Rabu, 24 Februari 2016

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 4

Terdengar bunyi ketukan pintu di luar. Kuletakkan cangkir kopiku di meja dan setengah berlari dari dapur ke depan untuk membukakan pintu. Tampak Tuan Kensington berdiri di depan rumah. Aku menyilakan pria setengah baya itu masuk dan dia langsung duduk di sofa ruang tamu. “Anda membuat semua hal yang ada di rumah ini jadi berbeda,” ujarnya sembari melihat sekeliling ruang tamu. “Perabotan-perabotan ini terlihat bekas, Anda mengambilnya kembali dari dalam gudang?”
“Ya, begitulah.” Aku duduk di depannya, “Selama masih bisa dipakai, kenapa tidak?”
Tuan Kensington mengangguk-ngangguk dan memberitahukan maksud kedatangannya ke sini. “Saya sudah berbicara dengan Tuan Worthtington. Dia mengatakan bahwa nama keluargamu terdengar tidak asing baginya.”
“Tentu saja, banyak orang yang mempunyai nama belakang Harriot,” jawabku mencoba terdengar biasa saja. Aku tidak tahu apakah Tuan Worthtington akhirnya menyadari bahwa aku dulunya pemilik rumah ini yang asli.
Pria di depanku tersenyum kecil mendengarnya. “Maksud saya pemilik rumah sebelum dia juga mempunyai nama keluarga Harriot. Tuan Jonathan Harriot. Dia beserta keluarganya pindah ke Cardiff empat belas tahun lalu, tetapi istrinya lebih memilih untuk pindah ke London. Sepengetahuan Tuan Worthtington, keluarga itu memang tidak pernah akur. Tuan dan Nyonya Harriot berperilaku tidak seperti sepasang suami istri. Seharusnya mereka bercerai saja sedari dulu, tetapi mereka masih memikirkan tentang kepentingan anak-anak. Tuan Worhtington juga mendengar bahwa pasangan itu mempunyai tiga anak, dan dia mendengar lagi bahwa salah satu dari anak mereka ikut Nyonya Harriot ke London. Sayangnya wanita itu meninggal enam tahun yang lalu, dan tidak ada sama sekali informasi mengenai anak yang dibawanya ke London itu.”
Semua yang diceritakan oleh Tuan Kensington membuatku terdiam. Bisa kurasakan jantungku berdetak dua kali lebih cepat dan otakku bisa meledak kapan saja. Informasi ini terlalu banyak. Jadi begitukah yang terjadi? Benarkah bahwa aku terpisah dari Erick, saudara kembarku? Sekarang dia berada di Cardiff, tetapi apakah dia juga ingat kepadaku? Cuma ingatan tentang Erick dan rumah masa laluku yang benar-benar masih melekat kuat dalam ingatanku. Lily tidak pernah mengatakan bahwa ibuku sudah meninggal. kalau dia mengatakan lebih awal, mungkin aku bisa mengucapkan sepatah dua kata pada kuburannya.
“Nona Charlotte, apakah Anda baik-baik saja?” suara khawatir Tuan Kensington menyadarkanku bahwa sedari tadi aku hanya diam sambil menunduk dalam-dalam.
Aku mengangguk dan merasakan air mataku akan jatuh. Hei, kenapa aku menangis? Apa yang harus kutangiskan? Dengan susah payah kutahan air mataku supaya Tuan Kensington tidak melihatnya. “A, aku baik-baik saja Tuan Kensington. Apakah Anda tahu nama anak-anak mereka?”
Dia menggeleng. “Sayangnya tidak. Mr. Worthtington juga tidak tahu. Kenapa kau ingin tahu tentang mereka?”
“Ah, tidak. Hanya ingin tahu saja,” jawabku berbohong. Kupaksakan senyum dihadapan Tuan Kensington dan dia membalas senyumku walau di matanya masih tampak keheranan.
Kami berbincang-bincang untuk setengah jam ke depan tentang Langley Green. Aku bermaksud untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris di kantor pengacara setempat, Smith & Bailey, dan Tuan Bailey telah menjadwalkan interview besok pagi pukul sembilan di kantornya. Akhirnya Tuan Kensington pamit pulang dan mengatakan semoga berhasil untuk interviewku besok.
Suara bunyi telepon menganggu sarapanku. Aku berdecak kesal karena acara makan pagiku sudah dua kali terganggu, tetapi aku beranjak juga ke ruang tengah untuk mengangkat telepon. “Halo,” sapaku, berusaha terdengar kesal kepada siapa pun yang menelepon.
“Halo Charlotte!” suara ceria Lily menggema di kupingku, “Suaramu tidak biasa pagi ini. Oh, apakah aku terlalu pagi untuk menelepon?”
Aku tertawa mendengar suara khawatir Lily yang dibuat-buat. Sejujurnya jam sembilan pagi sudah cukup siang bagiku. “Maafkan aku Lily. Ya, kau terlalu pagi. Buat orang sepertimu jam sembilan  memang terlalu pagi.”
“Jadi kau berpikir bahwa aku adalah tipe orang yang menghabiskan waktu untuk tidur sampai siang?” dia bertanya dengan nada marah yang tidak serius.
Suara marah palsu Lily membuatku tertawa lagi. “Oke, oke, aku hanya bercanda. Tetapi sekarang serius, kenapa kau meneleponku sepagi ini?”
“Masa kau lupa? Aku mengirim pesan kepadamu kemarin malam. Akhir pekan ini aku akan datang ke Langley Green. Aku sudah dapat cuti dari atasanku dan aku akan berada di sana Sabtu pagi, mungkin sekitar jam sembilan atau sepuluh. Akan kulihat bagaimana kehidupanmu di sana dan apa yang membuatmu benar-benar ngotot untuk pindah ke sana.” Lily menaikkan suaranya pada kalimat terakhir, dan entah kenapa aku merasa dia memelototkan matanya ketika mengucapkan kalimat terakhir itu.
“Oh, baiklah Lily. Sampai ketemu Sabtu nanti!” kataku dan menutup telepon. Aku kembali lagi ke meja sarapan dan berharap tidak ada yang menganggu lagi makan pagiku kali ini. Sambil memakan serealku, aku memikirkan tentang membuat sesuatu yang agak berbeda ketika Lily datang nanti. Biasanya aku sarapan dengan roti bagel atau sereal dan sandwich. Mungkin aku bisa membuat English Muffin untuk Sabtu nanti. Kalau tidak salah aku menemukan resep itu kemarin ketika membereskan lemari dapur bekas.

Tuan Bailey bisa dibilang sebagai orang yang paling bosan tinggal di Langley Green. Dia sudah menghabiskan 26 tahun hidupnya dengan membuka praktek pengacara di sini, meneruskan pekerjaan ayahnya, Smith yang meninggal karena kanker otak. Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini selain mengurusi perceraian, pembagian harta warisan yang tidak seberapa dan tetek bengek kecil lainnya. Sekretaris lamanya, Nona Emma, pulang ke kampung halamannya beberapa hari lalu, jadi terpaksalah Tuan Bailey membuka lowongan untuk mencari sekretaris baru.
Dari pertama melihatku, bisa kusimpulkan bahwa dia tidak terlalu suka padaku. Tetapi kelihatannya Tuan Bailey memang tidak suka dengan  semua orang. Dia terperangkap di sini, tinggal berdua saja bersama istrinya yang invalid, menghabiskan waktu di kantor kecil dan mengurusi hal yang menurutnya melecehkan gelar hukumnya. Sudah jelaslah bahwa dia berangan-angan untuk pindah dari sini, ke kota besar, dia bisa mulai di Crawley atau kota lainnya. Membuka praktek pengacara di sana, berusaha sedikit demi sedikit untuk mendapat dana yang cukup untuk menyewa gedung yang lebih besar di kota yang lebih besar juga, London mungkin? Yang jelas, kenyataan membawanya masih tetap berada di Langley Green.
Kata Pak Tua itu, aku sudah bisa bekerja mulai Senin depan. Pekerjaannya juga tidak terlalu repot, hanya mengetik surat-surat dan dokumen-dokumen, menyusun jadwal pertemuan, mengangkat telepon, serta melayani para tamu yang datang ke sini dengan ramah. Tuan Bailey tidak bisa memberi gaji tinggi, mengingat ini hanyalah sebuah biro hukum kecil. Namun uang tidak sepenuhnya menjadi masalah buatku. Aku datang ke Langley Green untuk mengorek informasi mengenai masa laluku dan juga saudara kembarku. Setelah aku memikirkan hal itu dengan lebih mendalam, aku baru sadar aku belum melakukan apa-apa untuk semua itu.
Mimpi-mimpi aneh yang kudapatkan, sekarang sudah tidak pernah kudapatkan lagi semenjak aku menginjakkan kaki di Langley Green. Kuhempaskan badanku ke sofa butut di ruang tengah, dan segera menyadari bahwa aku bisa saja merusak sofa ini kalau aku melakukan hal itu lebih dari sekali. Kembali aku memikirkan tentang mimpi-mimpiku dan juga saudara kembarku, Erick. Barulah aku teringat dengan perkataan Tuan Kensington, bahwa pemilik rumah sebelum Tuan Worthington alias ayahku, memboyong seorang anak lelaki ke Cardiff. Bisa saja itu Erick! Ayah membawa Erick dan kakak perempuanku ke kota pelabuhan itu, sedangkan aku harus menjalani hidup yang tidak menyenangkan di London bersama ibu. Itu kendengaran sangat tidak adil.
Apakah aku harus pergi ke Cardiff untuk mencari Erick? Tapi Cardiff kota besar dan jaraknya jauh dari Langley Green. Aku tidak mungkin akan langsung menemukan Erick di sana, selain itu aku sama sekali tidak tahu bagaimana tampang Erick sekarang. Selama ini yang kulihat di mimpiku adalah tampang Erick ketika dia masih kecil. Dan kemungkinan lain yang tambah menyurutkan keinginanku untuk pergi ke Cardiff adalah mungkin saja Erick telah pindah dari sana. Siapa tahu saja ada sesuatu yang membuatnya pindah dan aku tidak tahu kemana. Aku benar-benar tidak punya sedikit pun petunjuk untuk mencari keberadaan saudara kembarku itu, satu-satunya keluargaku yang masih kuingat sampai sekarang.

Jumat pagi itu kuputuskan untuk berbelanja ke pasar terdekat. Setelah mendapatkan semua yang kubutuhkan, aku memutuskan mampir ke toko bunga untuk membeli bunga yang akan kuberikan pada Nenek Loretta sebagai ucapan terima kasih karena telah mengundangku makan malam dua hari lalu. Aku dengar dari Holly bahwa Nenek Loretta sangat menyukai bunga Daisy, bunga yang melambangkan bulan kelahirannya, April. Kubawa semua belanjaanku dan kumasukkan ke bagasi mobil. Buket bunga daisy itu kutaruh di bangku penumpang dan akan segera kuberikan kepada Nenek Loretta. Perjalanan dari rumah ke pasar sebenarnya bisa ditempuh dengan 20 menit jalan kaki, namun aku sedang tidak niat untuk berjalan-jalan sendiri.
Mobilku kujalankan dengan santai menyusuri jalan utama Langley Green. Sesuatu berkelebat dengan cepat, dan itu membuatku terpaksa mengerem mendadak, membuat buket bunga daisyku jatuh dan kepalaku hampir menabrak setir seandainya aku tidak pakai sabuk pengaman. Kulihat dari kaca mobil, wanita berjubah hitam yang sama seperti yang kulihat dua malam lalu.  
Shit!” umpatku keras-keras, merasa benar-benar jengkel dengan wanita sok misterius dan aneh yang berdiri dengan enteng di depan mobilku. Dengan cepat aku keluar dari mobil dan menghampiri wanita itu. Anehnya, dia tersenyum kepadaku, bukan senyum yang ramah, tetapi lebih mirip sebuah seringaian licik. “Kau,” aku menunjuk ke arahnya dengan geram, “Kau hampir saja tertabrak tahu! Apa yang kau lakukan tiba-tiba datang menghalangi jalan!?”
Dia tersenyum licik lagi sebelum menjawab, “Aku datang karena aku ingin melihatmu. Kau yang akan jadi berikutnya.”
Aku mengernyitkan keningku merasa sangat aneh dengan perkataannya. Mungkinkah wanita ini gila? Atau dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur? Dari tampangnya dia memang terlihat sangat cantik, wanita tercantik yang pernah kulihat. Dia bisa jadi model atau bintang film atau apa saja, tetapi aku merasakan bahwa ada aura jahat yang mengelilingi wanita di depanku ini, dan aku tidak suka itu. “Aku tidak mau ambil pusing dengan perkataanmu. Tolong segera menyingkir dari tengah jalan supaya aku dapat mengendarai mobil dengan tenang!” perintahku kepadanya dengan kasar. Sudah kubilang kan aku tidak suka wanita ini.
“Kau akan menyesal berkata begitu!” ujarnya dan dia berjalan ke pinggir. Wanita itu masih menatap ke arahku walau aku sudah berada di dalam mobil. Kujalankan mobilku dengan pelan dan aku sempat melirik sebentar wanita itu dari kaca penumpang. Benar-benar wanita yang aneh!

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 3

Pagi telah menjelang.
Aku tahu bahwa aku hampir-hampir tidak tidur semalamam. Aku berhenti sekali-sekali untuk istirahat sebentar di dalam mobil. Namun tidak sampai setengah jam, aku terbangun lagi. Sekitar jam tiga pagi, aku menemukan sebuah bar 24 jam dan memutuskan untuk masuk ke dalam sana. Bar itu tampak sepi, tidak ada seorang pun kecuali si penjaga counter yang merupakan seorang lelaki jangkung yang tertidur pulas.  Keadaan bar itu tidaklah terlalu buruk bagiku, tetapi aku merasa sedikit ragu untuk membangunkan lelaki jangkung itu. Aku mengambil tempat duduk di depan sang penjaga counter dan tanpa disangka-sangka lelaki itu terbangun.
“Oh, ya ampun, maaf. Aku tidak bermaksud menganggu tidurmu,” ujarku sopan kepada lelaki jangkung yang sedang mengucek-ngucek matanya.
“Eh, tidak apa-apa Nona.” Dari suaranya terdengar sekali bahwa dia masih sangat mengantuk. “Pelanggan terakhirku baru saja pergi 15 menit yang lalu dan dia sepenuhnya mabuk. Aku tidak yakin dia bakalan bisa mengemudi mobil truknya itu dengan selamat. Apa yang bisa kubuatkan untukmu Nona?” si lelaki jangkung tersenyum ramah. Sepertinya dia tidaklah seburuk penampilannya terkesan seperti gelandangan.
Sudah jam tiga pagi dan aku tidak mau untuk meminum minuman beralkohol saat ini. Sejujurnya aku sendiri pun bingung kenapa aku  masuk ke dalam bar ini. Aku seharusnya berada di dalam mobil sekarang, mengemudi secepatnya untuk sampai ke Langley Green. Dan aku sudah menghabiskan enam botol air putih dan tiga kaleng soda di sepanjang perjalanan.
“Mungkin kau bisa istirahat sebentar di sini, sampai pagi menjelang.” Si lelaki jangkung berkata tiba-tiba. “Kau membangunkanku ketika aku baru saja akan tertidur pulas dan aku benar-benar masih sangat mengantuk Nona. Pekerjaan 24 jam itu menyebalkan, tapi tidak ada yang lain yang bisa kulakukan. Bar ini sebenarnya tidak buka selama 24 jam, ketika kurasakan bahwa tidak akan ada lagi pelanggan yang datang, aku akan menutupnya. Aku biasa menutupnya sekitar pukul setengah empat pagi, tapi Nona aku sama sekali tidak keberatan apabila kau mau menghabiskan waktumu sampai pagi di sini. Bangunkan saja aku kalau kau perlu apa-apa.”
Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa dia boleh tidur kembali. Kuputuskan untuk berpindah tempat ke salah satu meja dan mengeluarkan buku harian masa kecilku. Entah kenapa aku merasa sangat tertarik dengan semua kejadian yang telah terjadi di waktuku kecil. Ini seperti kembali mengeluarkan memori yang sudah tersimpan lama, dan kudapati bahwa tidak ada buruknya juga aku menguatkan niatku untuk kembali ke Langley Green.
Paginya, sekitar pukul tujuh, aku berpamitan kepada Mark, si lelaki jangkung penjaga counter itu, dan memberinya tip karena sudah memperbolehkan aku menghabiskan waktu sampai pagi di barnya. Awalnya dia menolak karena aku sama sekali tidak memesan apa-apa, tetapi aku memaksanya untuk mau menerima tip yang kuberikan sebagai ucapan terima kasih.
Langley Green sudah hampir dekat. Aku bisa merasakannya dan mulai mengenali setiap inci jalan yang kulalui. Tidak salah lagi, aku kenal dengan lingkungan ini. Ini lingkungan rumahku. Aku mungkin amnesia, tetapi kenangan akan rumah masa kecilku masih sesegar seperti aku baru saja meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Tidak ada yang berbeda kecuali papan yang bertuliskan ‘dijual’ tertancap di halaman depan. Ada seorang pria setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sebelah papan itu sedang memperhatikan keseluruhan bentuk depan rumah. Segera ku keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Maaf,” sapaku kepada lelaki bertubuh gemuk tersebut. Dia membalikkan badannya dengan cepat dan memandangku heran.
“Ya?” katanya, “Ada perlu apa Anda ke sini?”
“Betulkah rumah ini dijual?” aku menunjuk ke papan di sebelahnya. “Kenapa rumah ini dijual? Siapa pemiliknya terdahulu?”
“Benar sekali Nona, rumah ini akan dijual oleh pemiliknya. Pemilik terdahulunya adalah Mr. Worthtington. Dia baru saja pindah tadi pagi beserta keluarganya ke Brighton dan aku ditugaskan untuk menjual rumah ini. Bagaimanakah Nona? Apa Anda tertarik untuk membelinya? Sesungguhnya saya akan mendapat untung lebih apabila saya dapat menjualnya secepat mungkin.”
Aku melihat ke arah lelaki paruh baya itu sebentar sebelum perhatianku kembali tertuju kepada rumah masa kecilku. Aku akan menemukan sesuatu di sini, aku yakin. “Ya, aku berminat membelinya. Aku bahkan sudah berniat untuk pindah sekarang ke sini. Berapa harga yang kau tawarkan?”
Pria itu tampak terkejut dengan perkataanku yang tidak terduga ini. “Tetapi apa Anda yakin? Maksud saya Anda bisa melihat dulu isi dalam rumah. Anda tidak mau membeli rumah hanya dari bentuk luarnya saja kan? Apalagi Anda memutuskan untuk segera pindah ke sini. Bagaimana bisa? Memang masih ada beberapa perabotan lama yang tertinggal di rumah ini. Selebihnya Andalah yang harus mengisinya Nona!”
“Bicara apa kau ini? Cepat sebutkan saja berapa harganya!”
Setelah menyelesaikan urusan pembelian rumah, aku akhirnya ditetapkan sebagai pemilik rumah ini yang baru. Kuletakkan tas-tas dan koper berisi segala perlengkapanku ke dalam rumah dan merasakan hembusan kuat memori lama yang tiba-tiba menerpa otakku. Aku senang dengan sensasi ini, kuteliti semua sudut rumah, merasakan betul bagaimana letak semua benda-benda di dalam rumah ini ketika aku masih kecil. Memang rumah ini terlihat lenggang dan lebih luas karena minimnya perabot, tapi itu bisa dipikirkan nanti. Aku segera naik ke lantai atas, tempat dimana kamarku berada. Kubuka pintu dan sensasi memori lama itu benar-benar mengetarkanku. Aku terdiam sebentar dan akhirnya memperlihatkan senyum lebarku. Dalam ingatanku, aku bisa membayangkan beginilah kamarku ketika aku masih kecil dulu. Ada papan pengingat tergantung di dinding, karakter-karakter kartun Disney yang juga meramaikan dinding kamarku. Serta gambar-gambar yang kubuat sendiri ditempel di berbagai perabotan seperti lemari dan meja belajar. Tapi itu semua hanyalah dalam khayalanku saja. Kamar ini hanyalah sebuah kamar kosong dengan sebuah tempat tidur dan cermin berbentuk oval tergantung di salah satu dinding.   
Aku kembali memeriksa kamar-kamar yang lain. Kamar di sebelahku, entah darimana aku tahu, tapi firasatku mengatakan bahwa ini dulunya adalah kamar Erick. Memang tidak ada satu benda pun yang dapat menggambarkan bahwa ini kamar Erick, tapi aku tahu bahwa ini pernah menjadi kamarnya. Kutinggalkan kamar Erick dan aku kembali ke ruang depan di mana tas-tas dan koperku kuletakkan. Tidak ada furniture di ruangan ini, jadi aku memutuskan untuk memeriksa ke belakang rumah. Aku masih ingat betul dengan beranda yang kerap kali menemani mimpiku ketika aku berada di rumah sakit. Dan sekarang di sinilah aku berada, terima kasih sekali kepada Mr. Worthtington dan keluarganya yang sama sekali tidak merusak pemandangan belakang rumahku. Yap, pohon-pohon maple itu masih ada di sana.
Sayang sekali sekarang bukanlah musim gugur. Aku ingin melihat pohon-pohon maple mengugurkan daunnya. Kuingat sekali lagi bagaimana mimpi-mimpiku itu. Dua orang anak, berdiri di beranda rumah, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Aku benar-benar yakin bahwa dua anak itu adalah aku dan Erick. Tidak salah lagi, ini adalah rumah kami dan yang perlu kutahu sekarang, apa yang sampai menyebabkan Erick pergi meninggalkanku.

Seperti yang sering sekali dibilang oleh orang-orang, waktu cepat berlalu. Apalagi kalau kau sedang melakukan atau sedang berada di suatu tempat yang menurutmu sangat menyenangkan. Dan begitulah keadaanku sekarang. Aku benar-benar senang bisa kembali lagi ke rumah yang penuh dengan kenangan ini. Kemarin aku sudah berhasil mengangkut beberapa perabotan lama dari gudang. Aku merasa nyaman dengan semua perabotan usang ini. Ada beberapa remaja yang sedang menikmati liburan musim panas mereka, jadi aku membayar mereka untuk membantuku membawa semua perabotan dari gudang, membersihkannya, dan menatanya ulang kembali.
Seharian kami mengerjakan pekerjaan yang melelahkan itu, dan aku sangat menyukai anak-anak yang membantuku karena mereka tidak banyak mengeluh. Sekarang aku berada di ruang tengah sembari membaca koran lokal. Sofa yang kududuki terasa keras dan aku yakin aku tidak mau duduk terlalu lama di atasnya. Mungkin aku perlu membeli televisi, atau mengambil televisiku di rumahku yang lama. Setelah tidak menemukan berita menarik di koran, aku mengambil telepon selularku dan menelepon Lily.
“Coba tebak,” kataku ceria ketika dia mengangkat telepon.
“Aku sama sekali tidak punya ide,” jawabnya cepat.
“Cepat sekali kau menyerah,” ejekku sembari menjulurkan lidah walau kutahu Lily tidak akan mungkin bisa melihatnya.
“Hmmm...,” Lily terdengar sedang berpikir sebelum akhirnya menghela napas menyerah.
“Begini,” aku menahan napas dan menghitung sampai tiga, “aku sudah pindah ke rumah masa kecilku.”
Awalnya Lily tidak merespon, tapi kemudian terdengar suara teriakan, “Jadi kau benar-benar pindah ke sana!?”
Nada tinggi antara marah dan terkejut yang keluar dari mulut Lily membuatku tertawa geli. “Berhentilah berteriak begitu. Aku tidak meninggalkan Inggris raya yang tercinta ini. Aku hanya pindah ke kota yang agak jauh dari London.”
“Tapi tetap saja kau pergi meninggalkan semua teman dan pekerjaanmu di sini.” Suara Lily mulai tenang kembali. “Bagaimana bisa kau melakukan semua ini? Kau baru saja keluar dari rumah sakit dan kau berhenti bekerja. Bagaimana kau bisa bertahan hidup di kota kecil seperti Langley Green?”
“Aku kan bisa mencari pekerjaan. Jadi kasir misalnya? Atau mungkin pelayan kafe?” jawabku walau dalam hati aku tidak begitu yakin gaji yang akan kuterima bakalan sebesar gajiku dulu.
Hening sebentar sebelum Lily mulai berteriak lagi, “Hah!? Kau bercanda ya!? Kau meninggalkan pekerjaanmu sebagai kepala editor majalah dan menggantikannya sebagai kasir? Yang benar saja!”
“Eh, ya, yang benar saja!” aku mengikuti nada suaranya. “Memang gajiku tidak akan sebesar dulu, tetapi hei! Ini kota kecil! Apa yang kau harapkan?”
Lily hanya terdiam saja dan akhirnya menutup telepon secara sepihak. Aku tidak tahu kenapa dia melakukannya, mungkin hanya karena kesal kepadaku. Kuletakkan kembali gagang telepon dan berjalan ke dapur untuk sarapan. Baru saja aku mengoleskan selai ke atas rotiku, terdengar bunyi pintu diketok oleh seseorang. Kuletakkan dulu rotiku dan bergegas ke depan untuk menyambut tamu pertamaku di kota ini.
“Hallo,” sapa seorang wanita muda bertubuh kerdil dengan ramahnya.
“Well, hallo,” sapaku balik dan mengerutkan kening, “Aku rasa aku sama sekali tidak mengenali Anda. Siapa Anda?”
“Ya ampun, maaf!” wanita muda itu membungkukkan badan sedikit. “Namaku Holly. Aku tinggal di sebelah rumahmu. Kudengar dari Tuan Kensington bahwa Andalah pemilik baru dari rumah ini.”
Kensington adalah lelaki paruh baya yang menjual rumah ini kepadaku. “Betul sekali, Nona Holly. Nama saya Charlotte.”
Dia tersenyum kembali dengan ramahnya. “Aku tahu siapa namamu. Tuan Kensington memberitahuku kemarin. Dan aku beserta nenekku sangat senang dengan adanya tetangga baru. Maka daripada itu nenekku meminta kesediaan Anda agar dapat makan malam bersama kami di rumah kami malam ini.”
Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan menampilkan senyum ramah juga. “Tentu saja. Aku akan sangat senang sekali.”
“Terima kasih.” Holly membungkukkan badannya lagi dan berjalan pergi.
Setelah kututup pintu, aku kembali ke dapur untuk menikmati sarapan rotiku. Aku merasa cukup senang karena mendapat tetangga yang baik dan bahkan mereka mengundangku makan malam. Sepertinya wanita bernama Holly itu umurnya tidak terlalu jauh dariku, mungkin saja kami bisa jadi teman akrab.

