebelumnya, tetapi Lily bilang aku
tidak pernah sampai ke tahap serius dan dengan blak-blakkan dia mengatakan
bahwa aku masih perawan. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan hal ini,
karena bagiku sekarang aku sedang berada dalam tahap pencarian yang lebih
penting. Aku harus kembali mengetahui apa saja yang terjadi di masa laluku.
“Jadi
kenapa?” aku berpura-pura kesal kepadanya, “Menjadi perawan bukanlah suatu
dosa. Bukankah lebih bagus apabila kau benar-benar perawan sampai kau menikah?”
“Ya,
ya, terserahlah,” Lily terkikik-kikik. “Maksudku, hati-hati saja. Ada sebuah
cerita terkenal di Langley Green tentang seorang wanita yang dibakar hidup-hidup
oleh suaminya sendiri karena ternyata dia adalah seorang tukang sihir. Kau
tahu, dia banyak menculik gadis-gadis perawan untuk diambil darahnya supaya dia
selalu tampak awet muda dan hidup lebih lama. Wanita tukang sihir dapat
mengetahui seorang gadis itu masih perawan atau bukan melalui baunya. Seperti
yang kukatakan tadi, para perawan berbau seperti mawar dan bau yang paling kuat
adalah ketika seorang perawan sudah menginjak usia antara 25 sampai 30, darah
para perawan berumur diantara itu adalah yang terbaik.”
Aku
terbengong selama beberapa saat, berusaha mencerna semua perkataan Lily. Sampai
akhirnya kesadaran menghantamku, “Itukan hanya mitos,” kataku percaya diri
sekali. “Rasanya kisah itu juga pernah diceritakan oleh tetanggaku. Tapi dia
tidak pernah menceritakan kisah mengenai mengambil darah gadis-gadis perawan
itu.”
Lily
hanya mengangkat bahu. “Ya sudah, aku tidak memaksamu untuk percaya. Sedikit
cerita horor di hari yang sudah mulai siang ini. Ngomong-ngomong, kue muffinmu
sama sekali tidak enak!” ejeknya sembari menunjuk kue muffin yang masih tidak
tersentuh.
“Hei,
aku membuatnya dengan susah payah tahu!” teriakku ke arah Lily yang berjalan ke
arah dapur, lalu mengikutinya ke dapur juga.
Hari
Minggu itu kuhabiskan dengan Lily dan kami menonton film dari pagi sampai sore
disertai dengan bermangkuk-mangkuk es krim. Memang bukanlah suatu hal yang
produktif, tetapi ini adalah hari malas dan kami bebas untuk mengekspresikan
rasa malas kami. Lily telah melihat buku harian masa kecilku, merasa terharu
dengan catatan-catatan masa laluku yang memang menyedihkan. Ketika dia menutup
buku itu dia mengatakan, “Sebisa mungkin aku juga akan membantumu mencari
Erick.”
Aku
tersenyum kepadanya dan merasa amat sangat beruntung mempunyai seorang sahabat
seperti Lily.
Barulah
pada malam harinya aku memperkenalkan Lily kepada Holly dan Nenek Loretta. Tak
lupa buket bunga daisy yang telah kubeli baru kutujukan kepada Nenek Loretta.
Holly mengundang kami berdua makan malam di rumahnya, tentu saja kami tidak
bisa menolak ajakan itu. Aku berbisik kepada Lily bahwa Nenek Loretta itu bisu
serta tidak bisa berbahasa isyarat. Kukatakan itu kepadanya hanya seperti
merupakan suatu keharusan. Aku tidak mau dia menyinggung-nyinggung kenapa Nenek
Loretta tidak berbicara sedari tadi di depan Holly. Gadis muda itu bisa sakit
hati nanti, walau dia tidaklah memperlihatkannya.
Di
meja makan, kami mulai untuk membangun percakapan. Awalnya terasa agak kikuk,
karena Nenek Loretta terus saja memandangi aku dan Lily. Holly menanyakan
kepada Lily bagaimana rasanya tinggal di London seumur hidupnya, dan Lily
dengan senang hati menjawab pertanyaannya bahwa dia betah tinggal di ibukota
kerajaan Inggris ini. Bahkan dia meminta Holly untuk ikut bersamanya
melihat-lihat kota London. Holly dengan senang hati menerima tawaran itu dan
mereka menetapkan kapan mereka bisa melaksanakan tur wisata mereka.
