Jumat, 29 April 2016

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 5

Pada pagi hari Sabtu itu, aku sibuk di dapur dengan beberapa bahan untuk membuat English Muffin. Buku resep masakan lama yang kutemukan terpampang dihadapanku. Aku tidak tahu apakah aku akan mampu membuat English Muffin yang enak, tapi tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru daripada setiap pagi harus makan sereal dan sandwich. Bahan-bahannya sudah tersedia di atas meja dapurku yang terdiri dari susu, ragi kering, gula pasir, garam, dan lemak babi. Cara membuatnya adalah dengan menuang 225 mil susu dan 55 mil air ke dalam panci dan panaskan perlahan. Setelah panas, tuang ke dalam sebuah baskom kecil dan masukkan gula serta ragi. Aduk dan tinggalkan di tempat yang hangat selama 15 menit. Setelah itu...,
Pintu depanku diketuk seseorang. Terpaksa aku menghentikan pekerjaan memasakku, membuka celemek, dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Ternyata Holly yang mengetuk tadi. Dia menggunakan sweter merah jambu dan celana jins biasa serta sebuah sepatu sneaker usang. Hm..., mungkin dia baru akan berangkat untuk menjaga anak-anak keluarga Wargrave. “Hallo,” sapanya ceria, “Hari ini aku akan mengantar anak-anak Wargrave jalan-jalan naik kereta api. Kami akan naik bus ke Crawley dan menaiki kereta api ke kota terdekat. Mungkin akan menyenangkan bagi anak-anak itu apabila kami pergi ke suatu tempat yang baru. Apakah kau mau ikut?”
Sebenarnya aku ingin sekali menerima tawaran Holly, namun Lily akan datang sebentar lagi ke sini. “Maaf,” ujarku berusaha untuk terdengar benar-benar menyesal, “Tapi aku sudah ada janji dengan temanku dan dia akan datang ke sini sebentar lagi. Aku benar-benar tidak bisa ikut denganmu.”
“Oh,” Holly kelihatan betul-betul kecewa, “Tidak apa-apa. Bagaimana kalau minggu depan?”
Aku memikirkan tawaran itu untuk sesaat. “Baiklah. Mungkin aku bisa kalau minggu depan.”
Senyum terukir lagi di wajahnya. “Oke, lebih baik aku pergi sekarang. Namun sebelum aku pergi, aku ada satu berita untukmu. Kita punya tetangga baru lagi. Dia tinggal dua rumah dari rumahku. Namanya Steve, dan kukira dia seumuran denganmu. Selain itu dia lumayan ganteng.” Holly mengedipkan sebelah matanya kearahku. Entah untuk apa dia melakukan hal itu. Setelah mendeskripsikan lagi beberapa ciri fisik dari si tetangga baru, Holly pun pergi.
Aku menghela napas dan merasa geli sendiri karena merasa bahwa Holly ingin menjodohkanku dengan tetangga baru yang bernama Steve itu. Kulangkahkan lagi kakiku ke arah dapur dan memulai untuk memulai membuat English Muffin lagi.

Lily datang tepat seperti yang dikatakannya di telepon. Kami berpelukan dan aku merasa sudah lama sekali aku meninggalkan Lily di London, padahal aku baru saja berada di Langley Green selama delapan hari. Kami duduk-duduk di ruang tamu dan menceritakan kisah masing-masing. Lily menanyakan bagaimanakah rasanya tinggal di kota seperti Langley Green dan apakah aku sudah mendapatkan pekerjaan. Dia terlihat terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku menjadi seorang sekretaris di sebuah biro hukum kecil dengan seorang pengacara tua. Tetapi dia sama sekali tidak terkejut ketika kusebutkan berapa gaji yang kudapat dari pekerjaan itu, seakan-akan dia sudah bisa menebak sebelumnya.