Malam harinya, aku memenuhi janjiku untuk pergi ke rumah tetanggaku. Sesampainya di sana, aku disambut oleh Holly sendiri dan dia mempersilahkanku masuk. Dia kemudian menggiringku langsung ke ruang makan yang mana telah menunggu neneknya Holly. Wanita tua itu sedang duduk di kursi rodanya, memandangku sambil tersenyum. Kulit wajahnya telah mengendur dan terdapat bercak-bercak kecoklatan. Kuperkirakan umurnya sudah mendekati 80 tahunan.
“Ini nenekku. Namanya Loretta,” ujar Holly sambil mengelus pundak neneknya pelan. “Nek, ini adalah tetangga baru kita, namanya Charlotte.”
Nenek Loretta hanya tersenyum saja, membuatku agak sedikit bingung. Holly nampaknya menyadari itu dan dia menggiringku ke ruang tengah. “Ada apa?” tanyaku yang merasa heran dengan sikapnya.
“Maafkan aku karena tidak memberitahukan hal ini terlebih dahulu.” Dari air mukanya dia terlihat benar-benar menyesal. “Nenekku itu..., dia bisu, sejak lahir. Dan dia sama sekali tidak bisa berbahasa isyarat. Semua keinginannya selalu dia tulis di kertas.”
“Oh...,” aku tidak tahu harus berkata apa. “Ya, aneh juga kenapa dia tidak berbicara sedari tadi.”
“Ya begitulah.” Holly menggiringku lagi ke ruang makan. Dan kami pun mulai makan malam bersama.
Nenek Loretta sepanjang makan malam menatapku terus sambil tersenyum. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan hal itu. Bukan berarti aku tidak menyukai wanita tua malang tersebut, tetapi melihat dia tersenyum terus kepadaku hampir tiap menit, membuatku merasa sedikit ngeri juga. Melihat situasi makan malam yang kurang nyaman ini, Holly mencoba membuka pembicaraan denganku. “Jadi, kau pindah dari London?”
Aku mengangguk dan dalam hati bersyukur juga dengan dimulainya pembicaraan ini. “Ya, begitulah,” jawabku pendek.
“Kenapa kau pindah ke sini? Ini kota kecil, tidak banyak yang bisa dilakukan,” kata Holly yang sepertinya penasaran sekali.
Aku terdiam sejenak sembari meletakkan sendok dan garpu di piring. Haruskah kukatakan bahwa aku ke sini karena ingin sekali mengetahui tentang apa saja yang terjadi ketika ku masih kecil? Aku bahkan tidak yakin bahwa Holly tahu bahwa sebelum Mr. Worthtington keluargakulah yang menempati rumah itu. Setelah sadar bahwa aku terlalu lama berpikir, akhirnya aku menjawab, “Tidak ada yang khusus sebenarnya. Aku sudah mulai bosan dengan suasana London dan berpikir mungkin tinggal di kota kecil seperti Langley Green akan menyenangkan. Aku tinggal di London seumur hidupku.” Oke, itu semua adalah satu kebohongan besar.
Holly kelihatan lebih tertarik lagi ketika aku mengatakan tentang London. “Benarkah? Dari dulu aku ingin sekali bisa mengunjungi London. Dulu aku tinggal di Portsmouth, tetapi aku lahir di sini, di Langley Green. Aku merasa nyaman di sini, jadi ketika aku lulus SMA, aku memutuskan untuk pindah ke sini bersama Nenek Loretta. Kasihan nenek, tidak ada yang mengurusnya di sini.”
“Wow, kau gadis yang sangat baik hati. Apakah orang tuamu masih tinggal di Portsmouth?” sekarang giliranku yang bertanya kepadanya.
“Yap, mereka punya pekerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan di sana. Tapi mereka akan berkunjung ke sini tiap Natal.”
Kemudian keheningan mulai menyergap lagi. Baik aku, Holly dan Nenek Loretta telah selesai makan malam. Holly mengatakan bahwa dia akan mengantar neneknya dulu ke atas sebelum membereskan meja makan. Sementara aku masih terduduk di kursiku sambil mengambil telepon genggam dari saku dan mendapati pesan singkat dari Lily.
Hei, mungkin akhir pekan ini aku bisa menemuimu di Langley Green.
Aku mengerutkan kening. Heh, Lily akan mengunjungiku di Langley Green? Kupikir dia marah kepadaku karena aku memutuskan untuk pindah ke sini. Aku membalas pesan Lily dan melihat Holly menuruni tangga lalu mulai membereskan piring-piring dan gelas makan malam kami. Merasa ikut bertanggung jawab, aku pun membantunya mengangkut peralatan makan kotor itu ke bak cucian. Setelah selesai membereskan meja, Holly mengajakku ke ruang tengah.
“Hei, berapa umurmu? Rasanya kita tidak terlalu jauh berbeda ya?” mulainya ketika kami sudah duduk di ruang tengah dengan TV yang menyala.
“Tiga bulan lagi aku akan berumur 26 tahun,” jawabku dan melemparkan pertanyaan yang sama kepadanya.
“Bulan lalu aku baru masuk 21 tahun,” jawabnya ceria. “Mungkin kita bisa jadi teman. Tidak banyak yang bisa dijadikan teman di sini. Terkadang hidup di sini bisa sangat membosankan. Tapi aku akan terus bertahan untuk nenek.”
Aku memandangnya lekat-lekat. Merasa sangat tertarik dengan Holly. Dia sangat baik dan sopan. Jarang sekali ada gadis muda seperti dia di jaman sekarang ini. “Kau benar-benar sayang dengan nenekmu ya? Apakah itu semua karena dia, bisu dan lumpuh?” aku mengucapkan kalimat terakhir itu dengan cukup pelan dan bernada simpati.
Wajah Holly seketika berubah suram. Hal itu membuatku jadi merasa bersalah karena berkata yang tidak-tidak tentangnya. “Mungkin sebagian,” ujar Holly yang membuatku menaikkan sebelah alis mataku. “Mungkin sebagian dariku memang merasa kasihan. Selama tiga tahun di sini, nenek hampir tidak bisa apa-apa. Wanita yang dulu bekerja untuk merawat nenek sangat tidak telaten dan dia meninggalkan nenek begitu saja. Maka daripada itulah aku yang merawat nenek karena aku tahu tidak akan ada yang mau bersusah-susah untuk merawat orang tua. Kau tinggal memasukkannya ke panti jompo dan akan mengambilnya kembali ketika dia sudah meninggal. Hell yeah, terdengar kejam bukan? Aku menyanyangi nenek karena ku masih ingat sewaktu ku kecil, neneklah yang benar-benar memperhatikanku. Sekarang, giliranku yang memperhatikannya. Bisa dibilang ini hubungan timbal balik, tetapi kami saling menyanyangi, dan itu sudah cukup untuk terus membuatku bertahan di sini. Kau tahu tidak? Aku hampir-hampir tidak punya waktu istirahat. Aku bekerja sebagai pengurus anak-anak keluarga Wargrave untuk biaya hidup kami sehari-hari dan di rumah aku harus mengurus nenek lagi. Benar-benar melelahkan sekali.” Wajah Holly terlihat berseri-seri sekali karena pada akhirnya ada juga yang mau mendengarkan ceritanya.
“Apa kau...,” aku berhenti sejenak, untuk mencari kata-kata yang cocok. “Pernah menginginkan nenekmu kembali kepada Sang Pencipta?” sudah benarkah perkataanku? Rasanya segalanya serba salah apabila aku ingin mengomentari suatu hal yang pribadi pada diri seseorang.
Wajah berseri-seri Holly langsung hilang bagai disapu angin. Dia tertunduk namun cepat-cepat mengangkat mukanya lagi. “Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin kau ada benarnya. Mengurus seseorang yang cacat memang tidak mudah. Umur nenekku sebentar lagi 80 tahun, dan terkadang jauh di lubuk hatiku aku berharap kepada Tuhan, kenapa Kau belum memanggilnya? Tapi aku selalu cepat-cepat menepis semua itu. Tuhan memberinya umur panjang, dan itu bagus kan?” dia terlihat tidak yakin dengan perkataannya yang terakhir.
“Tetapi hidup lama hanya untuk menyusahkan orang?” aku langsung menutup mulutku dengan tangan ketika menyadari betapa kurang ajarnya aku mengatakan itu. “Maksudku, aku, aku tidak bermaksud...,”
“Sudahlah, aku mengerti. Memang kesabaran orang ada batasnya, dan seperti yang kukatakan tadi, aku terkadang berharap dia segera dipanggil oleh Tuhan, jadi aku bisa bebas dan pergi dari Langley Green. Dia bisa dikuburkan dengan layak di kota kelahirannya ini, tetapi setiap kupikirkan ulang, itu kedengaran jahat sekali! Mendoakan nenekmu sendiri untuk mati, itu sungguh tidak berprikemanusiaan! Maka daripada itu aku terus bersabar dalam merawat nenek.” Jawabannya terdengar mantap sekali, membuatku terkagum-kagum dalam hati.
Merasa bahwa membicarakan tentang Nenek Loretta terus tidak akan berjalan baik, maka aku mengganti topik. “Adakah mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Langley Green?”
Holly terlihat bingung sesaat  tapi dia menjawab juga, “Setiap kota punya mitos sendiri-sendiri. Kenapa kau ingin tahu?”
“Tidak ada. Rasanya senang saja bisa mengetahui bahwa semodern apapun suatu kota atau negara, yang namanya mitos tidak akan pernah hilang dari kebudayaan masyarakatnya.”
“Ya, kau benar. Ada satu, dan ini kudengar dari Mr. Wargrave ketika aku baru pertama kali bekerja di rumahnya. Dia menceritakan sebuah kisah tentang seorang bangsawan bernama Duke Mayhem yang mempunyai seorang istri bernama Camille. Jarak umur mereka terpaut hampir 25 tahun, tetapi rumah tangga mereka berjalan harmonis karena Duke Mayhem sangat menyanyangi istrinya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa istrinya adalah seorang penyihir yang jahat yang memanfaatkan kekuasaan suaminya untuk mengumpulkan orang-orang untuk dijadikan korban supaya dia bisa berumur panjang dan tidak bertambah tua. Namun, pada suatu hari di bulan Oktober, semua rahasia Camille terungkap oleh Duke Mayhem sendiri dan akhirnya Camille dibakar hidup-hidup oleh para warga. Konon sebelum dia dibakar hidup-hidup, dia sempat berkata bahwa dia akan menuntut balas dan akan terus menghantui kota dan para warganya.” Holly menghela napas sebelum melanjutkan kembali, “Begitulah ceritanya. Masih ada orang yang percaya dengan cerita ini sampai sekarang, namun sebagian besar orang hanya menganggapnya mitos belaka.”
“Hmmm,” gumamku tidak jelas sambil mengangguk-ngangguk mendengar cerita Holly.
“Oh iya Charlotte,” sahut Holly tiba-tiba, “Kau orang Perancis ya? Namamu kedengaran seperti orang Perancis.”
“Tidak juga.” Aku bingung harus menjawab apa. Tidak ada satupun tentang keluargaku yang kuingat mempunyai darah Perancis. Akhirnya aku mengarang cerita saja kepada Holly bahwa nenekku masih keturunan Perancis dan melihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Aku pamit pulang kepada Holly dan gadis itu mengantarku sampai di beranda depan.
Di depan rumah, aku melihat seseorang berdiri membelakangiku. Dia memakai jubah hitam panjang, dan ketika aku menghampirinya, dengan cepat dia berbalik. sosok berjubah ini adalah seorang wanita cantik berumur awal tiga puluhan. Dia tersenyum sekilas kepadaku  sebelum wajahnya berubah dingin. “Ini rumahmu?” tanyanya dengan suara yang sama dinginnya dengan wajahnya.
Aku mengerutkan kening dan mengangguk. Perasaan tidak suka terhadap wanita ini mulai menjalariku. Untuk apa coba dia datang malam-malam begini dengan jubah hitam bagaikan seorang nenek sihir?
“Jadi kau adalah pemilik baru rumah ini.” Dia berhenti dan memandangku dari atas sampai bawah dan tersenyum sekilas lagi. Perbuatannya itu benar-benar tambah membuatku jengkel. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, wanita misterius tersebut langsung pergi.

Kutatap punggungnya yang semakin menjauh sampai dia hilang ditelan kegelapan malam. Apa-apaan dia? Datang ke sini hanya untuk menanyakan itu? Dan caranya memandangku dari atas ke bawah itu, sepertinya dia mempunyai maksud tertentu melihatku. Siapa si wanita aneh itu? Hm, mungkin besok kutanyakan saja pada Holly. Dengan perasaan masih kesal, aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.

Don't Bury Me In My Own Grave Bab 2

Fourteen Years Later...
Kecelakaan itu membuatku amnesia. Aku tidak ingat satu pun, aku lupa namaku, aku lupa dengan nama teman-temanku, aku benar-benar merasa kosong. Setelah hampir sebulan menginap di rumah sakit, aku akhirnya dapat pulang ke rumah. Hanya saja sekarang banyak yang berbeda. Lily, yang mengaku sebagai teman akrabku di kantor, bilang bahwa rumah sederhana berperabotan banyak ini adalah rumahku. Tetapi entah kenapa yang ada di dalam ingatanku adalah sebuah rumah besar di sebuah komplek perumahan yang jauh dari keramaian kota, bukan di sebuah apartemen sempit seperti ini. Kujelaskan pada Lily bahwa dia telah salah mengantarku pulang, tapi dia hanya tersenyum tipis dan menepuk bahuku pelan.
“Kau baru pulang dari rumah sakit sayangku. Otakmu masih kacau. Nah, sekarang istirahatlah di kamarmu.” Lily menuntunku menuju kamarku yang kecil. Tidak ada yang berarti di situ, semuanya terlihat sangat membosankan.
“Aku rasa dulu aku punya semacam papan pengingat di kamar ini. Aku akan mencatat segala kegiatanku dengan spidol warna-warni dan menempelnya di papan itu. Aku juga merias lemariku dengan potongan-potongan gambar yang kubuat sendiri. Dan seingatku ada gambar-gambar karakter Disney yang menghiasi dinding kamarku. Kenapa sekarang begitu berbeda?” tanyaku kepada Lily yang mengerutkan kening disebelahku.
Dia pasti berpikir bahwa aku bicara melantur, bisa dilihat dari ekspresi mukanya yang memandangku aneh. Namun dia berusaha menutupinya dengan senyuman. “Well, Charlotte, ini adalah kamarmu yang sekarang. Mungkin kau membicarakan kamarmu ketika kau masih kecil. Nah, sekarang istirahatlah. Sudah kubilang otakmu masih kacau.”
Aku memandangi lagi setiap jengkal kamarku sebelum mengangguk kepada Lily. “Mungkin kau benar. Entah kenapa semenjak keluar dari rumah sakit aku terus-menerus mendapat bayang-bayang masa kecil berkelebat di otakku. Ini aneh sekali.” Aku membaringkan diriku dan menarik selimut, lalu tersenyum pada Lily. “Kau baik sekali. Menyesal bahwa  aku sama sekali tidak ingat apa-apa.”
“Tidak apa-apa Charlotte. Nanti kau juga akan ingat, istirahatlah. “Lily memperingatkan untuk ketiga kalinya. Dengan satu anggukan kepala, aku mencoba tidur dan terbawa hanyut ke alam mimpi.
Malam harinya, aku mendapati sebuah buku cukup tebal setelah mengobrak-abrik lemari. Entah kenapa buku yang bersampul warna-warni ini begitu familiar di ingatanku. Aku pernah merasa memiliki buku ini entah pada waktu yang mana. Yang jelas, aku tidak begitu ingat. Apa ini buku harianku? Karena penasaran kubuka satu persatu halaman dari buku tersebut. Di halaman pertama kudapatkan :
16 Oktober 1994
Erick menyuruhku untuk mencatat apa saja yang kujalani setiap harinya dalam sebuah buku. Menurutnya kebiasaan menulis apa saja yang kita jalani itu adalah sebuah hal yang bagus, selain itu bisa dijadikan sebuah dokumentasi untuk anak dan cucu kita nanti. Saudaraku itu memang selalu berpikiran jauh ke depan!
Tapi menurutku, aku tidak bisa melihat apa bagusnya menulis di buku harian. Hidupku membosankan, hanya Ericklah yang bisa membuatnya lebih berwarna. Aku benci anggota keluargaku yang lain, mereka tidak pernah memperhatikanku dan Erick.
Kuharap Erick benar. Dengan mencatat semua kegiatan dalam sebuah buku bisa membuatku tidak lagi mengeluh dan melihat hidup ini dengan banyak sisi positifnya.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali, tidak menyangka dengan apa yang tertulis di sini. Ini benar-benar buku harianku. Buku harian masa kecilku. Erick, rasanya aku memang mengenal nama itu. Walau pun aku menderita lupa ingatan karena kecelakaan itu, tetapi aku ingat ada satu nama yang terus terngiang-ngiang di mana pun aku berada, bahkan ketika berada di rumah sakit dalam keadaan tidak sadar. Dan nama itu tidak salah lagi, nama itu Erick. Erick! Aku ingat sekarang! Dia saudara kembarku!
Kubalik buku itu dan kubaca halaman terakhir. Tertera di sana tanggal 21 November 1995. Tanggal ini, aku mulai ingat. Sekelebat bayangan melintas di benakku. Waktu itu, begitu menyedihkan. Bayangan pohon maple di belakang rumahku dulu masih tidak jelas, kabur dan bergoyang-goyang. Ada dua orang anak berdiri di beranda, muka mereka berdua sama tidak jelasnya dengan keadaan sekitar situ. Aku sama sekali tidak dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Bayangan dua orang anak itu mengabur dan bisa kudengar bunyi tinggi yang memekakkan telinga, dan kemudian semuanya benar-benar hilang. Hal terakhir yang kulihat sebelum semuanya hilang, adalah salah satu dari anak tersebut pergi meninggalkan anak yang satu lagi. Sendirian.
Bunyi bedebum benda jatuh menyadarkanku. Kepalaku langsung sakit entah karena apa. Kupungut buku harianku yang terjatuh dan sambil memengangi kepalaku, kupaksakan diri untuk berjalan menuju kamar. Mataku berkunang-kunang karena sakit kepala yang tiba-tiba ini. Namun ketika aku membaringkan diri ke tempat tidur, rasa sakit kepala yang menghantam langsung hilang dengan tiba-tiba juga. Aku langsung terduduk di tepi tempat tidur, merasa aneh dengan semua hal yang terjadi hari ini. Kuambil lagi buku harian masa kecilku dan kubolak-balik terus halaman-halamannya sampai suatu kertas terlipat terjatuh di pangkuanku. Kuambil kertas itu dan dengan penasaran kubuka lipatannya.
Isi yang tertulis di sana awalnya membuatku bingung. Kubaca lagi dengan seksama tulisan tersebut, dan sebuah ketidakmengertian masih menghantam pikiranku. Ini adalah sebuah karangan yang aneh sekali. Tetapi aku merasa sangat familiar. Aku merasa sangat familiar dengan semua yang sudah terjadi hari ini. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi dengan Erick. Aku akan berusaha mencari tahu di mana keberadaan Erick lagi. Dan aku memang harus kembali ke awal ini semua bermula.

Pagi itu Lily meneleponku ketika aku sedang membaca buku harian masa kecilku. Kuangkat gagang telepon dan telingaku langsung disambut oleh sapaan Lily yang lembut dan ceria. “Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah otakmu sudah tidak kacau lagi setelah istirahat yang cukup?” tanyanya langsung masih dengan suara lembutnya.
“Ya, kupikir aku merasa lebih segar pagi ini,” jawabku agak sedikit berbohong. Aku tidak tidur semalaman. Aku sudah membuat keputusan dan aku akan melakukannya. “Kebetulan sekali kau menelepon,” aku memotong sebelum Lily sempat berkata apa-apa lagi, “aku akan meninggalkan London hari ini.”
Kudengar pekik tertahan dari Lily. Dia pasti terkejut sekali. “Kau hanya bercanda kan? Maksudku, ayolah, Mr. Regan menanyaimu terus kapan kau bisa kembali bekerja di kantor. Dan sekarang kau mengatakan padaku kau akan meninggalkan London. Itu berarti kau juga akan meninggalkan pekerjaanmu di sini! Apa yang akan kukatakan kepada Mr. Regan?”
“Bilang saja kepadanya, aku berhenti.” Kututup sambungan telepon sebelum mendengar apa jawaban Lily. Keputusanku sudah bulat, tidak ada yang bisa mencegahku. Aku merasa London bukanlah tempat yang tepat sebagai awal permulaan mencari Erick. Aku akan pergi ke sebuah desa kecil di sebelah barat Sussex, tempat dimana seharusnya aku bisa menemukan petunjuk. Tempat dimana aku akan mengumpulkan kembali ingatan-ingatanku yang hilang dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya.
Semua barang yang kubutuhkan telah kumasukkan ke dalam bagasi mobil. Aku akan pergi jauh dari London menuju Sussex hanya dengan mengandalkan mobil BMW tua tahun 80-an ini. Aku tidak tahu bagaimana aku akan mencapai desa masa kecilku, tetapi aku yakin angin akan memanduku menuju ke sana. Ke sana, ke Langley Green.
Langley Green berada dalam lingkungan kota Crawley, di sebelah barat Sussex. Cukup jauh juga untuk mencapai ke sana, tapi seperti kataku aku tidak peduli. Kuperhatikan sekali lagi peta menuju Langley Green dan bisa kurasakan bahwa aku tidak akan tersesat. Di sepanjang perjalanan, aku benar-benar merasakannya. Setiap embusan angin yang menerpa, suara gemerisik pepohonan, bahkan bunyi mesin mobil pun menjadi sebuah pertanda bagiku. Seakan-akan semuanya sudah jelas terpampang di depan mataku. Yang sekarang benar-benar kubutuhkan adalah sebuah tekad. Sebuah tekad bahwa aku memang akan mencapai rumah masa kecilku yang sekarang samar-samar kembali terekam di otakku.
Kuputuskan untuk berhenti dulu di gas station untuk mengisi bahan bakar mobil. Aku sebenarnya tidak mau membuang waktu untuk menghabiskan malam di sebuah penginapan kecil di sebelah gas station, tetapi hari memang sudah sangat larut dan aku juga butuh istirahat karena mengemudi dari sejak pagi. Ketika kutanyakan apakah masih ada kamar yang kosong, si wanita penjaga counter menggeleng ringan dan mengatakan bahwa semua kamar telah penuh.
“Banyak sekali orang-orang yang menginap untuk semalam di sini,” ujarnya dengan nada bersimpati. “Aku rasa karena sebentar lagi mendekati liburan musim panas, jadi banyak orang-orang yang berpergian jauh ke luar kota.”
“Aku rasa juga begitu,” kataku membenarkan sambil mengangkat bahu. Kuletakkan beberapa uang untuk membayar bensin dan beberapa cemilan yang kubeli.
“Kalau tidak salah masih ada satu penginapan lagi 500 meter dari sini,” si wanita penjaga counter berkata lagi. “Tapi, ah, mereka memberikan pelayanan buruk! Kamarnya sempit dan berantakan serta bau pesing! Itu bukanlah sebuah penginapan yang bagus!”
“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanyaku sekedar ingin tahu. Wanita itu mengerutkan dahinya.
“Salah satu saudaraku pernah menginap di sana dalam perjalanan pulang dari Sussex, dan mobilnya mogok. Dia tidak menemukan satupun bengkel dan akhirnya dia berjalan menuju ke penginapan itu untuk meminjam telepon karena telepon selularnya mati sekalian untuk menginap semalam. Harga satu kamarnya memang sangat murah, tetapi harga murah itu memang sebanding dengan kamarnya yang sangat brengsek! Saudaraku bahkan hampir tidak bisa tidur karena suara tikus yang mendecit-decit sepanjang waktu. Aku heran kenapa penginapan itu masih berdiri sampai sekarang. Aku rasa....” wanita itu berhenti tiba-tiba dan merasa bahwa dia berbicara terlalu banyak.

“Sebaiknya aku pergi,” kataku dan mengucapkan terima kasih kepada wanita itu. Kuhela napas panjang dan lelah sebelum mengendarai mobilku lagi.

Don’t Bury Me In My Own Grave Bab I

Kami terkadang menghabiskan waktu dengan melihat pohon maple mengugurkan daunnya. Kami juga terkadang menghabiskan waktu dengan melihat ayah bekerja siang malam di ruang kerjanya atau melihat ibu yang terus menerus mempercantik dirinya di depan cermin. Kami juga melihat Linda, kakak perempuan kami, pergi pagi dan pulang malam. Dia sering bertengkar dengan ayah, dan kami juga berada di sana, menjadi penonton yang setia. Satu pertanyaan yang mengganjal, kapan mereka semua yang melihat kami? Kami lahir dan tumbuh besar, selalu menjadi mata ketiga, mata yang selalu melihat keadaan dan orang-orang di sekitarnya.
Aku suka berdua dengan saudara kembarku. Dia adalah penyemangat utamaku, mendorong diriku untuk terus bertahan di tengah-tengah samudra ketidakpedulian keluarga kami. Saudara kembarku sangat menyukai musik dan aku membulatkan tekad juga harus menyukai musik. Saudara kembarku pandai menyanyi dan mengarang lagu, dan aku setengah mati menyakinkan diriku bahwa aku juga harus bisa seperti itu. Saudaraku mengajariku bermain gitar dan kami sering bernyanyi bersama di beranda belakang rumah setelah bosan melihat daun-daun maple berjatuhan pada musim gugur. Kami juga bernyanyi setelah melihat ayah di ruang kerjanya, Ibu dengan muka penuh kosmetik di depan cermin dan Linda yang pulang pergi sesuka hati. Saudara kembarku mengarang lagu untuk mereka semua dan kami akan menyanyikannya bersama-sama. Itu adalah saat-saat paling menyenangkan dalam hidupku ketika aku tidak memikirkan nasib kami yang tidak diperhatikan oleh keluarga kami sendiri.
Pada suatu hari yang berangin di musim gugur tahun 1995, ketika kami berumur dua belas tahun, saudara kembarku mengarang sebuah lagu yang sangat aneh. Lagu itu sangat pendek, hanya beberapa bait seperti lagu anak-anak yang pernah diajari guru kami sewaktu kami masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dengan gitar pemberian paman untuk ulang tahun kami yang kedelapan, saudaraku menjadi sangat giat belajar untuk menguasai instrumen musik itu, sementara aku hanya mempelajarinya dengan setengah hati, itu pun hanya karena ingin bisa seperti dirinya. Dia mulai memetik senarnya dan suaranya mengalun indah membuatku merasa seakan berada di surga bersama seorang malaikat. Aku heran, darimana dia dapat bernyanyi seindah ini.
“One thing, I want one thing
One thing, I want something
Just one thing, I want ask no more
I have one thing, just one thing
I want you to bury me, in someone else’s grave...”
Setelah selesai, dia menoleh kepadaku dan tersenyum, “Charlotte, bagaimana pendapatmu?”
Aku membalas senyumnya sebelum berkata, “Well, Erick, apa maksudnya itu? Kenapa kau ingin dikuburkan di kuburan orang lain?”
Erick, saudara kembarku, meletakkan gitar di sampingnya dan memberikanku senyuman yang sama. “Lagu itu kupersembahkan padamu. Bukan aku yang meminta dikuburkan di kuburan orang lain, tetapi kau yang akan memintanya.”
Perkataan Erick membuatku terdiam. Aku berusaha mencerna kata-katanya tapi bagaimana bisa hal seperti itu terjadi? Semua itu hanyalah lirik dalam sebuah lagu kan? Tidak akan mungkin terjadi di alam nyata. “Kenapa kau berpikir seperti itu Erick? Kenapa aku yang meminta dikuburkan di kuburan orang lain?”
Pertanyaanku menggantung di udara untuk beberapa saat. Erick memejamkan matanya, merasakan embusan angin menerpa wajahnya. Aku bisa mendengarkan suara daun-daun maple berjatuhan yang bergesek dengan permukaan aspal di depanku. Aku juga bisa mendengar suara mesin mobil tua tetangga kami yang meraung-raung di pagi hari mendung. Aku juga tahu Erick mendengar semua itu, dan dia pun membuka matanya, memandangku sekilas sebelum dia kembali mengambil gitar dan memainkannya. Satu lagu pendek lagi yang tidak pernah kuketahui dan tak kumengerti mengalun dari mulutnya.
“When someday, when we realize
We can’t remember those faces
Forget about the dim light
Forget about someone who shared the same womb
Forget about someone that we used to know...”
Erick kembali memandangku dan dia berkata. Perkataannya bagiku terasa sangat menyedihkan. “Suatu hari kau akan melupakanku, dan aku juga akan melupakanmu. Dan pada saat itulah kau akan meminta dikuburkan di kuburan orang lain.”
“Tapi...,” aku merasa tenggorokanku tercekat.
“Dengar Charlotte,” kali ini Erick berubah serius. “Aku mendapatkan sebuah penglihatan aneh. Dan oh, aku tidak mau membicarakannya denganmu. Tapi suatu saat kita akan terpisah, kita tidak akan pernah bertemu. Kau ada dalam bahaya, aku tidak berada di sana karena aku sudah mati. Kau harus mencari jalanmu sendiri, Charlotte.”
“Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu Erick?” aku merasa air mataku meleleh, tidak pernah ada yang membuatku menangis seperti ini kecuali perkataan Erick barusan. “Itu adalah hal yang paling kejam yang pernah kau katakan padaku. Bukankah kita akan selalu bersama?” tidak adakah yang bisa menghapus air mata ini? Aku benci sekali menangis! Aku harus bisa sekuat dan setegar Erick!
Saudara kembarku menggeleng sedih. Dia tidak berusaha menghapus air mataku yang telah jatuh, dia lebih memilih untuk memeluk gitarnya. Semua hal ini hanya membuatku sakit. Langit mendung dan angin yang menerpa kuat pun hanya menambah buruk suasana. “Kau harus mengerti!” Erick memeluk gitarnya semakin erat. “Kita tidak bisa terus bersama. Dari lahir takdir telah menentukan nasib kita. Kita selama ini mengikuti perjalanan yang lurus dan terjal bersama-sama. Namun di tengah perjalanan itu, persimpangan telah menunggu untuk memisahkan jalan lurus yang telah kita lewati. Kedua jalan itu sama-sama terjalnya. Tidak ada gunanya untuk memilih bersama dalam satu jalan. Saatnya menjadi pribadi yang mandiri dan mengambil jalan sesuai dengan keinginan masing-masing. Karena pada akhirnya jalan itu membawa kita pada satu tujuan, yaitu kematian.”
Tidak ada yang bisa kukatakan. Otak dua belas tahunku tidak dapat mencerna semua ini dengan cepat. Aku ingin memutar waktu, memperbaiki semua kesalahan, tidak terus-menerus menjadi mata ketiga, keempat, atau berapa pun. Aku dan Erick akan menjadi yang diperhatikan, bukan lagi yang harus memperhatikan. Namun, itu semua hanya khayalan kosong yang membuang waktu. Apakah Erick tidak ingin terus bersamaku? Bukankah kami saudara kembar?
Forget about someone who shared the same womb
Forget about someone that we used to know
Erick, apakah kita akan benar-benar berpisah? Apa yang bisa memisahkan kita? Hidup di luar begitu sulit dan aku merasa tidak akan sanggup menjalaninya tanpamu, Erick. Aku selalu berusaha untuk jadi seperti kau, tapi kau tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa jadi sepertimu. Aku adalah yang lemah! Seorang saudara yang hanya bisa menggantungkan hidupnya di pundak saudaranya yang lain. Aku yakin sekali jikalau tidak ada kau di sini mungkin aku sudah memutuskan untuk bunuh diri. Karena hanya engkaulah Erick, saudara kembarku, orang satu-satunya di keluarga ini yang selalu ada untukku. Selalu mau menjadi penonton bersamaku, terdiam membisu menyaksikan apapun kejadian di sekitar kita. Ingin sekali kuteriakkan semua kalimat itu kepada Erick, namun sampai saat ini semuanya masih kusimpan di dalam hati saja, walau ku harap Erick mengerti. Dia pasti tahu apa yang kurasakan.
Mata saudara kembarku menatap jauh ke depan. Tidak, dia tidak memandang ke arah pohon maple, pandangannya lebih jauh dari itu seakan-akan dia melihat masa depan kami terbentang dihadapannya. Suatu hal, apa pun itu mengagetkannya, bisa kulihat dia agak sedikit tersentak dan menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. “Charlotte, dengarlah suara angin, dengarlah burung-burung bernyanyi di pagi hari musim semi, dengarlah rintik hujan yang jatuh membasahi bumi, dengarlah apa yang disampaikan alam kepadamu. Aku menitipkan pesan-pesanku dan kau akan mendengarnya melalui desau angin, air beriak, dan dentingan hujan, karena kita tidak akan bersama lagi. Waktu kita semakin sempit.”
Aku tahu ini tidak masuk akal! Ini hanya sebuah ilusi jahat yang diciptakan oleh pikiranku! Erick tidak mungkin berkata seperti itu. Ini bukan Erick yang kukenal, dia sudah menjadi orang lain yang berbeda sama sekali.
I want you to bury me, in someone else’s grave
Jadi begitukah? Apakah pada akhirnya saudaraku sendiri akan menjadi orang lain? Tahun-tahun berikutnya akankah aku tidak mengingatnya lagi? Aku menatap Erick, dia pun melakukan hal yang sama. Mulut kami terkatup rapat, kami tahu pikiran kami masing-masing. Dan walau aku tidak percaya, sesungguhnya aku takut. Takut kalau apa yang dikatakan Erick benar-benar terjadi. Dengan satu helaan napas, Erick meninggalkanku sendirian. Sendirian. Betapa menyakitkan sekali kata itu kedengarannya.