“Kalian
berdua adalah gadis kota besar. Kalian berdua seumur hidup tinggal di London!”
ketika Holly mengatakan ini, Lily memandang ke arahku, merasa kebingungan. Aku
hanya mengangkat bahu dan menanyai Holly tentang mitos yang diceritakan oleh
Lily tadi pagi.
“Benarkah
wanita tukang sihir itu menculik para perawan untuk diambil darahnya sebagai
obat awet muda dan umur panjang?” tanyaku kepada Holly yang membuat gadis itu
mengerutkan kening.
“Aku
tidak pernah diceritakan tentang bagian itu. Lily, darimana kau tahu cerita
itu?” tanyanya balik ke arah Lily.
Lily
tersenyum sekilas dan menampakkan sikap seorang guru yang sedang menjelaskan
suatu pelajaran kepada muridnya. “Begini, saudari Holly. Dari buku kita bisa mendapat
informasi yang berguna walau hanya sekedar mitos kota kecil. Namun, mempelajari
mitos juga tidaklah salah. Mengenai bagian itu, memang tertulis di buku dan aku
sudah membacanya, saudari Holly. Tukang sihir itu membedakan gadis perawan dan
yang sudah atau tidak perawan lagi berdasarkan baunya. Para perawan berbau
seperti mawar.”
Ketika
Lily mengatakan kalimat terakhir, kulihat perubahan ekspresi di wajah Nenek
Loretta. Senyumnya hilang sementara dahinya semakin berkerut. Dia mengambil
secarik kertas dan pena dari saku, lalu mulai menulis sesuatu. Kami bertiga
memperhatikan apa yang ditulis oleh Nenek Loretta. Setelah selesai, wanita tua
itu memberikannya kepada Holly yang sekarang juga mengerutkan dahi.
“Ada
apa Holly?” tanyaku, merasa tidak enak karena perubahan suasana yang terjadi.
“Tidak,
hanya saja Lily salah menyebutkan sesuatu.” Holly mengalihkan pandangannya
kepada Lily, “Para perawan tidak berbau seperti mawar, tetapi mereka berbau
seperti bunga amaranth.”
“Jenis
bunga apa itu?” tanyaku dan Lily dalam waktu yang bersamaan.
“Aku
tidak begitu tahu,” jawab Holly sambil melirik Nenek Loretta. “Tetapi bagi para
penyihir, bunga amaranth dianggap sebagai bunga keabadian. Mereka mengambil
darah perawan-perawan untuk keabadian.”
“Di
buku yang kubaca tertulis bunga mawar!” bantah Lily namun kemudian dia terlihat
berpikir. “Mungkin kau ada benarnya. Sepertinya aku saja yang salah membaca.”
Dia tersenyum kaku dan memandang ke arahku.
Aku
tidak tahu apa maksud Lily, tapi pembicaraan ini sama sekali tidak penting.
Maksudnya, untuk apa membicarakan apakah perawan berbau mawar atau amaranth?
Itu semua hanya mitos, mitos yang masih berkembang di masyarakat. Aku berusaha
untuk mengalihkan topik, “Bagaimana dengan tetangga barumu itu Holly?”
Ditanya
begitu, muka Lily berubah lebih ceria. “Heh, kupikir kau sudah lupa dengan hal
itu. Habisnya ketika aku menceritakannya tadi pagi kau kelihatan tidak begitu
antusias. Kau masih ingat namanya?”
Sesungguhnya
aku sama sekali tidak ingat.
“Namanya
Steve, Steve Peddleton. Pindahan dari Essex. Aku rasa dia seorang dokter hewan,
entahlah, aku belum berkenalan dengannya,” jawab Holly yang sepertinya bisa
tahu bahwa aku sama sekali tidak ingat apa-apa.
“Seperti
apa orangnya?” Lily ikut nimbrung, “Aku suka seorang dokter. Bagaimana kalau
kita mengunjunginya besok Charlotte?”
