Pagi
telah menjelang.
Aku
tahu bahwa aku hampir-hampir tidak tidur semalamam. Aku berhenti sekali-sekali
untuk istirahat sebentar di dalam mobil. Namun tidak sampai setengah jam, aku
terbangun lagi. Sekitar jam tiga pagi, aku menemukan sebuah bar 24 jam dan
memutuskan untuk masuk ke dalam sana. Bar itu tampak sepi, tidak ada seorang
pun kecuali si penjaga counter yang merupakan seorang lelaki jangkung yang
tertidur pulas. Keadaan bar itu tidaklah
terlalu buruk bagiku, tetapi aku merasa sedikit ragu untuk membangunkan lelaki
jangkung itu. Aku mengambil tempat duduk di depan sang penjaga counter dan
tanpa disangka-sangka lelaki itu terbangun.
“Oh,
ya ampun, maaf. Aku tidak bermaksud menganggu tidurmu,” ujarku sopan kepada
lelaki jangkung yang sedang mengucek-ngucek matanya.
“Eh,
tidak apa-apa Nona.” Dari suaranya terdengar sekali bahwa dia masih sangat
mengantuk. “Pelanggan terakhirku baru saja pergi 15 menit yang lalu dan dia
sepenuhnya mabuk. Aku tidak yakin dia bakalan bisa mengemudi mobil truknya itu
dengan selamat. Apa yang bisa kubuatkan untukmu Nona?” si lelaki jangkung
tersenyum ramah. Sepertinya dia tidaklah seburuk penampilannya terkesan seperti
gelandangan.
Sudah
jam tiga pagi dan aku tidak mau untuk meminum minuman beralkohol saat ini.
Sejujurnya aku sendiri pun bingung kenapa aku
masuk ke dalam bar ini. Aku seharusnya berada di dalam mobil sekarang,
mengemudi secepatnya untuk sampai ke Langley Green. Dan aku sudah menghabiskan
enam botol air putih dan tiga kaleng soda di sepanjang perjalanan.
“Mungkin
kau bisa istirahat sebentar di sini, sampai pagi menjelang.” Si lelaki jangkung
berkata tiba-tiba. “Kau membangunkanku ketika aku baru saja akan tertidur pulas
dan aku benar-benar masih sangat mengantuk Nona. Pekerjaan 24 jam itu
menyebalkan, tapi tidak ada yang lain yang bisa kulakukan. Bar ini sebenarnya
tidak buka selama 24 jam, ketika kurasakan bahwa tidak akan ada lagi pelanggan
yang datang, aku akan menutupnya. Aku biasa menutupnya sekitar pukul setengah
empat pagi, tapi Nona aku sama sekali tidak keberatan apabila kau mau
menghabiskan waktumu sampai pagi di sini. Bangunkan saja aku kalau kau perlu
apa-apa.”
Aku
tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa dia boleh tidur kembali. Kuputuskan
untuk berpindah tempat ke salah satu meja dan mengeluarkan buku harian masa
kecilku. Entah kenapa aku merasa sangat tertarik dengan semua kejadian yang
telah terjadi di waktuku kecil. Ini seperti kembali mengeluarkan memori yang
sudah tersimpan lama, dan kudapati bahwa tidak ada buruknya juga aku menguatkan
niatku untuk kembali ke Langley Green.
Paginya,
sekitar pukul tujuh, aku berpamitan kepada Mark, si lelaki jangkung penjaga
counter itu, dan memberinya tip karena sudah memperbolehkan aku menghabiskan
waktu sampai pagi di barnya. Awalnya dia menolak karena aku sama sekali tidak
memesan apa-apa, tetapi aku memaksanya untuk mau menerima tip yang kuberikan
sebagai ucapan terima kasih.
Langley
Green sudah hampir dekat. Aku bisa merasakannya dan mulai mengenali setiap inci
jalan yang kulalui. Tidak salah lagi, aku kenal dengan lingkungan ini. Ini
lingkungan rumahku. Aku mungkin amnesia, tetapi kenangan akan rumah masa
kecilku masih sesegar seperti aku baru saja meninggalkannya beberapa jam yang
lalu. Tidak ada yang berbeda kecuali papan yang bertuliskan ‘dijual’ tertancap
di halaman depan. Ada seorang pria setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di
sebelah papan itu sedang memperhatikan keseluruhan bentuk depan rumah. Segera
ku keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Maaf,”
sapaku kepada lelaki bertubuh gemuk tersebut. Dia membalikkan badannya dengan
cepat dan memandangku heran.
“Ya?”
katanya, “Ada perlu apa Anda ke sini?”
“Betulkah
rumah ini dijual?” aku menunjuk ke papan di sebelahnya. “Kenapa rumah ini dijual?
Siapa pemiliknya terdahulu?”
“Benar
sekali Nona, rumah ini akan dijual oleh pemiliknya. Pemilik terdahulunya adalah
Mr. Worthtington. Dia baru saja pindah tadi pagi beserta keluarganya ke Brighton
dan aku ditugaskan untuk menjual rumah ini. Bagaimanakah Nona? Apa Anda
tertarik untuk membelinya? Sesungguhnya saya akan mendapat untung lebih apabila
saya dapat menjualnya secepat mungkin.”
Aku
melihat ke arah lelaki paruh baya itu sebentar sebelum perhatianku kembali
tertuju kepada rumah masa kecilku. Aku akan menemukan sesuatu di sini, aku
yakin. “Ya, aku berminat membelinya. Aku bahkan sudah berniat untuk pindah
sekarang ke sini. Berapa harga yang kau tawarkan?”
Pria
itu tampak terkejut dengan perkataanku yang tidak terduga ini. “Tetapi apa Anda
yakin? Maksud saya Anda bisa melihat dulu isi dalam rumah. Anda tidak mau
membeli rumah hanya dari bentuk luarnya saja kan? Apalagi Anda memutuskan untuk
segera pindah ke sini. Bagaimana bisa? Memang masih ada beberapa perabotan lama
yang tertinggal di rumah ini. Selebihnya Andalah yang harus mengisinya Nona!”
“Bicara
apa kau ini? Cepat sebutkan saja berapa harganya!”
Setelah
menyelesaikan urusan pembelian rumah, aku akhirnya ditetapkan sebagai pemilik
rumah ini yang baru. Kuletakkan tas-tas dan koper berisi segala perlengkapanku
ke dalam rumah dan merasakan hembusan kuat memori lama yang tiba-tiba menerpa
otakku. Aku senang dengan sensasi ini, kuteliti semua sudut rumah, merasakan
betul bagaimana letak semua benda-benda di dalam rumah ini ketika aku masih
kecil. Memang rumah ini terlihat lenggang dan lebih luas karena minimnya
perabot, tapi itu bisa dipikirkan nanti. Aku segera naik ke lantai atas, tempat
dimana kamarku berada. Kubuka pintu dan sensasi memori lama itu benar-benar
mengetarkanku. Aku terdiam sebentar dan akhirnya memperlihatkan senyum lebarku.
Dalam ingatanku, aku bisa membayangkan beginilah kamarku ketika aku masih kecil
dulu. Ada papan pengingat tergantung di dinding, karakter-karakter kartun
Disney yang juga meramaikan dinding kamarku. Serta gambar-gambar yang kubuat
sendiri ditempel di berbagai perabotan seperti lemari dan meja belajar. Tapi
itu semua hanyalah dalam khayalanku saja. Kamar ini hanyalah sebuah kamar
kosong dengan sebuah tempat tidur dan cermin berbentuk oval tergantung di salah
satu dinding.
Aku
kembali memeriksa kamar-kamar yang lain. Kamar di sebelahku, entah darimana aku
tahu, tapi firasatku mengatakan bahwa ini dulunya adalah kamar Erick. Memang
tidak ada satu benda pun yang dapat menggambarkan bahwa ini kamar Erick, tapi
aku tahu bahwa ini pernah menjadi kamarnya. Kutinggalkan kamar Erick dan aku
kembali ke ruang depan di mana tas-tas dan koperku kuletakkan. Tidak ada
furniture di ruangan ini, jadi aku memutuskan untuk memeriksa ke belakang
rumah. Aku masih ingat betul dengan beranda yang kerap kali menemani mimpiku
ketika aku berada di rumah sakit. Dan sekarang di sinilah aku berada, terima
kasih sekali kepada Mr. Worthtington dan keluarganya yang sama sekali tidak
merusak pemandangan belakang rumahku. Yap, pohon-pohon maple itu masih ada di
sana.
Sayang
sekali sekarang bukanlah musim gugur. Aku ingin melihat pohon-pohon maple
mengugurkan daunnya. Kuingat sekali lagi bagaimana mimpi-mimpiku itu. Dua orang
anak, berdiri di beranda rumah, seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Aku benar-benar yakin bahwa dua anak itu adalah aku dan Erick. Tidak
salah lagi, ini adalah rumah kami dan yang perlu kutahu sekarang, apa yang
sampai menyebabkan Erick pergi meninggalkanku.
Seperti
yang sering sekali dibilang oleh orang-orang, waktu cepat berlalu. Apalagi
kalau kau sedang melakukan atau sedang berada di suatu tempat yang menurutmu
sangat menyenangkan. Dan begitulah keadaanku sekarang. Aku benar-benar senang
bisa kembali lagi ke rumah yang penuh dengan kenangan ini. Kemarin aku sudah
berhasil mengangkut beberapa perabotan lama dari gudang. Aku merasa nyaman
dengan semua perabotan usang ini. Ada beberapa remaja yang sedang menikmati
liburan musim panas mereka, jadi aku membayar mereka untuk membantuku membawa
semua perabotan dari gudang, membersihkannya, dan menatanya ulang kembali.
Seharian
kami mengerjakan pekerjaan yang melelahkan itu, dan aku sangat menyukai
anak-anak yang membantuku karena mereka tidak banyak mengeluh. Sekarang aku
berada di ruang tengah sembari membaca koran lokal. Sofa yang kududuki terasa
keras dan aku yakin aku tidak mau duduk terlalu lama di atasnya. Mungkin aku
perlu membeli televisi, atau mengambil televisiku di rumahku yang lama. Setelah
tidak menemukan berita menarik di koran, aku mengambil telepon selularku dan
menelepon Lily.
“Coba
tebak,” kataku ceria ketika dia mengangkat telepon.
“Aku
sama sekali tidak punya ide,” jawabnya cepat.
“Cepat
sekali kau menyerah,” ejekku sembari menjulurkan lidah walau kutahu Lily tidak
akan mungkin bisa melihatnya.
“Hmmm...,”
Lily terdengar sedang berpikir sebelum akhirnya menghela napas menyerah.
“Begini,”
aku menahan napas dan menghitung sampai tiga, “aku sudah pindah ke rumah masa
kecilku.”
Awalnya
Lily tidak merespon, tapi kemudian terdengar suara teriakan, “Jadi kau
benar-benar pindah ke sana!?”
Nada
tinggi antara marah dan terkejut yang keluar dari mulut Lily membuatku tertawa
geli. “Berhentilah berteriak begitu. Aku tidak meninggalkan Inggris raya yang
tercinta ini. Aku hanya pindah ke kota yang agak jauh dari London.”
“Tapi
tetap saja kau pergi meninggalkan semua teman dan pekerjaanmu di sini.” Suara
Lily mulai tenang kembali. “Bagaimana bisa kau melakukan semua ini? Kau baru
saja keluar dari rumah sakit dan kau berhenti bekerja. Bagaimana kau bisa
bertahan hidup di kota kecil seperti Langley Green?”
“Aku
kan bisa mencari pekerjaan. Jadi kasir misalnya? Atau mungkin pelayan kafe?”
jawabku walau dalam hati aku tidak begitu yakin gaji yang akan kuterima bakalan
sebesar gajiku dulu.
Hening
sebentar sebelum Lily mulai berteriak lagi, “Hah!? Kau bercanda ya!? Kau
meninggalkan pekerjaanmu sebagai kepala editor majalah dan menggantikannya
sebagai kasir? Yang benar saja!”
“Eh,
ya, yang benar saja!” aku mengikuti nada suaranya. “Memang gajiku tidak akan
sebesar dulu, tetapi hei! Ini kota kecil! Apa yang kau harapkan?”
Lily
hanya terdiam saja dan akhirnya menutup telepon secara sepihak. Aku tidak tahu
kenapa dia melakukannya, mungkin hanya karena kesal kepadaku. Kuletakkan
kembali gagang telepon dan berjalan ke dapur untuk sarapan. Baru saja aku
mengoleskan selai ke atas rotiku, terdengar bunyi pintu diketok oleh seseorang.
Kuletakkan dulu rotiku dan bergegas ke depan untuk menyambut tamu pertamaku di
kota ini.
“Hallo,”
sapa seorang wanita muda bertubuh kerdil dengan ramahnya.
“Well,
hallo,” sapaku balik dan mengerutkan kening, “Aku rasa aku sama sekali tidak
mengenali Anda. Siapa Anda?”
“Ya
ampun, maaf!” wanita muda itu membungkukkan badan sedikit. “Namaku Holly. Aku
tinggal di sebelah rumahmu. Kudengar dari Tuan Kensington bahwa Andalah pemilik
baru dari rumah ini.”
Kensington
adalah lelaki paruh baya yang menjual rumah ini kepadaku. “Betul sekali, Nona
Holly. Nama saya Charlotte.”
Dia
tersenyum kembali dengan ramahnya. “Aku tahu siapa namamu. Tuan Kensington
memberitahuku kemarin. Dan aku beserta nenekku sangat senang dengan adanya
tetangga baru. Maka daripada itu nenekku meminta kesediaan Anda agar dapat
makan malam bersama kami di rumah kami malam ini.”
Aku
terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan menampilkan senyum ramah juga.
“Tentu saja. Aku akan sangat senang sekali.”
“Terima
kasih.” Holly membungkukkan badannya lagi dan berjalan pergi.
Setelah
kututup pintu, aku kembali ke dapur untuk menikmati sarapan rotiku. Aku merasa
cukup senang karena mendapat tetangga yang baik dan bahkan mereka mengundangku
makan malam. Sepertinya wanita bernama Holly itu umurnya tidak terlalu jauh
dariku, mungkin saja kami bisa jadi teman akrab.
Malam
harinya, aku memenuhi janjiku untuk pergi ke rumah tetanggaku. Sesampainya di
sana, aku disambut oleh Holly sendiri dan dia mempersilahkanku masuk. Dia
kemudian menggiringku langsung ke ruang makan yang mana telah menunggu neneknya
Holly. Wanita tua itu sedang duduk di kursi rodanya, memandangku sambil
tersenyum. Kulit wajahnya telah mengendur dan terdapat bercak-bercak
kecoklatan. Kuperkirakan umurnya sudah mendekati 80 tahunan.
“Ini
nenekku. Namanya Loretta,” ujar Holly sambil mengelus pundak neneknya pelan.
“Nek, ini adalah tetangga baru kita, namanya Charlotte.”
Nenek
Loretta hanya tersenyum saja, membuatku agak sedikit bingung. Holly nampaknya
menyadari itu dan dia menggiringku ke ruang tengah. “Ada apa?” tanyaku yang
merasa heran dengan sikapnya.
“Maafkan
aku karena tidak memberitahukan hal ini terlebih dahulu.” Dari air mukanya dia
terlihat benar-benar menyesal. “Nenekku itu..., dia bisu, sejak lahir. Dan dia
sama sekali tidak bisa berbahasa isyarat. Semua keinginannya selalu dia tulis
di kertas.”
“Oh...,”
aku tidak tahu harus berkata apa. “Ya, aneh juga kenapa dia tidak berbicara
sedari tadi.”
“Ya
begitulah.” Holly menggiringku lagi ke ruang makan. Dan kami pun mulai makan
malam bersama.
Nenek
Loretta sepanjang makan malam menatapku terus sambil tersenyum. Aku merasa
sangat tidak nyaman dengan hal itu. Bukan berarti aku tidak menyukai wanita tua
malang tersebut, tetapi melihat dia tersenyum terus kepadaku hampir tiap menit,
membuatku merasa sedikit ngeri juga. Melihat situasi makan malam yang kurang
nyaman ini, Holly mencoba membuka pembicaraan denganku. “Jadi, kau pindah dari
London?”
Aku
mengangguk dan dalam hati bersyukur juga dengan dimulainya pembicaraan ini.
“Ya, begitulah,” jawabku pendek.
“Kenapa
kau pindah ke sini? Ini kota kecil, tidak banyak yang bisa dilakukan,” kata
Holly yang sepertinya penasaran sekali.
Aku
terdiam sejenak sembari meletakkan sendok dan garpu di piring. Haruskah
kukatakan bahwa aku ke sini karena ingin sekali mengetahui tentang apa saja
yang terjadi ketika ku masih kecil? Aku bahkan tidak yakin bahwa Holly tahu
bahwa sebelum Mr. Worthtington keluargakulah yang menempati rumah itu. Setelah
sadar bahwa aku terlalu lama berpikir, akhirnya aku menjawab, “Tidak ada yang
khusus sebenarnya. Aku sudah mulai bosan dengan suasana London dan berpikir
mungkin tinggal di kota kecil seperti Langley Green akan menyenangkan. Aku
tinggal di London seumur hidupku.” Oke, itu semua adalah satu kebohongan besar.
Holly
kelihatan lebih tertarik lagi ketika aku mengatakan tentang London. “Benarkah?
Dari dulu aku ingin sekali bisa mengunjungi London. Dulu aku tinggal di
Portsmouth, tetapi aku lahir di sini, di Langley Green. Aku merasa nyaman di
sini, jadi ketika aku lulus SMA, aku memutuskan untuk pindah ke sini bersama
Nenek Loretta. Kasihan nenek, tidak ada yang mengurusnya di sini.”
“Wow,
kau gadis yang sangat baik hati. Apakah orang tuamu masih tinggal di
Portsmouth?” sekarang giliranku yang bertanya kepadanya.
“Yap,
mereka punya pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan di sana. Tapi mereka
akan berkunjung ke sini tiap Natal.”
Kemudian
keheningan mulai menyergap lagi. Baik aku, Holly dan Nenek Loretta telah
selesai makan malam. Holly mengatakan bahwa dia akan mengantar neneknya dulu ke
atas sebelum membereskan meja makan. Sementara aku masih terduduk di kursiku
sambil mengambil telepon genggam dari saku dan mendapati pesan singkat dari
Lily.
Hei, mungkin
akhir pekan ini aku bisa menemuimu di Langley Green.
Aku
mengerutkan kening. Heh, Lily akan mengunjungiku di Langley Green? Kupikir dia
marah kepadaku karena aku memutuskan untuk pindah ke sini. Aku membalas pesan
Lily dan melihat Holly menuruni tangga lalu mulai membereskan piring-piring dan
gelas makan malam kami. Merasa ikut bertanggung jawab, aku pun membantunya
mengangkut peralatan makan kotor itu ke bak cucian. Setelah selesai membereskan
meja, Holly mengajakku ke ruang tengah.
“Hei,
berapa umurmu? Rasanya kita tidak terlalu jauh berbeda ya?” mulainya ketika
kami sudah duduk di ruang tengah dengan TV yang menyala.
“Tiga
bulan lagi aku akan berumur 26 tahun,” jawabku dan melemparkan pertanyaan yang
sama kepadanya.
“Bulan
lalu aku baru masuk 21 tahun,” jawabnya ceria. “Mungkin kita bisa jadi teman.
Tidak banyak yang bisa dijadikan teman di sini. Terkadang hidup di sini bisa
sangat membosankan. Tapi aku akan terus bertahan untuk nenek.”
Aku
memandangnya lekat-lekat. Merasa sangat tertarik dengan Holly. Dia sangat baik
dan sopan. Jarang sekali ada gadis muda seperti dia di jaman sekarang ini. “Kau
benar-benar sayang dengan nenekmu ya? Apakah itu semua karena dia, bisu dan
lumpuh?” aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan cukup pelan dan bernada
simpati.
Wajah
Holly seketika berubah suram. Hal itu membuatku jadi merasa bersalah karena
berkata yang tidak-tidak tentangnya. “Mungkin sebagian,” ujar Holly yang
membuatku menaikkan sebelah alis mataku. “Mungkin sebagian dariku memang merasa
kasihan. Selama tiga tahun di sini, nenek hampir tidak bisa apa-apa. Wanita
yang dulu bekerja untuk merawat nenek sangat tidak telaten dan dia meninggalkan
nenek begitu saja. Maka daripada itulah aku yang merawat nenek karena aku tahu
tidak akan ada yang mau bersusah-susah untuk merawat orang tua. Kau tinggal
memasukkannya ke panti jompo dan akan mengambilnya kembali ketika dia sudah
meninggal. Hell yeah, terdengar kejam
bukan? Aku menyanyangi nenek karena ku masih ingat sewaktu ku kecil, neneklah
yang benar-benar memperhatikanku. Sekarang, giliranku yang memperhatikannya.
Bisa dibilang ini hubungan timbal balik, tetapi kami saling menyanyangi, dan
itu sudah cukup untuk terus membuatku bertahan di sini. Kau tahu tidak? Aku
hampir-hampir tidak punya waktu istirahat. Aku bekerja sebagai pengurus
anak-anak keluarga Wargrave untuk biaya hidup kami sehari-hari dan di rumah aku
harus mengurus nenek lagi. Benar-benar melelahkan sekali.” Wajah Holly terlihat
berseri-seri sekali karena pada akhirnya ada juga yang mau mendengarkan
ceritanya.
“Apa
kau...,” aku berhenti sejenak, untuk mencari kata-kata yang cocok. “Pernah
menginginkan nenekmu kembali kepada Sang Pencipta?” sudah benarkah perkataanku?
Rasanya segalanya serba salah apabila aku ingin mengomentari suatu hal yang
pribadi pada diri seseorang.
Wajah
berseri-seri Holly langsung hilang bagai disapu angin. Dia tertunduk namun
cepat-cepat mengangkat mukanya lagi. “Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin kau ada
benarnya. Mengurus seseorang yang cacat memang tidak mudah. Umur nenekku
sebentar lagi 80
tahun, dan terkadang jauh di lubuk hatiku aku berharap kepada Tuhan, kenapa Kau
belum memanggilnya? Tapi aku selalu cepat-cepat menepis semua itu. Tuhan
memberinya umur panjang, dan itu bagus kan?” dia terlihat tidak yakin dengan
perkataannya yang terakhir.
“Tetapi
hidup lama hanya untuk menyusahkan orang?” aku langsung menutup mulutku dengan
tangan ketika menyadari betapa kurang ajarnya aku mengatakan itu. “Maksudku,
aku, aku tidak bermaksud...,”
“Sudahlah,
aku mengerti. Memang kesabaran orang ada batasnya, dan seperti yang kukatakan
tadi, aku terkadang berharap dia segera dipanggil oleh Tuhan, jadi aku bisa
bebas dan pergi dari Langley Green. Dia bisa dikuburkan dengan layak di kota
kelahirannya ini, tetapi setiap kupikirkan ulang, itu kedengaran jahat sekali!
Mendoakan nenekmu sendiri untuk mati, itu sungguh tidak berprikemanusiaan! Maka
daripada itu aku terus bersabar dalam merawat nenek.” Jawabannya terdengar
mantap sekali, membuatku terkagum-kagum dalam hati.
Merasa
bahwa membicarakan tentang Nenek Loretta terus tidak akan berjalan baik, maka
aku mengganti topik. “Adakah mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Langley Green?”
Holly
terlihat bingung sesaat tapi dia
menjawab juga, “Setiap kota punya mitos sendiri-sendiri. Kenapa kau ingin
tahu?”
“Tidak
ada. Rasanya senang saja bisa mengetahui bahwa semodern apapun suatu kota atau negara,
yang namanya mitos tidak akan pernah hilang dari kebudayaan masyarakatnya.”
“Ya,
kau benar. Ada satu, dan ini kudengar dari Mr. Wargrave ketika aku baru pertama
kali bekerja di rumahnya. Dia menceritakan sebuah kisah tentang seorang
bangsawan bernama Duke Mayhem yang mempunyai seorang istri bernama Camille.
Jarak umur mereka terpaut hampir 25 tahun, tetapi rumah tangga mereka berjalan
harmonis karena Duke Mayhem sangat menyanyangi istrinya. Dia sama sekali tidak
tahu bahwa istrinya adalah seorang penyihir yang jahat yang memanfaatkan
kekuasaan suaminya untuk mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan korban supaya
dia bisa berumur panjang dan tidak bertambah tua. Namun, pada suatu hari di bulan
Oktober, semua rahasia Camille terungkap oleh Duke Mayhem sendiri dan akhirnya
Camille dibakar hidup-hidup oleh para warga. Konon sebelum dia dibakar
hidup-hidup, dia sempat berkata bahwa dia akan menuntut balas dan akan terus
menghantui kota dan para warganya.” Holly menghela napas sebelum melanjutkan
kembali, “Begitulah ceritanya. Masih ada orang yang percaya dengan cerita ini
sampai sekarang, namun sebagian besar orang hanya menganggapnya mitos belaka.”
“Hmmm,”
gumamku tidak jelas sambil mengangguk-ngangguk mendengar cerita Holly.
“Oh
iya Charlotte,” sahut Holly tiba-tiba, “Kau orang Perancis ya? Namamu
kedengaran seperti orang Perancis.”
“Tidak
juga.” Aku bingung harus menjawab apa. Tidak ada satupun tentang keluargaku
yang kuingat mempunyai darah Perancis. Akhirnya aku mengarang cerita saja
kepada Holly bahwa nenekku masih keturunan Perancis dan melihat jam dinding
yang sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Aku pamit pulang kepada
Holly dan gadis itu mengantarku sampai di beranda depan.
Di
depan rumah, aku melihat seseorang berdiri membelakangiku. Dia memakai jubah
hitam panjang, dan ketika aku menghampirinya, dengan cepat dia berbalik. sosok
berjubah ini adalah seorang wanita cantik berumur awal tiga puluhan. Dia
tersenyum sekilas kepadaku sebelum
wajahnya berubah dingin. “Ini rumahmu?” tanyanya dengan suara yang sama
dinginnya dengan wajahnya.
Aku
mengerutkan kening dan mengangguk. Perasaan tidak suka terhadap wanita ini
mulai menjalariku. Untuk apa coba dia datang malam-malam begini dengan jubah
hitam bagaikan seorang nenek sihir?
“Jadi
kau adalah pemilik baru rumah ini.” Dia berhenti dan memandangku dari atas
sampai bawah dan tersenyum sekilas lagi. Perbuatannya itu benar-benar tambah
membuatku jengkel. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, wanita misterius
tersebut langsung pergi.
Kutatap
punggungnya yang semakin menjauh sampai dia hilang ditelan kegelapan malam.
Apa-apaan dia? Datang ke sini hanya untuk menanyakan itu? Dan caranya
memandangku dari atas ke bawah itu, sepertinya dia mempunyai maksud tertentu
melihatku. Siapa si wanita aneh itu? Hm, mungkin besok kutanyakan saja pada
Holly. Dengan perasaan masih kesal, aku masuk ke dalam rumah dan mengunci
pintu.