“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang sebenarnya kau cari di kota ini, Charlotte?” tanya Lily pada akhirnya. Aku tahu pertanyaan ini bakalan keluar juga dari mulutnya.
English Muffin yang terletak di tengah meja sama sekali tidak kami makan. Aku sudah dapat menebak bahwa rasanya mengerikan, karena well, English Muffinku mutung. Sudah kuduga bahwa aku memang tidak berbakat dalam memasak. Kurasakan bahwa Lily mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke permukaan meja, tidak sabar menunggu jawaban. Dengan satu tarikan napas aku menjawab, “Sebenarnya aku sedang menggali masa laluku di sini.”
Lily mengangkat sebelah alisnya tanda tidak mengerti. “Apa maksudmu dengan menggali masa lalu? Tunggu! Apa jangan-jangan kau teringat sesuatu yang penting?”
Aku mengangguk dan berkata,”Aku mendapatkan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat aneh menurutku. Di dalam mimpi itu, aku selalu terbayang-bayang dengan kehidupanku ketika aku masih kecil dan tentang saudara kembarku, Erick. Yang jelas, mimpi itu seperti memperingatkanku kembali untuk mencari Erick dan buku harian masa kecilku yang kutemukan tambah memperjelas semuanya. Dari buku itu aku mendapatkan alamat rumahku yang dulu, yaitu di sini, di Langley Green. Dan disini jugalah aku mendapatkan cukup informasi mengenai keluargaku. Tetapi walau merasa sudah mendapat informasi, aku masih seperti mencari di dalam gelap, belum tahu apa sebenarnya yang kucari. Aku masih belum dapat menemui saudara kembarku.” Kupandangi wajah Lily yang merupakan campuran antara terkejut dan penasaran.
Keheningan merasuki percakapan kami. Tangan Lily bergerak untuk mengambil cangkir kopinya dan meminum cairan kental itu seteguk. “Aku tidak tahu harus bicara apa,” ujarnya pada akhirnya, “Apa saja yang telah kau kumpulkan mengenai saudara kembarmu itu?”
Aku membutuhkan waktu beberapa detik untuk menjawab, “Tidak banyak. Dia pindah ke Cardiff bersama ayah dan kakak perempuanku. Tetapi kemungkinan dia masih ada di sana sangatlah kecil.”
“Memangnya kau bisa mengenali saudara kembarmu lagi setelah belasan tahun tidak bertemu?”
“Entahlah, di dalam mimpiku aku sama sekali tidak melihat adanya kemiripan di antara kami, ya memang kami berbeda jenis kelamin, namun, damn! Ya, aku bakalan tidak akan mengenalinya lagi.” Itu memang benar. Tidak semua kembar harus memiliki wajah yang sama atau penampilan yang sama.
Lily mengangguk paham. Kemudian dia mengalihkan topik tentang sesuatu yang menurutku cukup aneh untuk didiskusikan. “Kau tahu tidak, bahwa ada suatu mitos yang mengatakan bahwa seorang perawan berbau seperti mawar?”
Topik ini benar-benar membuat dahiku berkerut tidak mengerti. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Kedengarannya aneh sekali. Lagian kenapa sih orang-orang suka sekali dengan mitos tidak jelas begitu? Memangnya siapa yang bilang bahwa perawan berbau seperti mawar?”
“Kau kan seorang perawan, Charlotte,” sindir Lily dengan kedipan mata jahil. Aku tidak ingat bagaimana kehidupan percintaanku sebelumnya, tetapi Lily bilang aku tidak pernah sampai ke tahap serius dan dengan blak-blakkan dia mengatakan bahwa aku masih perawan. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan hal ini, karena bagiku sekarang aku sedang berada dalam tahap pencarian yang lebih penting. Aku harus kembali mengetahui apa saja yang terjadi di masa laluku.
“Jadi kenapa?” aku berpura-pura kesal kepadanya, “Menjadi perawan bukanlah suatu dosa. Bukankah lebih bagus apabila kau benar-benar perawan sampai kau menikah?”
“Ya, ya, terserahlah,” Lily terkikik-kikik. “Maksudku, hati-hati saja. Ada sebuah cerita terkenal di Langley Green tentang seorang wanita yang dibakar hidup-hidup oleh suaminya sendiri karena ternyata dia adalah seorang tukang sihir. Kau tahu, dia banyak menculik gadis-gadis perawan untuk diambil darahnya supaya dia selalu tampak awet muda dan hidup lebih lama. Wanita tukang sihir dapat mengetahui seorang gadis itu masih perawan atau bukan melalui baunya. Seperti yang kukatakan tadi, para perawan berbau seperti mawar dan bau yang paling kuat adalah ketika seorang perawan sudah menginjak usia antara 25 sampai 30, darah para perawan berumur diantara itu adalah yang terbaik.”
Aku terbengong selama beberapa saat, berusaha mencerna semua perkataan Lily. Sampai akhirnya kesadaran menghantamku, “Itukan hanya mitos,” kataku percaya diri sekali. “Rasanya kisah itu juga pernah diceritakan oleh tetanggaku. Tapi dia tidak pernah menceritakan kisah mengenai mengambil darah gadis-gadis perawan itu.”
Lily hanya mengangkat bahu. “Ya sudah, aku tidak memaksamu untuk percaya. Sedikit cerita horor di hari yang sudah mulai siang ini. Ngomong-ngomong, kue muffinmu sama sekali tidak enak!” ejeknya sembari menunjuk kue muffin yang masih tidak tersentuh.
“Hei, aku membuatnya dengan susah payah tahu!” teriakku ke arah Lily yang berjalan ke arah dapur, lalu mengikutinya ke dapur juga.

Hari Minggu itu kuhabiskan dengan Lily dan kami menonton film dari pagi sampai sore disertai dengan bermangkuk-mangkuk es krim. Memang bukanlah suatu hal yang produktif, tetapi ini adalah hari malas dan kami bebas untuk mengekspresikan rasa malas kami. Lily telah melihat buku harian masa kecilku, merasa terharu dengan catatan-catatan masa laluku yang memang menyedihkan. Ketika dia menutup buku itu dia mengatakan, “Sebisa mungkin aku juga akan membantumu mencari Erick.”
Aku tersenyum kepadanya dan merasa amat sangat beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Lily.
Barulah pada malam harinya aku memperkenalkan Lily kepada Holly dan Nenek Loretta. Tak lupa buket bunga daisy yang telah kubeli baru kutujukan kepada Nenek Loretta. Holly mengundang kami berdua makan malam di rumahnya, tentu saja kami tidak bisa menolak ajakan itu. Aku berbisik kepada Lily bahwa Nenek Loretta itu bisu serta tidak bisa berbahasa isyarat. Kukatakan itu kepadanya hanya seperti merupakan suatu keharusan. Aku tidak mau dia menyinggung-nyinggung kenapa Nenek Loretta tidak berbicara sedari tadi di depan Holly. Gadis muda itu bisa sakit hati nanti, walau dia tidaklah memperlihatkannya.
Di meja makan, kami mulai untuk membangun percakapan. Awalnya terasa agak kikuk, karena Nenek Loretta terus saja memandangi aku dan Lily. Holly menanyakan kepada Lily bagaimana rasanya tinggal di London seumur hidupnya, dan Lily dengan senang hati menjawab pertanyaannya bahwa dia betah tinggal di ibukota kerajaan Inggris ini. Bahkan dia meminta Holly untuk ikut bersamanya melihat-lihat kota London. Holly dengan senang hati menerima tawaran itu dan mereka menetapkan kapan mereka bisa melaksanakan tur wisata mereka.
“Kalian berdua adalah gadis kota besar. Kalian berdua seumur hidup tinggal di London!” ketika Holly mengatakan ini, Lily memandang ke arahku, merasa kebingungan. Aku hanya mengangkat bahu dan menanyai Holly tentang mitos yang diceritakan oleh Lily tadi pagi.
“Benarkah wanita tukang sihir itu menculik para perawan untuk diambil darahnya sebagai obat awet muda dan umur panjang?” tanyaku kepada Holly yang membuat gadis itu mengerutkan kening.
“Aku tidak pernah diceritakan tentang bagian itu. Lily, darimana kau tahu cerita itu?” tanyanya balik ke arah Lily.
Lily tersenyum sekilas dan menampakkan sikap seorang guru yang sedang menjelaskan suatu pelajaran kepada muridnya. “Begini, saudari Holly. Dari buku kita bisa mendapat informasi yang berguna walau hanya sekedar mitos kota kecil. Namun, mempelajari mitos juga tidaklah salah. Mengenai bagian itu, memang tertulis di buku dan aku sudah membacanya, saudari Holly. Tukang sihir itu membedakan gadis perawan dan yang sudah atau tidak perawan lagi berdasarkan baunya. Para perawan berbau seperti mawar.”
Ketika Lily mengatakan kalimat terakhir, kulihat perubahan ekspresi di wajah Nenek Loretta. Senyumnya hilang sementara dahinya semakin berkerut. Dia mengambil secarik kertas dan pena dari saku, lalu mulai menulis sesuatu. Kami bertiga memperhatikan apa yang ditulis oleh Nenek Loretta. Setelah selesai, wanita tua itu memberikannya kepada Holly yang sekarang juga mengerutkan dahi.
“Ada apa Holly?” tanyaku, merasa tidak enak karena perubahan suasana yang terjadi.
“Tidak, hanya saja Lily salah menyebutkan sesuatu.” Holly mengalihkan pandangannya kepada Lily, “Para perawan tidak berbau seperti mawar, tetapi mereka berbau seperti bunga amaranth.”
“Jenis bunga apa itu?” tanyaku dan Lily dalam waktu yang bersamaan.
“Aku tidak begitu tahu,” jawab Holly sambil melirik Nenek Loretta. “Tetapi bagi para penyihir, bunga amaranth dianggap sebagai bunga keabadian. Mereka mengambil darah perawan-perawan untuk keabadian.”
“Di buku yang kubaca tertulis bunga mawar!” bantah Lily namun kemudian dia terlihat berpikir. “Mungkin kau ada benarnya. Sepertinya aku saja yang salah membaca.” Dia tersenyum kaku dan memandang ke arahku.
Aku tidak tahu apa maksud Lily, tapi pembicaraan ini sama sekali tidak penting. Maksudnya, untuk apa membicarakan apakah perawan berbau mawar atau amaranth? Itu semua hanya mitos, mitos yang masih berkembang di masyarakat. Aku berusaha untuk mengalihkan topik, “Bagaimana dengan tetangga barumu itu Holly?”
Ditanya begitu, muka Lily berubah lebih ceria. “Heh, kupikir kau sudah lupa dengan hal itu. Habisnya ketika aku menceritakannya tadi pagi kau kelihatan tidak begitu antusias. Kau masih ingat namanya?”
Sesungguhnya aku sama sekali tidak ingat.
“Namanya Steve, Steve Peddleton. Pindahan dari Essex. Aku rasa dia seorang dokter hewan, entahlah, aku belum berkenalan dengannya,” jawab Holly yang sepertinya bisa tahu bahwa aku sama sekali tidak ingat apa-apa.
“Seperti apa orangnya?” Lily ikut nimbrung, “Aku suka seorang dokter. Bagaimana kalau kita mengunjunginya besok Charlotte?”
“Aku pikir kau akan pulang ke London,” ujarku mengingatkan. Lily sendiri yang mengatakan bahwa dia akan pulang pagi-pagi sekali ke London. Pekerjaannya menumpuk di kantor dan semenjak aku berhenti, bos kami tidak berhenti marah-marah.