“Aku
pikir kau akan pulang ke London,” ujarku mengingatkan. Lily sendiri yang
mengatakan bahwa dia akan pulang pagi-pagi sekali ke London. Pekerjaannya
menumpuk di kantor dan semenjak aku berhenti, bos kami tidak berhenti
marah-marah.
“Sebentar
saja. Kau berkata begitu seperti kau ingin mengusirku saja!” sindir Lily dan
kembali berbincang-bincang dengan Holly mengenai lelaki bernama Steve itu.
Aku
menghela napas dan melirik ke arah Nenek Loretta yang tersenyum kepadaku.
Senyuman Nenek Loretta bukanlah senyum yang manis, karena kulitnya yang sudah
kendur itu membuatku serasa ingin menariknya. Kubalas senyum Nenek Loretta dan
kembali mengalihkan perhatian kepada percakapan Holly dan Lily.
“Kau
tahu, sudah berapa lama aku tidak melihat lelaki seganteng itu di sini? Di
Langley Green semuanya dipenuhi dengan orang tua dan anak-anak bandel!” Holly
terkikik-kikik bersama Lily. “Dan juga perempuannya? Aku pikir tidak ada yang
menarik! Semuanya tidak menarik!”
Perempuan?
Aku jadi teringat sesuatu. Aku menginterupsi pembicaraan mereka. “Heh, aku
ingin menanyakan sesuatu,” mulaiku, “Ini tentang seorang perempuan. Seorang
perempuan misterius yang memakai jubah hitam. Sepertinya baru awal tiga puluhan
dan dia sangat cantik. Aku sudah dua kali didatangi olehnya, pertama ketika aku
pulang dari rumahmu, Holly, dan yang kedua dia secara tiba-tiba muncul di
tengah jalan. Aku hampir saja menabraknnya!”
Holly
dan Lily terbengong mendengar perkataanku. Sementara itu Nenek Loretta nampak terkejut.
Dia kembali menulis di atas kertas. Setelah selesai, dia memberikannya kepada
Holly. Gadis itu mengambilnya dan mengangkat alis kepada neneknya seakan tidak
mengerti apa yang ingin disampaikan Nenek Loretta.
“Apa
yang nenekmu tulis, Holly?” tanyaku tidak sabar. Apakah Nenek Loretta
mengetahui sesuatu? Kalau tidak, pastilah ekspresinya tidak akan terlihat
terkejut seperti itu.
Holly
menatapku sebentar sebelum membaca apa yang ditulis neneknya. “Well, Nenek Loretta bilang bahwa kau
harus menjauhi perempuan itu. Kau harus segera pergi dari Langley Green.”
“Kau
bercanda!” yang mengucapkan ini dan membuat kami semua terkejut adalah Lily.
“Kenapa tiba-tiba mengusir seperti ini!?”
“Kami
tidak bermaksud mengusir!” ujar Holly yang merasa agak tersinggung. “Dengarkan
dulu sampai aku selesai berbicara!”
Lily
kembali tenang tapi wajahnya menunjukkan sikap permusuhan kepada Holly. Aku
tidak tahu dengan perubahan suasana secepat ini karena rasanya baru beberapa
menit lalu mereka berdua terlihat akrab. Sekarang aku merasa bahwa keakraban
sebelumnya itu tidak pernah terjadi. “Oke, aku akan mendengarkan.”
Holly
terlihat menggumamkan sesuatu sebentar sebelum memulai berkata lagi, “Nenekku
tidak bermaksud mengusirmu, dia hanya memberikan nasihat. Akan ada sesuatu yang
terjadi, sesuatu yang sangat buruk akan terjadi padamu Charlotte. Ada baiknya
kau pergi dari sini, sebelum sesuatu yang buruk itu menimpamu.”
“Omong
kosong,” gumam Lily, tapi masih cukup keras untuk didengar.
“Ini
bukan omonganku, tetapi omongan Nenek Loretta.” Holly kembali menyantap
makanannya. Dia memotong-motong daging untuk neneknya tersayang yang nampaknya
masih memasang wajah aneh ke arahku.
Lily
mencondongkan tubuhnya kepadaku dan berbisik, “Lebih baik kau tidak terlalu
dekat dengan tetanggamu ini.”
“Kenapa
kau berpikir begitu?”
Dia
mengangkat bahu dan kembali melanjutkan makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar