Lily sudah pulang pada hari
Senin pagi. Dia mengatakan akan mengunjungiku lagi apabila dia bisa merayu bos
kami untuk kesekian kalinya agar mendapat cuti, dan ini sudah ketiga kalinya
dia mengambil cuti selama enam bulan ini yang membuatnya tidak yakin bahwa
Graham tersayang akan memberinya kesempatan untuk cuti lagi. Setelah Lily
pulang, aku bergegas untuk memulai kerja pertamaku di kantor Tuan Smith. Aku
rasa aku akan terlambat di hari kerja pertamaku.
Tuan
Smith sudah menunggu sambil membaca koran dan minum segelas kopi. Belum ada
klien yang datang pada jam sembilan lewat lima belas menit pagi ini. Aku
menyapa Tuan Smith yang bermuka masam. “Apa kabar pagi ini, Tuan Smith?”
“Kau
terlambat,” ujarnya singkat sebelum kembali menekuni koran lokal Langley Green.
Aku
menggumamkan kata maaf dan keluar dari kantornya untuk menuju mejaku. Tidak ada
yang bisa dikerjakan pagi ini selain mengurusi dokumen-dokumen dan beberapa
surat yang masuk. Aku mengecek jadwal untuk Tuan Smith hari ini dan menyadari
sama sekali tidak ada jadwal acara untuknya. Hal ini membuatku menghela napas.
Pekerjaan seperti ini pasti akan sangat menyenangkan.
Pada
jam setengah satu, Tuan Smith mengajakku untuk makan siang di luar. Ada sebuah
cafe kecil tidak jauh dari kantor pengacaranya dan dia kenal dengan yang punya
cafe. Kami mendapatkan meja yang cukup strategis, letaknya bersebelahan dengan
kaca jendela besar yang memungkinkan kami menatap pemandangan di luar. Dengan
bantuan Tuan Brawley, teman sekaligus pemilik cafe kecil yang bernama D’
Amaranthos. Amaranthos? Amaranth? Menarik sekali.
“Ini
adalah sekretarisku yang baru, Charlotte Harriot. Dia juga baru pindah ke kota
ini,” Tuan Smith memperkenalkanku kepada Tuan Brawley yang langsung menyalamiku
dengan ramah.
“Apa
kabar, apa kabar, Charlotte! Senang rasanya mempunyai satu lagi pelanggan
baru!” ujarnya ceria sembari masih memegang erat tanganku. Itu membuatku agak
sedikit meringis.
“Terima
kasih Tuan Brawley. Senang juga berkenalan dengan Anda,” balasku dengan
mengernyit. Tuan Brawley bertangan lebar dan besar, tentu saja genggamannya
akan membuat bekas merah pada tanganku.
Akhirnya
pria itu melepaskan genggaman tangannya dan menepuk bahuku lembut, tetapi cukup
membuatku hampir terdorong jatuh dari kursi. “Bagaimana rasanya steak di sini, Dear Charlotte?”
“Enak
sekali Tuan Brawley. Mungkin saya akan sering-sering datang ke sini.” Aku
mengiris steak sapi dengan pisau dan memakannya. Harus kuakui bahwa steak
sapinya memang benar-benar enak. Tidak salah kenapa Tuan Smith membawaku ke
sini dan kenapa di sini begitu ramai.
Tuan
Brawley tertawa mendengarnya. “Aku suka dengan sekretarismu yang baru ini,
Smith. Kenapa tidak dari dulu-dulu saja dia menggantikan Jen yang malang?” Emma
Jennington adalah sekretaris lama Tuan Smith dan dia dipanggil Jen disekitar
sini.
“Jen
bekerja bagus.” Ketika Tuan Smith mengatakan ini, dia melirik ke arahku seakan-akan
menandakan bahwa aku harus bisa sebagus Jen. “Dia sangat cekatan, memang dia
sedikit cerewet dan ngomong terlalu apa adanya, sampai-sampai tidak sadar bahwa
perkataannya menyakiti perasaan orang lain.”
“Ya,
dan dia bilang steakku seperti daging sapi busuk di depan mukaku sendiri! Aku
tahu dia mengucapkan tanpa ada maksud apa-apa, tetapi tetap saja, sialan sekali
wanita itu!” umpat Tuan Brawley yang mencengkram lap tangannya kuat-kuat. Aku
bahkan bisa melihat buku-buku jarinya yang memutih.
“Tidak
usah mengumpat seperti itu. Lagipula Jen sudah tidak ada. Dia pindah ke kampung
halamannya. Dan kuharap Charlotte dapat bekerja lebih rajin dari Jen.” Tuan
Smith kembali melirikku sebelum menatap daging steak dihadapannya.
“Dan
aku yakin dia tidaklah bermulut lebar seperti Jen. Dia tidak akan terlalu
blak-blakkan tentang segala sesuatu,” tambah Tuan Brawley yang memberikan
senyum kebapakkan kepadaku. “Hei, Smith, mungkin kalau kan punya anak, dia
pasti sudah sebesar Charlotte.”
“Hentikan
segala omong kosong ini Brawley. Kau bisa kembali ke dapurmu sekarang.” Aku
baru tahu apapun yang menyangkut tentang memiliki anak selalu menjadi topik
yang dihindari oleh lelaki tua dihadapanku ini.
Setelah
Tuan Brawley pergi, meja kami diliputi dengan keheningan. Orang-orang disekitar
masih sibuk terus mengoceh dan mengoceh, orang-orang datang dan pergi,
sementara rasanya waktu berhenti di antara aku dan Tuan Smith. Aku mengiris
steakku dengan kikuk, tidak tahu bagaimana caranya untuk memecah keheningan
yang menjadi dinding diantara kami berdua. Tuan Smith bukanlah orang yang
banyak bicara, dia adalah seorang yang sangat pembosan. Dia juga bukan tipe
orang yang nyaman untuk diajak bicara dalam banyak hal, aku tidak akan pernah
tahu apa yang dipikirkannya. Bagaimana bisa aku menjadi sekretaris orang
seperti ini?
“Kau
sama sekali tidak punya jadwal acara untuk hari ini,” mulaiku dengan perasaan
gugup luar biasa dan merasa perkataanku sama sekali tidak sopan.
“Lucu,
kupikir kau akan memanggilku Sir,
atau apa.” Dia tersenyum sedikit ke arahku. “Aku juga tidak begitu suka
dipanggil Sir. Jen memanggilku
seperti itu, padahal aku sudah sering memperingatkannya untuk tidak memanggilku
dengan panggilan Sir.”
Aku
tidak tahu kenapa sekarang dia suka menghubung-hubungkanku dengan Jen. Tetapi
aku sekarang adalah sekretarisnya, dan siapapun dulu yang pernah jadi
sekretarisnya adalah sebuah kenangan. Jujur, aku tidak suka
dibanding-bandingkan dengan orang lain. “Jam berapa biasanya klien Anda
datang?” aku berusaha untuk mempersopan kalimatku, dan kurasa itu cukup
berhasil. Hei, dia setidaknya 30 tahun di atasku!
Tuan
Smith mengerutkan kening tidak suka dengan pertanyaan itu. “Entahlah,” jawabnya
singkat. Dia kembali memakan steaknya, namun dia menambahkan, “Sekitar jam
sepuluh mungkin. Tergantung, dan biasanya persoalan tentang perceraian. Aku
sudah bosan menangani kasus-kasus seperti itu.”
Karena
tidak tahu harus memberi tanggapan apa, aku hanya mengangguk. Keheningan
kembali menghampiri kami berdua.
Pada
malam harinya setelah aku pulang bekerja, Holly datang dengan seorang pria yang
tak kukenal. Ternyata dia adalah tetangga baru yang diceritakan Holly beberapa
waktu lalu. Deskripsi Holly tentangnya tidaklah terlalu berlebihan, dia memang
tampan, jangkung dan seorang dokter hewan. Pekerjaannya tidak begitu menarik
untuk kota seperti Langley Green. Tidak ada yang terlalu peduli dengan
kesehatan hewan-hewan peliharaan mereka di sini.
Kami
bertiga duduk di ruang tamu dan Holly membuka pembicaraan, “Nah, ini adalah
Charlotte yang baru pindah dari London, sama sepertimu.”
Steve,
nama pria itu, atau lebih tepatnya, Steve Johnson Marshall, tersenyum ke arahku
dan berkata, “Holly selalu bercerita tentangmu selama beberapa hari ini. Aku
tidak tahu kenapa dia melakukannya. Tapi senang berkenalan denganmu.”
“Aku
rasa dia sudah terlalu banyak bercerita tentangku,” aku melirik Holly sebelum
melanjutkan, “senang juga berkenalan denganmu.”
“Jadi,
kau bekerja untuk Tuan Smith?” tanya Steve yang duduk di sebelah Holly. “Aku
pernah bertemu sekali dengannya ketika berada di apotik, dan kupikir orangnya
sama sekali tidak ramah.”
“Memang
begitu,” aku membenarkan, “Namun tidaklah terlalu buruk. Dia hanya pembosan.
Seorang pengacara tua dengan istrinya yang invalid tanpa anak pula, membuatnya
menjadi orang yang pemarah dan tidak terlalu menyukai pergaulan sosial.”
“Aku
tidak pernah menyukai Tuan Smith.” Holly menyilangkan kedua tangannya di depan
dada. “Dia pernah menabrakku di jalan ketika aku sedang membawa banyak barang
belanjaan. Semua barang belanjaanku berjatuhan kemana-mana dan dia mengatakan
kepadaku bahwa aku harus lebih berhati-hati lagi, kemudian dia melenggang pergi
tanpa minta maaf, padahal dia yang salah! Dia yang menabrakku!”
“Kurasa
tidak ada orang yang menyukai Tuan Smith di kota ini,” ucapku merasa kasihan
juga dengan lelaki tua itu.
“Tidak
ada, bahkan temannya pemilik cafe yang keturunan orang Kanada itu juga tidak
terlalu menyukainya,” tambah Holly dan dia terlihat menggumamkan sesuatu yang
tidak jelas.
“Sejauh
ini aku menyukai Langley Green,” Steve mengalihkan topik pembicaraan. “Hidup
saling bertetangga itu menyenangkan, dan aku mendapatkan tetangga-tetangga yang
baik. Seumur hidup aku tinggal di apartemen di London.”
“Kenapa
kau memilih untuk pindah ke sini, Steve?” tanyaku yang benar-benar penasaran.
Tidak ada orang yang benar-benar mau tinggal di kota kecil.
Dia
mengangkat bahu dan menjawab, “Aku merasa mendapat panggilan.”
“Alasan
yang lucu sekali,” sindir Holly. “Apakah kau juga sudah mulai bosan dengan
kehidupan kota London?”
“Kira-kira
begitulah.”
“Entah
kenapa alasanmu sama dengan Charlotte. Apakah kota London benar-benar
membosankan?” Holly menatap kami berdua secara bergantian. Di matanya terpancar
rasa keingintahuan yang besar. Oh well,
aku lupa bahwa Holly selalu bermimpi untuk bisa mengunjungi London.
Aku
berpikir sebentar sebelum menjawab, tetapi Steve sudah keburu memotong, “Tidak
juga, hanya saja kehidupan kota besar itu selalu dimulai dengan rutinitas yang
sama. Selain itu udaranya sudah terlalu menyesakkan, begitu pula dengan
orang-orangnya yang individual. Kau akan merasakannya apabila kau sudah tinggal
di sana seumur hidupmu.”
Holly
menelengkan kepalanya dan tersenyum. “Aku rasa aku bisa berbangga diri menjadi
gadis pedesaan.”
Kami
tertawa mendengar pernyataannya itu. Sejam berikutnya kami habiskan
berbincang-bincang tentang segala hal. Harus kuakui bahwa Steve memang menarik,
dia mampu membawa diri dan pengetahuannya luas. Entah kenapa aku merasa senang
mengobrol lama-lama dengannya seakan-akan aku sudah mengenalnya jauh sebelum
ini. Kami bahkan mengucapkan beberapa kata yang sama dalam waktu yang bersamaan
seperti sepasang anak kembar. Itu menurutku cukup aneh karena kami baru saja
bertemu.
Setelah
Holly dan Steve pamit pulang, aku segera merebahkan diri di ranjangku.
Pikiran-pikiran aneh mulai timbul di kepalaku. Memang ada yang aneh, aku sama
sekali tidak lagi bermimpi tentang Erick atau tentang kenangan masa kecilku
padahal aku sangat membutuhkannya. Aku benar-benar merasa yakin bahwa apabila
aku pindah ke Langley Green dan membeli rumah masa kecilku, aku akan semakin
dekat dengan petunjuk untuk mengetahui keberadaan saudara kembarku, tapi
sekarang, aku malah merasa terjebak di sini. Tidak ada sama sekali petunjuk
berarti, malah sekarang aku tidaklah lagi bermimpi. Ini semua membuatku semakin
jauh dari kebenaran. Apa artinya aku pindah ke sini? Sendirian, menjadi
sekretaris pengacara tua yang pembosan, dan terkukung dengan kebosanan kota kecil.
Aku meninggalkan teman-teman dan pekerjaanku yang berharga. Aku bahkan tidak
sempat untuk pamit kepada Almarhumah Ibuku. Sekarang yang ada hanya terus
berharap dan menunggu.
Sebuah
pemikiran lain yang juga aneh tiba-tiba muncul. Aku mulai memikirkan tentang
wanita misterius yang sudah tiga kali ini menampakkan dirinya kepadaku. Aku
sama sekali tidak mengenalnya, dari caranya berpakaian yang seakan-akan tiap
harinya adalah Halloween, juga perkataannya yang aneh dan misterius. Siapa sih
sebenarnya dia itu?
Lalu
pesan dari Nenek Loretta yang menyuruhku untuk pergi dari Langley Green. Apa
yang membuatnya begitu takut dan mengusirku seenaknya? Apakah ada hubungannya
dengan wanita berjubah hitam misterius itu? Waktu kuceritakan tentang wanita
tersebut, memang wajah Nenek Loretta langsung berubah. Dia terlihat terkejut
dan takut dalam waktu bersamaan. Apa dia mengetahui sesuatu tentang si wanita
misterius?
Semua
hal yang terjadi hanya menambah beban di kepalaku.
Rutinitas
di kantor Smith & Bailey masih tetap tidak ada perubahan. Pagi itu ada
sepasang suami istri yang akan melakukan perceraian, kasus ini sudah terlalu
sering ditangani oleh Tuan Smith. Semua klien yang datang ke sini tidaklah
berduit banyak yang malah tambah membuat Tuan Smith uring-uringan. Yang kutahu
dia mengusir pasangan suami istri itu karena mereka berdua malah sibuk adu
mulut di dalam kantornya.
Kami
makan siang di cafe yang sama. Mungkin ini akan menjadi rutinitasku selama
bekerja dengan Tuan Smith. Apakah Jen juga melakukan ini hampir setiap harinya?
Menemani Tuan Smith makan siang, adalah mendengarkan percakapan bisu di antara
kami berdua. Lelaki itu tidak banyak bicara dan aku tidak tahu harus
membicarakan apa. Apakah Jen juga melakukan ini hampir setiap harinya? Tunggu,
kenapa aku sendiri yang malah membanding-bandingkan diriku dengan Jen?
Tuan
Brawley menemani kami lagi kali ini. Dia lebih banyak berbicara denganku
daripada dengan temannya sendiri. Sepertinya kata Holly benar, tidak ada yang
terlalu menyukai Tuan Smith di kota ini. “Nah, aku akan buka cabang juga di
London suatu hari nanti,” kata Tuan Brawley ceria dan nampaknya terlalu
berharap.
“Yang
benar saja.” Tuan Smith mendengus meremehkan.
“Ya,
aku akan buka cabang di sana suatu hari nanti,” ujar Tuan Brawley keras kepala.
“Aku punya ambisi kuat dan tekad untuk mengwujudkannya. Aku punya keturunan,
Smithee.”
“Sekarang
kau ingin menghinaku karena aku tidak punya keturunan? Oh, ayolah, sampai
berapa tahun lagi kita harus membicarakan ini? Anakmu tidak bisa diharapkan.
Dia mungkin akan jadi bujangan selamanya.” Tuan Smith tersenyum, sebuah senyum
yang sama sekali tidak manis. Sekarang giliran Tuan Brawley yang mendengus.
Aku
sama sekali tidak ingin terlibat dengan percakapan mereka yang saling menyindir
satu sama lain. Bagiku mereka sama sekali bukan teman. Tuan Brawley mengalihkan
perhatian kepadaku lagi dan kembali menceritakan tentang bagaimana bentuk
kafenya nanti apabila dia sudah buka cabang di London.
Keluar
dari kafe, Tuan Smith langsung mengomel kepadaku, “Lain kali kau jangan terlalu
meladeni semua omong kosongnya.”
“Bagiku
itu bukan sebuah omong kosong, tetapi hanya sebuah pembicaraan tentang mimpi
yang sepertinya tidak akan pernah terwujud.”
Tuan
Smith menjentikkan jarinya. “Itulah maksudku. Dia pikir bisnisnya akan berjalan
lancar? Dia sudah tua, sama sepertiku. Anaknya George, pemuda berandalan. Sudah
pernah melakukan tindakan kriminal, dan sekarang sedang menjalani perawatan di
panti rehabilitasi. Menurutnya dia akan pulang tiga atau empat bulan lagi, tapi
aku tidak yakin anak itu dapat mengambil alih bisnis ayahnya.”
Aku
lumayan terkejut juga mendengar cerita Tuan Smith tentang keluarga Tuan
Brawley. Kupikir dia adalah seorang pria tanpa beban dengan keluarga sederhana.
Yah, sebagian orang bisa dengan mudah menutup-nutupi segala macam permasalahan
yang mereka hadapi dan tetap tegar dalam menjalani hidup seolah-olah tidak ada
sama sekali beban yang menghinggapi pundaknya, namun di sisi lain ada
orang-orang yang tidak bisa dan menunjukkan muka murung setiap saat seolah-olah
mereka memikul beban sebesar dunia.
“Aku
akan berada di kantorku seharian ini.” Perkataan Tuan Smith membuyarkan
lamunanku. “Bisa kau telepon kembali pasangan yang tadi pagi kutendang keluar
dari kantor? Walau aku tidak suka mereka, mereka sejauh ini mampu membayar
dengan harga yang lebih tinggi.”
Aku
mengangguk dan mengerjakan apa yang harus kukerjakan.
Pada
malam harinya, aku menelepon Lily. Kami berbincang-bincang sebentar dan seperti
yang Lily sudah ramalkan, bos tidak memberikannya izin cuti lagi. Aku tertawa
mendengar keluhan Lily dan mengatakan bahwa dia tidaklah perlu mengunjungiku
setiap akhir pekan. Lily menanyakan juga tentang Holly dan Nenek Loretta walau
dengan nada kesal. Aku tidak mengerti kenapa dia benar-benar merasa marah hanya
karena pesan Nenek Loretta yang menyuruhku pindah dari Langley Green. Itu
bukanlah sama sekali urusannya, bukan? Padahal ketika aku menyatakan niatku
untuk pindah ke kota ini, dia malah tidak mau aku pergi. Sekarang, kenapa
berubah?
Pertanyaan
itu kusampaikan pada Lily, tetapi ternyata dia sudah menutup teleponnya.
Kuletakkan gagang telepon sambil menghela napas, terlalu lelah untuk berpikir
bahwa aku mulai merasakan keanehan di sini. Aku mulai merasa tidak aman tinggal
di Langley Green. Bukan karena di sini aku tinggal sendirian atau mendapat
pekerjaan dengan gaji rendah, tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang
berbahaya akan segera datang. Kenapa tiba-tiba aku mendapat firasat seperti
ini? Apakah ini suatu pertanda?
Akhirnya,
datang juga akhir pekan. Hari Sabtu pagi itu kuhabiskan hanya untuk duduk-duduk
di beranda belakang rumah seperti yang sering kulakukan bersama saudara
kembarku belasan tahun lalu. Tapi sayangnya walaupun pohon maple itu masih ada,
aku belum merasakan betul-betul suasana seperti yang sering digambarkan di
mimpi-mimpiku. Sekarang adalah musim panas dan aku sudah tidak sabar untuk
hidup di musim gugur. Menurutku itu aneh karena kebanyakan orang suka dengan
musim panas.
Tepat
pada setengah sembilan pagi, Holly datang ke rumahku dan membuatku tersadar
bahwa aku ada janji dengannya untuk menemaninya jalan-jalan bersama anak-anak
Wargrave. Sebenarnya hari ini aku sedang tidak ingin tetapi karena aku sudah
janji, aku sama sekali tidak bisa menolak.
Anak-anak
Wargrave, Billy dan Jhonny, adalah saudara kembar yang berusia tujuh tahun.
Mereka adalah anak-anak yang tidak mau diam dan terlalu energik sehingga aku
terheran-heran bagaimana bisa Holly tetap sabar menghadapi mereka tanpa harus
dipukul terlebih dahulu. Selain itu mereka juga banyak sekali bertanya.
“Jadi
bagaimana rasanya tinggal di Langley Green?” Jhonny bertanya ketika kami berada
dalam bus untuk menuju Crawley.
“Hm,
disini cukup menyenangkan,” jawabku tidak terlalu antusias. Sebelum aku
melanjutkan, Billy sudah keburu memotong.
“Apakah
London adalah kota yang besar?”
“Kenapa
kau pindah ke sini?”
“Kau
lebih suka tinggal di London atau di sini?”
Dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak bisa kujawab karena mereka selalu
memotong perkataanku. Aku yakin, perjalanan ini pasti tidak akan berakhir
menyenangkan, setidaknya di pihakku.
Tidak
banyak yang kami lakukan selain pergi ke sebuah taman bermain di Crawley. Holly
bilang dia dimarahi oleh Tuan Wargrave minggu lalu karena membawa anak-anaknya
bermain terlalu jauh, makanya hari ini dia hanya membawa mereka ke taman
bermain ini. Aku bertanya apakah dia senang mengasuh mereka.
“Mau
bagaimana lagi, Charlotte? Kuakui anak-anak ini menyebalkan dan mereka susah
diatur. Mereka tidak pernah mendengar perkataanku untuk tidak berbicara dengan
orang asing, maka daripada itu aku harus selalu pasang mata sebaik-baiknya
terhadap mereka. Tuan Wargrave mengatakan bahwa anak-anak suka padaku walau aku
tidak merasakan itu dari mereka, tetapi apa saja akan kulakukan untuk mendapat
uang bagi hidupku dan juga Nenek Lorretta.” Dia menghela napas panjang sambil
memperhatikan Billy dan Jhonny sibuk berkejaran ke sana kemari.
“Kudengar
kau tidak meneruskan kuliahmu lagi?” tanyaku berusaha untuk tidak menyinggung
perasaannya. Yang menceritakan itu adalah Tuan Brawley ketika sesi acara makan
siangku bersama Tuan Smith.
Holly
memangdangku dengan tatapan bingung sebentar sebelum menjawab, “Nenek Loretta
memintaku untuk berhenti.”
“Kenapa
dia memintamu seperti itu?”
“Dia
tidak mau ditinggal jauh olehku. Dia merasa kesepian, dan bla bla bla, omong
kosong semacam itu. Nenek Loretta selalu mengatakannya lagi dan lagi. Aku benci
untuk berhenti kuliah, tetapi orang tuaku juga menyetujuinya dan menyuruhku
untuk mengurus nenek saja. Heran kan, kenapa ada orang tua seperti mereka? Biar
kukatakan sekarang, tidak ada yang peduli padaku. Sama seperti Nenek Loretta
yang juga tidak dipedulikan. Seharusnya dia dimasukkan ke panti jompo, tetapi
aku melarangnya. Kami punya banyak kesamaan, sama-sama tidak diperdulikan.”
Mata Holly menerawang jauh ke langit, sebelum mengalihkan lagi perhatiannya
kepada anak-anak Wargrave.
Aku
terdiam tidak tahu harus berbicara apa. Ingin rasanya juga bercerita tentang
keluarga, tentang masa kecilku, serpihan-serpihan kenangan yang masih melekat
di otakku. Ada waktu-waktu tertentu aku mengingat mereka, tetapi semuanya
tentang memori masa kecil, aku sama sekali tidak ingat apa pun tentang
masa-masa yang lainnya. Aku juga ingin berbicara tentang saudara kembarku, Erick,
yang terpisah dariku belasan tahun lalu dan sampai sekarang aku belum tahu
dimana dia berada. Holly mungkin orang yang tepat untukku membeberkan semua
cerita yang selama ini masih kutahan untuk diriku sendiri. Tidak banyak yang
tahu, bahkan Lily, tidak tahu semua ceritaku.
Jam
tiga sore kami sudah kembali ke Langley Green. Setelah mengantar anak-anak
Wargrave pulang, aku dan Holly kembali ke rumah masing-masing. Sesampainya di
depan pintu, aku menyadari bahwa pintuku tidak terkunci! Sial! Aku sangat yakin
aku sudah menguncinya tadi! Dengan perasaan panik aku segera masuk rumah,
takut-takut kalau benda-benda berharga dalam rumahku dicuri. Di ruang tengah
baru aku sadari, tidak ada barang-barang berharga di rumahku. Hampir semuanya
adalah barang bekas yang masih layak pakai. Dan kusadari juga bahwa memang
tidak ada yang hilang.
Setelah
benar-benar memastikan tidak ada yang hilang dan semua benda berada di tepatnya
yang tepat, aku duduk di sofa ruang tengah sambil berpikir. Mungkin aku sendiri
yang lupa mengunci pintunya, atau memang tadi ada yang masuk ke dalam, tetapi
karena tidak ada barang berharga yang dapat diambil, si pencuri ini pergi
begitu saja. Tetapi semuanya berada di tempatnya yang tepat. Kalau seandainya
ada pencuri yang masuk ke sini, pasti dia menggeledah semua ruangan untuk
mencari benda berharga dan yang kutemukan di sini adalah, tidak ada yang tidak
berada di tempatnya. Semuanya rapi sama seperti terakhir kali kutinggalkan.
Di
tengah kebingungan itulah, aku melihat sebuah buku bersampul coklat usang yang
agak tebal tergeletak di meja kecil di sebelah sofa yang kududuki. Dengan rasa
penasaran, kuambil buku tersebut dan memperhatikan sampulnya yang usang.
Sepertinya buku ini sudah berumur ratusan tahun. Ketika kubuka, sebuah kertas
yang terselip jatuh di pangkuanku. Ada yang tertulis di situ:
Dear Charlotte,
Kami harap kau
menyukai pemberian kami. Persiapkan dirimu! Perburuan ini akan segera dimulai.
Hanya
itu yang tertulis yang tentu saja membuatku tambah bingung. Orang gila macam apa ini yang menulis beginian? Dan
pertanyaan yang paling penting, kenapa ada orang yang mengirim ini kepadaku?
Apakah ada seseorang yang ingin mengancamku? Cara seperti ini memang
benar-benar payah dan memalukan! Kuremas-remas kertas tersebut dan membuangnya
di tong sampah dapur.
Awalnya aku
ingin tidak memperdulikan buku bersampul coklat usang yang diberikan oleh orang
aneh yang juga menulis surat aneh itu. Namun rasa penasaranku mengalahkan rasa
ketidakpedulianku dan akhirnya kulihat juga isi buku itu. Halaman depannya
kosong, begitu juga halaman-halaman seterusnya. Oke, ini benar-benar membuatku
kesal. Tapi tunggu! Di halaman paling terakhir, terdapat tulisan, sebuah
artikel mengenai sesuatu yang akhir-akhir ini banyak kudengar.
Amaranth,
Sejarah
dan Cerita Rakyat
Amaranth
berasal dari kata Amaranthos, yang berarti ‘unwithering’ karena bunga ini
mempertahankan bentuk dan warnanya saat dikeringkan.
Amaranth
merupakan sumber pokok untuk diet bagi bangsa pra-Columbus Aztek, yang percaya
bahwa Amaranth memiliki kekuatan gaib dan dimasukkan dalam upacara keagamaan
mereka. Sebelum penaklukan Spanyol tahun 1519, Amaranth dikaitkan dengan pengorbanan manusia dan
perempuan-perempuan Aztek membuat sebuah campuran dari biji Amaranth, madu atau
darah manusia yang akan dimakan pada saat upacara penyembahan berhala.
Atribut
Sihir
Salah satunya
adalah bahwa Amaranth dihubung-hubungkan dengan keabadian, dan digunakan
sebagai hiasan dewa dan dewi sama halnya juga terdapat dalam upacara pemakaman
kaum Pagan.
Keabadian? Well,
you know it. So you BETTER WATCH IT!
Untuk
sesaat aku tertegun sebelum akhirnya aku merobek artikel yang ditulis tangan
itu dan merobeknya lagi menjadi beberapa bagian dan membuangnya ke tong sampah
dapur. Aku benci apabila ada orang yang mengancam dengan cara aneh seperti ini.
Apa sebaiknya aku lapor polisi? Tidak, polisi tidak akan memperdulikannya dan
menganggap itu hanya kerjaan orang iseng. Aku duduk lagi di sofa yang sama dan
mencoba menenangkan diriku. Andai saja aku tahu siapa yang mengirimnya, sudah
kujejalkan sobekan-sobekan kertas itu ke dalam mulutnya!
Tapi
ketika aku mulai merasa tenang, aku pun mulai untuk berpikir. Nenek Loretta
mengatakan (atau menuliskan) bahwa bau seorang perawan seperti bunga Amaranth,
dan dia menyuruhku pergi dari Langley Green. Sekarang sebuah artikel tidak
jelas memberitahuku Amaranth dihubungkan dengan keabadian. Jadi, apa maksudnya
semua ini? Si penulis misterius ini menyuruhku untuk berhati-hati. Mungkinkah
ada seseorang yang menggunakan darah perawan sebagai syarat agar hidup abadi?
Pikiran itu begitu fantastis sehingga sulit untuk mempercayainya. Aku bahkan
merasa pikiran itu konyol dan sejenak membuatku tersenyum kepada udara kosong.
Semua ini sulit dipercaya, benar-benar sulit bagiku untuk terus melanjutkan
pencarianku mengenai saudara kembarku di kota kelahiran kami ini.
Aku
memikirkan keputusanku untuk mengikuti saran Nenek Loretta, untuk segera pergi
dari kota ini. Mungkin ke Cardiff atau kembali ke London. Tetapi aku belum mau
meninggalkan Langley Green. Aku merasa pada akhirnya aku akan menemukan apa
yang kucari selama ini di kota ini. Dan aku yakin dengan firasatku itu.