“Sebentar saja. Kau berkata begitu seperti kau ingin mengusirku saja!” sindir Lily dan kembali berbincang-bincang dengan Holly mengenai lelaki bernama Steve itu.
Aku menghela napas dan melirik ke arah Nenek Loretta yang tersenyum kepadaku. Senyuman Nenek Loretta bukanlah senyum yang manis, karena kulitnya yang sudah kendur itu membuatku serasa ingin menariknya. Kubalas senyum Nenek Loretta dan kembali mengalihkan perhatian kepada percakapan Holly dan Lily.
“Kau tahu, sudah berapa lama aku tidak melihat lelaki seganteng itu di sini? Di Langley Green semuanya dipenuhi dengan orang tua dan anak-anak bandel!” Holly terkikik-kikik bersama Lily. “Dan juga perempuannya? Aku pikir tidak ada yang menarik! Semuanya tidak menarik!”
Perempuan? Aku jadi teringat sesuatu. Aku menginterupsi pembicaraan mereka. “Heh, aku ingin menanyakan sesuatu,” mulaiku, “Ini tentang seorang perempuan. Seorang perempuan misterius yang memakai jubah hitam. Sepertinya baru awal tiga puluhan dan dia sangat cantik. Aku sudah dua kali didatangi olehnya, pertama ketika aku pulang dari rumahmu, Holly, dan yang kedua dia secara tiba-tiba muncul di tengah jalan. Aku hampir saja menabraknnya!”
Holly dan Lily terbengong mendengar perkataanku. Sementara itu Nenek Loretta nampak terkejut. Dia kembali menulis di atas kertas. Setelah selesai, dia memberikannya kepada Holly. Gadis itu mengambilnya dan mengangkat alis kepada neneknya seakan tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Nenek Loretta.
“Apa yang nenekmu tulis, Holly?” tanyaku tidak sabar. Apakah Nenek Loretta mengetahui sesuatu? Kalau tidak, pastilah ekspresinya tidak akan terlihat terkejut seperti itu.
Holly menatapku sebentar sebelum membaca apa yang ditulis neneknya. “Well, Nenek Loretta bilang bahwa kau harus menjauhi perempuan itu. Kau harus segera pergi dari Langley Green.”
“Kau bercanda!” yang mengucapkan ini dan membuat kami semua terkejut adalah Lily. “Kenapa tiba-tiba mengusir seperti ini!?”
“Kami tidak bermaksud mengusir!” ujar Holly yang merasa agak tersinggung. “Dengarkan dulu sampai aku selesai berbicara!”
Lily kembali tenang tapi wajahnya menunjukkan sikap permusuhan kepada Holly. Aku tidak tahu dengan perubahan suasana secepat ini karena rasanya baru beberapa menit lalu mereka berdua terlihat akrab. Sekarang aku merasa bahwa keakraban sebelumnya itu tidak pernah terjadi. “Oke, aku akan mendengarkan.”
Holly terlihat menggumamkan sesuatu sebentar sebelum memulai berkata lagi, “Nenekku tidak bermaksud mengusirmu, dia hanya memberikan nasihat. Akan ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang sangat buruk akan terjadi padamu Charlotte. Ada baiknya kau pergi dari sini, sebelum sesuatu yang buruk itu menimpamu.”
“Omong kosong,” gumam Lily, tapi masih cukup keras untuk didengar.
“Ini bukan omonganku, tetapi omongan Nenek Loretta.” Holly kembali menyantap makanannya. Dia memotong-motong daging untuk neneknya tersayang yang nampaknya masih memasang wajah aneh ke arahku.
Lily mencondongkan tubuhnya kepadaku dan berbisik, “Lebih baik kau tidak terlalu dekat dengan tetanggamu ini.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”

Dia mengangkat bahu dan kembali melanjutkan makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar